Sunday 23 August 2015

Kisah keluarga Aidit

"Bung datang ya. Ada pertemuan keluarga. Ibaruri datang dari Prancis." Begitulah sebuah undangan Ilham Aidit kepada saya, beberapa pekan silam.
Agak kaget juga menerima undangan semacam itu. Betapa tidak, di antara sekian banyak anggota keluarga besar Dipa Nusantara (DN) Aidit yang selamat dan berhasil mempertahankan hidup pascatragedi 30 September 1965, saya menduga hanya saya orang luar yang diundang dalam pertemuan itu. Minggu siang yang benderang di sebuah pinggiran situ di kawasan Ciputat, Tangerang, Propinsi Banten, dugaan itu terbukti.

Begitu tiba, Ilham Aidit, putra DN Aidit langsung menyambangi dan menjabat erat tangan yang saya ulurkan. Duduk lesehan saya melihat ada Murad Aidit (adik DN Aidit) bersama beberapa anak dan cucunya, beberapa sepupu dan ponakan Ilham pun hadir. Ada sekitar 50 orang yang hadir ketika itu. Beberapa saudara jauh DN Aidit yang datang dari Pulau Belitung pun terlihat hadir. Setelah dikenalkan pada beberapa orang yang belum pernah saya temui, Ilham membimbing saya menemui seorang perempuan berkulit bersih, berambut pendek, mengenakan kemeja putih, berwajah bundar dan bertubuh tak terlalu tinggi. "Ibaruri," begitu ia mengenalkan dirinya. Baru beberapa hari Iba, begitu ia biasa disapa, tiba di Jakarta. Sudah berpuluh-puluh tahun Iba tinggal di Prancis bersama suami dan keluarganya.

Di Prancis pula Sobron Aidit, pamannya dan puluhan kaum eksil lainnya tinggal setelah mereka pergi dari Cina yang sebelumnya sempat menampung mereka. Kedatangan Iba ke Jakarta ini rupanya dimanfaatkan keluarga besar Aidit untuk berkumpul, bercengkrama dan saling bercerita. Saya menyaksikan pertemuan itu berlangsung hangat dan bersahaja. Mereka tak banyak bicara politik. Kalau pun ada, hanya sekelebat. Murad misalnya, bercerita ia sedang menulis buku berjudul DN Aidit Pemimpin PKI Legendaris dan sedang sibuk bersama teman-temannya eks Tahanan Politik (Tapol) dan kaum kiri lainnya yang diganyang Orde Baru (Orba) melakukan gugatan kepada lima presiden di sebuah pengadilan di Jakarta Pusat.

Seorang kerabat DN Aidit dari Belitung menceritakan pengalaman saudaranya yang kesulitan pulang kampung, karena tak ada angkutan dan karena bantuan DN Aidit ia bisa mendapatkan angkutan kapal gratis. Keluarga besar Aidit itu juga menyantap beberapa makanan yang dihidangkan dalam pertemuan. Mereka juga berfoto bersama. Kala sore menjelang, pertemuan keluarga besar Aidit itu pun usai.

Bagi banyak orang, pertemuan keluarga seperti yang dilakukan keluarga besar Aidit itu bukan hal yang istimewa. Semua orang bisa berkumpul, di mana dan kapan saja, tanpa tembok penghalang apa pun. Namun tak demikian halnya dengan keluarga Aidit. Stigma dan tudingan Orba yang berlangsung berpuluh-puluh tahun membuat mereka menjadi keluarga yang dianggap paling ‗berbahaya‘. Posisi DN Aidit sebagai ketua Centra Committee Partai Komunis Indonesia (PKI) lah yang menjadi penyebab utamanya. Maka ketika Tragedi 30 September 1965 pecah, DN Aidit dan semua yang berhubungan dengannya menjadi sasaran paling utama yang diincar penguasa baru. Seperti yang ditulis dalam teks sejarah versi Orba, DN Aidit dikabarkan tewas ditembak tentara di Boyolali, Jawa Tengah. Hingga kini jenazah dan kuburan ayah lima anak yang ketika di tanah kelahirannya, Belitung, dikenal sebagai anak yang taat beribadah dan khatam Alquran berkali-kali itu tak pernah diketahui rimbanya. Anggota keluarga DN Aidit sebagian ditangkap rezim Orba dan dijebloskan bersama tahanan lainnya ke Pulau Buru. Namun sebagian lainnya yang kebetulan berada di luar negeri, selamat. Melalui proses panjang dan berliku, mereka berhasil bertahan hidup di negeri orang hingga kini.

Dua putri DN Aidit, Iba dan Ilya, kini bermukim di Prancis. Satu putranya, Iwan Hignasto Legowo, kini bermukim di Kanada. Dua adik DN Aidit, Sobron dan Asahan Aidit (kini mengganti namanya menjadi Asahan Alham -kependekan dari lafal Alhamdulillah) kini tinggal di Belanda dan Prancis. Bersama mereka juga ada ratusan orang Indonesia dengan latar belakang profesi yang beragam ada dokter, sastrawan, insinyur dan mahasiswa yang dikirim rezim Soekarno belajar ke luar negeri tertahan di luar negeri dan tak bisa lagi pulang ke Indonesia. Mereka kehilangan seluruh haknya, termasuk status kewarganegaraan. Dengan terpaksa mereka kemudian menjadi warga negara di tempat pelarian. Keadaan yang muram itu berlangsung berpuluh-puluh tahun, hingga pada masa pemerintahan KH Abdurrahman Wahid, tiba sebuah titik terang.

Gus Dur mengembangkan wacana pencabutan Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 yang melarang keberadaan Marxisme-Leninisme. Gus Dur yang sejak lama dikenal sebagai sosok yang humanis dan bisa diterima di berbagai kalangan itu, mengutus Menteri Hukum dan Perundang-undagan (Menkumdang) Yusril Ihza Mahendra ke luar negeri menemui orang-orang Indonesia yang telah kehilangan hak dan kewarganegaraannya itu. Dalam sebuah pertemuan di Kedutaan Besar Indonesia di Den Haag, Belanda, ratusan orang Indonesia yang tidak bisa lagi pulang ke Indonesia berdatangan dari seluruh Eropa bertemu Yusril. Beberapa orang terharu dan menangis dalam pertemuan itu. Tapi pertemuan itu akhirnya tak menghasilkan apa-apa.

Yusril yang kemudian berselisih dengan Gus Dur, mengundurkan diri dari jabatan menteri. Pemerintahan Gus Dur dijatuhkan parlemen melalui Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 21 Juli 2001. Megawati Soekarnoputri yang sebelumnya menjadi wakil presiden, menggantikan Gus Dur sebagai presiden. Dalam rentang kekuasaannya, Mega tak banyak berbuat untuk kaum eksil ini. Lalu nasib kaum eksil ini pun tak berubah hingga kini. Mereka tetap tak bisa pulang dan menjadi WNI seperti yang diidamkan. "Kami memang bisa datang, tapi tak bisa pulang," kata Sobron Aidit kepada saya beberapa waktu silam.

Presiden datang dan pergi silih berganti. Tapi tak ada yang merespon dan mengambil kebijakan konstruktif untuk menyelesaikan nasib korban politik di masa silam. Langkah DPR dan pemerintah yang melahirkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk menyelesaikan masalah politik di masa silam pun, tak banyak bergaung. Korban politik pun tak berani berharap banyak dengan kehadiran KKR ini. Mereka juga relatif kecewa dengan hakikat rekonsiliasi yang diinginkan pemerintah. Dalam sebuah pertemuan dengan Ilham Aidit, saya menangkap kekecewaan itu. Dalam benak korban politik itu, yang dimaksud rekonsiliasi adalah hadirnya sebuah permintaan maaf dari mereka yang bersalah dan kemudian ada ganjaran hukuman.

Karena sesungguhnya pelaku dalam tindakan politik itu jelas sosoknya. Yang tak jelas adalah hukumannya. Nah, persepsi soal itulah yang hingga kini sepertinya masih belum selaras. Namun demikian pada lapisan atas, antara anak-anak korban dan anak-anak pelaku dan orang-orang yang berseberangan lainnya, rekonsiliasi terlihat tak jadi masalah. Paling tidak secara fisik. "Yang jadi soal adalah pada lapisan bawah," kata Ilham kepada saya. Ilham sempat berharap besar pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Dalam sebuah pertemuan dengan SBY sebelum menjadi presiden, Ilham sempat berbicara banyak soal rekonsiliasi itu. Sayangnya setelah menjabat presiden, SBY masih juga belum mengambil langkah konstruktif untuk menyembuhkan luka sejarah dan politik yang berlangsung lebih dari 34 tahun itu.

Sudah lama sebenarnya nama Ibaruri ada dalam ingatan saya. Melalui pamannya, Sobron Aidit, saya mengenal sedikit sosoknya. Iba adalah anak pertama pasangan DN Aidit-dr Tanti. Jauh sebelum Tragedi 30 September 1965 terjadi, Iba dan Ilya disekolahkan DN Aidit ke luar negeri (Moskow, Rusia). Ketika itu ada semacam naluri politik dalam diri DN Aidit untuk menyekolahkan anak-anak perempuannya ke luar negeri sehingga jika ada gejolak politik yang membahayakan, mereka bisa menyelamatkan diri. Sementara yang laki-laki seluruhnya bersekolah dan berada di Indonesia. Iba dan Ilya sebenarnya sukses meraih gelar sarjana di Eropa Timur. Tapi gelar itu menjadi tak bermakna apa-apa ketika mereka kemudian ‗pindah‘ dan terpaksa berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain, dari satu negeri ke negeri yang lain.

Di Prancis dan beberapa negara Eropa lainnya, gelar itu tak diakui. Namun seperti kebanyakan korban politik lainnya, Iba tetap tegar. Berbekal berbagai bahasa yang ia kuasai, hingga kini Iba juga keluarga Aidit lainnya mampu bertahan hidup. Iba memang agak menyesal juga karena tak bisa menjadi WNI. Tapi semua itu rupanya tak menghilangkan kecintaannya pada negeri ini. Ia juga tak menghiba-hiba untuk mendapatkan status kewarganegaraan itu. Tak seperti pamannya Sobron Aidit, Iba termasuk jarang datang ke Indonesia. Namun kala datang, ia benar-benar memanfaatkan waktunya.


Pada April dan Mei ini ia, misalnya, menemui keluarganya yang lain di Bandung, Jakarta dan Pulau Belitung, tanah kelahiran sang ayah, DN Aidit. Dalam pertemuan dengan saya, Iba tak banyak bicara. Menurut Ilham, kakaknya itu masih menyangsikan situasi politik di Indonesia, sehingga ia lebih banyak memilih diam. Kediaman, yang saya kira, hanya bisa disembuhkan dengan langkah pemerintah yang lebih konstruktif untuk menyelesaikan dan menyembuhkan luka sejarah dan luka politik masa silam dan memberikan kepastian hukum di masa kini dan masa datang.

No comments:

Post a Comment