"Bung
datang ya. Ada pertemuan keluarga. Ibaruri datang dari Prancis." Begitulah
sebuah undangan Ilham Aidit kepada saya, beberapa pekan silam.
Agak kaget juga menerima undangan semacam itu. Betapa tidak, di antara sekian banyak anggota keluarga besar Dipa Nusantara (DN) Aidit yang selamat dan berhasil mempertahankan hidup pascatragedi 30 September 1965, saya menduga hanya saya orang luar yang diundang dalam pertemuan itu. Minggu siang yang benderang di sebuah pinggiran situ di kawasan Ciputat, Tangerang, Propinsi Banten, dugaan itu terbukti.
Agak kaget juga menerima undangan semacam itu. Betapa tidak, di antara sekian banyak anggota keluarga besar Dipa Nusantara (DN) Aidit yang selamat dan berhasil mempertahankan hidup pascatragedi 30 September 1965, saya menduga hanya saya orang luar yang diundang dalam pertemuan itu. Minggu siang yang benderang di sebuah pinggiran situ di kawasan Ciputat, Tangerang, Propinsi Banten, dugaan itu terbukti.
Begitu tiba,
Ilham Aidit, putra DN Aidit langsung menyambangi dan menjabat erat tangan yang
saya ulurkan. Duduk lesehan saya melihat ada Murad Aidit (adik DN Aidit)
bersama beberapa anak dan cucunya, beberapa sepupu dan ponakan Ilham pun hadir.
Ada sekitar 50 orang yang hadir ketika itu. Beberapa saudara jauh DN Aidit yang
datang dari Pulau Belitung pun terlihat hadir. Setelah dikenalkan pada beberapa
orang yang belum pernah saya temui, Ilham membimbing saya menemui seorang
perempuan berkulit bersih, berambut pendek, mengenakan kemeja putih, berwajah
bundar dan bertubuh tak terlalu tinggi. "Ibaruri," begitu ia
mengenalkan dirinya. Baru beberapa hari Iba, begitu ia biasa disapa, tiba di
Jakarta. Sudah berpuluh-puluh tahun Iba tinggal di Prancis bersama suami dan
keluarganya.
Di Prancis
pula Sobron Aidit, pamannya dan puluhan kaum eksil lainnya tinggal setelah
mereka pergi dari Cina yang sebelumnya sempat menampung mereka. Kedatangan Iba
ke Jakarta ini rupanya dimanfaatkan keluarga besar Aidit untuk berkumpul,
bercengkrama dan saling bercerita. Saya menyaksikan pertemuan itu berlangsung
hangat dan bersahaja. Mereka tak banyak bicara politik. Kalau pun ada, hanya
sekelebat. Murad misalnya, bercerita ia sedang menulis buku berjudul DN Aidit
Pemimpin PKI Legendaris dan sedang sibuk bersama teman-temannya eks Tahanan
Politik (Tapol) dan kaum kiri lainnya yang diganyang Orde Baru (Orba) melakukan
gugatan kepada lima presiden di sebuah pengadilan di Jakarta Pusat.
Seorang
kerabat DN Aidit dari Belitung menceritakan pengalaman saudaranya yang
kesulitan pulang kampung, karena tak ada angkutan dan karena bantuan DN Aidit
ia bisa mendapatkan angkutan kapal gratis. Keluarga besar Aidit itu juga
menyantap beberapa makanan yang dihidangkan dalam pertemuan. Mereka juga
berfoto bersama. Kala sore menjelang, pertemuan keluarga besar Aidit itu pun
usai.
Bagi banyak
orang, pertemuan keluarga seperti yang dilakukan keluarga besar Aidit itu bukan
hal yang istimewa. Semua orang bisa berkumpul, di mana dan kapan saja, tanpa
tembok penghalang apa pun. Namun tak demikian halnya dengan keluarga Aidit.
Stigma dan tudingan Orba yang berlangsung berpuluh-puluh tahun membuat mereka
menjadi keluarga yang dianggap paling ‗berbahaya‘. Posisi DN Aidit sebagai
ketua Centra Committee Partai Komunis Indonesia (PKI) lah yang menjadi penyebab
utamanya. Maka ketika Tragedi 30 September 1965 pecah, DN Aidit dan semua yang
berhubungan dengannya menjadi sasaran paling utama yang diincar penguasa baru.
Seperti yang ditulis dalam teks sejarah versi Orba, DN Aidit dikabarkan tewas
ditembak tentara di Boyolali, Jawa Tengah. Hingga kini jenazah dan kuburan ayah
lima anak yang ketika di tanah kelahirannya, Belitung, dikenal sebagai anak
yang taat beribadah dan khatam Alquran berkali-kali itu tak pernah diketahui
rimbanya. Anggota keluarga DN Aidit sebagian ditangkap rezim Orba dan
dijebloskan bersama tahanan lainnya ke Pulau Buru. Namun sebagian lainnya yang
kebetulan berada di luar negeri, selamat. Melalui proses panjang dan berliku,
mereka berhasil bertahan hidup di negeri orang hingga kini.
Dua putri DN
Aidit, Iba dan Ilya, kini bermukim di Prancis. Satu putranya, Iwan Hignasto Legowo,
kini bermukim di Kanada. Dua adik DN Aidit, Sobron dan Asahan Aidit (kini
mengganti namanya menjadi Asahan Alham -kependekan dari lafal Alhamdulillah)
kini tinggal di Belanda dan Prancis. Bersama mereka juga ada ratusan orang
Indonesia dengan latar belakang profesi yang beragam ada dokter, sastrawan,
insinyur dan mahasiswa yang dikirim rezim Soekarno belajar ke luar negeri
tertahan di luar negeri dan tak bisa lagi pulang ke Indonesia. Mereka
kehilangan seluruh haknya, termasuk status kewarganegaraan. Dengan terpaksa
mereka kemudian menjadi warga negara di tempat pelarian. Keadaan yang muram itu
berlangsung berpuluh-puluh tahun, hingga pada masa pemerintahan KH Abdurrahman
Wahid, tiba sebuah titik terang.
Gus Dur
mengembangkan wacana pencabutan Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 yang
melarang keberadaan Marxisme-Leninisme. Gus Dur yang sejak lama dikenal sebagai
sosok yang humanis dan bisa diterima di berbagai kalangan itu, mengutus Menteri
Hukum dan Perundang-undagan (Menkumdang) Yusril Ihza Mahendra ke luar negeri
menemui orang-orang Indonesia yang telah kehilangan hak dan kewarganegaraannya
itu. Dalam sebuah pertemuan di Kedutaan Besar Indonesia di Den Haag, Belanda,
ratusan orang Indonesia yang tidak bisa lagi pulang ke Indonesia berdatangan dari
seluruh Eropa bertemu Yusril. Beberapa orang terharu dan menangis dalam
pertemuan itu. Tapi pertemuan itu akhirnya tak menghasilkan apa-apa.
Yusril yang
kemudian berselisih dengan Gus Dur, mengundurkan diri dari jabatan menteri.
Pemerintahan Gus Dur dijatuhkan parlemen melalui Sidang Istimewa Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 21 Juli 2001. Megawati Soekarnoputri yang
sebelumnya menjadi wakil presiden, menggantikan Gus Dur sebagai presiden. Dalam
rentang kekuasaannya, Mega tak banyak berbuat untuk kaum eksil ini. Lalu nasib
kaum eksil ini pun tak berubah hingga kini. Mereka tetap tak bisa pulang dan
menjadi WNI seperti yang diidamkan. "Kami memang bisa datang, tapi tak
bisa pulang," kata Sobron Aidit kepada saya beberapa waktu silam.
Presiden
datang dan pergi silih berganti. Tapi tak ada yang merespon dan mengambil
kebijakan konstruktif untuk menyelesaikan nasib korban politik di masa silam.
Langkah DPR dan pemerintah yang melahirkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
(KKR) untuk menyelesaikan masalah politik di masa silam pun, tak banyak
bergaung. Korban politik pun tak berani berharap banyak dengan kehadiran KKR
ini. Mereka juga relatif kecewa dengan hakikat rekonsiliasi yang diinginkan
pemerintah. Dalam sebuah pertemuan dengan Ilham Aidit, saya menangkap
kekecewaan itu. Dalam benak korban politik itu, yang dimaksud rekonsiliasi
adalah hadirnya sebuah permintaan maaf dari mereka yang bersalah dan kemudian
ada ganjaran hukuman.
Karena
sesungguhnya pelaku dalam tindakan politik itu jelas sosoknya. Yang tak jelas
adalah hukumannya. Nah, persepsi soal itulah yang hingga kini sepertinya masih
belum selaras. Namun demikian pada lapisan atas, antara anak-anak korban dan
anak-anak pelaku dan orang-orang yang berseberangan lainnya, rekonsiliasi terlihat
tak jadi masalah. Paling tidak secara fisik. "Yang jadi soal adalah pada
lapisan bawah," kata Ilham kepada saya. Ilham sempat berharap besar pada
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Dalam sebuah pertemuan
dengan SBY sebelum menjadi presiden, Ilham sempat berbicara banyak soal
rekonsiliasi itu. Sayangnya setelah menjabat presiden, SBY masih juga belum
mengambil langkah konstruktif untuk menyembuhkan luka sejarah dan politik yang
berlangsung lebih dari 34 tahun itu.
Sudah lama
sebenarnya nama Ibaruri ada dalam ingatan saya. Melalui pamannya, Sobron Aidit,
saya mengenal sedikit sosoknya. Iba adalah anak pertama pasangan DN Aidit-dr
Tanti. Jauh sebelum Tragedi 30 September 1965 terjadi, Iba dan Ilya
disekolahkan DN Aidit ke luar negeri (Moskow, Rusia). Ketika itu ada semacam
naluri politik dalam diri DN Aidit untuk menyekolahkan anak-anak perempuannya
ke luar negeri sehingga jika ada gejolak politik yang membahayakan, mereka bisa
menyelamatkan diri. Sementara yang laki-laki seluruhnya bersekolah dan berada
di Indonesia. Iba dan Ilya sebenarnya sukses meraih gelar sarjana di Eropa
Timur. Tapi gelar itu menjadi tak bermakna apa-apa ketika mereka kemudian
‗pindah‘ dan terpaksa berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain, dari satu
negeri ke negeri yang lain.
Di Prancis
dan beberapa negara Eropa lainnya, gelar itu tak diakui. Namun seperti
kebanyakan korban politik lainnya, Iba tetap tegar. Berbekal berbagai bahasa
yang ia kuasai, hingga kini Iba juga keluarga Aidit lainnya mampu bertahan
hidup. Iba memang agak menyesal juga karena tak bisa menjadi WNI. Tapi semua
itu rupanya tak menghilangkan kecintaannya pada negeri ini. Ia juga tak
menghiba-hiba untuk mendapatkan status kewarganegaraan itu. Tak seperti
pamannya Sobron Aidit, Iba termasuk jarang datang ke Indonesia. Namun kala
datang, ia benar-benar memanfaatkan waktunya.
Pada April
dan Mei ini ia, misalnya, menemui keluarganya yang lain di Bandung, Jakarta dan
Pulau Belitung, tanah kelahiran sang ayah, DN Aidit. Dalam pertemuan dengan
saya, Iba tak banyak bicara. Menurut Ilham, kakaknya itu masih menyangsikan
situasi politik di Indonesia, sehingga ia lebih banyak memilih diam. Kediaman,
yang saya kira, hanya bisa disembuhkan dengan langkah pemerintah yang lebih
konstruktif untuk menyelesaikan dan menyembuhkan luka sejarah dan luka politik
masa silam dan memberikan kepastian hukum di masa kini dan masa datang.
No comments:
Post a Comment