Bagian Keenam
“Apa yang
terjadi pada kelompok independen dari Bandung ini bisa dibandingkan dengan apa
yang terjadi di lingkungan kelompok HMI. Kelompok yang disebut terakhir ini
dengan sadar melakukan pembagian tugas untuk pencapaian-pencapaian posisi
politik sekaligus pencapaian posisi keberhasilan fund forces. Perlu juga
pembandingan dengan apa yang dilakukan beberapa kelompok independen atau non
HMI di Jakarta, seperti Sjahrir dan kawan-kawan, serta Marsillam Simanjuntak
yang untuk jangka panjang (setidaknya sampai 1974) ada dalam posisi melawan
terus menerus, sebelum akhirnya sempat turut masuk ke dalam kekuasaan pasca
Soeharto atau dunia kepartaian….
SIKAP
Soeharto kemudian berubah menjadi sangat taktis dan kompromistis terhadap
Soekarno, justru setelah ia menjadi pengemban Surat Perintah 11 Maret dan
meningkat dengan pengukuhan suatu Tap MPRS. Ini mengecewakan sejumlah aktifis
generasi muda yang sejak Januari 1966 bahkan sejak Oktober 1965 sampai Maret
1966 sebenarnya menjadi ujung tombak pergerakan yang sengaja atau tidak telah
menciptakan begitu banyak kesempatan kekuasaan bagi Soeharto.
Namun ada
situasi mendua, tepatnya pembelahan, di dalam tubuh aktivis pergerakan generasi
muda setelah 11 Maret 1966. Sebagian mulai terlibat ancang-ancang masuk dalam
barisan Soeharto terutama melalui sejumlah jenderal atau jenderal politisi
maupun politisi sipil di lingkungan Soeharto untuk turut serta dalam kekuasaan
praktis, baik itu masih berupa sharing dengan Soekarno maupun kemudian
pada waktunya sepenuhnya tanpa Soekarno lagi. Mungkin dalam kelompok ini dapat
dimasukkan aktivis-aktivis seperti dua bersaudara Liem Bian Koen dan Liem Bian
Kie yang punya kedekatan khusus dengan Ali Moertopo dan kawan-kawan yang sejak
awal berada di lingkaran Soeharto.
Belakangan
akan bergabung nama-nama seperti Cosmas Batubara tokoh KAMI yang paling legendaris
di tahun 1966 dan Abdul Gafur. Ini semua bisa dihubungkan dengan fakta bahwa
ketika Soeharto memilih untuk bersikap lebih taktis, secara diam-diam seperti
yang digambarkan John Maxwell (2001), Soeharto mengambil langkah-langkah di
balik layar untuk melakukan tugas yang sulit, yaitu merehabilitasi perekonomian
Indonesia yang sekarat dan mengganti kebijaksanaan luar negeri Soekarno yang
penuh petualangan dengan mengakhiri kampanye konfrontasi.
Untuk tujuan
yang lebih pragmatis, pada saat yang sama, Soeharto segera bergerak menggalang
dukungan politik di dalam dan di luar tubuh militer. Pembersihan dilakukan di
dalam tubuh angkatan bersenjata, khususnya di tubuh Angkatan Udara, Angkatan
Laut dan Angkatan Kepolisian yang paling kuat mendukung Soekarno. Proses yang
sama dilakukan di semua tingkat birokrasi pemerintahan di bawah pengawasan
aparat sosial politik tentara. Dalam rangka konsolidasi di tubuh angkatan
bersenjata, ada yang dirangkul ada yang diringkus, atau dirangkul dulu lalu
diringkus.
Brigjen
Soedirgo, Komandan Korps Polisi Militer, adalah salah satu contoh dari pola dirangkul
lalu diringkus. Soedirgo yang sebelum peristiwa tanggal 30 September 1965,
pernah mendapat perintah Soekarno untuk menindaki jenderal-jenderal yang tidak
loyal, sempat diberi posisi puncak di pos intelijen selama beberapa lama,
sebelum akhirnya dijebloskan ke dalam tahanan di tahun 1968.
Kelompok
yang paling cepat meluncur kepada fase mengakhiri kekuasaan Soekarno dengan
segera adalah terutama kelompok mahasiswa di Bandung pada umumnya, yang sejak
awal terjadinya Peristiwa 30 September, menunjukkan sikap anti Soekarno, bukan
sekedar anti komunis, yang makin menguat hanya dalam tempo enam bulan hingga
Maret 1966. Secara historis, sikap anti Soekarno ini bahkan sudah ada bibitnya
masih pada zaman Nasakom. Kekuatan mahasiswa Bandung terutama ada pada
organisasi-organisasi intra kampus, dengan tiga kampus utama sebagai basis,
yakni ITB dan Universitas Padjadjaran lalu Universitas Parahyangan. Dan satu lagi, yang berbeda
dengan kampus utama lainnya, yakni IKIP, yang secara tradisional student
government-nya tanpa jedah didominasi oleh HMI.
Sementara
itu di luar kampus, terdapat kelompok-kelompok mahasiswa yang mempunyai peranan
dalam pergerakan mahasiswa. Tetapi yang khas adalah bahwa mereka, meskipun
kerap bergerak di luar pagar kampus, tetap mempunyai aspirasi yang sama dan
bahkan memperkuat aspirasi intra kampus. Banyak dari mereka, selain bergerak di
luar malahan juga adalah aktivis intra kampus, namun tidak membawa-bawa nama
kelompoknya di luar dalam kegiatannya di kampus sehingga tidak menghadapi
resistensi di kampus. Salah satu kelompok yang terkenal adalah kelompok
Bangbayang.
Lainnya
adalah kelompok Kasbah dan kelompok Masjid Salman ITB. Di luar itu, ada Rahman
Tolleng dan kawan-kawan yang kemudian setelah terbitnya Mingguan Mahasiswa
Indonesia (mulanya sebagai edisi Jawa Barat) 19 Juni 1966 menjelma menjadi
satu kelompok politik tangguh dan dikenal sebagai Kelompok Tamblong Dalam
sesuai nama jalan tempat kantor mingguan itu berada. Pada kelompok Tamblong ini
bergabung sejumlah tokoh mahasiswa intra kampus maupun ekstra kampus, mulai
dari organisasi-organisasi yang tergabung dalam Somal, Damas (Daya Mahasiswa
Sunda), Mapantjas, PMKRI sampai GMNI Osa Usep, serta aktivis mahasiswa
independen lainnya. Aktivis dari HMI dan IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiah)
hanya satu-dua yang terselip di sini.
Dalam
kelompok Bangbayang terdapat ‗campuran‘ aktivis dengan catatan sepak terjang
yang beraneka ragam dengan keterlibatan dalam beberapa peristiwa politik
penting. Ada tokoh-tokoh seperti Dedi Krishna, Tari Pradeksa, Muslimin
Nasution, Qoyum Tjandranegara, yang terlibat Peristiwa 10 Mei 1963 dan berbagai
peristiwa di ITB dan sebagainya. Nama lain dalam kelompok ini yang umumnya
adalah mahasiswa ITB adalah Roedianto Ramelan, Anhar Tusin, Fred Hehuwat,
Riswanto Ramelan, Santoso Ramelan, Zainal Arifin, Indra Abidin, Bernard
Mangunsong, Irwan Rizal, Utaryo Suwanto, Andi Sjahrandi dan lain-lain. Yang
dari Universitas Padjadjaran adalah Parwito Pradotokusumo serta beberapa nama
lain. Sampai bertahun-tahun kemudian kelompok Bangbayang ini masih ada dengan
nama Persaudaraan Bangbayang dengan ratusan anggota yang masih kerap
berkomunikasi satu sama lain.
Kelompok
ini, melalui beberapa anggotanya, memiliki persinggungan dengan berbagai
kelompok politik, seperti kelompok PSI (Jalan Tanjung), kelompok perwira
militer idealis yang berperan pada masa peralihan Orde Lama-Orde Baru, juga
dengan intelijens AD, serta kelompok politik Islam dari Masjumi. Namun dengan
segala persentuhan itu, Bangbayang tetap termasuk dalam kelompok mahasiswa
independen. Melalui Muslimin Nasution, Bangbayang memiliki titik singgung
dengan kelompok (Islam) Masjid Salman (dan HMI). Dan karena kebersamaan dalam
Peristiwa 10 Mei 1963, mempunyai titik singgung dengan mahasiswa GMNI
Ali-Surachman, Siswono Judohusodo (Barisan Soekarno Bandung, 1966). Secara geografis
Bangbayang bertetangga dengan kelompok mahasiswa Islam Kasbah.
Anggota
kelompok Kasbah ini, umumnya adalah mahasiswa berketurunan Arab seperti Ridho,
mahasiswa Universitas Padjadjaran dan karena itu mendapat nama Kasbah, suatu
wilayah tersohor di ibukota Marokko. Kebanyakan dari mereka adalah anggota HMI
dari garis keras, berbeda dengan aktivis Salman ITB yang adalah Islam independen
atau anggota HMI beraliran moderat.
Sebagai
barisan mahasiswa pergerakan 1966, Bangbayang memiliki berbagai akses
kemudahan. Di situ ada Aburizal Bakrie putera Achmad Bakrie (pengusaha yang
banyak berkontribusi kepada gerakan mahasiswa 1966), ada keponakan tokoh
militer konseptor AD (Seminar AD I/II) Mayjen Soewarto, ada putera Mayjen Kemal
Idris, ada kedekatan dengan Soedarpo dan sebagainya. Hal yang menarik dari
kelompok Bangbayang ini adalah terdapatnya semacam pembagian tugas tidak resmi
secara internal, yakni kelompok pemikir yang terdiri dari tokoh-tokoh
pergerakan mahasiswa senior dan kelompok pelaksana lapangan yang bisa bergerak
bagaikan pasukan tempur yang umumnya terdiri dari kalangan mahasiswa yang lebih
junior. Selain itu ada pula istilah baduy dalam dan baduy luar, seperti yang
dituturkan Utaryo Suwanto. Baduy dalam adalah untuk mereka yang tinggal bersama
dalam satu rumah di Jalan Bangbayang yang kepemilikannya ada hubungannya dengan
orangtua Roedianto Ramelan. Sedang istilah baduy luar dikenakan terhadap mereka
yang sehari-hari dalam kegiatan bergabung dengan kelompok tersebut, namun
bermukim di luar rumah bersama di Bangbayang.
Pasca
Soekarno, pada masa awal Orde Baru, Bangbayang berbeda sikap dengan kelompok
mahasiswa (independen) Bandung lainnya (Tamblong Dalam) mengenai masuknya wakil
mahasiswa ke parlemen (yang ingin melakukan struggle from within).
Kelompok Bangbayang ini setidaknya yang terlihat pada permukaan memilih untuk
lebih cepat meninggalkan kancah politik praktis pasca 1966 dan masuk ke dunia
profesional. Mereka antara lain mengintrodusir proyek padi unggul Sukasono di
Garut. Cepat mendorong anggotanya
back to campus untuk menyelesaikan kuliah, dan segera terjun ke bidang
profesional seperti dunia bisnis dan pemerintahan.
Muslimin
Nasution masuk Bulog dan Departemen Koperasi, beberapa lainnya masuk ke
berbagai departemen bidang profesional seperti Pertambangan, Perindustrian,
Perbankan dan beberapa BUMN atau perusahaan-perusahaan swasta dan kelak
menduduki posisi-posisi cukup penting dan mencapai sukses di tempat-tempat
tersebut. Kelompok Tamblong sementara itu, memilih untuk lebih dalam
menerjunkan diri ke medan politik praktis, baik di DPR maupun organisasi
politik seperti Golkar. Sedikit perkecualian dari Bangbayang adalah Rudianto
Ramelan yang banyak bersinergi dengan kelompok Tamblong dan untuk beberapa
waktu melakukan struggle from within.
Barangkali
apa yang terjadi pada kelompok independen dari Bandung ini bisa dibandingkan
dengan apa yang terjadi di lingkungan kelompok HMI. Kelompok yang disebut
terakhir ini dengan sadar melakukan pembagian tugas untuk pencapaian-pencapaian
posisi politik sekaligus pencapaian posisi keberhasilan fund forces.
Perlu juga pembandingan dengan apa yang dilakukan beberapa kelompok independen
atau non HMI di Jakarta, seperti Sjahrir dan kawan-kawan, serta Marsillam
Simanjuntak yang untuk jangka panjang (setidaknya sampai 1974) ada dalam posisi
melawan terus menerus, sebelum akhirnya sempat turut masuk ke dalam kekuasaan
pasca Soeharto atau dunia kepartaian seperti yang dilakukan Sjahrir.
Sikap yang
serupa mengenai Soekarno pasca 11 Maret 1966 dengan kelompok-kelompok mahasiswa
Bandung itu, di kalangan mahasiswa dan aktivis Jakarta, selain oleh Marsilam
Simanjuntak dan kawan-kawan, juga ditunjukkan misalnya oleh orang-orang seperti
Soe-Hokgie, Arief Budiman dan Adnan Buyung Nasution. Dalam skala politis yang
lebih terkait dengan aspek kepartaian, sikap kritis terhadap Soekarno itu sejak
dini juga telah terlihat pada tokoh-tokoh seperti Harry Tjan dari Partai
Katolik dan Subchan Zaenuri Erfan dari Partai Nahdatul Ulama.
Kontingen
Mahasiswa Bandung yang telah berada di Jakarta sejak 25 Pebruari, mengakhiri
keberadaannya di Jakarta dan kembali ke Bandung 23 Maret 1966. Tetapi antara 12
Maret hingga saat kepulangannya ke Bandung, mahasiswa-mahasiswa Bandung sempat
ikut serta dalam beberapa aksi bersama mahasiswa Jakarta yang waktu itu
terfokus kepada pembersihan lanjutan terhadap Kabinet Dwikora yang
disempurnakan, setelah penangkapan 16 Menteri. Meski tak selalu menyebutkan
nama Soekarno secara langsung banyak serangan yang dilakukan mereka tertuju
kepada berbagai tindakan politik Soekarno.
Salah satu
kegiatan Kontingen Bandung ini yang menonjol adalah membangun Radio Ampera,
yang dilaksanakan oleh Anhar Tusin, Santoso Ramelan dan kawan-kawan yang berasal
dari group Bangbayang. Lokasi pemancar ini semula di kampus UI Salemba tempat
Kontingen Bandung berada selama di Jakarta. Namun ketika ada isu kampus UI akan
diserbu 25 Pebruari, pemancar itu di bawa ke rumah Ir Omar Tusin kakak Anhar
selama dua hari untuk kemudian dipindahkan ke rumah Mashuri SH yang letaknya
tak jauh dari kediaman Soeharto di Jalan H. Agus Salim. Keikutsertaan
Soe-Hokgie dan kakaknya Soe-Hokdjin belakangan dikenal dengan nama barunya,
Arief Budiman menyajikan naskah bagi Radio Ampera yang sasarannya tajam tertuju
kepada Soekarno, telah memberi warna tersendiri dalam pergerakan mahasiswa di
Jakarta.
Kegiatan
Radio Ampera ini, sejak pertengahan Maret berangsur-angsur dipindahkan ke Jawa
Tengah (Magelang dan sekitarnya), karena menganggap daerah itu perlu mendapat
penjelasan-penjelasan mengenai kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan
pemerintahan Soekarno sehingga diperlukan koreksi-koreksi. Belakangan, suatu
pemancar radio serupa yang lebih kecil disimpan di Surabaya yang dititipkan
pengelolaannya ke beberapa aktivis KAMI Surabaya, Buchori Nasution dan
kawan-kawan.
Pemancar
yang ditempatkan di Jawa Tengah disumbangkan oleh RPKAD, berkekuatan 400 watt
yang bisa menjangkau ke barat ke arah Sumatera dan ke timur hingga pulau Bali.
Sejumlah aktivis eks Kontingen Bandung bergantian menyelenggarakan siaran di
Magelang hingga 31 Desember 1966, seperti Thojib Iskandar, Arifin Panigoro,
Bernard Mangunsong dan kawan-kawan. Penjaga tetap pemancar di Magelang ini
adalah Tari Pradeksa.
Sementara
itu di Bandung terdapat sejumlah pemancar radio yang didirikan dan dikelola
oleh para mahasiswa. Ada Radio ITB yang dikelola para mahasiswa ITB. Ada pula
Radio Mara yang amat terkenal pada masa-masa pergerakan mahasiswa di tahun 1966
dan berfungsi sebagai penghibur sekaligus pemberi spirit bagi pergerakan
mahasiswa. Radio Mara didirikan dan diasuh oleh kelompok mahasiswa seperti
Mohammad S. Hidajat, Bawono, Atang Juarsa, Harkat Somantri dan kawan-kawan.
Beberapa perwira Siliwangi, termasuk Mayjen HR Dharsono, kerapkali ikut
melakukan siaran dengan menggunakan nama samaran Bang Kalong. Radio itu sampai
sekarang masih eksis.
No comments:
Post a Comment