Di depan Mahkamah Militer Luar Biasa, Untung menghadirkan saksi Perwira
Rudhito Kusnadi Herukusumo, yang mendengar rekaman rahasia rapat Dewan
Jenderal.
Letnan
Kolonel Untung bin Syamsuri layaknya seorang pelaku kriminal. Turun dari
panser, lelaki cepak bertubuh tegap itu tampak menggigil ketakutan. Kepalanya
menunduk, takut menatap ratusan orang yang tak henti menghujatnya. Bekas
Komandan Batalion I Tjakrabirawa itu juga gamang ketika akan menembus barikade
massa Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia, yang menyemut di pelataran parkir
gedung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta.
Kala itu,
Rabu, 23 Februari 1966, pukul 9 pagi. Di lantai dua gedung di Jalan Taman
Suropati Nomor 2 itu, Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) mengadili Untung,
40 tahun, bekas Ketua Dewan Revolusi Indonesia, dengan tuduhan makar. Saat akan
memasuki gedung itulah Untung terus mendapat hujatan dan cemoohan massa.
Letnan I Dra
Sri Hartani, yang saat itu menjadi protokoler atau semacam pembawa acara
sidang, ingat intimidasi massa tersebut membuat nyali Untung ciut. "Untung
terlihat takut dan tidak terlihat seperti ABRI. Padahal kalau ABRI tidak
begitu," kata Sri, kini 69 tahun, kepada Tempo di rumahnya di Jakarta
Pusat pada pertengahan September lalu.
Sri
menyatakan Untung menjadi orang kedua setelah Njono, tokoh Partai Komunis
Indonesia, yang diperiksa dan diadili di Mahmilub 2 Jakarta. Di depan Mahmilub,
Untung sangat yakin bahwa Dewan Jenderal itu ada. Menurut Untung, ia mendengar
adanya Dewan Jenderal dari Rudhito Kusnadi Herukusumo, seorang perwira menengah
Staf Umum Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat-6.
Untung
mengatakan, kepada dirinya, Rudhito mengaku mendengar rekaman tape hasil rapat
Dewan Jenderal pada 21 September 1965 di gedung Akademi Hukum Militer (AHM),
Jalan Dr Abdurrachman Saleh I, Jakarta. Rekaman itu berisi pembicaraan tentang
kudeta dan susunan kabinet setelah kudeta. Itu sebabnya, Untung ngotot
menghadirkan Rudhito sebagai saksi dalam persidangan.
Rudhito
kemudian dihadirkan di Mahmilub 2. Dalam kesaksiannya, seperti dapat kita baca
dalam buku proses mahmilub Untung (1966), Rudhito memang mengaku pernah melihat
tape rekaman tersebut dan sudah melaporkannya kepada Presiden Soekarno.
Rudhito
menjelaskan, dirinya menerima tape rekaman yang dia dengar dan catatan tentang
isinya pada 26 September 1965 di ruangan depan gedung Front Nasional. Dia
menerima bukti itu dari empat orang, yakni Muchlis Bratanata dan Nawawi
Nasution, keduanya dari Nahdlatul Ulama, plus Sumantri Singamenggala dan Agus
Herman Simatoepang dari IP-KI.
Menurut
Rudhito, keempat orang itu mengajaknya membantu melaksanakan rencana-rencana
Dewan Jenderal. Mereka mengajak karena kapasitasnya selaku Ketua Umum Ormas
Central Comando Pendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rencana Dewan
Jenderal itu adalah mengudeta Soekarno seperti cara-cara di luar negeri.
Misalnya Soekarno akan disingkirkan seperti matinya Presiden Republik Korea
Selatan Sihgman Ree.
Selanjutnya,
tutur Rudhito, jika belum berhasil, akan dibuat seperti hilangnya Presiden Bhao
dari Vietnam Selatan. "Kalau masih tidak bisa juga, Soekarno akan 'di-Ben
Bella-kan‘," pria berusia 40 tahun ini menjelaskan isi rekaman di depan
Mahkamah. "Di-Ben Bella-kan" maksudnya adalah dikudeta dengan cara
seperti Jenderal Boumedienne terhadap Presiden Aljazair bernama Ahmad Ben
Bella.
Lebih jauh
rekaman tersebut, menurut Rudhito, juga berisi pembicaraan mengenai siapa nanti
yang duduk dalam kabinet apabila kudeta sukses dijalankan. Ada nama Jenderal
Abdul Haris Nasution sebagai calon perdana menteri, Letnan Jenderal Ahmad Yani
sebagai wakil perdana menteri I merangkap menteri pertahanan dan keamanan,
Letnan Jenderal Ruslan Abdul Gani sebagai wakil perdana menteri II merangkap
menteri penerangan, dan Mayor Jenderal S. Parman sebagai menteri jaksa agung
serta masih ada beberapa nama lagi. "Dalam rekaman, saya ingat almarhum
Jenderal S. Parman yang membacakan susunan kabinet itu," ujar Rudhito.
Bukti
dokumen-dokumen Dewan Jenderal, menurut Rudhito, sebagian besar ada pada
Brigadir Jenderal Supardjo. Dokumen itu juga sudah sampai di tangan Presiden
Soekarno, Komando Operasi Tertinggi Retuling Aparatur Revolusi dan Departemen
Kejaksaan Agung.
Nah, dari
dokumen yang dipegang Supardjo itu sebenarnya terendus ada uang cek penerimaan
dari luar negeri untuk anggota Dewan Jenderal yang aktif. "Kalau tidak
salah hal itu telah dipidatokan Presiden Soekarno bahwa uang Rp 150 juta itu
merupakan suatu fondsen atau dana pensiun bagi masing-masing anggota Dewan
Jenderal yang aktif," tutur Rudhito.
Hanya,
Rudhito mengaku di Mahmilub tak menyimpan tape
rekaman itu. Dan hal itu dinilai oleh Mahkamah sebagai unus testis nullus
testis, yang berarti keterangan saksi sama sekali tak diperkuat alat-alat bukti
lainnya, sehingga tak mempunyai kekuatan bukti sama sekali.
Selain itu,
apa yang dikemukakan Rudhito, menurut Mahkamah, sama sekali tak benar. Rapat
Dewan Jenderal yang diadakan di gedung AHM pada 21 September 1965 nyatanya cuma
suatu commander's call Komando Pendidikan dan Latihan Angkatan Darat berdasarkan surat bukti
hasil rapat tersebut yang didapat Mahkamah.
Mahkamah
berpendapat, Dewan Jenderal yang hendak melakukan kudeta ternyata baru
merupakan info yang bersumber dari Sjam Kamaruzzaman dan Pono utusan Ketua CC PKI D.N.
Aidit yang tak terbukti
kebenarannya.
Berdasarkan
itu, Mahkamah memvonis Untung bersalah karena melakukan kejahatan makar,
pemberontakan bersenjata, samen-spanning atau konspirasi jahat, dan dengan
sengaja menggerakkan orang lain melakukan pembunuhan yang direncanakan.
Ahad, 6
Maret 1966, Mahkamah memutuskan menghukum Untung dengan hukuman mati. Saat itu
yang bertindak sebagai hakim ketua adalah Letnan Kolonel Soedjono Wirjohatmojo,
SH, dengan oditur Letnan Kolonel Iskandar, SH, dan panitera Kapten Hamsil
Rusli. Dan tak lama berselang Untung dikabarkan meregang nyawa di depan regu
tembak.
Untung
dan Jejaring Diponegoro
Cornell
Paper", yang disusun Ben Anderson dan Ruth McVey setelah meletus Gerakan
30 September, mengesankan bahwa gerakan itu merupakan peristiwa internal
Angkatan Darat dan terutama menyangkut Komando Daerah Militer Diponegoro. Tentu
saja pandangan tersebut merupakan versi awal yang belum lengkap walau tetap
menarik untuk diulas dan diteliti lebih lanjut.
Setelah tiga
dekade di penjara, Soebandrio, Wakil Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri/Kepala
Badan Pusat Intelijen, mengelaborasi versi di atas. Walaupun sama-sama berasal
dari Diponegoro, terdapat trio untuk dikorbankan (Soeharto, Untung, Latief) dan
ada trio untuk dilanjutkan (Soeharto, Yoga Soegama, dan Ali Moertopo).
Dari dua
trio itu terlihat bahwa baik pelaku gerakan maupun pihak yang menumpasnya
berasal dari komando daerah militer yang sama, yakni Kodam Diponegoro. Itu pula
yang menjelaskan bahwa gerakan tersebut tampil hanya di Jakarta dan di wilayah
Kodam Diponegoro (Semarang dan Yogyakarta) dan dapat dipadamkan dalam hitungan
hari. Alasan itulah yang digunakan kenapa Soeharto tidak masuk daftar orang
yang diculik: ia dianggap "kawan", minimal "bukan musuh".
Soeharto dan Latief sama-sama ikut dalam Serangan Umum 1 Maret 1949, yang kemudian
dijadikan hari sangat bersejarah oleh pemerintah Orde Baru.
Pada malam
30 September 1965, Latief menemui Soeharto di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat
Gatot Subroto, Jakarta. Bahkan beberapa hari sebelumnya, Latief bersama
istrinya sempat berkunjung ke rumah Soeharto di Jalan Agus Salim. Walau tidak
sedekat dengan Latief, Soeharto berhubungan baik dengan Untung. Kabarnya,
sewaktu Untung menikah di Kebumen, Soeharto menghadirinya. Di jalur yang lain,
hubungan Yoga Soegama dan Ali Moertopo terbina ketika mereka melakukan
serangkaian manuver untuk mendukung Soeharto menjadi Komandan Teritorium IV,
yang kemudian menjadi Kodam Diponegoro.
Ketika
pasukan Tjakrabirawa dibentuk pada 6 Juni 1962, terdapat satu batalion Angkatan
Darat. Sejak Mei 1965, batalion ini dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung, yang
karena keberaniannya dalam operasi Tritura mendapatkan Bintang Sakti. Ada
informasi yang perlu diteliti lagi bahwa Kapten Rochadilah yang
"mengajak" Untung bergabung ke pasukan pengamanan presiden. Rochadi
adalah anggota Tjakrabirawa yang ikut dalam salah satu rombongan delegasi
Indonesia ke Beijing pada 25 September 1965 dan sejak itu terhalang pulang.
Terakhir ia memperoleh suaka di Swedia dan berganti nama menjadi Rafiuddin Umar
(meninggal pada 2005). Di kalangan eksil 65 di Swedia, ia agak tertutup. Kapten
Rochadi berasal dari batalion yang pernah dipimpin Letnan Kolonel Untung di
Kodam Diponegoro.
Ben Anderson
memulai analisisnya dengan mengutarakan karakter "Jawa" dari Divisi
Diponegoro yang Panglima Kodamnya sejak awal sampai 1965 berasal dari
"Yogya-Banyumas-Kedu". Sulit dibayangkan seorang Batak atau Minahasa
menjadi Panglima Kodam Diponegoro, seperti yang terjadi pada Kodam Siliwangi.
Kodam Diponegoro berada pada wilayah yang sangat padat penduduk, pangan tidak
seimbang, serta berpaham komunisme dan sentimen anti-aristokrat cukup kuat.
Ketidakpuasan muncul di kalangan perwira Diponegoro, seperti Kolonel Suherman,
Kolonel Marjono, dan Letnan Kolonel Usman Sastrodibroto (dan di Jakarta
terdapat Kolonel Latief dan Letnan Kolonel Untung) terhadap para perwira tinggi
yang dinilai hidup mewah di tengah kemiskinan rakyat, termasuk tentara.
Stroke
ringan yang dialami Presiden Soekarno (4 Agustus 1965), beredarnya dokumen
Gilchrist dan isu Dewan Jenderal akan melakukan kudeta (5 Oktober 1965)
menambah panas suasana politik. Sebagai komandan batalion militer dalam pasukan
yang tugasnya mengamankan presiden, Untung "terpanggil" untuk
menyelamatkan presiden dari ancaman para jenderal tersebut dengan
"mendului" mereka melalui Gerakan 30 September.
Walaupun
namanya tertulis sebagai komandan gerakan tersebut, kenyataan di lapangan
memperlihatkan bahwa Untung bukanlah pemimpin utama aksi ini, karena berbagai
hal ditentukan oleh Sjam Kamaruzzaman dari Biro Chusus PKI. Ketika banyak
persiapan (tank, senjata, logistik, dan personel) masih kacau, Untung tidak
mengambil keputusan menunda aksi ini. Mereka lebih mendengar Sjam, yang
berujar, "Kalau mau revolusi ketika masih muda, jangan tunggu sampai
tua," dan "Ketika awal revolusi banyak yang takut, tetapi ketika
revolusi berhasil semua ikut."
Gerakan 30
September yang dilakukan secara ceroboh itu rontok dalam hitungan hari. Dokumen
Supardjo dianggap cukup sahih memperlihatkan bahwa
kelemahan utama Gerakan 30 September adalah tidak adanya satu komando. Terdapat
dua kelompok pimpinan, yakni kalangan militer (Untung, Latief, dan Sudjono) dan
pihak Biro Chusus PKI (Sjam, Pono, dan Bono). Sjam memegang peran sentral
karena ia berada dalam posisi penghubung di antara kedua pihak ini. Namun,
ketika upaya ini tidak mendapat dukungan dari Presiden Soekarno, bahkan diminta
agar dihentikan, kebingungan terjadi. Kedua kelompok itu terpecah. Kalangan
militer ingin mematuhi, sedangkan Biro Chusus melanjutkan.
Ini dapat
menjelaskan mengapa antara pengumuman pertama dan kedua serta ketiga terdapat
selang waktu sampai lima jam. Sesuatu yang dalam upaya kudeta merupakan kesalahan
besar. Pada pagi hari, mereka mengumumkan bahwa presiden dalam keadaan selamat.
Sedangkan pengumuman berikutnya pada siang hari sudah berubah drastis
(pembentukan Dewan Revolusi dan pembubaran kabinet). Jadi, dalam tempo lima
jam, operasi "penyelamatan Presiden Soekarno" berubah 180 derajat
menjadi "percobaan makar melalui radio".
Uraian di
atas sekali lagi memperlihatkan bahwa Untung bukanlah komandan Gerakan 30
September yang sesungguhnya. Ia bisa diatur oleh Sjam Kamaruzzaman. Untung
dieksekusi pada 1969. Sebelumnya, di penjara Cimahi, ia menuturkan kepada Heru
Atmodjo (Letnan Kolonel Udara Heru Atmodjo pada 1965 menjabat Asisten Direktur
Intelijen AURI) bahwa ia tidak percaya akan ditembak mati karena hubungan
baiknya dengan Jenderal Soeharto. Namun, Untung memang tidak beruntung.
No comments:
Post a Comment