Bagian Kedua
“Keikutsertaan
sebagai pembantai bahkan kerapkali dianggap semacam tugas suci oleh beberapa
anak muda belasan tahun.
“Seorang teman sekolah
saya di SMA, kerap bercerita, mengenai pengalamannya beroperasi pada malam
sebelumnya‟, kata Sjahrul. Kelakuan para remaja yang terbawa arus melakukan
pembantaian tampak berangsur-angsur menjadi tidak wajar”.
Setelah
Peristiwa 30 September terjadi, 2 Oktober dinihari, setengah jam sebelum Halim
Perdanakusumah diduduki Pasukan RPKAD, Aidit yang ditinggalkan dalam negosiasi
kekuasaan oleh Soekarno, berangkat ke Yogya dengan C47 milik AURI. Pimpinan PKI yang tersudut dalam
percaturan 1 Oktober itu, agaknya memutuskan untuk melanjutkan kegiatannya di
wilayah Jawa Tengah yang dianggap salah satu wilayah basis PKI. Bertepatan
dengan kehadiran Aidit di Jawa Tengah, 2 Oktober, Komandan Korem 72/Yogyakarta
Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugijono diculik lalu dibunuh.
Adanya
penculikan dan pembunuhan ini menunjukkan bahwa selain Jakarta, situasi Jawa
Tengah dan Yogyakarta juga cukup krusial. Faktanya memang, bahwa di Jawa Tengah
ini PKI lebih bersikap agresif, karena memang cukup kuat. PKI di wilayah itu
yang dominan dalam opini dan kegiatan politik yang aktif selama periode Nasakom
dan hanya diimbangi oleh PNI setelah Peristiwa 30 September merasa dihadapkan
kepada suatu situasi dengan pilihan lebih dulu membantai atau dibantai. Dan
karena itu, pada sisi sebaliknya pada kelompok non-komunis juga berlaku pilihan
serupa.
Dalam
laporan Tim Peneliti Gajah Mada dan Arthur Dommen, terlihat bahwa sejak awal
Oktober PKI di Boyolali dan Klaten memilih untuk mendahului bertindak. Mereka
melakukan pembantaian besar-besaran dalam skala ratusan korban, yang mengakibatkan
pula ratusan tokoh PNI dan NU serta massa mereka yang mencapai belasan ribu
orang melarikan diri. Dapat dikatakan suasana dibantai atau membantai ini
berlangsung sepanjang Oktober bahkan sampai Nopember, dengan korban cukup
banyak pada kedua belah pihak. Menurut laporan penelitian itu, massa PKI juga
sempat melakukan kup atas camat Manisrenggo dan merebut senjata yang ada di
kantor kecamatan.
Di bagian
lain wilayah Jawa Tengah, ketika orang-orang PKI menculik dan menawan banyak
tokoh-tokoh PNI dan anggota organisasi non-komunis lainnya, maka terjadi pula
upaya membebaskan dengan menyerbu desa-desa basis PKI, dengan meminta bantuan
tentara. Karena adanya suasana balas membalas itu, maka angka korban yang jatuh
juga tinggi. Belum lagi bahwa di tengah suasana saling mencurigai antar desa
dan antar penduduk dalam satu desa, kerapkali terjadi salah bantai, dan tak
kurang pula ekses berupa pemanfaatan situasi balas dendam lama di antara
penduduk untuk soal lain sebelumnya yang sama sekali tak ada kaitannya dengan
masalah ideologi dan politik.
Tercatat
pula keterlibatan anggota-anggota KKO-AL (Korps Komando Angkatan Laut) sebagai
perorangan dalam berbagai peristiwa di Jawa Tengah ini. Keterlibatan ini,
seperti yang pernah dituturkan seorang perwira KKO, Letnan Kolonel J. Soejoe
yang pernah menjadi Pjs Panglima Pasukan Komando Armada I di Surabaya, adalah
karena faktor emosional semata akibat jatuhnya anggota keluarga mereka sebagai
korban dalam gelombang mass murder yang terjadi. Kebetulan bahwa keluarga
mereka yang dibantai secara membabi-buta itu adalah dengan tuduhan terlibat PKI
meskipun sebenarnya terselip pula kejadian sebaliknya, menjadi korban
pembunuhan oleh orang-orang PKI maka keterlibatan anggota-anggota KKO ini
sempat menjelma menjadi suatu isu nasional.
Sementara
itu, anggota-anggota KKO yang keluarganya belum menjadi korban, namun terancam
oleh tuduhan terkait PKI, terlibat dalam upaya-upaya membela dan melindungi
keluarga mereka itu dan kerapkali dengan bantuan teman-teman satu korps sebagai
tanda solidaritas, tanpa pertimbangan politis apapun sebenarnya. Saat melakukan
upaya perlindungan itulah para anggota KKO ini banyak terlibat bentrokan dengan
satuan-satuan Angkatan Darat, terutama dengan pasukan RPKAD yang bertugas
melakukan penyisiran terhadap PKI di Jawa Tengah. Hal serupa sebenarnya terjadi
pula di Jawa Timur.
Dan dalam
suatu koinsidensi pada masa berikutnya, Panglima KKO Mayor Jenderal (kemudian
Letnan Jenderal) Hartono kebetulan juga banyak tampil dengan
pernyataan-pernyataan yang dianggap sebagai pembelaan terhadap Soekarno,
sehingga isu berkembang menjadi lebih jauh lagi dengan konotasi bertentangan
dengan Angkatan Darat pasca 30 September.
Letnan
Jenderal Hartono dikenal pula sebagai pengecam terhadap penampilan Angkatan Darat
yang dianggapnya terlalu berpolitik. Salah satu yang dicela Hartono mengenai
Angkatan Darat, adalah sikap pembangkangan dan politik-politikan sejumlah
jenderal terhadap Presiden Soekarno. Dulu saya memang tidak setuju Soekarno
diturunkan kalau tidak melalui cara hukum dan konstitusi. Kita adalah tentara,
dengan disiplin. Siapa pun pimpinan yang sah, kita bela.
Sikap yang
mencela terlalu berpolitiknya para perwira Angkatan Darat ini, termasuk dalam
menghadapi Soekarno, menurut Laksamana Laut Mursalin Daeng Mamangung, cukup
merata di kalangan perwira tinggi Angkatan Laut, bukan hanya Letjen Hartono.
Nasib Letnan Jenderal Hartono sendiri, menjadi tragis di kemudian hari. Setelah
Soeharto menjadi Presiden, untuk beberapa bulan Hartono tetap dibiarkan menjadi Panglima KKO.
Setelah itu, ia diangkat menjadi Duta Besar RI di Pyongyang, Korea Utara.
Suatu waktu
ketika sedang berada di Jakarta, ia kedatangan seorang tamu bersamaan dengan
turunnya hujan deras. Tamu itu diterimanya di salah satu ruangan. Tak ada
sesuatu yang bisa didengar oleh beberapa anggota keluarganya yang ada di rumah
dalam suasana hujan yang deras. Beberapa saat kemudian ia ditemukan tewas
karena luka tembakan dengan sebuah pistol di dekatnya. Hartono kemudian
disimpulkan secara resmi tewas karena bunuh diri.
Laksamana
Madya Laut Mursalin Daeng Mamangung, sebagai perwira tinggi AL waktu itu sempat
datang menengok ke kediaman Hartono dan bertemu dengan beberapa anggota
keluarga. Menurut Mursalin, tak mungkin Hartono bunuh diri, mengingat karakternya
yang keras dan tegas. Apalagi, peluru yang menewaskannya datang dari arah
belakang atas kepala tembus ke leher. Suatu cara bunuh diri yang terlalu aneh
dan musykil. Jelas Hartono dibunuh dengan sengaja. Dan ini mau tidak mau harus
dikaitkan dengan sikap kerasnya pada tahun-tahun sebelumnya kepada Angkatan
Darat di bawah Jenderal Soeharto. Secara resmi, kasus kematian Letnan Jenderal
Soeharto, masuk dalam daftar X kasus-kasus yang tak terungkapkan.
Ketika
gelombang pembalasan dari kelompok non-komunis makin meningkat dan makin banyak
pula campur tangan tentara, maka pada akhirnya jumlah korban yang jatuh di
kalangan kelompok komunis juga semakin lebih banyak, dan memasuki skala mass
murder. Angka moderat korban yang jatuh di Jawa Tengah adalah dalam skala
puluhan ribu, tetapi mengingat panjangnya masa pertikaian, ada perkiraan bahwa
korban mencapai angka dua ratus ribuan khusus untuk Jawa Tengah dan Yogyakarta
saja.
Keadaan yang
agak kurang imbang terjadi di Jawa Timur. Kecuali di beberapa daerah di mana
massa PKI mendahului bersikap agresif dan melakukan pembantaian, pada umumnya
mereka lah yang lebih banyak mengalami pembantaian. Di Banyuwangi, massa PKI
mendahului melakukan penculikan dan pembunuhan, tetapi sebaliknya di sekitar
Malang mereka lah yang menjadi sasaran. Terjadi pula suatu keadaan khusus di
suatu daerah yang pendukung PKI nya lebih dominan.
Sejumlah
anggota Pemuda Marhaenis dan anggota Banser dipaksa menjadi tameng luar untuk
pertahanan desa mereka dengan pengawasan Pemuda Rakyat. Suatu ketika, ada
serangan pembalasan atas desa tersebut, dan dua orang anggota Banser tertawan,
lalu diadili. Seorang anggota Banser dari pihak yang menawan, dengan sikap darah
dingin menebas leher salah satu dari tawanan itu. Temannya yang lain dengan menangis-nangis
memberitahukan bahwa mereka sebenarnya adalah anggota Banser yang dijadikan
tameng. Setelah dilakukan pengecekan, memang ternyata kedua tawanan itu adalah
anggota Banser, tetapi bagaimana pun juga kepala yang telah terpancung itu tak
dapat direkatkan lagi.
Seorang
siswa SMA, putera seorang penegak hukum yang bertugas di Malang, Sjahrul yang
kemudian menjadi aktivis mahasiswa dari ITB di Bandung sejak tahun 1967
mengisahkan betapa di pagi hari merupakan pemandangan biasa bila ada kepala manusia
hasil pembantaian tergantung di pagar kantor ayahandanya. Keikutsertaan sebagai
pembantai bahkan kerapkali dianggap semacam tugas suci oleh beberapa anak muda
belasan tahun. Seorang teman sekolah saya di SMA, kerap bercerita, mengenai
pengalamannya beroperasi pada malam sebelumnya. Kelakuan para remaja yang
terbawa arus melakukan pembantaian tampak berangsur-angsur menjadi tidak wajar.
Seringkali ada pengakuan dan dugaan bahwa pembunuhan sesama manusia itu
dilakukan karena diperintah, oleh tentara misalnya, tetapi menurut Sjahrul
cukup banyak yang melakukannya semata-mata karena terbawa arus saja dan
akhirnya terbiasa melakukan tanpa disuruh.
Membunuh
itu, bisa mencandu, menimbulkan ekstase. Apalagi bila para korban tak berdaya
meratap memohon, itu akan merangsang para eksekutor untuk lebih menikmati
keperkasaan kekuasaannya. Pada beberapa kalangan massa organisasi Islam di
sana, pembasmian anggota PKI yang dianggap anti Tuhan, bahkan diyakini sebagai
bagian tugas membela agama. Di Jawa Timur, seringkali dikisahkan bahwa pada
masa itu, setiap hari Kali Brantas penuh dengan tubuh hanyut manusia yang telah
diberantas. Kasat mata dan menurut perkiraan, jumlah korban yang jatuh di Jawa
Timur jumlahnya melebihi jumlah korban peristiwa-peristiwa di Jawa Tengah.
Kisah
pembantaian di Bali dan mayat di Sungai Ular. Seperti halnya di Jawa Tengah dan
Jawa Timur, di Bali orang-orang PKI juga mengakumulasikan sejumlah tindakan
yang menimbulkan keirihatian dan dendam sejak sebelum Peristiwa 30 September
1965. Pusat Studi Pedesaan Universitas Gadjah Mada, mencatat terjadi sejumlah
aksi kekerasan yang dilakukan anggota-anggota PKI di pedesaan-pedesaan Bali
sejak Januari 1965. Di Buleleng tercatat beberapa aksi sepihak, seperti
misalnya yang dilakukan Wayan Wanci dan kawan-kawannya dari BTI.
Ia menyewa
tanah dari Pan Tablen, dan suatu ketika sewa menyewa itu dihentikan. 250 massa
BTI lalu menduduki kembali tanah itu, pada 8 Januari 1965, disertai aksi
penghancuran rumah Pan Tablen. Aksi sepihak lainnya terjadi 14 Januari, antara
seorang menantu yang anggota BTI dengan mertuanya. Ketika mertua meminta
kembali tanah yang dipinjamkan, sang menantu dan kawan-kawannya dari BTI
melakukan pengrusakan atas tanaman jagung di atas tanah tersebut, lalu
menduduki dan menggarap sawah itu.
Aksi-aksi
sepihak yang serupa terjadi berkali-kali, dan biasanya BTI berhadapan dengan
para pemilik yang kebetulan anggota PNI. Dalam salah satu insiden soal tanah, 4
Maret 1965, beberapa anggota PKI menyerang beberapa anggota PNI dengan parang
dan senjata tajam lainnya. Tetapi suatu serangan pembalasan tidak segera
terjadi setelah Peristiwa 30 September, kendati arus pembalasan yang terjadi di
Jawa Tengah dan Jawa Timur telah masuk beritanya ke Bali. Setidaknya sepanjang
bulan Oktober 1965 tak terjadi apa-apa di Bali. Tapi pada bulan berikutnya
mulai muncul hasutan, terutama dari tokoh-tokoh PNI yang memiliki dendam,
seperti dituturkan Soe Hok-gie dalam tulisannya, ‘Pembantaian di Bali.
Tekanan
utama masalahnya saat itu memang bukanlah kepada soal-soal ideologis, meskipun
perbedaan ideologis adalah satu faktor, melainkan kepada rivalitas pengaruh dan
kepentingan manusiawi yang sudah laten antara pengikut-pengikut PKI dan PNI
seperti digambarkan AA Oka Mahendra. PNI secara turun temurun dominan di Bali.
Golongan bangsawan dan pemuka masyarakat umumnya adalah pendukung PNI, sehingga
dengan pengaruh mereka PNI memiliki massa pengikut yang besar jumlahnya di
Bali. Tetapi PKI di Bali sementara itu berhasil memasuki celah-celah
kesenjangan dalam kehidupan sosial, terutama dalam mendekati rakyat pedesaan
Bali yang menjadi petani dengan kepemilikan tanah yang kecil atau samasekali
tidak memiliki tanah.
Sebenarnya
selama puluhan tahun ada harmoni antara kaum bangsawan pemilik tanah dengan
para petani, melalui semacam sistim bagi hasil yang adil. Selain itu, setiap
kali ada perselisihan, mekanisme adat dan peranan kaum agamawan senantiasa
berhasil menjadi media penyelesaian. Akan tetapi kehadiran yang lebih menonjol
dan perubahan perilaku politik PKI pada tahun-tahun terakhir menjelang
Peristiwa 30 September, telah menghadirkan sejumlah perubahan. Beberapa petani
menunjukkan sikap yang lebih agresif.
Bagi anda yang berminat dengan permainan
kartu online berbayar yang dapat dipercaya, silahkan klik link situs kami di judi
bola online dan daftar menjadi member kami sekarang juga, maka
anda akan mendapatkan fasilitas dan bonus. Layanan kami ini di dukung dengan
fasilitas chat yang selalu siap melayani dan menemani anda selama 24 jam penuh.
No comments:
Post a Comment