ENAM hari
setelah 30 September 1965, kesibukan melanda sejumlah pemimpin Biro
Chusus-badan rahasia
Partai Komunis Indonesia. Berkumpul di rumah Waluyo,
seorang aktivis PKI, di Gang Listrik, Jakarta Pusat, pemimpin gerakan, Sjam
Kamaruzaman, angkat bicara. "Sekarang tugas kita menyelamatkan diri. Saya
akan ke Bandung. Pono pergi ke Jawa Tengah. Hamim dan Wandi berada di Jakarta
untuk menghimpun partai."
Hamim, 83
tahun, satu dari lima pengurus Biro, bercerita kepada Tempo. Ketika itu, Sjam
menyatakan Biro Chusus dibubarkan. "Sjam pamitan kepada saya. Sejak saat
itu, saya putus hubungan dengan Sjam, sampai kemudian bertemu lagi di penjara
Cipinang."
Menurut
pengakuan Sjam dalam berita acara pemeriksaan Tim Pemeriksa Pusat, keputusannya
kabur ke Bandung diambil bukan atas perintah Ketua PKI D.N. Aidit.
"Pimpinan partai tidak sempat memberikan instruksi," katanya.
Tiga hari
sebelumnya, sejumlah pengurus Biro Chusus memang berkumpul di rumah Sudisman,
Sekretaris Jenderal PKI. Di sana Sjam ditanya mengapa G30S gagal. Ia
menjelaskan soal Batalion 530 dan 454 yang semula diandalkan PKI tapi
belakangan malah mundur dan bergabung dengan Komando Cadangan Strategis
Angkatan Darat (Kostrad). Sudisman mengeluarkan perintah: segera selamatkan
diri dan selamatkan partai.
Sejak itu,
dimulailah masa pelarian Sjam. Sehari sebelum berangkat ke Bandung, 8 Oktober
1965, Sjam dibawa Mustajab, anggota staf Biro Chusus dari Sumatera Utara, ke Kebayoran
Baru, Jakarta Selatan. Di rumah siapa? "Saya tidak tahu. Pengaturan
pemberangkatan dari Jakarta maupun penerimaannya di Bandung saya serahkan
sepenuhnya kepada Mustajab," ujar Sjam kepada penyidik.
Di rumah
itu, pada pukul tiga sore, Sjam masuk kamar dan tidak keluar sama sekali. Sjam
meminta Mustajab mempersiapkan taksi untuk berangkat ke Bandung. "Lalu
kami berencana bertemu lagi di Cisarua," kata Sjam.
Keesokan
harinya, pukul sembilan pagi, taksi telah siap di Kebayoran Baru. "Di
dalam taksi ada sopir dan seorang lagi. Dua-duanya saya tidak kenal dan juga
tidak memberikan nama, hanya bersalaman." Di sepanjang jalan, yang ada
hanya sepi, tak ada pembicaraan apa pun. "Saya sendiri juga tidak merasa
safe, karena terpaksa, ya, ditempuh juga," demikian tertulis dalam berita
acara pemeriksaan Sjam.
Sesampai di
Cisarua, dekat sanatorium, oleh pengantar itu Sjam dibawa ke sebuah rumah, tak
jauh dari jalan besar. "Saya disuruh menunggu sampai Mustajab
datang," katanya. Sekitar pukul setengah empat sore, Mustajab tiba, lalu
pengantar itu pun kembali ke Jakarta.
Menginap
semalam di Cisarua, paginya pukul sepuluh Sjam berangkat bersama Mustajab
dengan kendaraan yang lain menuju Bandung. "Di perjalanan tak ada gangguan
apa-apa," kata Sjam. Sekitar 10 kilometer menjelang Bandung-antara
Padalarang dan Cimahi-kendaraan berhenti. Sjam lalu dioper ke anggota staf Biro
Chusus Daerah Jawa Barat bernama Tati. "Bersama Tati saya menuju Bandung
dan Mustajab kembali ke Jakarta."
Sampai di
Bandung pukul 14.00, Tati langsung mengantar Sjam ke rumah seseorang bernama
Jaja. Dua hari kemudian, Tati menjemput Sjam dan membawanya ke Cipedes,
Bandung, ke sebuah kamar sewaan. "Di sini saya tinggal selama dua setengah
bulan, sampai akhir Desember 1965," ujar Sjam.
Di Cipedes,
Sjam bertemu dengan Haryana, Kepala Biro Chusus Daerah Jawa Barat. Menurut
Hamim, Haryana adalah keturunan Tionghoa yang pernah menjadi Ketua Sarekat
Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Sarbupri) di Subang.
Awal Januari
1966, Sjam pindah ke daerah Cibabat, antara Bandung dan Cimahi, di rumah
anggota Polisi Militer bernama Idris. Sepekan di sana, ia mengungsi lagi ke
rumah Jaja. "Di rumah Jaja, saya tinggal enam bulan," katanya. Di
rumah ini, pada Juni 1966, Sjam kembali bertemu dengan Haryana. Keduanya
membicarakan situasi di Bandung dan masalah keamanan Sjam yang "semakin
sempit karena terus ada razia tentara".
Bekal uang
Sjam juga makin tipis. "Dari Jakarta, saya bawa uang sejuta rupiah, yang
saya ambil dari uang sisa usaha Biro Chusus." Dalam perhitungan Sjam, uang
itu bisa dipakai selama lima bulan dalam pelarian. Betul saja, setelah itu,
kantongnya kempis dan Sjam terpaksa melego arloji dan barang-barang lain yang
ia miliki. Dalam pelarian, keuangan Sjam juga dibantu Biro Chusus daerah.
Akhir Juli
1966, Sjam pindah ke rumah Suparman, seorang tentara berpangkat letnan dua, di
Cimahi. "Saya tinggal hingga September," kata Sjam.
Selama di
Bandung, Sjam mengaku tak bisa berhubungan dengan pemimpin PKI di Jakarta.
Mula-mula ia memang memanfaatkan Mustajab sebagai penghubung. Namun, sejak Juli
1966, hubungan itu terputus. Sjam lalu menunjuk seseorang bernama Edy Suyono
untuk mencari kontak dengan pemimpin partai di Jakarta. Tapi usaha itu gagal.
Oktober
1966, Sjam pindah ke rumah seseorang bernama Idi di Jalan Taman Sari, tak jauh
dari kampus Institut Teknologi Bandung. Sebulan kemudian, dia menginap di Hotel
Bali, hingga akhir Desember.
Ketika di
Hotel Bali, November 1966 itu, Sjam bertemu lagi dengan Haryana. Sambil
berjalan mengelilingi lapangan Lodaya, keduanya membahas situasi organisasi.
"Saya sarankan supaya dibentuk grup-grup. Anggotanya 3, 5, atau 6 orang
untuk tiap grup dengan satu koordinator," ujar Sjam. Kepada penyidik, Sjam
mengaku memberikan "nasihat" tentang teori-teori dan cara membangun
kembali PKI.
Awal 1967,
setidaknya dua kali Sjam pindah rumah. Terakhir ia menginap di rumah seorang
pengurus PKI di daerah Padasuka. Di sini, Sjam kembali bertemu dengan Haryana.
"Saat itu Haryana sakit. Fisiknya lemah."
Pada 6 Maret
1966, Sjam mendapat kabar bahwa seseorang bernama Jojo, yang mengetahui
persembunyiannya di Padasuka, ditangkap aparat. Tak menunggu lama, Sjam segera
lari ke rumah Suparman di Jalan Simpang Nomor 15, Cimahi, diantar simpatisan
PKI bernama Santa Lusina. "Perpindahan dari Padasuka ke Cimahi atas
inisiatif saya sendiri. Tanpa persiapan apa-apa. Mendadak," kata Sjam.
Di rumah
Suparman, perasaan Sjam sudah tak enak. Sjam berencana hanya dua hari di sana.
Tapi, pada hari yang disepakati, Santa Lusina yang berjanji akan mengantar
malah tidak datang.
Masa
pelarian Sjam memang tak panjang. Pukul satu malam 9 Maret 1967, ketika
terlelap, ia ditangkap dalam Operasi Kodam Siliwangi dengan nama sandi Kalong.
Saat pulang dari Padasuka, Santa disergap. "Dia menunjukkan tempat saya
menginap," kata Sjam dalam kesaksiannya.
No comments:
Post a Comment