Ia duduk di kursi saksi di
pengadilan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) yang mengadili
Sekretaris
Jenderal Partai Komunis Indonesia Sudisman, Juli 1967. Itulah untuk pertama
kali ia, Sjam Kamaruzaman, muncul di depan publik. Sebelum Gerakan 30 September
terjadi, Sjam lebih dikenal sebagai pengusaha, komisaris PT Suseno, perusahaan
penjual genting di Pintu Air, Jakarta Pusat.
Setelah G30S
gagal, selama satu setengah tahun ia bergerak di bawah tanah sebelum akhirnya
ditangkap pada sebuah malam, Maret 1967, di Cimahi, Jawa Barat. Tak seorang pun
di antara pengunjung yang hadir di pengadilan Sudisman pernah melihat Sjam
sebelumnya. Hari itu ia seperti pesulap-datang tiba-tiba, entah dari mana.
Di
pengadilan Sudisman, sudah beredar kabar bahwa seorang bernama Sjam memainkan
peranan kunci dalam G30S. Pembela dan saksi-saksi dalam sidang Mahmilub
sebelumnya telah pula menyebut bahwa Sjam adalah seorang sipil, bagian dari
kelompok inti G30S yang bertemu di Halim, 1 Oktober 1965. Namun banyak yang
berasumsi bahwa "Sjam" adalah nama samaran dari petinggi PKI yang
sudah dikenal luas. Soalnya, tak seorang pun petinggi PKI bernama Sjam. Tapi
hari itu di ruang pengadilan ia muncul dan mengaku sebagai Sjam yang asli dan
satu-satunya.
Para
pengamat di pengadilan bertanya-tanya kesaksian apa yang akan diberikan Sjam.
Akankah ia tutup mulut dan tetap misterius? Atau akankah ia menjelaskan
perannya dalam G30S dan menerangkan hubungannya dengan PKI? Akankah ia
menjelaskan hubungannya sebagai warga sipil dengan militer dalam merencanakan
G30S?
Kesaksiannya
sungguh mengejutkan. Ia mengaku ketua badan rahasia di dalam PKI yang bernama
Biro Chusus dan bekerja di bawah komando Ketua PKI, D.N. Aidit. Sjam menekankan
bahwa Biro Chusus adalah "aparat ketua partai" dan sama sekali tak
punya hubungan dengan Politbiro atau Comite Central PKI. Sebelum kesaksian Sjam
itu tak seorang pun pernah mendengar soal Biro Chusus. Dalam propaganda militer
sebelum Juli 1967, juga dalam koran dan sejumlah pernyataan di pengadilan G30S,
saya tak pernah menemukan nama Biro Chusus disebut-sebut.
Sjam bicara
panjang-lebar ketika hakim ketua memintanya menjelaskan tugas Biro Chusus. Ia
menjelaskan bagaimana Biro Chusus berhubungan dengan aparat militer. Juga soal
bagaimana ia mendapat informasi tentang perwira mana yang pro dan anti-PKI,
meminta bantuan tentara dan membujuk sejumlah perwira untuk mendukung PKI.
Perusahaan genting yang ia pimpin hanyalah alat untuk mencari uang buat Biro
Chusus dan sarana untuk menyamarkan hubungannya dengan perwira-perwira militer.
Sjam juga
mengklaim bahwa dialah orang yang mengorganisasi G30S, bukan Letnan Kolonel
Untung. Dia menyatakan bahwa dia diperintah oleh Aidit-satu-satunya orang di
dalam PKI yang berhubungan dengan dia-untuk mengantisipasi kup oleh Dewan
Jenderal dengan memobilisasi perwira militer yang progresif dan pro-Soekarno.
Menjelaskan kepemimpinannya ia berkata, "Saya pegang pimpinan politiknya
dan Saudara Untung pegang pimpinan militernya, tetapi pimpinan militer ini di
bawah pimpinan politik." Katanya lagi, "Saya sebagai pimpinan
bertanggung jawab atas segala kejadian yang ada."
Beberapa
pengamat di ruang sidang ragu atas kesaksian ini. Jika Sjam berada pada posisi
yang begitu tinggi dan sensitif di dalam partai, ditunjuk dan dipercaya Aidit
untuk memimpin operasi rahasia melawan militer, mengapa ia begitu saja membuka
rahasia PKI? Untuk menjadi anggota PKI seseorang harus disumpah untuk menyimpan
rahasia partai. Dengan posisinya itu, Sjam mestinya menghormati aturan itu
lebih dari orang lain.
Jika ia
adalah sosok penting dan rahasia dalam partai, mengapa ia tak bicara seperti
Sudisman yang mengutuk diktator militer Soeharto seraya memuji-muji PKI?
Kesaksian Sjam tidak mengindikasikan bahwa dia adalah pendukung partai yang
loyal namun menyesali, seperti yang dilakukan Sudisman, bahwa G30S telah
memberikan alasan bagi tentara untuk menghancurkan PKI. Tak sekalipun ia pernah
menggunakan forum pengadilan untuk meminta maaf karena tindakannya telah
memberikan dampak yang mengerikan pada anggota partai yang lain.
Pengamat
yang skeptis seperti Benedict Anderson, yang hadir dalam persidangan Sudisman,
curiga bahwa Sjam adalah agen tentara yang menyusup ke dalam PKI. Soalnya,
kesaksian Sjam telah membenarkan sebagian dari propaganda tentara perihal
kepemimpinan PKI dalam G30S. Sarjana Belanda W.F. Wertheim mencatat bahwa dalam
berbagai pengadilan selama bertahun-tahun kemudian Sjam terus memberikan
kesaksian yang memberatkan orang lain. Banyak tahanan politik yang percaya
bahwa Sjam adalah intel tentara dan bukan anggota PKI.
Pada
masa-masa awal penelitian saya tentang G30S, saya menganggap kesaksian Sjam tak
bisa diandalkan karena hanya sedikit sumber yang membenarkan kesaksian
tersebut. Tapi, belakangan, ketika saya bertemu dengan kalangan internal PKI
yang bisa dipercaya, saya menyadari bahwa banyak klaim dalam kesaksian Sjam
yang ternyata benar. Misalnya bahwa Biro Chusus benar-benar ada, beroperasi di
bawah pengawasan Aidit secara pribadi (bukan di bawah Politbiro atau Comite
Central), bahwa Sjam adalah ketua biro itu dan ia adalah pengorganisasi utama
G30S.
Kesaksian
Sjam yang tak akurat menurut saya adalah tentang peran Aidit dalam melaksanakan
G30S. Sjam ingin menunjukkan bahwa ia hanya pelaksana Aidit. Ia tak ingin orang
lain di PKI berpikir bahwa ia adalah elemen independen dalam partai. Walaupun
mengaku bertanggung jawab penuh atas G30S, ia juga ingin menimpakan sebagian
kesalahan kepada Aidit.
Yang tidak
digambarkan Sjam adalah perihal seberapa berpengaruh ia pada Aidit dan
keputusan-keputusannya. Kita tahu, pada Agustus-September 1965, Aidit
dihinggapi sejumlah pertanyaan. Di antaranya, benarkah Dewan Jenderal
benar-benar ingin melancarkan kup terhadap Presiden Soekarno. Jika ya, siapa
saja anggota dewan itu. Mungkinkah PKI mendahului aksi Dewan Jenderal? Apakah
perwira pro-PKI dan pro-Soekarno cukup punya pasukan untuk melancarkan aksi
melawan para jenderal antikomunis itu? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu
Aidit mengandalkan informasi dari Sjam.
Aidit telah
menunjuk Sjam sebagai ketua Biro Chusus dan ia mempercayai Sjam untuk menyuplai
informasi tentang apa saja yang terjadi dengan perwira-perwira militer. Dari
sejumlah sumber kita mengetahui bahwa Sjam kelewat yakin dan arogan dalam
menyiapkan G30S. Saya mengira Sjam telah meyakinkan Aidit bahwa Dewan Jenderal
itu ada, dia tahu siapa saja anggota dewan itu, dan dari sejumlah sumbernya dia
yakin bahwa ada perwira militer yang mampu mendahului aksi Dewan Jenderal.
Aidit tak akan membiarkan Sjam melaksanakan G30S jika ia tak percaya Sjam akan
berhasil.
Sementara
itu, Sjam telah membujuk sejumlah perwira (Latief, Untung, dan Sujono) untuk
bergabung dalam G30S. Sjam juga meyakinkan mereka bahwa PKI sepenuhnya berada
di belakang G30S. PKI tak akan membiarkan aksi mereka gagal. Sjam, sebagai
mediator antara Aidit dan perwira militer, telah "membodohi" kedua
pihak untuk berpikir bahwa ada pihak lain yang bakal ambil peranan dalam G30S.
Penjelasan
Sjam tentang organisasi G30S tidaklah sama dengan versi yang dikemukakan rezim
Soeharto. Sjam hanya melibatkan Aidit dan Biro Chusus. Ia tidak melibatkan
Politbiro, Comite Central, dan partai secara keseluruhan. G30S bukanlah
revolusi sosial oleh PKI dalam arti luas. G30S hanyalah aksi kecil, terbatas,
klandestin yang sebelumnya tidak diketahui oleh anggota dan kebanyakan pimpinan
PKI. Soeharto dan kelompoknya membesar-besarkan G30S agar ia punya alasan untuk
melaksanakan rencananya sendiri, yakni menghancurkan PKI dan menyingkirkan
Presiden Soekarno. Tapi itu cerita lain lagi.
Dalam
kesaksiannya di pengadilan, Sjam menyebutkan Polisi Militer telah merampas buku
catatan yang ia tulis pada saat menyiapkan G30S. Dalam berita acara pemeriksaan
(Agustus 1967) secara garis besar ia telah menyampaikan isi catatan tersebut.
Buku ini adalah dokumen utama dan terpenting tentang G30S yang tak pernah
dibuka kepada publik. Mengapa buku itu tetap dirahasiakan? Masihkah Polisi
Militer menyimpannya? Masyarakat Indonesia berhak melihat buku catatan yang
bersejarah itu.
Jungkir-Balik
Setelah Prahara
SJAM
Kamaruzaman tidur tengkurap di rumahnya, 43 tahun silam itu. Di Jatibuntu,
Jalan Pramuka, Jakarta Pusat, Ketua Biro Chusus Partai Komunis Indonesia itu
seharian menghabiskan waktu di kamar depan. Sorenya, tepat tiga hari setelah
geger politik 30 September 1965, Sjam menghilang. "Bapak pergi tanpa
pamit," kata Maksum, nama aliasputra sulung Sjam, mengenang.
Padahal,
malam sebelumnya, dia baru pulang setelah sepekan meninggalkan rumah. Itulah
awal perpisahan panjang antara lima anak Sjam dan sang ayah. Tak ada lagi
ritual rutin Sjam bersama anaknya melancong ke Sampur, Cilincing, untuk melihat
matahari terbenam. Tak ada lagi kumpul-kumpul keluarga minum susu di Kramat
Raya.
Rumah di
Jatibuntu-sekarang Jalan Pramuka Jati-digerebek Corps Polisi Militer setahun
setelah peristiwa 30 September. Tiga mobil milik keluarga-Nissan, Holden, dan
Mazda-disita. Ibu tiri mereka, yang belum lama dinikahi Sjam, lenyap setelah
kejadian itu. Kehidupan mereka jungkir-balik.
Lima anak
Sjam, bersama Mun Muntarsih-kakak ipar Sjam yang akhirnya mengasuh mereka-hidup
dempet-dempetan karena enam dari delapan kamar di rumah itu ditempati 20-an
tentara dari Kodam Siliwangi. Berbagai cara dilakoni agar bisa menyambung
hidup. Mulai berdagang bumbu dapur di Pasar Genjing hingga menjual gado-gado di
Stasiun Kramat.
Bu
Mun-demikian anak-anak Sjam menyebut Mun Muntarsih-menjual barang-barang milik
Sjam di Pasar Rumput. Misalnya, jas panjang musim dingin yang dibeli di Cina.
Keluarga juga terpaksa menjual lukisan koleksi Sjam.
Rumah dengan
luas tanah 900 meter persegi itu belakangan ditempati tiga polisi militer
beserta keluarganya. Pelan-pelan Maksum dan adik-adiknya menyingkir ke kamar
belakang, hingga akhirnya jadi penghuni garasi. Tak tahan oleh tekanan
psikologis itu, mereka hengkang, menjelang 1970, tak lama setelah Maksum lulus
sekolah menengah pertama.
Sejak itulah
lima bersaudara ini berpencar. Dua adik Maksum, Shinta (saat itu 14 tahun) dan
Laksmi, 5 tahun, diboyong oleh Latifah, adik Sjam, ke Tuban, Jawa Timur. Adapun
Ratna, 12 tahun, anak nomor tiga, diasuh keluarga di Bandung. Maksum dan
Kelana, 9 tahun, hidup luntang-lantung mengembara ke beberapa kota di Jawa.
Oleh
Benyamin, gurunya di SMP 8 Pegangsaan Barat, Maksum diajak ke Pacet, Jawa
Timur. Ia ikut sekolah persiapan dua tahun-setingkat sekolah menengah atas.
Dari sana Maksum masuk pesantren Lirboyo, di Kediri, Jawa Timur. Ia nyantri
pada 1971 hingga 1979. Maksum memberi tahu Latifah soal keberadaannya setelah
empat tahun di Lirboyo.
Lain Maksum,
lain Kelana. Anak keempat Sjam ini mengelana ke Yogyakarta dan Bandung, sebelum
akhirnya balik ke Jakarta. Sekolahnya putus-sambung. Berbekal informasi dari
surat kabar yang mewartakan tahanan politik ditaruh di rumah tahanan militer di
Jalan Budi Utomo, Jakarta Pusat, Kelana memberanikan diri menanyakan keberadaan
ayahnya. Ditanya oleh penjaga, ia mengaku anak Sjam.
Pencariannya
tak sia-sia: ia diizinkan bertemu dengan sang ayah. Momen itu berlangsung pada
1976. Karena dari kecil sudah ditinggal pergi Sjam, Kelana tidak ingat wajah
ayahnya. Ia merasa pertemuan itu tidak begitu mengharukan. Keberadaan Sjam
disampaikan Kelana kepada Maksum.
Kelana sejak
itu rajin menyambangi ayahnya. "Setelah tahu saya anak Sjam, saya mudah
keluar-masuk kamar tahanan," kata Kelana, kini 48 tahun. Sepulang dari
sana, ia selalu diberi uang saku oleh Sjam. Bahkan, atas perintah Sjam, Kelana
mengambil sendiri uang itu dari dalam tas bapaknya. Jumlahnya Rp 30-35 ribu per
bulan.
Dari mana
uang itu? Kelana mengatakan, di dalam tahanan ayahnya menjadi perajin tas.
"Sebulan Bapak bikin tiga-empat koper," katanya. Pekerjaan itu
dilakoninya bertahun-tahun. Uangnya utuh karena tak pernah dibelanjakan. Uang
di dalam tas itu sudah dikelompokkan dalam pecahan ratusan dan ribuan.
"Semuanya uang baru."
Di dalam sel
empat kali empat meter itu, Kelana suka memasak bersama ayahnya. Sel itu ada
dapurnya. Di belakang sel, Sjam menanam bayam. Kelana juga suka tidur siang di
sana. Ayahnya, kata Kelana, juga rajin main badminton. "Raketnya sampai
lima." Meski sering besuk, Kelana merasa Sjam tak begitu terbuka.
"Bapak jarang bicara," katanya.
Setelah
Kelana masuk pusat pendidikan dan latihan balai teknik di Bandung, ia bekerja
di perusahaan pengeboran minyak lepas pantai di Selat Bali dan di Kepulauan
Seribu. Maksum baru balik ke Jakarta pada 1981, setelah dua tahun sebelumnya
bekerja di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta.
Karena ada
lowongan pegawai negeri sipil di Dinas Purbakala, Yogyakarta, ia balik ke
Jakarta mengurus ijazah sekolah dasar dan SMP. Ia berani melamar karena di
ijazahnya nama sang ayah bukan Sjam Kamaruzaman, melainkan Sjamsudin. Di
Jakarta, Maksum kembali bertemu dengan Benyamin, yang pindah profesi menjadi
redaktur di salah satu harian Ibu Kota.
Bekas
gurunya itu mengajak bergabung. Karena kangen kepada ayahnya-saat itu sudah
dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang-Maksum menyambut tawaran itu. Ia
lalu menjadi korektor bahasa.
Setelah
memperoleh kartu tanda penduduk Jakarta, Maksum datang ke Cipinang. Sjam kaget.
Inilah pertemuan pertama setelah 16 tahun berpisah. "Tapi saya tak
menangis, karena air mata sudah habis," kata Maksum. Sejak itu Maksum
datang ke ruang besuk Cipinang dua bulan sekali, biasanya Sabtu pagi.
Berbeda
dengan kepada Kelana, kepada Maksum Sjam banyak bicara soal ideologi.
"Mungkin karena tahu saya jebolan pesantren," katanya. Sjam juga suka
minta dibawakan majalah-majalah berbahasa Inggris dan Belanda. Tapi pembicaraan
tak pernah menyinggung peristiwa 1965. Sjam menitikkan air mata ketika Maksum
membawa anaknya ke Cipinang. Ia menggendong cucu pertamanya itu, kemudian
berkelakar, "Kowe kok bisa kawin?" Sebelum menikah, Maksum memang
sudah membawa calon istrinya kepada Sjam. Sang istri sempat syok setelah tahu
siapa calon mertuanya. Tapi, setelah itu ia mau menerima.
Beberapa
bulan sebelum eksekusi, September 1986, Maksum membesuk ayahnya. Sjam
memberinya Al-Quran. Ia juga berpesan agar lima bersaudara itu rukun.
"Kalau adikmu butuh uang, bantu mereka. Tapi jangan dihitung utang,"
Sjam berpesan. Wajahnya terlihat tenang, tak ada beban.
Malam
terakhir menjelang eksekusi, Sjam ditemani Shinta. Anak kedua itu dijemput dari
Tuban oleh dua tentara. Mereka bertemu hanya 30 menit. Malam itu Shinta
menangis sejadi-jadinya. Melihat itu, Sjam berujar, "Kamu kok nangis?
Semua orang nanti akan meninggal juga."
Setelah itu,
Sjam dijemput. Tidak jelas di mana eksekusi berlangsung. Tak pula diketahui di
mana Sjam dimakamkan. Shinta lalu menyampaikan kabar eksekusi itu kepada
keluarga. Tapi keluarga tak pernah berusaha mencari makam Sjam. Keberadaan tas
berisi uang juga tak jelas.
Dari lima
anaknya, hanya Ratna dan Laksmi yang tidak membesuk Sjam. "Bapak tidak
pernah minta mereka datang," kata Maksum. "Paling titip pesan atau
tanya kabar." Ratna hingga kini menetap di Bandung. Suaminya, yang masih
terhitung kerabat jauh, bekerja sebagai pegawai negeri sipil. Mereka dikaruniai
dua anak. Laksmi menetap bersama suami dan anaknya di Tuban. Laksmi dan Shinta
sama-sama lulusan IKIP Bojonegoro.
Tapi tidak
semuanya memulai rumah tangga dengan mulus. Kelana, misalnya, tiga kali diusir
calon mertua setelah mengaku putra Sjam. Gara-gara itu, Kelana menyembunyikan
silsilah keluarga. Ia baru membuka rahasia kepada istrinya setelah anak kedua
lahir, menjelang 1990.
Maksum dan
adiknya juga merahasiakan sosok Sjam kepada anak mereka. Cucu pertama Sjam baru
tahu siapa eyangnya setelah Tempo mendatangi Maksum. Begitu pula di lingkungan
kerja. Anak-anak Sjam kini masih membungkus rapat siapa ayah mereka. Sesuai
dengan permintaan, Maksum, Kelana, Ratna, Shinta, dan Laksmi pun hanya nama
samaran. "Tekanan psikologis prahara politik ini begitu hebat,"
katanya.
Peluk
Terakhir buat Sang Putri
DI sebuah
rumah di Jakarta Timur, lelaki itu bicara setengah memohon. "Coba Bapak
cari informasi tentang Sjam. Saya dengar dia masih hidup di Florida, Amerika
Serikat," katanya. Yang diajak bicara menggeleng. "Menurut saya, dia
sudah mati. Tidak ada alasan bagi pemerintah menyelamatkannya."
Pria pertama
adalah Suryoputra, bukan nama sebenarnya, eks tahanan politik Partai Komunis
Indonesia dan sahabat karib Sjam Kamaruzaman, Ketua Biro Chusus Partai Komunis
Indonesia. Yang kedua adalah John Roosa, sejarawan dari Universitas British
Columbia, Kanada, yang baru saja menerbitkan Dalih Pembunuhan Massal, buku
tentang tragedi G30S.
Anda kangen
kepada dia? Tempo memotong diskusi yang dilakukan menjelang buka puasa Ramadan
lalu. "Tentu saja," kata Suryo. "Kami teman dekat sejak zaman
revolusi."
"Kalau
Sjam masih hidup," Suryo melanjutkan, "saya pasti bisa
mengenalinya." Setidaknya ada tiga tanda Sjam yang masih bisa diingat
Suryo. Pertama, codet di dekat mata kiri. Kedua, bekas luka di paha bagian
belakang karena peluru nyasar saat keduanya berlatih menembak. Ketiga, ini yang
menarik, Sjam takut pada cecak. "Kalau bertemu dia, saya akan bawa cecak.
Jika dia takut, pasti itu Sjam," kata Suryo tertawa. Azan magrib
terdengar, Suryo menyeruput air minumnya.
Suryo bukan
satu-satunya orang yang percaya Sjam masih hidup. Boengkoes, kini 83 tahun,
mantan Komandan Peleton Kompi C Batalion Kawal Kehormatan Cakrabirawa, pasukan
yang menculik enam jenderal Angkatan Darat pada peristiwa G30S, meyakini hal
yang sama. "Saya dengar dia dibuang ke Amerika. Ada juga yang bilang
dikirim ke Arab Saudi. Kabarnya, anaknya pernah bertemu dia di Sumatera,"
katanya.
Soal mengapa
pemerintah menyelamatkan Sjam, sedangkan petinggi PKI lain dieksekusi mati,
Boengkoes berujar pendek, "Ia tokoh penting di partai, punya jaringan kuat
di kalangan militer."
Sjam adalah
bayang-bayang. Kematiannya hingga kini menjadi misteri. Tak ada kuburan penanda
jasadnya. Bahkan keluarganya tak pernah diberi tahu perihal jenazah atau
kuburnya. Yang ada hanya perjamuan terakhir pria asal Tuban, Jawa Timur, itu
dengan putri pertamanya, Shinta (nama yang disamarkan), sehari sebelum ia
kabarnya dieksekusi mati.
KAMIS pagi,
25 September 1986. Dua pria bertubuh tegap mengetuk pintu rumah di Kampung
Kutorejo, Tuban, Jawa Timur. Kepada tuan rumah, Latifah, mereka mengaku sebagai
utusan Komando Daerah Militer V Brawijaya. Tuan rumah adalah adik kandung Sjam.
Shinta ikut
mendampingi bibinya. Ia ingat, kedua tamu mengulurkan selembar surat
"titipan dari Jakarta". Setelah membacanya, Latifah meminta Shinta
bergegas ganti baju. Bersama dua orang yang belakangan diketahui sebagai Oditur
Militer Kodam Brawijaya itu, Shinta naik bus umum menuju Surabaya. Dari Bandar
Udara Juanda, perjalanan dilanjutkan ke Jakarta.
Dua orang
itu, sesuai dengan kartu nama yang hingga kini disimpan keluarga Sjam, adalah
Letnan Kolonel CHK Frans Paul Lontoh dan Letnan Kolonel CHK Soewardi. Di
perjalanan, mereka mengatakan hendak mempertemukan Shinta dengan Sjam. Ia
terakhir menjenguk ayahnya di penjara Cipinang pada 1972, bersama kakak Sjam.
Shinta
mengaku menghadapi pilihan sulit. Sebagai pegawai negeri, bertemu dengan
tahanan politik adalah persoalan baru. Tapi pertemuan dengan sang ayah
merupakan kebahagiaan tersendiri. Shinta didatangkan atas permintaan ayahnya,
meski Sjam juga ingin Latifah hadir. Hal itu tertera dalam surat yang ditulis
Sjam di Cipinang dan diberi judul "Lieve Latifah". Surat ditulis pada
November 1984 dan dibawa dua perwira tersebut ke Tuban.
Dua perwira
Kodam Brawijaya itu mengajak Shinta ke sebuah tempat. Matanya selalu ditutup.
"Saya tak tahu tempatnya," ujarnya. "Turun dari kendaraan, saya
dibawa masuk ke sebuah ruang. Di depan saya sudah ada Bapak." Shinta
memandangi ayahnya. Mereka berpelukan erat.
Menurut
Shinta, tidak ada perubahan fisik ayahnya yang menonjol. Bicaranya tetap tegas,
bersemangat. Tampak wajahnya mulai keriput dimakan umur. "Yang paling
mencolok, uban Bapak banyak sekali," tuturnya. Sjam ketika itu berusia 64.
Di ruangan
itu ada dua meja, dua-duanya dipenuhi pelbagai hidangan. Semua makanan enak.
Ada ikan kakap, sate, dan ayam bekakak. Sjam, menurut Maksum (bukan nama
sebenarnya), kakak Shinta yang ditemui secara terpisah, lalu berkata, "Ayo
kita makan enak." Tapi Shinta tak menyentuh satu pun makanan. Ia menangis
selama pertemuan. Sjam kemudian berujar, "Kamu kok nangis. Semua orang
nanti akan meninggal juga."
Pengawal
memberi tahu, mereka hanya punya waktu setengah jam. Sjam minta maaf kepada
lima anaknya karena tak bisa membesarkan mereka. Ia berpesan kepada
anak-anaknya agar hidup rukun. Tak lama kemudian, seorang rohaniwan berpakaian
putih masuk. Lelaki itu meminta Shinta segera pergi. Sjam memeluk putrinya dan
kembali minta maaf.
Keluar dari
ruangan, Shinta ditawari menginap di hotel. Ia menolak dan meminta diantar ke rumah
kakak Sjam di kawasan Tebet Barat, Jakarta Selatan. Di tempat itu, Shinta
menceritakan kepada kakak-kakak dan keluarganya: ayahnya akan segera dieksekusi
mati.
Shinta lalu
menyampaikan kabar sedih itu kepada saudara-saudaranya yang lain. Salah satunya
adalah Kelana (bukan nama sebenarnya), yang kala itu sedang mengerjakan sebuah
proyek di Kepulauan Seribu. "Saya mendapat telepon dari Shinta bahwa Bapak
dibawa ke Pulau Seribu," tuturnya. Adapun Maksum menuturkan, "Sekitar
hari ketika Bapak ditembak, saya bersama istri di rumah. Tiba-tiba saya
menangis. Ada kesedihan tanpa sebab. Tiba-tiba Shinta menelepon."
Menurut satu
versi, Sjam dikeluarkan dari Cipinang pada 27 September 1986 pukul 21.00. Ia
dijemput perwira Penelitian Kriminal Polisi Militer Kodam Jaya, Edy B. Sutomo,
lalu dibawa ke Rumah Tahanan Militer Cimanggis, Jawa Barat. Baru tiga hari
kemudian, ia dan dua tahanan lain dibawa ke Tanjung Priok pada tengah malam.
Dengan kapal laut militer mereka diangkut ke sebuah pulau di Kepulauan Seribu.
Mereka dieksekusi pada pukul 03.00.
Tapi
keluarga Sjam tak pernah mendengar kejelasan informasi itu. "Kalau benar
Bapak dieksekusi, di mana makamnya sekarang?" kata putri bungsunya, yang
kini tinggal di Tuban.
KARLINA
Supeli, aktivis perempuan, melakukan penelitian tentang para tahanan politik
pada 2001. Untuk keperluan ini, ia menyigi informasi tentang Sjam. Ia menemukan
seorang rohaniwan yang kabarnya mendampingi pria 64 tahun itu ketika
dieksekusi.
Ditemui di
kampus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, tempatnya berkantor,
Karlina tak banyak bicara. Ia beralasan, sang rohaniwan yang kini bermukim di
Semarang itu belum memberinya izin bicara. Ditanya apakah rohaniwan itu
memastikan Sjam telah ditembak mati, ia menjawab, "Itu juga bagian yang
tidak boleh saya sampaikan."
Sumber lain
yang pernah mendengar cerita rohaniwan ini mengisahkan peluru dari regu
penembak meleset dari tubuh Sjam. Komandan regu kemudian mengambil alih
eksekusi. Ia mengambil pistol dan menembak Sjam dalam jarak dekat.
"Beberapa bulan kemudian, sang komandan masuk rumah sakit jiwa, ia tak
tahan dengan peristiwa itu," tuturnya.
No comments:
Post a Comment