Bagian Ketiga
“Salah satu
pelaku pemerkosaan yang paling brutal, seperti yang digambarkan Soe Hok-gie
dalam tulisannya,
adalah Widagda seorang pimpinan PNI dari Negara. Ia ini
adalah adik laki-laki Wedasastra Suyasa, seorang tokoh terkemuka PNI di Bali
dan anggota DPR-GR di Jakarta. Widagda memperkosa puluhan wanita yang dituduh
dan dikait-kaitkan dengan PKI, meskipun terbukti kemudian bahwa tidak selalu
tuduhan terkait PKI itu benar”.
Faktor lain
yang membuat PKI menonjol di Bali adalah bahwa dalam Nasakomisasi yang
dijalankan oleh Gubernur Suteja seorang yang dianggap pendukung utama Presiden
Soekarno di daerah itu dan mempunyai kedekatan dengan PKI sesuai perintah
Soekarno, PKI mendapat keleluasaan berlebihan. Suteja merupakan perpanjangan
tangan yang baik bagi kebijaksanaan Nasakomisasi Soekarno yang menguntungkan
PKI.
Dalam
suasana Nasakomisasi itu, banyak tindakan-tindakan PKI, yang dipimpin oleh Tio
Kandel sebagai Ketua CDB, seperti aksi-aksi sepihak dalam masalah pertanahan,
bisa berlangsung bebas tanpa penindakan. Ini terutama pula terjadi setelah
Brigjen Supardi yang dikenal amat anti PKI mengikuti garis Markas Besar AD, digantikan
sebagai Panglima Kodam Udayana pada tahun 1963 oleh Brigjen Sjafiuddin yang
sangat patuh terhadap Soekarno saat itu. Dan adalah menarik, meskipun secara
horizontal di lapisan bawah massa PNI banyak berbenturan dengan massa PKI,
dalam banyak hal para elite PNI di Bali bisa berdampingan nyaman dengan
tokoh-tokoh PKI. Bahkan terjadi beberapa jalinan kepentingan bersama yang
menguntungkan, termasuk secara ekonomis.
Ada beberapa
pengusaha yang kebetulan keturunan Cina, selain dekat dengan tokoh-tokoh PKI
juga punya jalinan dengan tokoh-tokoh PNI, sehingga terjadi pertalian di antara
ketiganya. Meskipun, sebaliknya dalam beberapa kasus lainnya terjadi pula
persaingan kepentingan ekonomi dan politik yang tajam di antara tokoh-tokoh PNI
tertentu dengan tokoh-tokoh PKI di Bali.
PKI juga
nyaman bersama Brigjen Sjafiuddin, apalagi isteri Sjafiuddin punya kedekatan
khusus dengan Gerwani dan menunjukkan sikap mendukung PKI. Namun, setelah
Peristiwa 30 September terjadi, pada pertengahan Oktober sewaktu arah angin dan
situasi menjadi lebih jelas, dengan gesit Brigjen Sjafiuddin melancarkan
operasi pembersihan terhadap mereka yang dianggap terlibat PKI, terutama
internal Kodam Udayana.
Akan tetapi,
sejauh yang dapat dicatat, tidaklah terlalu jelas kategori sebenarnya dari
mereka yang ditangkap, karena sebaliknya banyak yang menurut perkiraan umum
akan ditangkap ternyata lolos atau diloloskan. Belum lagi, sejumlah kasus salah
tangkap.
Menurut Soe
Hok-gie, pemicu kekerasan yang kemudian terjadi di Bali adalah hasutan-hasutan
sejumlah tokoh. Seorang tokoh PNI menghasut orang-orang untuk melakukan aksi
kekerasan dengan mengatakan bahwa Tuhan menyetujui pembantaian terhadap
orang-orang PKI, dan bahwa hukum tidak akan mengena orang yang melakukannya.
Seorang
tokoh lain mengatakan bahwa mengambil harta benda milik orang PKI tidak
melanggar hukum. Kelompok-kelompok yang berjaga-jaga mulai keluar dengan
berpakaian serba hitam dan bersenjatakan pedang, pisau, pentungan dan bahkan
senjata api. Rumah-rumah penduduk yang diduga sebagai anggota PKI dibakar
sebagai bagian dari pemanasan bagi dilancarkannya tindakan-tindakan yang lebih
kejam. Kemudian pembantaian pun mulai terjadi di mana-mana.
Selama tiga
bulan berikutnya, Bali menjadi sebuah mimpi buruk pembantaian. Dengan perkiraan
yang paling konservatif, menurut Soe Hok-gie, paling tidak 80.000 orang
terbunuh, dari berbagai tingkat usia, pria dan wanita. Soe Hok-gie
menyimpulkan, pembantaian massa PKI di Bali tidak berlangsung berdasarkan suatu
spontaniteit istilah bahasa Belanda untuk spontanitas melainkan terutama karena
hasutan tokoh-tokoh PNI.
Ada beberapa
sebab kenapa massa PNI menjadi pemeran utama pembasmian PKI di Bali. Pertama,
karena memang adanya faktor dendam akibat akumulasi perlakuan massa PKI
sebelumnya kepada orang-orang PNI di pedesaan-pedesaan Bali. Namun pembalasan
ini baru muncul setelah beberapa tokoh PNI melakukan provokasi, dan mulai
terjadi terutama di bulan November 1965. Hal kedua, ada beberapa tokoh PNI yang
karena ingin menutupi kerjasamanya dengan PKI di masa lampau, kemudian
memprovokasi suatu eliminasi terhadap PKI.
Seorang
pengusaha Cina bernama Tjan Wie menjadi salah satu korban utama, dengan tuduhan
keterlibatan dengan PKI, aset dan hartanya disapu habis, sehingga ia menjadi
gila karena tekanan mental yang tak dapat lagi dipikulnya. Ironisnya, saingan
bisnisnya yang bernama Lie Lie Tjien yang justru adalah pengusaha yang menjadi
donatur utama PKI di Bali Utara tidak tersentuh karena ia bersekutu dengan
Wijana salah satu tokoh utama PNI di Bali.
Selain
pembunuhan-pembunuhan dan pembakaran rumah-rumah, terjadi pula
tindakan-tindakan pemerkosaan terhadap sejumlah besar perempuan yang dikaitkan
dengan Gerwani. Salah satu pelaku pemerkosaan yang paling brutal, seperti yang
digambarkan Soe Hok-gie dalam tulisannya, adalah Widagda seorang pimpinan PNI
dari Negara. Ia ini adalah adik laki-laki Wedasastra Suyasa, seorang tokoh
terkemuka PNI di Bali dan anggota DPR-GR di Jakarta.
Widagda
memperkosa puluhan wanita yang dituduh dan dikait-kaitkan dengan PKI, meskipun
terbukti kemudian bahwa tidak selalu tuduhan terkait PKI itu benar. Tiga di
antara wanita korbannya mengajukan kasusnya ke pengadilan, dan Widagda akhirnya
dijatuhi hukuman untuk itu, dengan amat tidak setimpal, yakni 3 tahun penjara.
Pelaku-pelaku lain selain Widagda, tak sempat tersentuh hukum. Faktanya,
pembasmian di Bali hanya mengena terhadap akar-akar rumput PKI, dan justru
banyak lapisan atasnya lolos dan bisa tinggal dengan aman di Jakarta.
Gelombang
pembantaian terhadap massa PKI di Sumatera Utara juga termasuk menonjol
meskipun tidak terlalu massive seperti di Jawa Timur maupun Jawa Tengah. Tetapi
penggambaran bahwa pada masa-masa di bulan Oktober 1965 itu Sungai Ular penuh
dengan mayat, bukanlah deskripsi yang terlalu berlebih-lebihan. PKI Sumatera
Utara, termasuk agresif, tak kalah dengan PKI di wilayah lainnya.
Peristiwa
Bandar Betsi yang mengambil korban jiwa seorang anggota Angkatan Darat terjadi
di propinsi ini. Aksi sepihak BTI dan buruh perkebunan yang berafiliasi dengan
PKI, termasuk intensif di daerah ini. Dalam periode Nasakom, PKI unggul di
kalangan buruh perkebunan dan kereta api. PKI juga memiliki suratkabar yakni
Harian Harapan. Gubernur Ulung Sitepu dikenal sebagai tokoh PKI dan beberapa
tokoh PKI di tingkat nasional berasal dari daerah ini.
Organisasi
anti PKI yang paling kuat dan keras di daerah ini adalah Pemuda Pantjasila, dan
mereka lah paling gencar menggempur PKI pasca Peristiwa 30 September. Satu dan
lain hal, karena organisasi kepemudaan ini memperoleh informasi cepat dari
Jakarta mengenai gambaran situasi sebenarnya melalui jalur IPKI yang merupakan
induk organisasinya. Dan peristiwa yang menimpa Jenderal Nasution di Jakarta 1
Oktober dinihari, menjadi pemicu kemarahan mereka, karena Jenderal Nasution adalah
tokoh yang mendirikan IPKI. Selain Pemuda Pantjasila, organisasi anti PKI yang
kuat di wilayah ini, khususnya di perkebunan-perkebunan adalah Soksi.
Organisasi sayap Soksi di dunia kemahasiswaan, Pelmasi, meskipun tak cukup
banyak anggotanya akhirnya juga cukup berperan dalam gerakan pembasmian PKI di
Sumatera Utara. Salah satu tokohnya di Sumatera Utara adalah Bomer Pasaribu
yang cukup berperan dalam kesatuan aksi dan belakangan tembus ke tingkat
nasional.
PKI, PNI dan
peran para bangsawan di Sulawesi Selatan. Suatu keadaan yang agak terbalik dari
Jawa Tengah terjadi di Sulawesi Selatan. Seperti halnya di Jawa Tengah, PNI di
Sulawesi Selatan amat menonjol. Dan inilah yang kemudian menjadi awal bencana
bagi PNI di Sulawesi Selatan. PNI jauh lebih menonjol dari PKI, meski pun
tokoh-tokoh PKI di wilayah ini cukup vokal. Namun dibandingkan dengan perilaku
politik PKI di pulau Jawa yang amat agresif, PKI Sulawesi Selatan bisa
dikatakan moderat. Aksi-aksi sepihak dalam rangka landreform lebih banyak disuarakan
melalui pernyataan-pernyataan. Kalau pun pernah terjadi aksi sepihak, itu hanya
terjadi di Tanah Toraja.
Anggota-anggota
PKI di Sulawesi Selatan sejauh yang tercatat tak pernah melakukan tindakan
kekerasan berdarah-darah seperti yang dilakukan misalnya di Bandar Betsi
Sumatera Utara, serta tidak melakukan gerakan perlawanan seperti di Jawa
Tengah. Masih beradanya Sulawesi Selatan dalam situasi keamanan yang kurang
baik terkait dengan masih bergeraknya DI-TII di wilayah ini menjadi salah satu
penyebab terbatasnya ruang gerak PKI. Praktis PKI tak bisa menjangkau ke
wilayah pedalaman, terutama karena kehadiran DI-TII di wilayah-wilayah luar
perkotaan itu. Dengan demikian, PKI Sulawesi Selatan sebenarnya terhindar dari
melakukan tindakan-tindakan mengakumulasi dendam seperti yang dilakukan PKI di
Jawa Tengah maupun di Jawa Timur. Maka adalah menarik bahwa bila kemudian
terjadi tindakan ‗balas dendam‘ yang cukup kejam di daerah ini, seperti
misalnya yang terjadi di Watampone, Kabupaten Bone, daerah kelahiran Jenderal
Muhammad Jusuf.
Selain
Paiso, tak banyak tokoh PKI Sulawesi Selatan yang menarik perhatian. Begitu
pula misalnya tokoh-tokoh organisasi mantelnya, seperti HSI, CGMI atau Pemuda
Rakyat. HSI misalnya, tak banyak tokohnya yang menarik perhatian masyarakat di
Sulawesi Selatan, bahkan cenderung tak dikenal. Ada beberapa nama, namun tidak
terlalu dikenal, seperti misalnya Mochtar dan Nurul Muhlisa.
Tapi salah
seorang di antaranya, amat diperhatikan mahasiswa, yakni Prof Ie Keng Heng,
yang mengajar ilmu kimia di Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin, karena
selain menyampaikan kuliah kimia, ia sering berbicara dalam berbagai kesempatan
mengenai komunisme. Ia selalu memuji-muji PKI sebagai kekuatan progressif
revolusioner, termasuk dalam memberikan kuliah. Maka, ketika keadaan berbalik
setelah patahnya Gerakan 30 September 1965, dan nama PKI dilibatkan, ia menjadi
salah satu sasaran utama mahasiswa non komunis.
Masih pada 2
Oktober 1965, hari Sabtu, sekelompok mahasiswa dari organisasi Islam, HMI dan
kawan-kawan, menyeret paksa sang professor saat ia sedang memberi kuliah hari
itu, lalu digiring ke tempat lain. Menurut seorang mahasiswa, Ie Keng Heng
dibawa ke aparat keamanan (militer). Setelah itu, orang tak pernah melihatnya
lagi. Ada yang mengatakan ia di bawah ke Malino, suatu daerah peristirahatan
beberapa puluh kilometer ke arah Tenggara kota Makassar, lalu dihabisi di sana.
Tetapi seorang aktivis PMKRI dari Fakultas Teknik Unhas, Bobby Tjetjep,
memperkirakan bahwa nasib Ie Keng Heng tak sedramatis itu, dan matinya adalah
biasa saja, tidak karena suatu eksekusi.
Memang ada
juga yang memperkirakan bahwa Ie Keng Heng yang sehari-harinya sebenarnya tidak
bersikap ganas sebagai anggota HSI yang partainya sedang naik daun secara
nasional, tidaklah dibawa ke tempat eksekusi, sebagaimana yang banyak beredar
ceritanya waktu itu, melainkan diberi kesempatan untuk meninggalkan Makassar.
Putera-puterinya hasil perkawinannya dengan seorang wanita Eropah yang masih
berstatus pelajar dan mahasiswa ikut mendapat getahnya, padahal sehari-harinya
mereka tak pernah tertarik untuk ikut terbawa arus politik seperti ayahanda
mereka, dan harus pula meninggalkan kota Makassar entah ke mana.
Bagi anda yang berminat dengan permainan
kartu online berbayar yang dapat dipercaya, silahkan klik link situs kami di
agen judi online dan daftar menjadi
member kami sekarang juga, maka anda akan mendapatkan fasilitas dan bonus.
Layanan kami ini di dukung dengan fasilitas chat yang selalu siap melayani dan
menemani anda selama 24 jam penuh.
No comments:
Post a Comment