Bagian Keempat
”Para
tahanan itu harus menghadapi kekerasan massa dan terbunuh dalam kerusuhan itu.
Melebihi pemenggalan kepala yang menjadi eksekusi standar di berbagai penjuru
tanah air kala itu, dalam peristiwa di Watampone itu terjadi pencincangan tubuh
atas orang-orang PKI. Pencincangan adalah mutilasi berat, berupa pemotongan dan
penyayatan bagian-bagian tubuh sehingga terpisah dalam potongan-potongan”.
Bernasib
lebih buruk adalah beberapa tokoh pengurus daerah PKI, yang diambil dari rumah
mereka masing-masing, dibawa ke suatu tempat dan tak diketahui lagi
keberadaannya. Dapat dipastikan, mereka dieksekusi oleh kelompok pemuda dan
massa yang pada hari-hari itu menjadi sangat agresif sama agresifnya dengan
massa PKI dalam berbagai gerakan mereka sebelum Peristiwa 30 September 1965
sebagaimana tergambarkan di media massa serta cerita dari mulut ke mulut.
Beberapa aktivis CGMI Sulawesi Selatan, mahasiswa Universitas Hasanuddin, juga
mengalami nasib sama, diambil dan dieksekusi entah di mana.
Keberanian
massa melakukan pengganyangan PKI masih sejak hari-hari pertama setelah
gagalnya G30S, tak terlepas dari cepatnya Pejabat Panglima Kodam XIV Hasanuddin
waktu itu, Kolonel Solichin GP, menyatakan membubarkan PKI pada 2 Oktober 1965.
Kala itu, jabatan Panglima Hasanuddin secara resmi masih dijabat oleh Mayor
Jenderal Muhammad Jusuf yang merangkap sebagai Menteri bidang Perindustrian
dalam Kabinet Dwikora.
Pada tanggal
10 bulan Nopember 1965, setelah apel dalam rangka Hari Pahlawan di lapangan
Karebosi, Makassar, terjadi gerakan-gerakan massa yang menandai arus balik
politik yang makin deras. Tokoh-tokoh PNI yang menjadi salah satu partai paling
terkemuka di Sulawesi Selatan waktu itu, karena dianggap partainya Bung Karno,
menjadi sasaran pengganyangan. Rumah tokoh-tokoh PNI seperti Haji Ahmad
Massiara, Achmad Daeng Siala dan Salman AS mereka bertiga adalah pengelola
Harian Marhaen di Makassar diserbu dan diporakporandakan oleh massa yang
terutama dari ormas-ormas onderbouw partai-partai Islam serta HMI dan PII.
Sebenarnya
PNI sendiri waktu itu telah terbelah menjadi dua kubu, yakni kubu Ali
Sastroamidjojo Surachman
dengan kubu yang kemudian hari akan dikenal sebagai kelompok Osa-Usep. Tetapi
dalam kasus penyerbuan massa, hampir-hampir saja kedua kubu itu tak lagi dibedakan.
Barisan Wanita Marhaenis yang merupakan sayap bukan Ali Surachman, yang ikut
apel di Karebosi di bulan Nopember itu dengan seragam kebaya merah jambu ikut
dikejar-kejar massa. Untung saja karena mereka adalah kaum ibu, maka banyak
anggota masyarakat yang turun tangan mencegah terjadinya perlakuan fatal.
Pada hari
yang sama, Konsulat RRT (Republik Rakjat Tjina) juga diserbu, namun massa hanya
bisa menjebol pintu pekarangan dan tak bisa memasuki gedung konsulat karena
dihalau oleh tentara yang menggunakan tongkat rotan yang besar. Seorang pelajar
yang menuntun sepedanya dan menonton dari kejauhan, menjadi korban, terlilit
dan tersengat kabel listrik jalanan yang putus karena tembakan petugas. Yang
sama malangnya, adalah etnis Cina. Dalam rangkaian gerakan massa yang terjadi
kemudian, mereka justru menjadi korban. Rumah mereka diserbu, harta benda
mereka banyak yang ditumpas habis, tanpa ada sebab musabab politik yang jelas.
Dibanding
penampilan PKI di Sulawesi Selatan, PNI masih jauh lebih semarak tampilannya,
dan menunjukkan keunggulan, termasuk dalam posisi kemasyarakatan. Di kota
Makassar ada dua surat kabar terkemuka, dan salah satunya adalah Harian Marhaen, milik PNI.
Kehadiran media cetak ini membuat PNI menonjol sepak terjang politiknya di
Sulawesi Selatan dan menjadi salah satu penyebab PNI menjadi ibarat satu pohon
tinggi yang banyak dilihat orang.
Sementara
itu, PKI tidak punya media pers, sehingga tidak menonjol. Berita mengenai PKI
lebih banyak mengenai sepak terjang PKI di pulau Jawa, sehingga citra PKI di
Sulawesi Selatan terutama tercipta dari citra PKI di pulau Jawa. Organisasi
mahasiswa onderbouw PNI, GMNI, juga jauh lebih menonjol dari CGMI. Hanya HMI
yang menandingi kesemarakan GMNI, namun tak melebihi popularitas GMNI kendati
anggota HMI sebenarnya sangat jauh lebih banyak dari GMNI. Begitu besarnya
sebenarnya jumlah anggota HMI di Makassar, sehingga salah seorang tokoh HMI,
Adi Sasono, menggambarkan bahwa di perguruan-perguruan tinggi Makassar hampir
tidak ada yang bukan HMI.
Namun, di
masa sebelum Peristiwa 30 September, GMNI tetaplah lebih semarak. Setiap kali
ada pawai-pawai di kota Makassar, barisan GMNI tampil lebih menonjol, rapih
dalam baju-baju dan jaket mereka yang mentereng mengalahkan baju kebanyakan
anggota masyarakat yang kala itu sedang krisis sandang. Kain-kain murah dan
murahan hanya bisa diperoleh anggota masyarakat dengan bersusah payah antri di
kantor Kepala Kampung atau melalui RW-RW, sedang yang dijual di toko-toko Jalan
Somba Opu harganya begitu mahal dan tak terjangkau kebanyakan orang.
Bahwa
anak-anak GMNI tetap bisa tampil wah, bisa dimaklumi karena mereka umumnya
berasal dari kalangan keluarga elite Sulawesi Selatan. Apalagi merupakan ciri
khas barisan GMNI waktu itu adalah bahwa pada deretan-deretan depan ditampilkan
mahasiswi dan mahasiswa yang rupawan. Salah satu primadonanya adalah seorang
mahasiswi bernama Rini Soetarjo, anak seorang dokter terkemuka di Makassar.
Bisa
dibandingkan dengan anggota-anggota HMI dan lain-lain yang mayoritas berasal
dari pedalaman Sulawesi Selatan yang praktis hingga tahun 1965 itu situasinya
masih dalam suasana pergolakan karena adanya DI-TII, yang tampilannya jauh di
bawah garis. Tapi, pemimpin HMI Sulawesi Selatan yang kemudian menjadi Ketua
KAMI Sulawesi Selatan, Muhammad Jusuf Kalla, adalah anak seorang pengusaha yang
saat itu tergolong sudah terkaya di Sulawesi Selatan, Haji Kalla yang merintis
usahanya dari bawah sebagai pemilik toko kecil di Watampone, Kabupaten Bone.
Merupakan kelebihan Jusuf Kalla, wajah dan penampilannya secara alamiah,
meskipun anak orang kaya bagaimanapun juga selalu menimbulkan kesan sederhana
dan tidak wah.
Di antara
anggota masyarakat yang banyak mengalami proses pemiskinan pada masa itu,
sebagai akibat pergolakan dan ketidakamanan daerah saat itu, pengurus-pengurus
dan anggota-anggota Partai Komunis Indonesia, termasuk di dalamnya dan umumnya
juga tak kalah miskinnya. Bahkan mungkin termiskin, karena kaum urban yang
datang dari pedesaan oleh faktor kekacauan daerah, bagaimanapun masih punya tanah
di kampung asalnya. Seorang mahasiswa yang ikut gerakan penyerbuan ke
rumah-rumah para tokoh PKI, sempat tertegun melihat gubuk yang menjadi kediaman
Sekretaris CDB PKI Sulawesi Selatan yang sangat mengibakan hati. Saya tak tega,
jadi saya tak berbuat apa-apa di sana. Saya hanya bisa melihat dari kejauhan,
ia menuturkan kemudian.
Apapun,
massa partai PKI harus membayar mahal apa yang terjadi di Jakarta yang
melibatkan nama beberapa tokoh pusatnya. Peristiwa lain, terjadi di Watampone,
beberapa waktu kemudian, berupa penyerbuan rumah tahanan (penjara) tempat
sejumlah anggota PKI atau yang dianggap simpatisan PKI ditahan. Para tahanan
itu harus menghadapi kekerasan massa dan terbunuh dalam kerusuhan itu.
Melebihi
pemenggalan kepala yang menjadi eksekusi standar di berbagai penjuru tanah air
kala itu, dalam peristiwa di Watampone itu terjadi pencincangan tubuh atas
orang-orang PKI. Pencincangan adalah mutilasi berat, berupa pemotongan dan
penyayatan bagian-bagian tubuh sehingga terpisah dalam potongan-potongan. Dalam
sejarah yang terkait dengan Bone, peristiwa pencincangan merupakan catatan
tersendiri yang kisahnya terselip dalam pemaparan-pemaparan berikut ini.
PNI di
Sulawesi Selatan merupakan partai yang amat banyak memperoleh dukungan kaum
bangsawan di daerah itu. Inilah yang membuat untuk sekian tahun lamanya hingga
menjelang kuartal akhir tahun 1965, PNI menjadi partai yang kuat di Sulawesi
Selatan. Meskipun berbeda dengan di Pulau Jawa di mana kaum bangsawan memiliki kekuasaan
yang jelas dengan memiliki Mangkunegaran ataupun Kesultanan Yogya bangsawan
Sulawesi Selatan memiliki posisi dan peranan yang cukup besar di masyarakat.
Secara umum
kebangsawanan mengundang kehormatan dan prestise di mata rakyat. Kehidupan kaum
bangsawan berada dalam zona ekonomi yang relatif mapan, baik karena kepemilikan
warisan turun temurun terutama yang berupa tanah dan posisi adat ataukah
seremoni maupun karena penempatan diri mereka dalam posisi-posisi pemerintahan.
Di tengah
masyarakat, kaum bangsawan Sulawesi Selatan menerjuni berbagai kegiatan mulai
dari yang mulia hingga ke kutub sebaliknya karena bangsawan juga manusia biasa
seperti yang lainnya berupa perilaku-perilaku yang sangat tercela yang kerap
kali menyakitkan hati kalangan bawah masyarakat. Dalam tubuh ketentaraan, para
bangsawan tampil sebagai perwira-perwira berpangkat tinggi dan beberapa di
antaranya mencapai pangkat-pangkat puncak.
Para
bangsawan, terutama yang memegang posisi wilayah dalam struktur kepemerintahan
feodal di masa pengawasan kolonial Belanda, mendapat prioritas untuk
menyekolahkan anak-anaknya. Meskipun tidak semua memanfaatkan dengan baik,
karena pandangan tradisional tertentu, terutama untuk anak-anak perempuan yang
dianggap tak perlu bersekolah tinggi-tinggi. Mereka yang pada dasarnya anti
Belanda, juga cenderung enggan memanfaatkan fasilitas pendidikan itu bagi
anak-anak mereka.
Dalam proses
perjuangan mempertahankan kemerdekaan beberapa di antara kaum bangsawan
menjalankan peran besar, dan kelak tercatat dalam sejarah sebagai pahlawan
nasional, namun sementara itu beberapa yang lainnya menjalankan peran
sebaliknya dan dianggap pengkhianat. Maka, dalam beberapa peristiwa, ada
kalangan bangsawan diculik dan dibunuh oleh rakyat, bahkan ada di antaranya,
seorang bangsawan tinggi, sampai mengalami pencincangan tubuhnya dengan cara
yang amat mengerikan.
Dalam
pergolakan setelah penyerahan kedaulatan, kaum bangsawan tercatat sebagai
pemegang peran dalam berbagai peristiwa besar, di antaranya dalam Peristiwa
Andi Azis. Pada tahun-tahun pergolakan daerah, tercatat pula Peristiwa Andi
Selle, yang pada puncak peristiwanya hampir merenggut nyawa Jenderal Muhammad
Jusuf.
Jenderal
Jusuf ini sebenarnya seorang bangsawan Bugis yang menyandang gelar Andi suatu
gelar Pangeran namun kemudian menanggalkan gelarnya tersebut. Nama lengkapnya
semula adalah Andi Muhammad Jusuf Amir. Setelah Muhammad Jusuf menanggalkan
gelarnya, beberapa kalangan bangsawan menjadi gamang dan risih dengan gelar
kebangsawanannya, terutama di kalangan militer.
Kegamangan itu
tercermin dari tidak dicantumkannya lagi gelar-gelar di depan namanya, namun
tidak pernah menyatakan menanggalkan gelar itu, dan sehari-hari tetap menerima
perlakuan-perlakuan hormat dari lingkungannya.
Kaum
bangsawan Sulawesi Selatan juga memiliki kisah perseteruan besar dalam catatan
sejarah, yakni antara Kerajaan Bone dan Kerajaan Gowa. Untuk suatu jangka waktu
yang panjang dalam Indonesia merdeka, Aru Palakka dari Bone menyandang penamaan
sebagai pengkhianat karena membantu Belanda memerangi Kerajaan Gowa di bawah
Sultan Hasanuddin, padahal waktu itu belum ada konsep Nusantara sebagai satu
negara. Di masa lampau, Kerajaan Bone merupakan representasi etnis Bugis sedang
Kerajaan Gowa adalah representasi etnis Makassar, yang dulu kala terlibat dalam
semacam perseteruan antar etnis yang cukup tajam.
Posisi
sejarah Aru Palakka, pada masa-masa terakhir ini mengalami semacam koreksi
dalam sudut pandang para sejarahwan yang telah meninggalkan perspektif
hitam-putih dalam memahami satu peristiwa sejarah. Aru Palakka membantu Belanda
kala itu dalam kedudukan suatu kerajaan berdaulat yang merasa terancam dan
pernah tertindas oleh kerajaan lain.
Aru Palakka
pun memiliki motif pribadi yang kuat menurut sistim nilai masyarakat Bugis,
dalam membalaskan dendam yang dialami ayahandanya. Dalam perang antara Bone
dengan Gowa, sebelum generasi Aru Palakka dan Sultan Hasanuddin, ayahanda Aru
Palakka mengalami perlakuan kejam dicincang dalam lesung penumbuk padi sehingga
tewas. Sesudah peristiwa itu, kerajaan Gowa menjalankan sejumlah kebijakan
rekonsiliasi dengan para bangsawan Bone melalui distribusi wilayah,
perkawinan-perkawinan antara bangsawan Bone dan Gowa, yang diharapkan akan
mampu menghapuskan dendam-dendam lama.
Aru Palakka
sendiri diangkat sebagai anak asuh dan diserahkan pendidikannya kepada seorang
bangsawan Makassar, sebagaimana layaknya yang harus diterima seorang anak
bangsawan. Tetapi segala perlakuan itu tidak kuasa menghapuskan luka dendam
yang mendalam Aru Palakka terhadap Kerajaan Gowa. Namun sejarah juga mencatat
bahwa pada akhirnya, setelah membantu Belanda mengalahkan Gowa, Kerajaan Bone
juga terlibat peperangan melawan Belanda.
Adalah
karena kepopuleran PNI dan organisasi-organisasi onderbouwnya di Sulawesi
Selatan, maka setelah terjadi Peristiwa 30 September 1965, ia lebih mendapat perhatian.
Dan karena kebetulan di tingkat nasional PNI Ali Surachman dianggap sebarisan
dengan PKI dalam sepak terjang politiknya, maka PNI menjadi sasaran utama
serangan pasca Peristiwa 30 September 1965. Aspek persaingan menjadi faktor
penting di sini, karena selama beberapa tahun sebelum Peristiwa 30 September,
peranan PNI begitu dominan di daerah ini dan peristiwa politik yang terjadi
saat itu menjadi momentum bagi partai-partai dan kekuatan politik serta
kekuatan kepentingan lainnya untuk mengeliminasi PNI.
Bagi anda yang berminat dengan permainan
kartu online berbayar yang dapat dipercaya, silahkan klik link situs kami di judi
bola online dan daftar menjadi member kami sekarang juga, maka
anda akan mendapatkan fasilitas dan bonus. Layanan kami ini di dukung dengan
fasilitas chat yang selalu siap melayani dan menemani anda selama 24 jam penuh.
No comments:
Post a Comment