Bagian
Ketiga
“Pergeseran
dari perseteruan politik di antara para penopang‟
struktur Nasakom di bawah
selimut bendera revolusi menuju pertarungan kekuasaan sesungguhnya pada wilayah
konspirasi yang akan segera berakhir sebagai satu tragedi baru dalam sejarah
Indonesia modern”.
SEBELUM
lontaran gagasan mengenai Angkatan Kelima, lebih awal di bulan Januari 1965 itu
Soebandrio melontarkan semacam teka-teki politik yang mengundang bermacam
tafsir, karena menyodorkan insinuasi akan terjadinya suatu persilangan jalan
politik. Senin 4 Januari, Soebandrio menyampaikan semacam perkiraan politik,
dan dikutip pers menyatakan bahwa dalam tahun 1965 ini mungkin akan terjadi di mana
kawan seperjuangan akan menjadi lawan. Apa yang sekarang revolusioner, ujar
sang Wakil Perdana Menteri I, akan menjadi kontra revolusi dan reaksioner. Kita
mungkin akan terpaksa berpisah dengan sahabat-sahabat pribadi dan comrades in
arms.
Karena Soebandrio
adalah juga membawahi Badan Pusat Intelejen yang sehari-hari dipimpin oleh
Brigadir Jenderal Polisi Sutarto, tentu saja pernyataannya menjadi perhatian
dan bahan spekulasi tentang apa sebenarnya yang telah dan akan terjadi, apalagi
ia menyampaikannya dengan suatu gaya yang dramatis tentang akan adanya pisah
jalan sekaligus situasi konfrontatif.
Jangan
terkejut, apabila saya katakan bahwa mungkin dalam tahun 1965 ini kawan-kawan
seperjuangan kita terpaksa ada yang rontok dan kita tinggalkan karena tak bisa
lagi mengikuti jalannya revolusi, lanjutnya. Menghadapi kemungkinan ini, kita
sebagai manusia sudah barang tentu merasa sedih. Akan tetapi sebagai abdi
revolusi kita tak bisa berbuat lain, hal itu terpaksa kita lakukan demi
keselamatan revolusi kita, seraya mengingatkan pula bahwa revolusi kita belum
selesai.
Bila
penggunaan istilah comrades in arms adalah dalam konteks kelaziman hubungan di
antara golongan kiri, semestinya yang dimaksud adalah kawan seperjuangan satu
ideologi. Tapi bilamana comrades in arms digunakan di sini secara artifisial
dan sekedar basa-basi, dengan segera dapat ditafsirkan bahwa yang dimaksudkan
adalah kalangan tentara yang tak berhaluan kiri, baik kelompok Jenderal Abdul
Harris Nasution maupun kelompok Letnan Jenderal Ahmad Yani yang pada awalnya
dinyatakan sebagai tangan kanan rechter hand Soekarno. Dan karena Soebandrio
selama beberapa lama dikenal sebagai tangan kiri‘ Soekarno dalam politik dan
kekuasaan, maka pernyataan itu dianggap datang dari Soekarno sendiri yang kala
itu makin condong ke kiri.
Belakangan,
setelah terjadinya peristiwa di akhir September 1965, semua itu dikaitkan
sebagai isyarat dini dari Soekarno tentang suatu rencana pembersihan antas
Angkatan Darat. Perlu dicatat, di akhir 1964 dan awal 1965 itu, BPI sudah mulai
mencium adanya kegiatan sejumlah perwira Angkatan Darat menjalankan misi khusus
untuk menghentikan konfrontasi terhadap Malaysia. Lebih dari itu, pada sekitar
waktu yang sama BPI menyampaikan pula semacam pra-analisa untuk kalangan terbatas
secara internal, yang dibahas di tingkat pimpinan, tentang kemungkinan telah
berkembangnya satu rencana di kalangan perwira Angkatan Darat yang berkonotasi
pengambilalihan kekuasaan.
Tatkala
Aidit melontarkan tuntutan mengenai Angkatan Kelima dan Letnan Jenderal Ahmad
Yani dan sejumlah kalangan tentara lainnya memberi reaksi penolakan, yang
mulanya bernada diplomatis sebelum menjadi keras sehingga disebut Soekarno
sebagai sikap koppig, perkiraan awal tahun Soebandrio seakan mendapatkan
pembenarannya. Silang kata mengenai Angkatan Kelima berlangsung eskalatif,
selama berbulan-bulan.
Pada bulan
kelima 1965, isu dan polemik keras mengenai Angkatan Kelima, tambah menajam
karena muncul lagi satu isu baru menyangkut penemuan Dokumen Gilchrist tentang
suatu konspirasi Barat dengan sejumlah jenderal Angkatan Darat. Bahwa di tubuh
Angkatan Darat ada sebuah Dewan Djenderal yang merencanakan suatu
pengambilalihan dari tangan Soekarno. Dua pokok soal, Angkatan Kelima dan Dewan
Jenderal, menyebabkan terjadi pemanasan politik dan penajaman perseteruan
politik menjadi pertarungan politik dan kekuasaan yang sebenarnya di dalam
tubuh segitiga kekuasaan.
Dalam kasus
penemuan Dokumen Gilchrist dan isu Dewan Jenderal, Angkatan Darat ditempatkan
dalam posisi tertuduh dalam serangan gencar oleh Soebandrio dan PKI, sebagai
perencana suatu usaha pengambilalihan kekuasaan. Tetapi di tahun sebelumnya,
1964, PKI lah yang menjadi tertuduh selaku perencana suatu perebutan kekuasaan
negara.
Sebuah
dokumen rahasia berisi Rencana 4 Tahun PKI yang berisi pokok perjuangan PKI
yang menuju perebutan kekuasaan, ditemukan pada awal tahun tersebut. Dalam
suatu pertemuan di Istana Bogor, di depan Soekarno, adalah tokoh Partai Murba
(Musyawarah Rakyat Berjuang) yang juga adalah Waperdam III Chairul Saleh yang
mengungkapkannya. Soekarno yang mendengar laporan itu, langsung menanyakannya
secara terbuka kepada Aidit. Dengan sengit, seraya menoleh ke arah Chairul,
Aidit membantahnya sebagai dokumen palsu, yang dimaksudkan untuk memfitnah PKI.
Dalam salah
satu versi peristiwa, dalam rapat di Istana Bogor itu, yang dipercaya
kebenarannya, terjadi debat sengit antara Chairul dengan Aidit. Itu dokumen
palsu!, kata Aidit keras. Tak kalah kerasnya, Chairul membentak Kalau dokumen
ini dikatakan palsu, tunjukkan mana aslinya!, supaya bisa diperbandingkan.
Ketika Aidit hendak mendebat lagi, Chairul maju dengan cepat dan melayangkan
satu pukulan ke bagian wajah Aidit. Soekarno yang berada tak jauh dari mereka,
segera melerainya lalu mendamaikan keduanya. Para peserta rapat, di bawah
arahan Soekarno lalu melahirkan Deklarasi Bogor untuk mengakhiri dan mencegah
persoalan berlanjut.
Tetapi
agaknya, PKI tetap menyimpan dendam dan melancarkan serangan politik dengan
menyebutkan pimpinan Murba sebagai penyebar dokumen palsu dan tukang fitnah.
Berikutnya, serangan itu meningkat dengan aksi-aksi demonstrasi yang menuntut
pembubaran Murba. Pada akhirnya Murba memang betul-betul dibubarkan oleh
Soekarno, 21 September 1965.
Namun, dalam
salah satu rapat menjelang Peristiwa 30 September 1965, setahun lebih setelah
insiden di Istana Bogor, ketika Sjam Kamaruzzaman mengusulkan kepada Aidit,
agar menculik Chairul Saleh dan eks Wakil Presiden Mohammad Hatta, Aidit dengan
wajah tampak heran balik bertanya, Untuk apa?. Sjam memberi alasan, bahwa kedua
orang itu, khususnya Hatta, sering berhubungan dengan Jenderal Nasution, dan
banyak tahu mengenai Dewan Jenderal dari sang Jenderal, sehingga dari keduanya
bisa dikorek keterangan mengenai hal itu.
Aidit
menolak menculik Hatta maupun Chairul Saleh, tokoh yang pernah bermasalah
dengannya di tahun sebelumnya (Pengakuan Sjam Kamaruzzaman dalam persidangan
Mahmilub 1968 di Gedung Merdeka Bandung). Pembubaran Murba hanya sembilan hari
menjelang 30 September sejauh perkembangan yang terjadi tidaklah menyebabkan
Chairul Saleh tergeser dari posisinya di kabinet maupun dari sisi Soekarno dan
ikut bersama sang pemimpin memasuki tahun 1966 yang bergolak.
Kasus
dokumen rahasia Rencana 4 Tahun PKI 1964 untuk pengambilalihan kekuasaan
politik dan negara, penemuan dokumen Gilchrist beserta isu Dewan Jenderal yang
akan merebut kekuasaan dari Soekarno, gagasan pembentukan Angkatan Kelima yang
didahului ramalan Soebandrio tentang perpisahan dengan comrade in arms yang
akan berubah dari kawan seperjuangan menjadi lawan, berpadu dalam akumulasi
tanda pergeseran tingkat situasi.
Pergeseran
dari perseteruan politik di antara para penopang struktur Nasakom di bawah selimut
bendera revolusi menuju pertarungan kekuasaan sesungguhnya pada wilayah
konspirasi yang akan segera berakhir sebagai satu tragedi baru dalam sejarah
Indonesia modern. Dalam dua puluh tahun Indonesia merdeka, telah terjadi
setidaknya delapan pemberontakan berskala cukup besar, terdiri dari satu
pemberontakan komunis di Madiun, empat pemberontakan DI-TII di empat daerah,
pemberontakan RMS, pemberontakan PRRI di Sumatera dan pemberontakan Permesta di
Sulawesi Utara.
Artinya,
satu pemberontakan setiap dua setengah tahun. Selain itu, tak kurang dari
sepuluh pemberontakan atau insiden skala lebih kecil juga terjadi dalam kurun
waktu tersebut, ditambah sepuluh pemberontakan atau benturan dan peristiwa
berdarah lainnya di antara sesama bangsa sendiri maupun upaya pemisahan diri
yang semuanya terkait dengan provokasi Belanda. Secara keseluruhan, ini berarti
ada dua atau tiga peristiwa per tahun, hingga saat itu. Sungguh meletihkan.
Dan akan
terjadi satu lagi, di saat tingkat pertarungan politik dan kekuasaan sekali
lagi melangkah memasuki wilayah konspirasi: Peristiwa 30 September 1965.
Bagi anda yang berminat dengan permainan
kartu online berbayar yang dapat dipercaya, silahkan klik link situs kami di judi
bola online dan daftar menjadi member kami sekarang juga, maka
anda akan mendapatkan fasilitas dan bonus. Layanan kami ini di dukung dengan
fasilitas chat yang selalu siap melayani dan menemani anda selama 24 jam penuh.
No comments:
Post a Comment