Bagian Pertama
“Peristiwa
30 September 1965 memang adalah sebuah peristiwa yang meletus sebagai akibat
tidak sehatnya tubuh bangsa Indonesia”.
Sebuah peristiwa yang merupakan
“ledakan dari suatu masyarakat yang penuh dengan tension dan friction, penuh
dengan ketegangan dan pergesekan kronis”.
LUMURAN
darah tak mengenal pengecualian dalam pilihan waktu kehadiran sepanjang
perjalanan sejarah manusia di kepulauan Nusantara ini, tak terkecuali pada masa
Indonesia merdeka dalam sejarah Indonesia modern. Tepat pada tahun keduapuluh
Indonesia merdeka itu, terjadi lagi satu peristiwa berdarah, Peristiwa 30
September 1965, dilancarkan oleh Gerakan 30 September, yang terutama terkait
dengan sejumlah tokoh Partai Komunis Indonesia dan perwira tentara. Peristiwa
ini memicu satu malapetaka sosiologis baru, dengan sisa-sisa kebencian yang
belum sepenuhnya pupus hingga kini.
Pada
hakekatnya, peristiwa yang merupakan puncak dari suatu rangkaian pertarungan
politik yang panjang itu, yang bahkan memiliki akar dari masa sebelum Indonesia
merdeka, melibatkan begitu banyak kelompok kekuatan politik sipil ideologis dan
kekuatan politik‘ angkatan bersenjata. Melibatkan demikian banyak tokoh dengan
kepentingannya masing-masing yang tak lain bermuara pada pemenuhan hasrat
kekuasaan, sebagai petarung-petarung dalam perebutan kekuasaan politik dan
kekuasaan negara. Siapa yang benar, siapa yang salah, menjadi masalah sejarah
yang berkepanjangan. Berlaku adagium, sang pemenang akan berkesempatan mengukir
versi kebenaran sejarah lebih dulu, namun pada saat sang pemenang surut karena
waktu, maupun kalah dalam pertarungan kekuasaan berikutnya, mereka yang kalah
di masa lampau memperoleh momentum untuk bisa menciptakan pembenaran baru
berdasarkan subjektivitasnya sendiri.
Judgement
dari generasi baru, pada waktunya mungkin akan lebih bermakna, sepanjang mereka
berkesempatan mendapat dan menggali informasi jujur dan objektif tanpa
prasangka apa pun. Tanpa dendam karena pertalian darah dengan para korban.
Atau, pada posisi sebaliknya, tidak terjebak mempertahankan versi kebenaran
para pemenang awal karena pertalian darah dan pertalian kepentingan yang
diwariskan.
Terlepas
dari apapun penyebabnya dan siapa pelakunya, peristiwa berdarah yang terjadi
lebih dari 40 tahun silam itu, bagaimanapun juga merupakan lembaran hitam dalam
sejarah Indonesia merdeka. Melihat kualitas peristiwanya, dikaitkan dengan
tujuan peristiwa yang menjadi bagian dari pertarungan kekuasaan yang untuknya
diperlukan pembunuhan dengan cara keji terhadap enam jenderal, seorang perwira
pertama dan seorang bintara polisi di Jakarta dan dua perwira menengah di Jawa
Tengah bahkan mungkin dapat dinyatakan sebagai lembaran paling hitam sejarah
Indonesia hingga sejauh ini. Apalagi, setelah pembunuhan keji itu terjadi,
menyusul pula rentetan pembunuhan massal siapapun korbannya dan siapa pun
pelaksananya atas nama apapun terhadap sejumlah orang yang mencapai ratusan
bahkan mungkin sejuta lebih.
Menjadi
pertanyaan yang mengganggu dari waktu ke waktu, ada apa dengan bangsa ini
sebenarnya? Untuk menjawabnya, mungkin bisa meminjam suatu pikiran jernih yang
dilontarkan melalui suatu media massa generasi muda di Bandung hanya tiga tahun
setelah Peristiwa 30 September 1965 terjadi. Mewakili jalan pikiran sejumlah
intelektual muda kala itu, media itu mempertanyakan adakah kita menginsyafi
bahwa peristiwa itu hanyalah salah satu sympton yang menunjukkan tidak sehatnya
tubuh bangsa ini?
Peristiwa 30
September 1965 memang adalah sebuah peristiwa yang meletus sebagai akibat tidak
sehatnya tubuh bangsa Indonesia. Sebuah peristiwa yang meminjam uraian sebuah
media generasi muda 1966 merupakan ledakan dari suatu masyarakat yang penuh
dengan tension dan friction, penuh dengan ketegangan dan pergesekan kronis‖.
Sebuah peristiwa yang merupakan resultante dari kontradiksi-kontradiksi yang
terdapat secara objektif dalam masyarakat kala itu, yang bahkan masih
berkelanjutan menembus waktu ke masa-masa berikutnya, hingga kini. Fakta
empiris menunjukkan bahwa dalam rentang waktu yang panjang hingga masa kini,
meminjam lontaran pemikiran tersebut, kontradiksi-kontradiksi masih melekat di
tulang sumsum masyarakat Indonesia, yang berakar dari sejumlah faktor
disintegrasi yang belum juga tersembuhkan.
Setelah
pembunuhan enam jenderal dan satu perwira menengah dalam Peristiwa 30 September
1965, terjadi gelombang pembalasan. Di mulai dengan penyerbuan kantor CC PKI
dan pembakaran Universitas Res Publica (belakangan dibuka kembali sebagai
Universitas Trisakti), sepanjang Oktober hingga beberapa waktu sesudahnya
terjadi gelombang penyerbuan terhadap kantor-kantor organisasi lainnya yang ada
hubungannya dengan PKI dan organisasi kiri lainnya.
Bukan hanya
di Bandung dan Jakarta, tetapi juga menjalar ke kota-kota lainnya seperti Medan
sampai Makassar. Aksi di kota-kota besar itu umumnya, hanya menyangkut asset,
terutama kantor-kantor milik organisasi kiri, dan tidak ditujukan kepada
tindakan fisik terhadap manusia. Kalau pun ada tindakan terhadap
anggota-anggota organisasi kiri, adalah sebatas meringkus‘ untuk selanjutnya
diserahkan kepada aparat militer, dari Angkatan Darat.
Ketika para
pemuda dan mahasiswa melakukan aksi-aksi penyerbuan itu, Angkatan Darat,
berdasarkan wewenang Jenderal Soeharto sebagai Panglima Komando Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, menjalankan sendiri kesibukannya, melakukan
pembersihan berupa penangkapan terhadap tokoh-tokoh organisasi kiri, hampir di
seluruh wilayah tanah air. Menurut Soeripto SH, aktivis mahasiswa tahun
1960-an, Setahu saya, Soeharto waktu itu memberi perintah, semua anggota politbiro
PKI harus dieliminasi, agar PKI lumpuh. Kebetulan politbiro PKI ketika itu
didominasi oleh sayap Peking, dan itulah pula sebabnya banyak tokoh PKI yang
merupakan sayap Moskow selamat. Pemberantasan tokoh-tokoh PKI terutama
dijalankan oleh RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) di bawah komando
dan berdasarkan inisiatif Kolonel Sarwo Edhie. Secara umum Soeharto membiarkan
inisiatif Sarwo Edhie itu berlangsung dan tidak pernah menegur.
Fase
Berdarah Babak Kedua
RPKAD yang
telah merampungkan tugas di Jakarta, mendapat tugas lanjutan untuk melakukan
penyisiran untuk menangkap tokoh-tokoh PKI dan organisasi onderbouwnya terutama
di Jawa Tengah dan Jawa Timur, lalu kemudian di Bali. Tetapi bersamaan dengan
itu terjadi pula satu gelombang pembalasan, yang berbeda dengan apa yang
dilakukan para mahasiswa dan organisasi pemuda di perkotaan, justru ditujukan
kepada sasaran manusia dalam rangkaian kekerasan kemanusiaan melalui cara yang
berdarah-darah. Berlangsung secara horizontal, terutama di Jawa Tengah, Jawa
Timur dan Bali, dilakukan oleh sejumlah organisasi massa dalam kadar yang
tinggi. Juga di beberapa propinsi lain, meskipun dalam kadar sedikit lebih
rendah seperti di Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan serta secara sporadis di
wilayah tertentu di Jawa Barat. Bila yang terjadi di kota-kota besar adalah
tindakan fisik terhadap kantor-kantor organisasi politik kiri, untuk
melumpuhkan kegiatan, yang dilakukan oleh pemuda,pelajar dan mahasiswa, masih
bisa dimasukkan dalam kategori insiden politik, maka yang terjadi di
daerah-daerah adalah malapetaka sosiologis.
Kisah Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Dalam malapetaka sosiologis yang terjadi, gelombang
pembalasan yang paling parah di Pulau Jawa dialami oleh massa PKI di Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Di Jawa Tengah, dan juga di Yogya, para pelakunya justru
terutama dari organisasi-organisasi massa yang terkait dengan PNI, meskipun di
tingkat nasional, PKI dan PNI merupakan partner dalam struktur politik Nasakom.
Dalam aksi
pembalasan terhadap kelompok komunis di Jawa Tengah ini, yang menjadi tulang
punggung utama adalah Pemuda Marhaenis, dan mendapat bantuan dari pemuda-pemuda
Islam seperti dari Barisan Ansor Serbaguna. Sementara itu di Jawa Timur, dalam
konflik massa komunis versus kelompok non komunis, kekuatan utama non komunis
adalah massa NU, terutama dari Banser, yang di beberapa tempat seperti
Banyuwangi didukung oleh Pemuda Marhaenis.
Di Jawa
Tengah, persaingan politik dan pengaruh memang terjadi terutama antara PKI dan
PNI, mulai dari posisi-posisi di badan-badan perwakilan maupun dalam pengaruh
pada pemerintahan. Menurut tokoh GMNI Siswono Judohusodo, pada masa Nasakom
hanya PNI yang berani menghadapi aksi-aksi keras PKI, terutama di Jawa Tengah.
Para pemilik tanah yang luas dan kalangan dunia usaha di Jawa Tengah pada
umumnya adalah pendukung-pendukung PNI, sementara para buruh tani dan kalangan
buruh kecil, atau setidaknya para petani yang lebih miskin, pada umumnya adalah
pengikut-pengikut PKI.
Ketika BTI
melakukan aksi-aksi sepihak dalam rangka UUPA terhadap tanah-tanah yang
dianggap milik para tuan tanah dan para petani kaya, yang terkena pada umumnya
adalah pengikut-pengikut PNI. Dan sewaktu SOBSI tak henti-hentinya menjalankan
aksi-aksi kaum buruh, mereka selalu berhadapan dengan kelompok ‗majikan‘ yang umumnya
adalah warga PNI.
Tokoh-tokoh
PNI, seperti misalnya Hardi SH pernah mengadu langsung tentang sikap provokatif
dan agresif massa PKI terhadap PNI dan kepentingan-kepentingannya di Jawa
Tengah, tetapi Soekarno selalu balik mengingatkan agar menjaga kekompakan
sebagai satu barisan dalam Nasakom. PKI Jawa Tengah sendiri, dalam berbagai
kesempatan telah melakukan serangan-serangan politik kepada PNI.
PKI juga
berkali-kali melakukan serangan-serangan politik yang menggoyang para bupati
yang kebetulan adalah dari kalangan simpatisan PNI. Sikap tanpa tenggang rasa
yang dilakukan PKI Jawa Tengah, selama beberapa tahun telah mengakumulasi
kebencian di berbagai tingkat lapisan PNI, dari akar rumput hingga ke elit PNI
di daerah tersebut. Hal lain yang menjadi fenomena menarik di Jawa Tengah ini
adalah bahwa di beberapa daerah, banyak kalangan tentara dari Divisi
Diponegoro, ada di bawah pengaruh PKI sejak lama dan dalam banyak peristiwa,
baik sebelum Peristiwa 30 September 1965, maupun sesudahnya menunjukkan perpihakannya
yang nyata kepada PKI dan organisasi-organisasi mantelnya seperti BTI atau
Pemuda Rakyat. Bahkan pada 1 Oktober 1965, sejumlah perwira berhaluan komunis
pada Divisi Diponegoro ini sempat mengambilalih kendali komando Kodam untuk
seberapa lama.
Dalam suatu
peristiwa aksi sepihak di Klaten, tahun 1964, sebagaimana dilaporkan oleh
sebuah tim peneliti dari Universitas Gajah Mada, seorang Puterpra (Perwira
Urusan Teritorial dan Pertahanan Rakyat) terlibat melakukan tugas pengawalan
tatkala BTI membantu seorang petani menggarap kembali sawahnya yang pernah
dijualnya dan bahkan sudah dikalahkan di pengadilan. Sementara anggota BTI
menggarap sawah, sang Puterpra mengeluarkan kata-kata Teruslah kalian
mengerjakan sawah. Kalau ada orang PNI datang biar saya tembak mereka. Banyak
Puterpra, terutama di kabupaten-kabupaten yang Komandan Kodim-nya adalah
perwira berhaluan atau simpatisan PKI, dengan alasan untuk aksi Dwikora
melakukan pelatihan-pelatihan kemiliteran secara intensif di desa-desa yang
didominasi oleh PKI, BTI dan Pemuda Rakyat. Bahkan ada sejumlah desa yang
sampai memiliki sistim pertahanan yang kuat berlapis sehingga tak mungkin ada
yang bisa datang dan menyerbu desa itu tanpa ketahuan. Beberapa desa memiliki
persenjataan militer yang umumnya dipegang oleh Pemuda Rakyat yang sudah
menjalani latihan militer.
Bagi anda yang berminat dengan permainan kartu online berbayar yang dapat dipercaya, silahkan klik link situs kami di agen judi online dan daftar menjadi member kami sekarang juga, maka anda akan mendapatkan fasilitas dan bonus. Layanan kami ini di dukung dengan fasilitas chat yang selalu siap melayani dan menemani anda selama 24 jam penuh.
No comments:
Post a Comment