Bagian Kelima
“Mengingat
integritas dan reputasi kejujuran Sarwo Edhie, catatan itu pasti berisikan
hal-hal yang amat berharga dan relatif tidak mengandung unsur pemalsuan
sejarah.
Atau catatan itu justru hilang‟ karena bersih dari pemalsuan sejarah?
Selain korban jiwa dalam malapetaka sosial tersebut, yang sebenarnya tak hanya
menimpa massa pendukung PKI, sejumlah orang juga menjadi tahanan politik
bertahun-tahun lamanya di berbagai tempat penahanan di seluruh Indonesia dan
kemudian di Pulau Buru”.
SEPERTI
halnya di Sulawesi Selatan, PNI Sulawesi Utara cukup menonjol, di antaranya di
kabupaten (waktu itu) Gorontalo, Bolaang Mongondow dan sebagainya. Mirip yang
terjadi di Bali, maka peranan ‗pembasmian‘ terhadap PKI yang terjadi di daerah
ini banyak dipelopori oleh massa PNI dan organisasi-organisasi mantelnya, serta
massa NU yang memiliki dendam antara lain berdasarkan solidaritas atas nasib
akar rumput NU di Jawa Timur yang menjadi sasaran aksi-aksi sepihak PKI. Meskipun
secara historis ada sedikit peninggalan kebencian dan sikap anti komunis yang
kuat di daerah ini sejak masa Permesta, kebencian itu tidak sampai menyebabkan
adanya kekerasan berlebih-lebihan terhadap anggota PKI pasca Peristiwa 30
September 1965. Sebelum peristiwa di Sulawesi Utara tak tercatat adanya aksi
sepihak soal tanah, karena PKI hanya sebatas melakukan provokasi dengan
ucapan-ucapan bernada ancaman kepada para pemilik tanah yang luas-luas, bahwa
sewaktu-waktu massa akan menduduki tanah mereka. Jadi memang tak ada kondisi
objektif yang pantas untuk menjadi alasan bagi suatu gelombang pembalasan.
Bahkan terjadi suatu situasi unik, karena sejumlah tokoh pemerintahan atau eks
pejabat yang diketahui punya sejarah melakukan korupsi, seperti yang terjadi di
Bolaang Mongondow, justru diduduki dan dikuasai rumahnya oleh massa, dan ini
tak ada urusannya dengan keterlibatan pada PKI.
Memang, tak
dapat dihindari, bahwa ada juga anggota PKI yang dibunuh, namun jumlahnya
terbatas. Faktor dendam pribadi, biasanya bekerja dalam kasus-kasus seperti
ini. Pada umumnya, massa yang bergerak hanyalah melakukan pengrebegan terhadap
anggota-anggota yang dikenal sebagai tokoh PKI, lalu digiring untuk diserahkan
kepada tentara atau polisi. Isteri dan anak-anak mereka tidak diganggu. Rumah
Robby Sumolang, tokoh nasional IPPI yang secara nasional sangat populer di
Jakarta, dan dikenal sangat pro golongan kiri, hanya kena cat dengan kotak
hitam, disertai tulisan di bawah pengawasan Kodim. Yang menjadi salah satu
catatan menarik dalam rangkaian pembasmian terhadap PKI di Sulawesi Utara ini
adalah kasus 40 anggota PKI yang ditangkap oleh pihak militer di bawah
koordinasi seorang Mayor bernama Sudjarwo yang di Sulawesi Utara disebut
sebagai anak buah Sudharmono lalu dibawa ke pulau Jawa dengan menggunakan
sebuah kapal kayu. Nasib 40 orang ini tidak pernah jelas, apakah tiba di Pulau
Jawa atau tidak, mereka pun tak pernah kembali ke Sulawesi Utara. Mungkin
ditenggelamkan di tengah laut, ujar Lukman Mokoginta mengutip anggapan masyarakat
kala itu. Peristiwanya sendiri terjadi tahun 1967, sudah cukup jauh dari akhir
1965.
Pembasmian
dini di Jawa Barat. Di tengah gelombang pembasmian PKI, khususnya di pulau
Jawa, fenomena yang paling menarik mungkin adalah yang terjadi di Jawa Barat.
Ketika praktis seluruh pulau Jawa ada dalam arus pembasmian massal yang
berdarah, Jawa Barat menunjukkan kelainan. Gerakan pembasmian PKI umumnya hanya
terjadi di kota-kota, terutama di kota Bandung, dan relatif tidak berdarah
karena lebih ditujukan pada pengambilalihan kantor-kantor milik PKI dan
organisasi-organisasi sayapnya. Lagipula penyerbuan-penyerbuan ke kantor-kantor
PKI itu dilakukan oleh massa mahasiswa dan pelajar yang tidak punya niat dan
kemampuan melakukan kekerasan berdarah. Pola pengambilan dan pembunuhan atas
pengikut-pengikut PKI terjadi secara sporadis saja di daerah tertentu,
khususnya di wilayah pantai utara, dilakukan oleh organisasi-organisasi massa.
Latar
belakang bagi situasi ini berasal dari masa sepuluh hingga limabelas tahun sebelumnya.
Orang-orang komunis di Jawa Barat, telah lebih dulu mengalami pembasmian sampai
ke akar-akarnya, sejak tahun 1950 hingga menjelang Pemilihan Umum 1955,
terutama di Priangan Timur. Sejak sebelum tahun 1950, khususnya 1945-1948,
pembelahan yang nyata terlihat di antara kaum santri yang umumnya dari NU
dengan kaum abangan, persis seperti dalam teori sosiologi menurut Clifford
Geertz. Kehadiran DI-TII merubah perimbangan. Sejak 1950-1951 terjadi gelombang
pembantaian terhadap pengikut-pengikut komunis seperti anggota Pesindo dan
sebagainya yang berada di pedesaan-pedesaan Priangan Timur. Di daerah pedesaan
Garut sebagai contoh, pengikut-pengikut komunis yang menghuni desa-desa
perbukitan mengalami pembantaian terutama oleh pasukan-pasukan DI-TII. Garut
saat itu berada dalam wilayah kekuasaan salah satu panglima perang DI-TII yang
terkenal di Priangan Timur, bernama Zainal Abidin. Tetapi selain oleh DI-TII,
pembantaian juga dilakukan oleh massa santri yang membenci orang-orang komunis
itu, terutama atas dasar anggapan bahwa mereka manusia tidak bertuhan dan
merupakan musuh Islam.
Pembantaian
yang berlangsung terus secara bergelombang dalam jangka waktu yang cukup
panjang, terutama berupa penyembelihan, mencapai skala yang cukup massal secara
akumulatif, juga terutama karena berlangsung dalam jangka waktu yang cukup
panjang dalam sebaran wilayah yang luas. Dalam satu gelombang peristiwa bisa
jatuh korban lebih dari seratus, dan secara sporadis angka korban puluhan dalam
setiap peristiwa adalah lazim. Pembasmian serupa, tak hanya terjadi di wilayah
Garut, tetapi merata di Priangan Timur. Hal serupa, meskipun dalam skala lebih
kecil terjadi pula di daerah-daerah di mana pengaruh DI-TII cukup kuat,
sementara sebaliknya tak tercapai dalam jangkauan dan akses keamanan TNI.
Penghitungan yang lebih akurat, misalkan berdasarkan data yang dimiliki Kodam
Siliwangi, menjadi agak sulit karena tercampur dengan korban-korban DI-TII dari
kelompok masyarakat lainya dan tercampur pula dengan data korban di kalangan
rakyat akibat pertempuran antara DI-TII dan pasukan Siliwangi.
Pembantaian
di pedalaman Jawa Barat ini, menyebabkan terjadinya arus pengungsian pengikut
komunis ini ke kota-kota, terutama ke Bandung. Ini menjelaskan kenapa di Jawa
Barat, PKI hanya bisa berkembang cukup baik di perkotaan terutama pada era
Nasakom 1961-1965. Sementara itu, karena akar-akarnya telah ditumpas di wilayah
pedalaman, seperti dituturkan Dr Aminullah Adiwilaga seorang pengajar di
Universitas Padjadjaran dan Drs Adjan Sudjana, maka PKI tak mampu membangun
jaringan baru partai secara signifikan di wilayah luar perkotaan Jawa Barat.
Dan ketika pecah Peristiwa 30 September 1965, relatif tak ada sasaran bagi
massa anti PKI di wilayah pedalaman Jawa Barat.
Karena
penangguhan “political solution‟ yang dijanjikan Soekarno?
Berapa
korban yang jatuh dalam malapetaka sosiologis pasca Peristiwa 30 September
1965? Perkiraan yang moderat menyebutkan angka 500.000 jiwa. Perhitungan lain,
berkisar antara 1.000.000 sampai 2.000.000. Tetapi, Sarwo Edhie yang banyak
berada di lapangan, pasca peristiwa, baik di Jawa Tengah, Jawa Timur maupun di
Bali, suatu ketika menyebut angka 3.000.000. Hingga akhir hayatnya, Letnan
Jenderal Sarwo Edhie Wibowo bahkan tak pernah meralat angka yang disebutkannya
itu. Sebenarnya, Sarwo Edhie memiliki catatan-catatan tentang pengalamannya di
seputar Peristiwa 30 September 1965 dan masa-masa sesudahnya, termasuk mengenai
malapetaka sosiologis tersebut. Mungkin ada angka-angka signifikan dalam
catatan tersebut. Namun sayang, catatan Sarwo Edhie itu hilang di tangan orang
yang dititipi dalam rangka usaha menerbitkannya oleh ibu Sarwo Edhie, beberapa
waktu setelah sang jenderal meninggal.
Mengingat
integritas dan reputasi kejujuran Sarwo Edhie, catatan itu pasti berisikan hal-hal
yang amat berharga dan relatif tidak mengandung unsur pemalsuan sejarah. Atau
catatan itu justru hilang karena bersih dari pemalsuan sejarah? Selain korban
jiwa dalam malapetaka sosial tersebut, yang sebenarnya tak hanya menimpa massa
pendukung PKI, sejumlah orang juga menjadi tahanan politik bertahun-tahun
lamanya di berbagai tempat penahanan di seluruh Indonesia dan kemudian di Pulau
Buru. Professor Herbert Feith menyebutkan adanya 80.000 tahanan politik. Suatu
angka yang sebenarnya lebih rendah daripada kenyataan yang ada, apalagi
penangkapan terus berlangsung sampai bertahun-tahun sesudah peristiwa, tak
terkecuali korban salah tangkap.
Pada
tahun-tahun 1966-1967 bahkan hingga beberapa tahun berikutnya, berbagai pihak,
termasuk pers Indonesia cenderung menghindari menyentuh dan membicarakan
mengenai pembasmian berdarah-darah atas PKI ini. Hanya ada beberapa
pengecualian, seperti misalnya Soe Hok-gie melalui tulisan-tulisannya, termasuk
di Mingguan Mahasiswa Indonesia, edisi pusat maupun edisi Jawa Barat. Adalah
karena tulisan-tulisannya, Soe-Hokgie berkali-kali menjadi sasaran teror. Di
tahun 1966, melalui tulisannya di Mingguan Mahasiswa Indonesia, cendekiawan
muda dari ITB Mudaham Taufick Zen yang lebih dikenal sebagai MT Zen pernah
menyentuh substansi masalah tersebut. MT Zen menggambarkan adanya suasana
ketakutan rakyat Indonesia terhadap teror PKI selama beberapa tahun terakhir,
sebagaimana yang kemudian terbukti di Lubang Buaya. Dalam suasana itu, sebagai
akibat selalu ditangguhkannya political solution yang dijanjikan Bung Karno,
maka terjadilah pembunuhan besar-besaran di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta
tempat-tempat lain di Indonesia.
Perlu
dicatat bahwa setelah terjadinya Peristiwa 30 September 1965, harian-harian
milik tentara dan atau dipengaruhi tentara, seperti Berita Yudha dan Angkatan
Bersendjata, sangat berperanan dalam mengkampanyekan kekejaman PKI, terutama
mengenai kekejaman di Lubang Buaya. Brigadir Jenderal Sunardi DM mengakui
adanya kampanye seperti itu, untuk membangkitkan perlawanan rakyat terhadap PKI
dalam suatu percakapan dengan Rum Aly (penulis catatan ini). Penggambaran
mereka terhadap kekejaman yang dilakukan terhadap enam jenderal dan seorang
perwira pertama Angkatan Darat betul-betul berhasil menyulut kemarahan massal
di seluruh Indonesia, dengan dampak yang luar biasa dahsyat.
Baru
belakangan diketahui bahwa banyak berita yang dilansir amat dilebih-lebihkan.
Mingguan Mahasiswa Indonesia sendiri, kendatipun merupakan media yang menonjol
sikap anti komunisnya, tetap mampu memisahkan masalah kejahatan kemanusian dan
pelanggaran hak azasi dari dimensi subjektivitas politik, termasuk yang menimpa
anggota-anggota PKI.
Mingguan itu
memberi tempat kepada berbagai berita ekses, termasuk mengenai masalah tahanan
politik seperti pengungkapan angka oleh Herbert Feith dan kemudian
bahasan-bahasan ilmiah Pater MAW Brouwer mengenai Marxisme dan tentang nasib
orang-orang PKI. Teguran-teguran per telepon yang disampaikan oleh pihak aparat
militer, diabaikan. Pada tahun 1968-1969, Harian Sinar Harapan dan Harian
Indonesia Raya, juga pernah mendapat sedikit kesulitan dari pihak tentara
karena pemberitaannya mengenai pembunuhan atas diri orang-orang PKI di
Purwodadi yang dilakukan oleh kesatuan teritorial TNI-AD di daerah itu.
Bagi anda yang berminat dengan permainan
kartu online berbayar yang dapat dipercaya, silahkan klik link situs kami di
agen judi online dan daftar menjadi
member kami sekarang juga, maka anda akan mendapatkan fasilitas dan bonus.
Layanan kami ini di dukung dengan fasilitas chat yang selalu siap melayani dan
menemani anda selama 24 jam penuh.
No comments:
Post a Comment