Bagian Ketujuh
“Soeharto
dengan gaya khas Jawa menyembunyikan rapat-rapat keinginannya mengganti posisi
Soekarno.
Namun dari bahasa tubuh, semua pihak juga tahu bahwa Soeharto
memendam keinginan menjadi Presiden berikut menggantikan Soekarno, apalagi saat
itu momentum demi momentum telah membuka peluang-peluang untuk itu bagi
dirinya. Kerap kali Soeharto berbasa-basi menyatakan bahwa ia tak punya ambisi,
tetapi melalui kata-kata bersayap tak jarang pula ia menggambarkan kepatuhannya
terhadap kehendak rakyat dan tuntutan situasi. Ia adalah seorang dengan
kesabaran yang luar biasa, dan hanya bertindak setelah yakin mengenai apa yang
akan dicapainya”.
Bergulat
dalam dilema
MAHASISWA
Bandung pasca Surat Perintah 11 Maret, bukannya tanpa masalah. Hasjroel
Moechtar, dalam bukunya ‘Mereka dari Bandung’ (1998), menggambarkan
adanya perubahan iklim dan situasi. KAMI tanpa terasa telah tumbuh sebagai
suatu kekuatan atau lembaga kemahasiswaan yang formal. Keberadaannya sebagai
suatu organisasi mulai tampil menyerupai sebagai suatu instansi resmi. Sifat-sifat
dan watak perjuangannya yang semula tampak spontan, tidak resmi-resmian, agaknya
mulai mengalami perubahan. Keluarnya Surat Perintah 11 Maret, lalu
dibubarkannya PKI, menempatkan KAMI dan dengan sendirinya juga mahasiswa
sebagai pemenang. Ada prosedur, ada protokol, ada upacara, ada hirarki,
pokoknya ada ‗birokrasi‘ organisasi.
Dengan
anggapan diri sebagai pemenang, setiap organisasi mahasiswa yang tergabung di
dalamnya, mulai mengambil ancang-ancang untuk memperjelas posisi dan peranannya
dalam KAMI Bandung. Mulai muncul gejala tuntutan pembagian peranan. Mulai pula
kelihatan munculnya pengelompokan di antara ormas-ormas mahasiswa dalam versi
baru. Dengan nada tajam penuh kecaman, Hasjroel mengatakan tanpa disadari KAMI
sudah muncul sebagai kekuatan masyarakat yang ikut berkuasa atau
setidak-tidaknya memiliki pengaruh sebagaimana alat-alat kekuasaan yang
lainnya.
Keadaan atau
gejala itu sangat jauh berbeda dari situasi yang dihadapi pada tanggal 5
Oktober 1965 ketika mahasiswa Bandung yang anti komunis melancarkan aksi
pertama kalinya. Waktu itu, setiap pimpinan mahasiswa saling menunjuk rekannya
yang lain untuk tampil memimpin aksi mengganyang PKI. Bahkan banyak dari mereka
dengan berbagai alasan takut-takut dan menunda atau bahkan tidak mau
menandatangani pernyataan yang menolak Dewan Revolusi tanggal 1 Oktober 1965
ketika Letnan Kolonel Untung mengumumkannya melalui siaran Radio Republik
Indonesia.
Kembalinya
Kontingen Bandung dari Jakarta, pasca Peristiwa 11 Maret 1966, seakan mengikuti
naluri saja, karena memang tampaknya pergerakan berdasarkan idealisme semata
pun telah berakhir. Ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Erna Walinono bahwa
pada dasarnya kebanyakan mahasiswa Bandung bergerak berlandaskan keyakinan
sebagai gerakan moral dan bukan gerakan politik. Lalu, sebagian besar mahasiswa
dengan cepat beralih kepada gerakan-gerakan kemasyarakatan seperti gerakan anti
korupsi. Bahwa mahasiswa-mahasiswa Bandung dengan ciri gerakan moral ini
seterusnya terlibat pula dalam gerakan menjatuhkan Soekarno hingga setahun ke
depan, agaknya tak bisa dilepaskan dari sikap perlawanan terhadap
ketidakadilan, sikap a demokratis dan otoriter dari kekuasaan Soekarno.
Tidak dalam
konotasi politik untuk memperjuangkan tegaknya kekuasaan Soeharto. Tapi menurut
Erna, hingga sejauh itu, mahasiswa memang masih menaruh kepercayaan kepada
tentara terutama yang direpresentasikan oleh tokoh-tokoh seperti HR Dharsono,
Kemal Idris dan Sarwo Edhie Wibowo. Agaknya kala itu mayoritas mahasiswa belum
melihat adanya detail yang berbeda dalam tubuh tentara, bahwa tidak seluruh
perwira tentara seperti ketiga tokoh yang mereka kagumi saat itu.
Merupakan
pula kenyataan kemudian pada sisi yang lain, setelah lahirnya Surat Perintah 11
Maret, tahap idealisme memang telah bergeser memasuki tahap yang lebih
pragmatis menyangkut posisi kekuasaan. Secara umum setelah itu memang praktis
gerakan-gerakan fisik yang bermakna idealisme mulai menyurut untuk pada saatnya
nanti akan berakhir, yang sekaligus menandai surut dan berakhirnya KAMI.
Pergerakan-pergerakan yang terjadi kemudian, kalaupun melibatkan mahasiswa atau
generasi muda, sudah dalam konotasi berbeda, yakni lebih cenderung kepada
kepentingan politik praktis, terutama ekstra universiter yang mengikuti
ideologi organisasi induknya.
Atau
setidaknya, telah terbalut dengan kepentingan politik praktis dalam rangka
penentuan akhir posisi dalam kekuasaan negara. Bahkan di lingkungan HMI yang
semestinya lebih independen, terlihat kecenderungan mencari induk politik, yang
nampaknya waktu itu akan terpenuhi dengan mulai munculnya kabar tentang adanya
keinginan menghidupkan kembali Masjumi yang dibubarkan Soekarno pada era
Nasakom.
Kala itu,
kekuasaan di Indonesia seolah-olah memiliki matahari kembar yang menciptakan
dualisme. Di satu pihak ada Soekarno yang oleh para pendukungnya ingin tetap
dipertahankan untuk kemudian dikembalikan ke posisi semula. Para pendukung ini
tidak punya bayangan apapun tentang kekuasaan tanpa Soekarno. Soekarno tanpa
kekuasaan mutlak menjadi pengalaman baru yang menakutkan mereka. PNI yang
terbelah pun seakan kembali mulai menyatu dalam kepentingan bersama
mempertahankan Soekarno, dengan PNI Osa-Usep sebagai pembawa bendera karena
diterima oleh mahasiswa anti Soekarno dan partai-partai bukan kiri.
Pada pihak
lain sejumlah kaum intelektual di Jakarta, terlepas dari suka atau tidak suka secara
pribadi kepada Soeharto, melihat kehadiran Soeharto sebagai suatu peluang untuk
suatu perubahan, tepatnya pembaharuan tata kekuasaan negara. Soeharto yang
dianggap muncul sebagai fenomena dari historical by accident adalah
realitas objektif dan alternatif satu-satunya untuk saat itu bila berbicara
tentang perubahan kekuasaan. Memang masih ada figur Jenderal AH Nasution,
tetapi momentum demi momentum yang lepas sejak 1 Oktober 1965 hingga Maret
1966, menjauhkannya dari peluang. Apalagi, pada waktu bersamaan, di sekeliling
Soeharto telah muncul dengan cepat suatu lingkaran kuat yang semakin mengental
dengan tujuan akhir menjadikan Soeharto sebagai pemimpin nasional berikutnya
setelah Soekarno, cepat atau lambat.
Posisi
Soeharto dalam kaitan keinginan kaum intelektual yang ingin menginginkan
pembaharuan kekuasaan, maupun dalam kaitan keinginan lingkaran politik di
sekitar Soeharto, adalah sebagai objek atau alat. Tetapi sebaliknya Soeharto
juga memperalat mereka yang menginginkan perubahan itu, untuk mewujudkan
keinginannya sendiri yang telah tumbuh, baik dari hasrat pribadinya secara
manusiawi, maupun karena penciptaan situasi dan kondisi yang cukup cerdik dari
lingkaran politik sekelilingnya.
Terlihat
bahwa sejumlah kelompok mahasiswa yang tadinya merupakan satu kesatuan besar lintas
asal ideologis maupun sebagai campuran gerakan intra kampus dan ekstra kampus berangsur-angsur
kembali ke sarangnya masing-masing. Organisasi ekstra kembali ke partai induk
ideologisnya, sementara mahasiswa intra kembali ke dalam kehidupan yang lebih
memperhatikan dan terkait dengan kampusnya. Sementara itu, di antara
kutub-kutub arus balik itu terdapat sejumlah kelompok mahasiswa non ideologis,
serta sejumlah cendekiawan yang lebih senior, yang untuk sebagian disebut
kelompok independen yang berasal dari berbagai sumber, terjun ke suatu
pergulatan baru untuk merombak dan memperbaharui struktur politik lama.
Dalam satu
garis logika dan konsistensi, pertama-tama dengan sendirinya berarti mengakhiri
kekuasaan Soekarno sebagai representan utama struktur politik lama. Tahap
berikutnya, tentu saja menyangkut pembaharuan kehidupan kepartaian. Justru
dilemanya, adalah bahwa dalam rangka kepentingan mengakhiri kekuasaan Soekarno,
sebagian kekuatan partai itu dibutuhkan sebagai faktor, terutama dari sudut
kepentingan Soeharto. Tetapi suatu toleransi untuk memberi peranan kepada
partai-partai ideologis dari struktur lama itu, pada akhirnya hanya akan
menghasilkan sekedar penggantian pemegang peranan di panggung politik dan tidak
menciptakan suatu sistim dan praktek politik baru yang rasional. Sekedar
mengganti pelaku di atas panggung untuk permainan buruk yang sama.
Sadar atau
tidak sadar, tak bisa dihindari bahwa gagasan pembaharuan politik dengan
konotasi pertama-tama mengganti Soekarno, dalam banyak hal berimpit dalam suatu
wilayah abu-abu antara idealisme gagasan kaum intelektual dengan strategi
penyusunan kekuasaan dari kelompok politik Soeharto yang terdiri dari campuran
tentara dan cendekiawan sipil. Tetapi kelompok non ideologis yang independen
pada akhirnya lebih banyak berjalan sejajar dengan sejumlah perwira militer
anti komunis yang digolongkan sebagai kelompok perwira idealis atau kelompok
perwira intelektual. Termasuk paling menonjol dari barisan perwira idealis ini adalah
Mayor Jenderal Hartono Rekso Dharsono, yang pada bulan Juli 1966 naik setingkat
dari Kepala Staf menggantikan Mayjen Ibrahim Adjie sebagai Panglima Siliwangi.
Perwira
idealis lainnya adalah Mayjen Kemal Idris dan Mayjen Sarwo Edhie Wibowo. Tak
ada jenderal lain yang begitu dekat dan dipercaya para mahasiswa 1966, melebihi
ketiga jenderal ini. Begitu populernya mereka, sehingga kadangkala kepopuleran
Sarwo Edhie dan HR Dharsono misalnya melebihi popularitas Soeharto saat itu,
apalagi ketika Soeharto kemudian terlalu berhati-hati dan taktis menghadapi
Soekarno sehingga di mata mahasiswa terkesan sangat kompromistis. Kepopuleran
tiga jenderal ini kemudian juga menjadi semacam bumerang bagi karir mereka
selanjutnya. Melalui suatu proses yang berlangsung sistematis mereka disisihkan
dari posisi-posisi strategis dalam kekuasaan baru untuk akhirnya tersisih sama
sekali.
Bagi para
mahasiswa yang sangat dinamis dan menghendaki perubahan cepat, sikap alon-alon
waton klakon dan mikul dhuwur mendhem jero Soeharto seringkali tak
bisa dipahami. Dalam banyak hal perwira-perwira intelektual ini berbeda gaya
dengan Soeharto dalam menghadapi Soekarno. Kelompok idealis ini lebih to the
point dalam menyatakan ketidakpuasan mereka terhadap Soekarno dan tidak
menyembunyikan keinginan mereka untuk mengganti Soekarno secepatnya.
Terminologi yang mereka gunakan lebih lugas, jarang mengangkat istilah-istilah
dari perbendaharaan tradisional, khususnya dari khasanah kultur Jawa. Mereka
menggunakan kata-kata yang tegas dan dinamis seperti pendobrakan, pengikisan,
diikuti terminologi yang mencerminkan keinginan akan perubahan seperti
perombakan atau restrukturisasi dan pembaharuan total, terhadap sistem dan
struktur politik misalnya. Pernyataan-pernyataan yang memperlihatkan keinginan mengganti
Soekarno bukan hal yang tabu untuk diucapkan.
Sebaliknya,
Soeharto dengan gaya khas Jawa menyembunyikan rapat-rapat keinginannya
mengganti posisi Soekarno. Namun dari bahasa tubuh, semua pihak juga tahu bahwa
Soeharto memendam keinginan menjadi Presiden berikut menggantikan Soekarno,
apalagi saat itu momentum demi momentum telah membuka peluang-peluang untuk itu
bagi dirinya. Kerap kali Soeharto berbasa-basi menyatakan bahwa ia tak punya
ambisi, tetapi melalui kata-kata bersayap tak jarang pula ia menggambarkan
kepatuhannya terhadap kehendak rakyat dan tuntutan situasi. Ia adalah seorang
dengan kesabaran yang luar biasa, dan hanya bertindak setelah yakin mengenai
apa yang akan dicapainya. Tak mudah ia tergoda menerkam setiap peluang yang muncul.
No comments:
Post a Comment