Dari
kesaksian Hersri Setiawan, seoarang ex-tapol P. Buru, saat berdiskusi
peluncuran buku berjudul "Bung Karno Menggugat! Dari Marhaen, CIA,
Pembantaian Massal '65, hingga G30S", karya DR. Baskara T. Wardaya SJ,
direktur PUSdEP. Peluncuran dilangsungkan di
Realino Yogyakarta dengan dua pembahas, DR Asvi Warman Adam, peneliti senior LIPI Jakarta dan Hersri sendiri. Pagi 1 Oktober '65 jam 07:00 saya mendengar siaran RRI Jakarta tentang pembentukan Dewan Revolusi (DR) di Jakarta.
Realino Yogyakarta dengan dua pembahas, DR Asvi Warman Adam, peneliti senior LIPI Jakarta dan Hersri sendiri. Pagi 1 Oktober '65 jam 07:00 saya mendengar siaran RRI Jakarta tentang pembentukan Dewan Revolusi (DR) di Jakarta.
Sementara
kawan barangkali ada yang menganggapnya sebagai "gerakan kiri." Sore
itu saya ke RRI di Jalan Merdeka Barat. Saya melihat tentara-tentara yang
berjaga-jaga di gedung RRI di Istana, dan di kantor telegrap di Merdeka
Selatan. Mereka itu tentara DR, dengan tanda pengenal pita hijau-kuning di
pangkal lengan. Semuanya kelihatan loyo. Markas Kostrad tidak di jaga! Tapi
dalam sidang kabinet pertama sesudah "peristiwa", mungkin tanggal 6
Oktober, Presiden Sukarno dengan suara marah menyebutnya sebagai
"putsch"! Revolusi, masih kata BK, bukan dengan menculik dan
membunuh! Saya lalu teringat kejadian-kejadian di Asia Timur dan Asia Selatan
sepanjang paroh pertama 1965.
Yaitu
kejadian-kejadian penindasan terhadap gerakan pemuda dan mahasiswa kiri di
Jepang dan Korea Selatan, dan ditumbangkannya "secara konstitusional"
kekuasaan PM Ny. Sirimavo Bandaranaike. Kekalahan Sirimavo ini diramaikan
dengan pemberitaan bernada insinuasi media massa Ceylon tentang dukungan
sembilan negara Asia-Afrika dan "Blok Timur" dalam kampanye pemilu
Sirimavo - di mana Indonesia disebut. Saya lalu bertanya-tanya dalam hati:
Apakah G30S 1965 di Jakarta bukan bagian dari "grand strategy" A.S.
ketika itu? Jadi, apakah ini bukan provokasi kaum kanan terhadap PKI, melalui
perwira-perwira menengah binaan "BC"? Provokasi untuk kesekian
kalinya, dan kali ini berhasil? Pada 2 Oktober editorial "HR"
menyatakan dukungannya kepada "DR", yang diikuti oleh Omar Dhani
atasnama MBAU. Pada 5 Oktober Njono, orang-pertama (CDR; Comite Djakarta Raja)
Komite PKI Jakarta Raya, ditangkap.
Pada tanggal
12 Oktober Jendral Soeharto merebut kekuasaan militer. Di bulan Januari tahun
1966 beberapa pakar Indonesia di Cornell Univesity, A.S., mempublikasikan untuk
pembaca terbatas 'Laporan Sementara' tentang peristiwa September-Oktober 1965
di Indonesia. Mereka sangat menyangsikan pemberitaan bahwa peristiwa itu kup
komunis, seperti dikatakan penguasa di Indonesia dan dunia Barat. Dengan
menggunakan "Laporan Cornell" sebagai bahan, WF Wertheim menulis
karangan di mingguan Belanda "De Groene Amsterdammer" 19 Februari
1966, dengan judul "Indonesia beralih ke kanan" Dalam karangannya ini
ia mempertanyakan: Mengapa perhatian dunia Barat terhadap pembunuhan massal di
Indonesia sangat kecil, jika dibanding dengan tragedi-tragedi lain di dunia,
yang terkadang jauh lebih ringan? Barangkali alasannya karena, masih menurut WF
Wertheim, pandangan umum melihat bahwa peristiwa itu terjadi oleh kesalahanan
golongan kiri sendiri.yang bersalah.
Tapi dari
kenyataan itu timbul pertanyaan lain: Apakah "diamnya" dunia Barat
bukan karena mereka sendiri yang mengorganisir gerakan 30 September, dan yang
"meng-otak-i" pembunuhan terhadap enam jendral itu?. Selain itu jika
melihat gerakannya yang dengan penculikan dan pembunuhan, ini bukan ciri
gerakan revolusioner. Ini gerakan sekelompok militer yang melakukan
"putsch", seperti dikatakan BK. Selain itu juga ganjil jika
dihubungkan dengan PKI, oleh karena partai ini tidak menunjukkan kesiapan dan
persiapan untuk berjuang melalui laras senjata. Beriringan dengan meningkatnya
suasana (pinjam istilah BK) "gontok-gontokan", berulangkali DN. Aidit
menegaskan pendirian partainya: "Kalau tergantung kami, kami lebih suka
menempuh jalan damai".
Begitu juga
kita bisa mengacu pada teori "dua aspek", yaitu aspek pro-Rakyat dan
aspek anti-Rakyat di dalam tahap revolusi nasional demokratis, yang sejak
sekitar 1963 didengung-dengungkan oleh PKI. Lebih-lebih jika kita perhatikan
kata-kata Njoto tahun 1964 dalam menjawab pertanyaan W.F. Wertheim, yang
cenderung "over estimate" pada kekuatan sendiri, tapi sekaligus
"under estimate" terhadap kekuatan militer (AD) dan kaum reaksioner
di dalam negeri. Lalu, siapakah tokoh Syam Kamaruzzaman, Ketua BC CCPKI, yang
di dalam proses Letkol Untung Samsuri disebut-sebut sebagai tokoh terkemuka
komunis itu? Mengapa ia tidak segera ditangkap, dan sesudah ditangkap tidak
segera diadili dan/atau langsung didor seperti yang berlaku terhadap
"tokoh terkemuka" komunis lainnya?
Belakangan
Ben Anderson pernah menyebut, dalam salah satu tulisannya, bahwa Syam sudah
sejak awal 1950-an bekerja untuk KMKB Jakarta Raya di masa komandan Kol.
Dachyar. Radio Belanda ketika memberitakan tertangkapnya Syam, menurut WF
Wertheim, juga dengan embel-embel keterangan bahwa ia seorang "double
agent". Harian "Sinar Harapan" 13 Maret 1967, melalui judul
pemberitaannya, juga mempertanyakan: "Apakah Sjam double agent?"
Tetapi sesudah itu media massa Indonesia tidak pernah lagi menyebut-nyebutnya
sebagai "double agent". Dalam setiap proses ketika Sjam muncul
sebagai saksi atau terdakwa, ia selalu dilukiskan sebagai komunis sejati, yang
sangat dekat dengan ketua CC-PKI DN Aidit.
Banyak
cerita mengatakan Suharto anggota "Pemuda Pathuk" -- walaupun cerita
ini dibantah keras Ibu Dayino (isteri Pak Dayino salah seorang pendirinya),
dalam majalah "Tempo" (maaf, lupa edisi kapan), dalam mana Syam salah
seorang anggotanya. Itu berarti kedua mereka sudah saling kenal sejak tahun
1946. Bahwasanya Syam ternyata agen tentara yang disusupkan kedalam PKI, saya
lalu bertanya-tanya: Mungkinkah Suharto sendiri terlibat dalam permainan
munafik ini? Apapun jawabannya, tetapi jelas Soeharto itulah orang yang paling
pandai dan berhasil memanfaatkan segala kejadian yang timbul sesudah kejadian 1
Oktober dini hari itu. WF Wertheim mengatakan, "kalau semua itu terjadi
dalam cerita detektif, segala petunjuk menuju kepada dia. Paling sedikit
Soeharto sebagai orang yang telah mendapat informasi sebelumnya.
Setahun
sebelum peristiwa 1965, Soeharto hadir pada pernikahan Letkol Untung di
Kebumen." Dalam bulan Agustus 1965 Soeharto bertemu Jenderal Supardjo di
Kalimantan. Soeharto tidak ditangkap oleh gerakan Untung. Markas Kostrad tidak
diduduki dan tidak dijaga pasukan "DR". Sekitar jam 4 sore ransum
nasi bungkus dibagi-bagi Kostrad untuk tentara-tentara "DR" yang
kelaparan di sekeliling Monas. Jam enam sore mereka mulai mengalir menyerahkan
diri ke Kostrad. Pendeknya, Soeharto bertindak "sangat efisien" dalam
"menumpas pemberontakan" - seakan-akan "Kartu-As" sudah di
genggaman tangannya! Sementara itu kelompok Untung dkk sangat tidak beruntung.
Mereka semua menjadi bingung. Termasuk DN Aidit yang lalu lari (lebih tepat
"dilarikan Sjam") ke Halim.
Ia masuk
perangkap, dari provokasi ke provokasi! Tahun 1970 terbit buku
Arnold Brackman, jurnalis A.S. reaksioner, yang berjudul "The Communist
Collapse in Indonesia". Di halaman 100 Brackman menceritakan wawancaranya
dengan Soeharto, sekitar pertemuannya dengan Kolonel Latief, tokoh ketiga dalam
pimpinan G30S. Isi pokoknya Latief menjenguk anak Soeharto di RSPAD yang sakit
ketumpahan sup panas. Berkata Soeharto: "Lucu juga kalau diingat kembali.
Saya ingat Kolonel Latief datang ke rumah sakit malam itu untuk menanyakan
kesehatan anak saya. Saya terharu atas keprihatinannya." Lalu: "Saya
tetap di rumah sakit sampai menjelang tengah malam dan kemudian pulang ke
rumah". Kol. Latief, tokoh terpenting G30S di samping Letkol Untung dan
Brigjen Supardjo, bertemu dengan seseorang hanya empat jam sebelum gerakan dimulai,
tentu bukan untuk urusan sup panas! Saya setuju dengan Prof. Wertheim,
andaikata dalam kisah detektif, peristiwa pertemuan dua orang itu benar-benar
sebuah the missing link, sebuah mata-rantai yang hilang, yang alhamdulillah
kita temukan melalui pengakuannya sendiri!
Tapi, juga
menarik dipertanyakan, mengapa Soeharto menceritakan hal itu pada Brackman?
Agaknya ada orang lain yang mengetahui kunjungan Latief di rumah sakit,
sehingga Soeharto merasa perlu memberi alasan dan menyatakannya kepada publik.
Sementara itu dalam wawancaranya yang lain, yang disiarkan mingguan Jerman
Barat "Der Spiegel" 27 Juni 1970, Soeharto juga menyebut pertemuannya
dengan Kolonel Latief di RSPAD. Tentu saja pertemuan yang sama seperti yang
diceritakan pada Brackman. Tapi kali ini ia bercerita dengan kebohongan yang
jauh berbeda. "Mengapa tuan Soeharto tidak termasuk daftar
jenderal-jenderal yang harus dibunuh?" Tanya wartawan "der
Spiegel". Jawab Soeharto: "Pada jam 11 malam Kolonel Latief, seorang
dari komplotan kup itu, datang ke rumah sakit untuk membunuh saya.
Tetapi
akhirnya ia tidak melaksanakan rencananya, karena tidak berani melakukannya di
tempat umum." Bukan Kolonel Latief, tapi Jenderal Soeharto, yang pamer
kebodohan di sini. Empat jam sebelum gerakan dimulai ia membunuh Soeharto? Ini
pasti akan berakibat seluruh rencana gerakan gagal sebelum dimulai! Dua masalah
timbul pada saya: pertama, kebohongan itu sendiri; dan kedua, apa alasan
pembohongan itu? Apa yang hendak disembunyikannya oleh "the smiling
general" ini?
Namun senyum
jenderal yang satu ini agaknya selain ekspresi bakat juga merupakan kiat
pembohongnya. Karena dalam otobiografinya ternyata Soeharto lagi-lagi
membohong. Di sana diceritakannya, ia tidak bertemu Latief di RS. Ia hanya
melihat dari ruangan tempat anaknya dirawat, dan di situ ia berjaga bersama
isterinya. Latief jalan di koridor melalui kamar itu! Kolonel yang empat jam
lagi punya gawe besar jalan-jalan di RS!? Siapa percaya? Penuturannya yang
berikut ini juga aneh sekali, seandainya ia tidak bohong.
Menurut
pengakuannya sendiri, ketika pada jam 12 tengah malam ia keluar dari rumah
sakit, bukan bergegas memperingatkan jenderal-jenderal rekannya yang akan
ditimpa nasib malang, melainkan terus pulang ke rumah untuk tidur! Dari
data-data di atas, kiranya agak pasti bahwa Soeharto kalau bukan dalang, dialah
"the missing link" antara sang dalang dan si pelaku utama. Artinya
Soeharto paling tidak terlibat berat dalam "Peristiwa '65". Menurut
pasal 4 Kpts Kepala Kopkamtib 18 Oktober 1968, tentang klasifikasi tapol, orang
ini bisa termasuk Golongan A, yaitu semua orang yang terlibat secara langsung.
Siapakah orang yang bisa disebut terlibat secara langsung? Menurut Pasal 4
tersebut di antaranya, adalah semua orang yang mempunyai pengetahuan lebih dulu
tentang rencana kup, yang kemudian melaporkannya kepada yang berwajib.
Jadi, pada
malam hari itu Soeharto seharusnya melapor paling sedikit kepada Jenderal Yani
dan Jenderal Nasution. Soeharto sejatinya jelas lebih terlibat ketimbang kami
yang Golongan B, atau saya yang Golongan B1/PKI Malam, yang karena terlibat
'tidak langsung' harus diisolasi 13-14 di penjara atau di pulau pengasingan
Buru. Lebih lama dari hukum buang 13 tahun, yang harus dijalani keluarga
Pandawa dalam lakon "Pandhawa Dhadhu". Karena kalah bermain dadu,
akibat dicurangi Dursasana yang dengan sembunyi-sembunyi memutar papan dadu 360
derajat, Puntadewa yang jago main dadu di seluruh penjuru jagad pewayangan itu,
harus kalah dari Suyudana si sulung keluarga Kurawa.
Akibatnya
keluarga Pandawa, termasuk Ibu Kunthi, harus menjalani hukuman pembuangan oleh
keluarga Kurawa. Selama 13 tahun dengan harus menghilangkan identitas mereka.
Di tengah hutan pembuangan tiba-tiba datang seekor Garangan Putih yang memandu
mereka, melalui lorong di bawah tanah, dan muncul di kawasan kerajaan Wiratha.
Mereka masing-masing lalu berganti nama dan profesi. Puntadewa bernama
Dharmaputra, menjadi guru judi Sri Baginda Wiratha. Bima bernama Jagal Abilawa,
menjadi tukang potong hewan. Arjuna bernama Kandihawa, menjadi guru tari. Si
kembar Nakula-Sahadewa sebagai Pinten-Tangsen menjadi pustakawan kerajaan
Wiratha. Lakon "Pandhawa Dhadhu" sebuah lakon politik dunia
pewayangan yang memang pas untuk pasemon lakon untung-untungan Obrus Untung
pada awal Oktober 1965. Dengan demikian Soeharto dan Syam Kamaruzzaman
merupakan orang-orang yang mempunyai pengetahuan lebih dulu tentang peristiwa
itu.
Kedua mereka
itu dua provokator bersama terhadap Untung dkk dalam peristiwa tersebut, atau
yang satu (Soeharto) memprovokasi yang lain (Syam), dan pada gilirannya
memprovokasi "anak-anak" yang di bawah binaannya. Barangkali masih
ada orang lain yang, walaupun sedikit, juga mempunyai pengetahuan lebih dulu.
Orang itu ialah Soekarno. Tetapi bisa dipastikan bahwa ia tidak mengingini
pembunuhan terhadap para jenderal yang dituduh membentuk Dewan Jenderal
(selanjutnya "DD", sesuai dengan ejaan saat itu) Soekarno orang yang
paling takut pertikaian (jangan gontok-gontokan, pesannya berulang-ulang)
apalagi pertumpahan darah (silakan jor-joran, tapi jangan dor-doran; ia selalu
memperingatkan). Maksud Soekarno barangkali hanya sejauh untuk meminta
pertanggung-jawaban mereka.
Maka sesudah
mendengar ada beberapa jenderal yang mati di/terbunuh, ia segera memberi
perintah supaya seluruh gerakan berhenti. Mungkin Untung, Latief dan Supardjo
pun tidak menghendaki pembunuhan, melainkan hanya hendak menghadapkan mereka
kepada Presiden untuk diminta pertanggungjawaban mereka - seperti demikianlah
yang banyak terungkap di persidangan. Pada malam 30 September Soekarno dan
Aidit agaknya memang yakin tentang adanya "DD", dan bahwa
"DD" berencana merebut kekuasaan pada tanggal 5 Oktober 1965
(Perhatikan Laporan Dubes AS Marshall Green 1 Oktober 1965 pts 2 dan 4). Begitu
juga Untung dkk yakin "DD" memang ada. Dalam prosesnya tahun 1967
juga Sudisman yakin tentang adanya DD dan rencana mereka.
Begitu juga
pendapat PKI, seperti nampak dalam dokumen "KOK"mereka. Tetapi kalau
"Peristiwa '65" memang suatu provokasi, apakah mungkin "DD"
menjadi dalangnya? Agaknya tidak! Keterangan bekas Mayor Rudhito dalam proses
Untung barangkali bisa membantu mengurai teka-teki ini. Ia memberi keterangan
tentang pita perekam mengenai "DD" yang didengarnya dan catatan
tentang isinya, yang ia terima pada 26 September 1965 di depan gedung Front
Nasional. Ia menerima barang bukti itu dari Muchlis Bratanata dan Nawawi
Nasution, keduanya dari NU, dan Sumantri Singamenggala dan Agus Herman
Simatoepang, keduanya dari IPKI. Mereka mengajak Rudhito membantu pelaksanaan
rencana DD. Dari pita itu dapat didengar pembicaraan dalam suatu pertemuan yang
diadakan pada 21 September di gedung Akademi Hukum Militer di Jakarta.
Rudhito
ingat, ia mendengar suara Mayjen S. Parman yang mengatakan, juga dari catatan
yang Rudhito baca, sebuah daftar tokoh-tokoh yang akan diangkat sebagai
menteri: AH Nasution calon perdana menteri; Suprapto menteri dalam negeri, Yani
menteri hankam, Harjono menteri luar negeri, Sutojo menteri kehakiman dan S.
Parman sendiri jaksa agung. Nama lain yang disebut, di antaranya Jenderal
Sukendro. Perlu diperhatikan, bahwa nama Soeharto tidak disebut-sebut!
Ternyata
tape itu tidak pernah muncul sebagai bahan bukti, baik pada sidang Obrus
Untung, maupun pada sidang-sidang yang lain. Menurut Rudhito dan terdakwa
Untung, tape itu diserahkan kepada Jenderal Supardjo, yang pada 29 September
baru tiba di Jakarta dari Kalimantan, dan Supardjo rupanya memberikan dokumen
penting itu pada Presiden Soekarno. Menurut Rudhito dokumen itu juga ada pada
Kejaksaan Agung dan Kotrar (Komando Operasi Tertinggi Retuling Aparatur
Negara).
Kesimpulan
yang bisa ditarik yaitu, kemungkinan besar tape (yang tidak pernah muncul) dan
catatan yang diterima Rudhito itu sebuah dokumen palsu sebagai bagian dari
operasi intelijen dalam melakukan provokasi mereka. Maksud dan akibatnya yaitu
kelompok Untung, pimpinan PKI, dan bahkan Presiden Soekarno menjadi yakin dan
percaya bahwa komplotan DD memang ada, dan rencana untuk merebut kekuasaan dari
Soekarno dan kabinetnya memang benar. Tipu muslihat ini sebenarnya provokasi,
untuk memancing baik Soekarno maupun pimpinan PKI (khususnya DN Aidit) agar
meneruskan usaha mereka menggagalkan rencana aksi DD pada tanggal 5 Oktober
1965. Maka muncul dalam proses Subandrio, misalnya, kata-kata "daripada
didahului lebih baik mendahului".
Pembunuhan
sengaja itu tentu merupakan bagian dari seluruh provokasi terhadap PKI, Bung
Karno dan gerakan kiri di Indonesia umumnya. Menurut Coen Holtzappel dalang
peristiwa berdarah September '65 itu ialah Jenderal Sukendro, pernah kepala intelijen
militer, dan Kolonel Supardjo, Sekretaris Kotrar, yang pernah menjadi pembantu
Sukendro. Tentang Sukendro Gabriel Kolko memberi tahu pada kita, bahwa Jenderal
ini pada 5 November 1965 minta bantuan rahasia A.S. agar mengirim persenjataan
kecil dan alat komunikasi, yang akan dipakai oleh pemuda Islam dan nasionalis
untuk membasmi PKI. Kedutaan A.S. setuju, dan barang-barang itu dijanjikan akan
dikirim sebagai "obat-obatan" ("Confronting The Third: U.S.
Foreign Policy 1945-1980". hal. 181) dan teks telegram dari Kedubes A.S.
ke Washington tanggal 5/11, 7/11, dan 11/11-65.
Karena itu
saya selalu sangat percaya pada analisis pendek Bung Karno, ketika ia dituntut
MPRS pertanggungjawabannya tentang "Peristiwa G30S". Dalam pidatonya
untuk "Pelengkapan Pidato Nawaksara" pada 10 Januari 1967, Bung Karno
mengatakan, bahwa peristiwa G30S timbul oleh "pertemuannya" tiga
sebab: 1) keblingernya pimpinan PKI, 2) kelihaian subversi Nekolim, dan 3)
memang adanya oknum-oknum yang tidak benar". Kepanjangan istilah
"nekolim" pada saat itu ialah "neokolonialisme, kolonialisme dan
imperialisme", dan dengan ini Bung Karno tentu bermaksud mengatakan, bahwa
dalang yang sebenarnya memang ada di luar negeri. Tentang peranan Amerika
Serikat dan CIA sudah diuraikan dengan rinci dan sangat bagus oleh Dr. Baskara
dalam bukunya. Juga Peter Dale Scott, eks-diplomat yang sekarang guru besar di
Universitas California, pernah menulis beberapa karangan penting tentang
campurtangan A.S. tahun 60-an di Indonesia, antara lain "The U.S. and the
Overthrow of Soekarno" (Pacific Affairs 1985), dan "Coming To
Jakarta" (1988; terjemahan saya, "Melanda Jakarta", 1995).
Sekarang
kita juga sudah tahu, bahwa dari sejak awal Oktober 1965 baik kedutaan A.S.
maupun CIA sangat berlumuran darah rakyat Indonesia, yaitu dengan memberi
daftar nama 5000 "tokoh" PKI dan organisasi kiri lainnya pada KOSTRAD
supaya mereka itu ditangkap, dan kalaupun akan dibunuh para diplomat A.S. dan
staf CIA tidak peduli! Tetapi bagaimana campur tangan AS dan CIA sebelum 1 Oktober
1965? Dr Baskara juga sudah mengurainya dalam seluruh Bagian II dan separoh
pertama Bagian III bukunya. Kecuali itu kita juga bisa membaca buku Gabriel
Kolko "Confronting the Third: U.S. Foreign Policy 1945-1980" tersebut
di atas. Mengapa masih penting untuk menyelidiki sejarah peristiwa tahun 1965?
Pertama: Karena berdamai, dan lebih lanjut membina kerukunan, dengan sejarah
masa lalu, tidak mungkin terjadi tanpa kejujuran dan tanpa keberanian menatap
kenyataan sejarah masa lalu itu.
Maka
setengah orang kita dengar masih berkilah, dan "setengah orang " itu
(jangan kaget!) juga ada di tengah kalangan mereka yang "aktif" di
lembaga-lembaga HAM, dengan mengatakan: Lembaga KKR kita dukung, tapi tidak
sampai ke "masalah 65", karena "masalah 65" menurut mereka
bersifat "terlalu politis". Juga dengarlah kata-kata Jusuf Kalla
sehubungan dengan soal KKR ini: "Saya tidak merasa di Indonesia ada
sesuatu yang betul-betul berlawanan mati-matian seperti di Afrika Selatan.
Kalau masalah-masalah Gestapu kan sudah empat puluh tahun lalu. Apakah ada yang
direkonsiliasikan setelah kita tidak tahu lagi siapa yang mesti bertemu?"
("Kompas", 11 Febr. 2006, hal.2). Ini semua gejala dari kambuh dan
berjangkitnya kembali "komunisto fobia" yang sudah sejak akhir tahun
belasan terus-menerus diperangi oleh Bung Karno.
Kedua,
karena pembunuhan massal pasca-G30S di Indonesia terjadi atas tanggung jawab
Jenderal Soeharto sejatinya sudah bukan lagi suatu rahasia. Tapi anehnya, si
penanggungjawab ini justru selalu memamerkan dengan bangga perbuatannya itu.
Soeharto tidak pernah memperlihatkan penyesalannya atas pelanggaran hak azasi
manusia yang luar biasa hebat itu. Sebaliknya ia selalu memamerkan tindakannya
yang keji sebagai kebanggaan, seperti ditunjukkan di dalam contoh berikut ini: Dengan
adanya pengakuan pers A.S. bahwa staf kedubes A.S. di Jakarta menyerahkan
daftar 5000 nama kader PKI dan ormas yang dekat dengannya kepada Angkatan Darat
Indonesia, seperti tersebut di atas, tidak seorang pun jubir pemerintah Orde
Baru yang memungkiri atau mengucapkan penyesalan mereka.
Sebaliknya
dengan congkak mereka bahkan menegaskan, bahwa militer Indonesia sama sekali
tidak perlu menerima daftar semacam itu dari pihak asing, karena mereka sendiri
cukup mengetahui siapa saja kader-kader PKI itu! Juga di dalam otobiografinya,
Soeharto sama sekali tidak menunjukkan tanda, bahwa ia menyesali terhadap
jatuhnya korban rakyat sebanyak setengah atau satu juta (Jenderal Sarwo Edhie
mengklaim sebanyak 3 atau 3,5 juta!). Terhadap prajurit-prajurit pembunuh pun
ia tidak mencela perbuatan mereka. Misalnya dalam kisah pengakuan Kolonel Jasir
Hadibroto ("Kompas Minggu", 5 Oktober 1980) yang telah membunuh tanpa
proses Ketua CC-PKI DN Aidit. Kolonel ini justru dihadiahi Soeharto dengan
kedudukan sebagai gubernur Lampung. Bagaimanapun di depan Jenderal Soeharto
Kolonel Jasir hanya seorang prajurit. Maka tentu saja Soeharto itulah yang
bertanggungjawab.
Karena
pembunuhan hanya terjadi sesudah Jasir menerima perintah, dalam kata-kata:
"Bereskan itu semua!" Dan "beres", kata Jasir tenang kepada
"Kompas Minggu", saya artikan sebagai "bunuh".Nyatanya
sesudah itu saya tidak ditegor oleh Pak Harto ." Masih cukup banyak hal
yang harus dibukakan di depan mata masyarakat kita. Sejarah peristiwa 1965 dan
lanjutannya, seperti yang tertera didalam tulisan resmi para pendukung Orde
Baru, seluruhnya harus ditinjau kembali dan dikoreksi. Misalnya tentang
pembunuhan terhadap para anggota PKI atau BTI (Barisan Tani Indonesia) yang
selalu diberi pembenaran dengan dalih, mereka "terlibat dalam Gestapu/PKI
1965". Tentu saja benar bahwa ada beberapa kader PKI yang ikut memainkan
peranan dalam peristiwa dini hari 1 Oktober 1965 itu.
Tetapi
bisakah ratusan ribu kaum tani di Jawa dituduh terlibat dalam peristiwa
penyerangan terhadap 7 orang jenderal pada pagi-pagi buta 1 Oktober 1965 di
Jakarta saat itu? Dari berita "The Washington Post" 21 Mei 1990
menjadi jelas, bahwa sejak semula Soeharto telah berketetapan hati untuk
membasmi PKI. Ringkasan Memorandum CIA tentang G30S, 6 Oktober 1965, dan juga
laporan situasi "Indonesian Working Group" 6 Oktober 1965 menjadi
bukti berita bulan Mei 1990 itu. Dalih umum yang dimamah-biak Mahmilub atau
"pengadilan kanguru" semacamnya ialah, semua anggota atau simpatisan
PKI 'terlibat dalam peristiwa G30S-PKI'. Dalih seperti itu juga yang dipakai
pemerintah untuk membenarkan pembuangan tanpa pemeriksaan pengadilan sekitar
12.000 orang ke Pulau Buru.
Mereka itu
dikatakan sebagai 'terlibat secara tidak langsung dalam Gestapu/PKI'. Lalu, siapakah
yang terlibat langsung? Yang betul-betul terlibat langsung ialah orang yang
paling memperoleh untung dari kejadian itu. Orang itu tak lain tak bukan ialah
Jenderal Soeharto sendiri. Meninjau kembali, mengoreksi, dan menulis ulang
sejarah masa lalu sejatinya berarti menyelamatkan jalannya kebenaran sejarah.
Untuk itu penelitian kembali sejarah tahun-tahun 1965 dan seterusnya merupakan
sarana dan wahana pertolongan satu-satunya. Penting sekali kesadaran dibangun
kembali: Bahwa sebelum 1965 PKI merupakan kekuatan yang patut dibanggakan.
Oleh karena
banyak hal yang telah berhasil dicapai oleh partai dan gerakannya itu.Di dunia
Barat sekarang timbul kecenderungan anggapan, bahwa komunisme, dan bahkan
sosialisme, telah gagal sebagai ideologi. Kesimpulan seperti ini salah sama
sekali! Yang gagal adalah sejumlah pemerintah yang dikuasai oleh berbagai
partai komunis. Tapi yang sejatinya terbukti gagal ialah sistem diktatorial,
yang tanpa memberi cukup peranan kepada rakyat bawah. Untuk Indonesia kegagalan
seperti itu berlaku bagi rezim Soeharto, yang pada hakikatnya juga merupakan
suatu sistem diktatorial dengan berbedak demokrasi yang semu belaka.
No comments:
Post a Comment