BEGITU
meletus peristiwa Gerakan 30 September 1965, para perwira di sekeliling
Soeharto-Yoga Sugama,
misalnya-langsung punya firasat: Partai Komunis Indonesia
berada di balik itu. Dalam hitungan hari, 5 Oktober 1965, Kepala Dinas
Penerangan Angkatan Darat Brigadir Jenderal Ibnu Subroto pun mengeluarkan
pernyataan: "Peristiwa ini jelas didalangi oleh PKI yang merencanakan kup
ini."
Versi ini
menimbulkan tanda tanya. Jika PKI berontak, kenapa tiga juta anggotanya tidak
melawan? Kenapa partai komunis terbesar ketiga di dunia itu rontok dengan
mudahnya?
Selama ini
alasan yang digunakan pemerintah selalu mengacu pada proses Mahkamah Militer
Luar Biasa (Mahmilub) yang memutuskan PKI terlibat pemberontakan. Padahal
putusan pengadilan hanya menyebutkan individu-individu yang dijatuhi hukuman
mati atau seumur hidup, dengan alasan terbukti melakukan makar.
Pendekatan
di atas itu ditentang oleh Benedict Anderson dan Ruth McVey, yang pada Januari
1966 mengatakan ini persoalan intern Angkatan Darat. Pandangan itu kemudian
diterbitkan dan dikenal sebagai "Cornell Paper" (1971). Mereka
memandang G30S sebagai pemberontakan perwira asal Kodam Diponegoro yang kesal
melihat perilaku para jenderal SUAD yang hidup berfoya-foya di Jakarta. Perwira
asal Jawa Tengah itu mengajak personel Angkatan Udara Republik Indonesia dan
PKI dalam operasi mereka.
Analisis
kedua ini lemah karena Untung dan Latief memang dari Kodam Diponegoro, tapi
tidak demikian halnya dengan Brigadir Jenderal Supardjo (Siliwangi) dan Mayor
Udara Sujono. Demikian pula, mengatakan ini semata-mata persoalan "intern
Angkatan Darat" tidak tepat karena unsur PKI, seperti Sjam dan Pono, juga
terlibat.
Kedua versi
tersebut ditengahi Harold Crouch (The Army and Politics, 1978) yang menolak
Cornell Paper yang membebaskan PKI sepenuhnya dari kesalahan. Namun ia
berpendirian bahwa "inisiatif awal timbul dari tubuh Angkatan Darat".
PKI terlibat tapi sebagai "pemain kedua". Versi Crouch itu cukup
beralasan, walaupun ia tak berhasil menjelaskan mengapa G30S dirancang dengan
buruk, mengapa pengumuman mereka yang kedua disiarkan berselang lima jam dari
yang pertama. Padahal, dalam suatu kudeta, kecepatan dan ketepatan waktu sangat
krusial.
Sebelum
Harold Crouch, seorang penulis Belanda, Antonie Dake, menerbitkan untuk
konsumsi internasional edisi dua bahasa yang berisi pengakuan ajudan Bung
Karno, Bambang Widjanarko, The Devious Dalang (1974). Buku itu merupakan hasil
pemeriksaan Bambang Widjanarko (3 Oktober-4 November 1970) yang membenarkan
bahwa Soekarno pada 4 Agustus 1965 memanggil Letnan Kolonel Untung dan
memerintahkannya mengambil tindakan terhadap jenderal-jenderal yang tidak
loyal.
Soekarno
wafat 22 Juni 1970 dan tidak mungkin lagi diadili. Tapi, untuk apa dilakukan
pemeriksaan tentang keterlibatannya dalam G30S? Ditengarai wacana itu merupakan
upaya preventif mencegah kebangkitan pendukung Soekarno dalam pemilihan umum
Juli 1971.
Versi
Soekarno ini diragukan, karena Widjanarko sendiri mengakui kemudian ia dipaksa
bersaksi. Apa yang terjadi pada 1 Oktober 1965 pagi hari membuktikan bahwa
Presiden Soekarno tidaklah tahu sepenuhnya rencana G30S. Mengapa ia
berputar-putar keliling Jakarta sebelum menuju Pangkalan Udara Halim
Perdanakusuma, 1 Oktober 1965? Mengapa tidak langsung dari Wisma Yaso menuju
Halim?
Keterlibatan
Soeharto diungkapkan oleh W.F. Wertheim dalam artikelnya yang terbit musim
dingin 1970: "Suharto and the Untung Coup-The Missing Link". Hubungan
Soeharto dengan Untung dan lebih-lebih lagi dengan Latief yang bertemu dengan
Soeharto pada malam nahas itu juga dipertanyakan. Soalnya, Soeharto tidaklah
"sejenius" itu, bukan tipe orang yang merancang perebutan kekuasaan
secara sistematis. Tapi, karena sudah tahu sebelumnya, ia menjadi orang yang
paling siap.
Amerika
Serikat tidak ikut campur pada 30 September dan 1 Oktober 1965 walaupun
berbagai dokumen menyebutkan keterlibatan mereka sebelum dan sesudah peristiwa.
Bagi Amerika, jatuhnya Indonesia ke tangan komunis artinya kiamat. Keterlibatan
Amerika ini sudah disinyalir Bung Karno dalam pidato Nawaksara pada 1967, yang
menyebut adanya "subversi Nekolim".
Setelah
Soeharto jatuh pada 1998, bermunculan buku-buku yang semasa Orde Baru tidak
boleh terbit di samping pencetakan ulang versi resmi. Meskipun berbentuk
penerbitan terjemahan atau tulisan baru, semua buku itu masih dapat
dikategorikan atas lima pendekatan dalam melihat dalang G30S (PKI, Angkatan
Darat, Soekarno, Soeharto, dan CIA). Masing-masing menentukan dalang tunggal
dari peristiwa yang sesungguhnya sangat kompleks. Padahal Soekarno pada 1967
sudah lebih maju dalam melihat peristiwa itu, yakni sebagai pertemuan tiga
sebab: 1) keblingernya pemimpin PKI, 2) subversi Nekolim, 3) adanya oknum yang
tidak bertanggung jawab.
Versi
keenam, versi mutakhir G30S dikemukakan dalam buku John Roosa (Dalih Pembunuhan
Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, 2008). Di sini peran Sjam
sangat menentukan. Kelemahan utama G30S adalah tidak adanya satu komando.
Terdapat dua kelompok pemimpin, yakni kalangan militer (Untung, Latief, dan
Sujono) serta pihak Biro Chusus PKI (Sjam, Pono, dengan Aidit di latar
belakang). Sjam memegang peran sentral karena ia menjadi penghubung di antara
kedua pihak ini. Namun, ketika upaya ini tidak mendapat dukungan dari Presiden
Soekarno, bahkan diminta untuk dihentikan, kebingungan terjadi, kedua kelompok
ini terpecah.
Kalangan
militer ingin mematuhi, sedangkan Biro Chusus tetap melanjutkan. Ini dapat
menjelaskan mengapa antara pengumuman pertama, kedua, dan ketiga terdapat
selang waktu sampai lima jam. Pada pagi hari mereka mengumumkan bahwa Presiden
dalam keadaan selamat. Adapun pengumuman berikutnya, siang hari, sudah berubah
drastis: pembentukan Dewan Revolusi dan pembubaran kabinet.
Dokumen
Supardjo mengungkap mengapa gerakan itu gagal dan tidak bisa diselamatkan.
Kerancuan antara "penyelamatan Presiden Soekarno" dan "percobaan
kudeta" dengan membubarkan kabinet dijelaskan dengan gamblang. Jauh
sebelum peristiwa berdarah itu, Amerika telah mendiskusikan segala tindakan
yang perlu untuk mendorong PKI melakukan gebrakan lebih dulu sehingga dapat
dipukul secara telak oleh Angkatan Darat. Dan Aidit pun terjebak. Karena sudah
mengetahui sebelum peristiwa itu terjadi, Soeharto adalah jenderal yang paling
siap pada 1 Oktober 1965 ketika orang lain bingung. Nama Soeharto sendiri tidak
termasuk daftar perwira tinggi yang akan diculik.
Penulis
Prancis, Paul Veyne, mengatakan bahwa sejarah itu tak lain dari intrik. Pada
versi ini, kerumitan misteri itu disederhanakan dengan metode ala detektif.
Pembaca diyakinkan bahwa tokoh kunci G30S, Sjam Kamaruzaman, bukanlah agen
ganda, apalagi triple agent, melainkan pembantu setia Aidit bertahun-tahun.
Pelaksana Biro Chusus PKI yang ditangkap pada 1968 ini baru dieksekusi pada
1986. Ia bagaikan putri Syahrezad yang menunda pembunuhan dirinya dengan
menceritakan kepada raja sebuah kisah setiap malam, sehingga mampu bertahan
1.001 malam. Sjam bertahan lebih dari 18 tahun dengan mengarang 1.001
pengakuan. Ia diberi kesempatan untuk mengungkapkan siapa saja yang pernah
direkrutnya.
Sjam divonis
mati dalam Mahmilub pada 1968. Ia diambil dari Lembaga Pemasyarakatan Cipinang
27 September 1986, dibawa ke RTM Cimanggis, Bogor. Pada 30 September dinihari,
bersama Pono dan Bono dibawa ke lokasi eksekusi di salah satu pulau di
Kepulauan Seribu. Dari RTM Cimanggis dibawa dengan konvoi kendaraan militer ke
dermaga Tanjung Priok. Dengan kapal militer berlayar selama 15 menit sampai di
pulau. Mereka ditembak tepat pukul 3 pagi oleh regu tembak yang terdiri atas 12
orang. Rute kehidupan Sjam dari Tuban (30 April
1924)-Jombang-Surabaya-Yogyakarta-Jakarta-RRC (berobat)-Vietnam Utara-penjara
Cipinang-RTM Cimanggis-Tanjung Priok-Kepulauan Seribu (30 September 1986)
berakhir tepat pada peringatan 21 tahun tragedi berdarah itu.
Dalam versi
keenam ini terungkap bahwa G30S lebih tepat dianggap sebagai aksi (untuk
menculik tujuh jenderal dan menghadapkan kepada Presiden), bukan sebagai gerakan.
Sebab, peristiwa ini merupakan aksi sekelompok orang di Jakarta dan Jawa Tengah
yang dapat diberantas dalam waktu satu-dua hari. Namun aksi ini (yang kemudian
ternyata menyebabkan tewasnya enam jenderal) oleh Soeharto dan kawan-kawan lalu
dijadikan dalih untuk memberantas PKI sampai ke akar-akarnya. Sesuatu yang di
lapangan menyebabkan terjadinya pembunuhan massal dengan korban lebih dari
setengah juta jiwa.
Kalau para
jenderal yang diculik itu tertangkap hidup-hidup, mungkin sejarah Indonesia
akan lain. Massa PKI akan turun ke jalan dan menuntut para jenderal itu
dipecat. Presiden akan didesak untuk memberikan kursi departemen kepada
golongan kiri itu karena sampai 1965 Soekarno tidak pernah mempercayakan
pemimpin departemen kepada tokoh komunis kecuali Menteri Negara.
Versi
terakhir ini dilakukan dengan membongkar versi-versi lama (dekonstruksi) dan
menyusun narasi baru (rekonstruksi) dengan menggunakan sumber-sumber yang
kesahihannya telah diuji serta tokoh kunci yang dapat diandalkan mengenai apa yang
disebut Biro Chusus PKI. Versi ini menampilkan data baru (berbagai dokumen dari
dalam dan luar negeri), metodologi baru (dengan mengikutsertakan sejarah
lisan), dan perspektif baru (ini adalah aksi bukan gerakan, tapi kemudian
dijadikan dalih untuk peristiwa berikutnya yang lebih dahsyat). Karena Sjam
menjadi tokoh sentral, silakan versi terakhir ini disebut G30S/Sjam.
No comments:
Post a Comment