Kini
sudah tinggal setengah tahap lagi dari bagian tahap terakhir: jatuhkan Bung
Karno.
Setelah Supersemar ketika Soeharto membubarkan PKI dan menangkapi para
menteri setia Bung Karno sebenarnya sudah setengah jatuh. Beliau sudah tidak
berdaya dan para menterinya yang masih aktif ditangkapi. Maka ajal politik
tinggal tunggu waktu. Setelah PKI resmi dibubarkan, tiga tokoh pimpinan PKI yaitu
DN Aidit, Njoto dan Lukman ditangkap hidup-hidup.
Presiden
Soekarno yang sudah kehilangan powernya menolak memerintahkan mengadili mereka
(entah mengapa). Persoalan ini lantas diambil-alih oleh Soeharto. Para pimpinan
PKI itu diadili dengan cara tersendiri. Soeharto memerintahkan tentara menembak
mati ketiganya. Dan ketiganya memang didor tanpa melalui proses hukum yang berlaku.
Dengan
perlakuan Soeharto seperti itu sangat wajar jika saya katakan bahwa Soeharto
tidak ingin kedoknya (memanipulir G30S) terbongkar di pengadilan jika tiga
pimpinan PKI itu diadili. Sedangkan saya yang mengalami semua kejadian ini
jelas yakin bahwa Soeharto terlibat G30S. Setelah Supersemar, Soeharto
membongkar-pasang keanggotaan DPRGR yang merupakan bagian dari MPRS. Caranya
dengan merampas kursi yang semula diduduki oleh anggota PKI dan menggantinya
dengan orang-orang Soeharto sendiri. Kemudian Soeharto menyuruh
MPRS (yang sebagian besar sudah diisi orang- orangnya) bersidang. Inti sidang
adalah mengukuhkan Supersemar secara konstitusional.
Bersamaan
dengan itu pembantaian besar-besaran terhadap anggota PKI sudah dilegalkan.
Keluarga anggota PKI, teman-teman mereka, bahkan ada juga rakyat yang tidak ada
hubungannya sama sekali dengan PKI ikut terbunuh. Darah orang PKI, keluarga dan
teman mereka halal bila ditumpahkan. Inilah pembantaian terbesar sepanjang
sejarah Indonesia. Tidak ada yang tahu persis berapa jumlah rakyat yang
terbunuh. Ada yang mengatakan 800.000, ada yang mengatakan 1.000.000. Yang
paling tinggi adalah pernyataan Sarwo Edhi Wibowo yang katanya mencapai
3.000.000 manusia.
Dalam
sidang MPRS Juni 1966 Soeharto menetapkan RI kembali ke UUD 1945 secara murni
dan konsekuen. Juga memerintahkan mencabut Ketetapan MPRS tahun 1963 yang
mengangkat Bung Karno sebagai presiden seumur hidup. Juga menyatakan pemberian
gelar Pemimpin Besar Revolusi terhadap Bung Karno tidak memiliki kekuatan hukum.
Asal diketahui, pengangkatan Bung Karno sebagai presiden seumur hidup bukan
datang dari Bung Karno. Juga bukan dari pendukung setia Bung Karno (PKI).
Pengangkatan
itu atas usulan perwira AD sendiri, yakni Brigjen Suhardiman. Pada awal Juli
1966 Soeharto menyetujui Nasution menjadi ketua MPRS. Beberapa hari kemudian 5
Juli 1966 MPRS mengeluarkan ketetapan: Soeharto selaku Pengemban Supersemar
diberi wewenang membentuk kabinet. Maka dibentuklah Kabinet Ampera menggantikan
Kabinet Dwikora. Kabinet baru ini tidak lagi berada di bawah kekuasaan Presiden
Soekarno, namun sudah di bawah Soeharto selaku Ketua Presidium Kabinet. Sejak
itu secara formal berakhirlah pemerintahan Presiden Soekarno.
Nasution
yang baru terpilih menjadi ketua MPRS segera menyanyikan lagu gubahan Kelompok
Bayangan Soeharto. Tap MPRS yang lahir sebelum Nasution tampil, yang meminta
Presiden Soekarno melengkapi pertanggung-jawaban kepada MPRS tentang
sebab-sebab G30S kemudian dinyatakan ditutup begitu saja. Pada Desember 1966
Panglima AU Oemar Dhani ditangkap, menyusul kemudian para perwira pendukung
Bung Karno lainnya. Mereka semua dihukum bertahun-tahun tanpa kesalahan yang
jelas.
Proses
selanjutnya: praktis Soeharto memimpin Indonesia. Perlahan namun pasti Soeharto
melenggang menuju kantor di Istana Negara. Soekarno (yang katanya akan dikudeta
oleh PKI) secara politis sama sekali sudah tidak berdaya. Melalui UU nmr. 10 tahun 1966, DPRGR dan
MPRS meminta pertanggung-jawaban Presiden atas peristiwa berdarah G30S.
Menanggapi
itu Bung Karno menolak, sebab menurut Bung Karno, berdasarkan UUD 1945 yang
harus dipertanggung-jawabkan mandataris MPRS hanya persoalan yang ada dalam
GBHN. Sedangkan peristiwa G30S ada di luar GBHN yang berarti Presiden tidak
dapat dimintai pertanggung-jawaban. Sejak itu Bung Karno (secara formal)
dilarang mengeluarkan ketetapan-ketetapan atau peraturan.
Secara
non-formal Bung Karno sudah ditahan di Istana Bogor sejak 2 Oktober 1965. AD
yang diprakarsai oleh Soeharto dan didukung oleh Nasution menyokong keputusan
Soeharto untuk kembali ke UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Saat itu pula
Soeharto memerintahkan Ketua MPRS untuk meninjau kembali semua ketetapan MPRS
yang dibuat antara tahun 1960 hingga 1963.
Dalam
Sidang Kabinet pada bulan Juni 1966 Bung Karno masih boleh hadir dalam
kapasitas tetap sebagai Presiden RI. Namun dalam sidang itu Bung Karno
diharuskan oleh Soeharto agar bicara yang intinya mengutuk G30S dan harus
mengakui bahwa Bung Karno terlibat di dalamnya. Juga harus membenarkan
pembantaian massal PKI dan antek-anteknya. Di luar dugaan, ternyata Bung Karno
sudah menyiapkan pidato yang diberi judul Nawaksara. Inti pidato tersebut sama
sekali menyimpang dari yang diperintahkan oleh Soeharto. Pidato Bung Karno itu
intinya juga tidak mengandung penyesalan akibat proses pengambil-alihan
kekuasaan. Tetapi pidato ini ditentang oleh para opsir dan para ulama.
Pada
tanggal 17 maret 1967 MPRS menyelenggarakan Sidang Istimewa. Intinya:
dikeluarkan Tap MPRS yang menurunkan Presiden Soekarno dan secara resmi menyerahkan
kepemimpinan nasional kepada Soeharto sebagai Pejabat Presiden sampai terpilih
presiden oleh MPRS hasil pemilu yang akan datang. Dengan begitu Soeharto sudah
benar-benar menggantikan Soekarno. Saat itulah Soeharto menegaskan bahwa
tentara memiliki peran sosial politik yang tidak terbatas (kelak hal ini
diterjemahkan menjadi Dwifungsi ABRI) DALAM NEGARA. Saat itu pula ditetapkan
bahwa Pancasila sebagai azas tunggal negara. Soeharto saat itu mulai menyusun
kekuatan agar kekuasaan berada di satu tangan: tangan dia sendiri.
Sebaliknya,
terhadap Presiden Soekarno, MPRS mengeluarkan keputusan sebagai berikut:
Presiden
Soekarno dinilai tidak dapat memenuhi tanggung-jawab konstitusionalnya Presiden
Soekarno dinilai tidak dapat menjalankan Haluan Negara. Karena itu MPRS
memutuskan melarang Presiden Soekarno melakukan kegiatan politik sejak saat itu
sampai dengan Pemilu yang akan datang.
Juga
menarik mandat MPRS terhadap presiden yang diatur dalam UUD 1945 dan mengangkat
pengemban MPRS nr. 9 sebagai Pejabat Sementara (Pjs) Presiden Soeharto hingga
terpilihnya presiden hasil Pemilu.
Pjs
Presiden tunduk dan bertanggung-jawab terhadap MPRS. Persoalan hukum yang
menyangkut Presiden Soekarno ditentukan sesuai hukum yang berlaku dan
pelaksanaannya diserahkan kepada Pjs Presiden.
Secara garis besar tindakan Soeharto sejak
sebelum G30S sampai pembubaran kabinet bentukan Bung Karno disebut pegamat
asing sebagai creeping coup (kudeta merangkak). Proses kudetanya tidak langsung
menghantam dan musuhnya jatuh, melainkan kudeta yang dilakukan secara
mengendap-endap. Kata mereka itu kudeta khas Indonesia. Coba saja, setelah
kekuasaan beralih Bung Karno masih berstatus sebagai Presiden RI. Saat itu bahkan
sampai sekarang saya melihat proses peralihan kekuasaan tersebut sangat unik.
Selain unik, juga sangat
membahayakan Soeharto sendiri seandainya perkembangan situasi mengalami
pembalikan. Tetapi rupanya Soeharto sudah memperhitungkan semua dengan sangat
matang. Terbukti, sama sekali tidak ada bahaya. Malah, setelah itu Soeharto
memperkukuh kekuasaannya dengan memereteli semua keputusan MPRS
yang dirasa memberi kewibawaan kepada Bung Karno. Sebenarnya kudeta merangkak
bukan pilihan Soeharto. Jika prosesnya bergerak secara merangkak, itu karena
terpaksa. Soeharto tidak bisa begitu saja tampil ke puncak pimpinan nasional.
Ia harus melewati para jenderal senior dan berhadapan dengan Bung Karno yang
saat itu begitu kuat.
No comments:
Post a Comment