Untung, Seorang Penculik atau Boneka Komunis?
Sosok utama
Gerakan 30 September adalah Untung. Namanya singkat, satu kata, seperti
kebiasaan tokoh Partai Komunis Indonesia menyebut diri;
Nyoto, Nyono, Pono. Sebagai sosok utama sekaligus pusat peristiwa, Komandan Dewan Revolusi tersebut akhirnya diringkus di kebun tebu sekitar daerah Tegal, Jawa Tengah.
Nyoto, Nyono, Pono. Sebagai sosok utama sekaligus pusat peristiwa, Komandan Dewan Revolusi tersebut akhirnya diringkus di kebun tebu sekitar daerah Tegal, Jawa Tengah.
Sesudah
sepuluh hari berkelana seusai gagalnya aksi perebutan kekuasaan yang dia
pimpin, Untung mencoba menyelamatkan diri ke Jawa Tengah. Dengan memakai
pakaian sipil dia meninggalkan Jakarta, naik bus malam. Menjelang masuk Tegal,
bus berhenti karena lewat pos pemeriksaan. Mungkin merasa akan dikenali, Untung
malahan turun dan berlari.
Sebuah
langkah fatal sekaligus memancing perhatian. Untung segera dikejar, diringkus,
dan kemudian diajukan ke Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub). Sesudah
melewati persidangan secara maraton, pada Maret 1966 Untung dinyatakan
bersalah, dijatuhi hukuman mati dan dieksekusi oleh regu tembak di daerah
Cimahi, Jawa Barat.
Pertanyaannya,
apakah dia seorang ksatria yang ingin menyelamatkan Bung Karno dari kudeta
Dewan Jenderal, sebagaimana alasan yang dia kemukakan ketika membentuk Dewan
Revolusi? Apakah Untung seorang pengkhianat yang menculik sekaligus membunuh
atasannya? Atau, sekadar boneka yang dimainkan Biro Khusus PKI pimpinan DN
Aidit?
Senang main
bola
Nama aslinya
Kusman. Semasa remaja senang main bola, anggota KVC (Keparen Voetball Club) di
Kampung Keparen, Kelurahan Jayengan, Solo. Nama ayah angkatnya Sjamsuri,
seorang buruh batik. Dia memanggil saya Gus Hardi sebab saya anak juragan
tempat Sjamsuri bekerja.
Sesudah
sekian lama membisu, akhirnya Soehardi bersedia membuka misteri Untung bin
Sjamsuri, Letnan Kolonel Infantri NRP 11284 dengan jabatan resmi terakhir
Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Resimen Tjakrabirawa, kesatuan khusus
pengawal Presiden Soekarno.
Untung baru
setahun bertugas di Tjakrabirawa. Sebelumnya, dia menjabat Dan Yon 454/Para
Kodam Diponegoro, pasukan yang populer dengan sebutan Banteng Raider.
Kepindahannya ke Jakarta tanpa sengaja karena Bung Karno semula mengharapkan
Mayor (Inf) Benny Moerdani, Dan Yon II RPKAD, untuk menjadi Tjakrabirawa. Dalam
pandangan pribadi Bung Karno, Benny sosok perwira ideal. Penerima Bintang
Sakti, tanda kehormatan tertinggi untuk anggota TNI, dan baru saja berhasil
melerai perkelahian massal ketika RPKAD menyerbu asrama Kwini di Senen, asrama
Yon II Tjakrabirawa eks KKO (kini Marinir) Angkatan Laut. Benny menolak tawaran
Bung Karno sehingga Untung yang kemudian diperintahkan ke Tjakrabirawa untuk
menggantikan Benny.
Meski Markas
Banteng Raider di Semarang, pasukan tersebut slagorde Komando Strategis
Angkatan Darat (Kostrad). Buku sejarah Kostrad melukiskan, Kostrad ditugaskan
Angkatan Darat menyiapkan pasukan dalam rangka upacara Hari ABRI 5 Oktober 1965
dengan mendatangkan Yon 530/Para dari Jawa Timur, Yon 454/Para dari Jawa
Tengah, Yon 328/Para dari Jawa Barat, Kesatuan Panser dan Tank dari Bandung
serta Artileri dari Cimahi.
Menjelang
tanggal 30 September, Untung bertemu kembali dengan bekas anak buahnya. Maka
pada Jumat pagi dia menempatkan Banteng Raider bersama Yon 530/Para di Lapangan
Merdeka depan Istana, dengan dalih menjaga Presiden dari ancaman kudeta Dewan
Jenderal. Pasukan Kostrad lainnya, Yon 328/Para berikut Kesatuan Panser, tank
serta artileri tidak diajak karena Untung tidak punya akses ke sana.
Pada dini
hari 1 Oktober 1965, Untung memimpin Gerakan 30 September menculik delapan
jenderal Angkatan Darat, namun pada saat terakhir nama Brigjen Sukendro
dicoret. Tuduhannya, tujuh jenderal tadi anggota Dewan Jenderal yang akan
menggulingkan Bung Karno. Dari tujuh sasaran, enam bisa diculik. Namun sasaran
utama, Jenderal AH Nasution, Kepala Staf Angkatan Bersenjata, justru lolos.
Dalam kegelapan malam serta tergesa-gesa, para penculik ternyata keliru
sasaran. Mereka malah meringkus Letnan I Pierre Tendean, ajudan Nasution.
Tradisi
menculik
Melakukan
penculikan tentu saja bukan tindakan seorang ksatria, sosok ideal dalam
pandangan prajurit TNI. Namun, menculik lawan politik lewat perintah resmi atau
tidak, sejak perang kemerdekaan sampai masa pemerintahan Soeharto ternyata
bukan hal baru. Kasus menonjol antara lain penculikan Perdana Menteri Sutan
Syahrir di Solo (1947) serta penculikan para aktivis demokrasi di Jakarta
(1988). Maka ancaman yang dikemukakan Presiden Soeharto untuk menculik anggota
MPR demi menyelamatkan UUD 1945 bukan sekadar wacana kosong. Aksi penculikan
terbukti bukan sesuatu hal yang tabu, sudah sering terjadi.
Penculikan
yang dilakukan Untung berlangsung dini hari tanggal 1 Oktober. Maka Bung Karno
memberi nama Gestok, Gerakan Satu Oktober. Tetapi jangan lupa, Untung sendiri
menyebutnya Gerakan 30 September. Sedangkan Pusat Penerangan ABRI sengaja pakai
istilah Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh). Meski singkatan semacam ini
bertentangan dengan kaidah bahasa Indonesia, tetap dilakukan dengan tujuan agar
masyarakat terbawa ingatannya kepada kekejaman Gestapo.
Menurut
Untung, sesudah anggota Dewan Jenderal ditangkap, akan langsung dihadapkan
kepada Bung Karno. Terserah Bapak Presiden, apa hukuman yang akan dijatuhkan.
Skenario ini berantakan karena tiga sasaran telanjur tertembak dan kendali
operasi ternyata tidak sepenuhnya di tangan Untung. Semua sasaran akhirnya
ditembak. Siapa memberi perintah? Bukan saya, jawab Untung tegas dalam sidang
Mahmilub.
Perintah
tembak memang bukan datang dari Untung. Perintahnya datang dari warga sipil.
Namanya Kamaruzaman, biasa dipanggil Sam, anggota Biro Khusus PKI. Eksekusi
tersebut menyebabkan skenario awal lepas kendali. Menyambar ke segala arah
dengan ekses berikut derita, yang sampai sekarang belum terpulihkan. Memicu
aksi balas dendam berupa pembunuhan massal yang dalam taksiran moderat
menghabiskan 500.000 nyawa pengikut komunis atau mereka yang begitu saja dituduh
komunis.
Sesama
Tjakrabirawa
Semasa
peristiwa G30S meletus, Soehardi menjabat perwira provost Tjakrabirawa. Ketika
tahun 1966 pasukan tersebut dibubarkan dan tugas mengawal Presiden digantikan
Yon POMAD/Para, Soehardi tidak ikut dibersihkan karena memang tidak terlibat. Untung
menjabat Dan Yon I Tjakrabirawa. Tetapi, hanya satu kompi anak buahnya ikut ke
Lubang Buaya. Anggota Tjakrabirawa lain sama sekali tidak tahu ketika sebagian
kecil rekannya meninggalkan asrama di Jalan Tanah Abang II (kini Markas Paspampres),
mengikuti petualangan Untung.
Pertemuan
kembali antara Soehardi dan Untung berlangsung awal tahun 1965 di tangga Istana
Merdeka. Lho, Gus Hardi inggih tugas wonten mriki? (Lho, Gus Hardi juga tugas
di sini?).
Menurut
Soehardi, Saya jawab sambil menghormat, siap Mayor. Saya lebih dulu menghormat
karena saya hanya kapten sedangkan dia mayor. Meski saya bekas juragannya dan
sudah bertugas di Istana sejak tahun 1954, sementara Untung orang baru,
pindahan dari Semarang.
Pengalaman
semasa kecil, jarak sosial, dan hal-hal lain menyebabkan ketika di Jakarta
antara Soehardi dan Untung tidak akrab. Sebagai pejabat baru di Tjakrabirawa,
dia tidak menonjol, tinggal di Jalan Cidurian No 9. Kami tak pernah kontak
sebab sejak kecil Untung pendiam.
Kusman
dilahirkan di Desa Sruni, Kedungbajul, Kebumen, pada 3 Juli 1926. Ayah
kandungnya bernama Abdullah, bekerja di toko bahan batik milik warga keturunan
Arab di Pasar Kliwon, Solo. Sejak kecil dia diambil anak oleh Sjamsuri,
pamannya, buruh batik di rumah orangtua Soehardi. Masuk sekolah dasar di
Ketelan, Kusman melanjutkan ke sekolah dagang. Pelajaran belum selesai, Jepang
masuk dan Kusman mendaftar jadi Heiho. Sesudah proklamasi, dia menjadi anggota
TKR, embrio TNI.
Meloloskan
diri ke Madiun
Semasa perang
kemerdekaan Kusman betugas di daerah Wonogiri, sebagai anggota Batalyon
Sudigdo. Ketika September 1948 meletus Peristiwa Madiun, Gubernur Militer
Kolonel Gatot Soebroto memperoleh informasi, batalyon tersebut disusupi
komunis, Pak Gatot memerintahkan Letnan Kolonel Slamet Rijadi, Komandan Brigade
V, membersihkan. Soehardi melukiskan, Slamet Rijadi menggeser Mayor Soedigdo ke Cepogo,
lereng Gunung Merbabu. Tetapi Kusman, pada waktu itu sudah sersan mayor,
meloloskan diri ke Madiun, ikut memberontak.
Mengapa
keterlibatan dalam peristiwa Madiun tidak diselesaikan?
Tanggal 19
Desember 1948 Belanda tiba-tiba melancarkan Agresi Militer Kedua. Peristiwa
Madiun tidak tuntas. Hanya sebelas tokoh pemberontak, Amir Syariffudin dan
kawan-kawannya, pada tengah malam masih sempat dijatuhi hukuman tembak di
Ngalihan, Karanganyar, Solo. Sisanya terpaksa diputihkan karena semua potensi
segera bergerak untuk melawan serbuan Belanda.
Sesudah
peristiwa Madiun, Kusman berganti nama jadi Untung, bergabung kembali di TNI,
bertugas di Divisi Diponegoro. Tahun 1958, dalam operasi penumpasan PRRI,
Letnan I Untung menjabat komandan kompi, bertugas di Bukit Gombak, Batusangkar,
Sumatera Barat.
Tanggal 14
Agustus 1962, Mayor Untung selaku Dan Yon 454/Para Banteng Raider diterjunkan
di daerah Sorong, Irian Barat.
Tanggal 25
Agustus 1962, Panglima Mandala Mayor Jenderal Soeharto mengeluarkan perintah
gencatan senjata karena di New York, AS, sudah ditandatangani persetujuan damai
antara Indonesia dan Belanda. Selama sebelas hari bertugas di Irian, Untung
belum sempat bertemu, apalagi bertempur, melawan Belanda.
Kapan kenal
Soeharto?
Menurut
Soehardi, Sesudah kembali dari Makassar, selesai menumpas pemberontakan Andi
Azis, Pak Harto menjabat Dan Rem Salatiga, Dan Rem Solo, kemudian Panglima
Diponegoro. Sesudah itu masuk Seskoad di Bandung, sebelum nantinya ditunjuk
sebagai Panglima Mandala. Untung dan Soeharto kenalan lama. Akrab atau tidak,
hanya mereka berdua bisa menjawab. Tetapi yang jelas, ketika akhir tahun 1964 Untung
melangsungkan pernikahan di Kebumen, Pak Harto rela naik jip dari Jakarta untuk
njagong.
Dari luar
rumah azan magrib terdengar jernih. Soehardi minta diri untuk shalat, sesudah
selesai saya langsung menemaninya berbuka puasa. Kisah sekitar Letnan Kolonel
(Inf) Untung bin Sjamsuri untuk sementara terpaksa harus berhenti dulu.
Dia penerima
Bintang Sakti, komandan resimen elite Tjakrabirawa. Pada 1 Oktober 1965, dia
menculik para jenderal TNI Angkatan Darat. Tapi bagaimana sesungguhnya peran
tokoh ini masih remang-remang. Dia Letnan Kolonel Untung.
Koran
Tempo edisi Senin, 5 Oktober 2009, menurunkan laporan lengkap
tentang salah satu tokoh penting dalam lembaran hitam sejarah Indonesia ini.
Begitu beredar, edisi ini memicu geger. Ia menjadi pembicaraan di jejaring
sosial. Sebuah milis terkemuka juga menjadikan sampul depan koran cergas itu
sebagai salah satu topik pembicaraan hari ini.
Apa
pemicunya? Koran Tempo menulis bahwa sejumlah saksi menuturkan, Gerakan
30 September 1965 yang dikendalikan Untung disebut-sebut mendapat restu dari
Soeharto (almarhum). Menurut saksi, pada dinihari 1 Oktober 1965, saat pasukan
Untung bergerak menculik para petinggi Angkatan Darat, Soeharto sempat
melintasi di depan kerumunan. Berarti Soeharto sudah tahu lebih dahulu tentang
aksi penculikan para jenderal?
Dalam
bukunya, Soeharto sudah membantah kabar itu. Nah, untuk mengetahui lebih jauh
mengenai misteri kisah itu, saya turunkan lagi di sini isi laporan utama Koran
Tempo itu. Semoga membantu mereka yang belum kebagian edisi cetaknya.
Artikel ditulis oleh Erwin Dariyanto dan disunting oleh Seno Joko Suyono.
***
Hari Selasa,
pengujung tahun 1966. Penjara Militer Cimahi, Bandung, Jawa Barat. Dua pria
saling berhadapan. Yang satu bertubuh gempal, potongan cepak berusia 39 tahun.
Satunya bertubuh kurus, usia 52 tahun. Mereka adalah Letnan Kolonel Untung
Syamsuri dan Soebandrio, Menteri Luar Negeri kabinet Soekarno.
Suara Untung
bergetar. ―Pak Ban, selamat tinggal. Jangan sedih, kata Untung kepada
Soebandrio.
Itulah
perkataan Untung sesaat sebelum dijemput petugas seperti ditulis Soebandrio
dalam buku Kesaksianku tentang G30S. Dalam bukunya, Soebandrio menceritakan,
selama di penjara, Untung yakin dirinya tidak bakal dieksekusi. Untung mengaku
G-30-S atas setahu Panglima Komando Strategis Angkatan Darat Mayor Jenderal
Soeharto.
Keyakinan
Untung bahwa ia bakal diselamatkan Soeharto adalah salah satu ―misteri tragedi
September. Kisah pembunuhan para jenderal pada 1965 adalah peristiwa yang tak
habis-habisnya dikupas. Salah satu yang jarang diulas adalah spekulasi
kedekatan Untung dan Soeharto.
Memperingati
tragedi September kali ini, Koran Tempo bermaksud menurunkan edisi
khusus yang menguak kehidupan Letkol Untung. Tak banyak informasi tentang tokoh
ini, bahkan dari sejarawan ―Data tentang Untung sangat minim, bahkan riwayat
hidupnya, kata sejarawan Asvi Warman Adam.
***
Tempo
berhasil menemui saksi hidup yang mengenal Letkol Untung. Salah satu saksi
adalah Letkol CPM (Purnawirawan) Suhardi. Umurnya sudah 83 tahun. Ia adalah
sahabat masa kecil Untung di Solo dan bekas anggota Tjakrabirawa. Untung
tinggal di Solo sejak umur 10 tahun. Sebelumnya, ia tinggal di Kebumen. Di
Solo, ia hidup di rumah pamannya, Samsuri. Samsuri dan istrinya bekerja di
pabrik batik Sawo, namun tiap hari membantu kerja di rumah Ibu Wergoe Prajoko,
seorang priayi keturunan trah Kasunan, yang tinggal di daerah Keparen, Solo.
Wergoe adalah orang tua Suhardi.
Dia
memanggil ibu saya bude dan memanggil saya Gus Hardi, ujar Suhardi. Suhardi,
yang setahun lebih muda dari Untung, memanggil Untung: Si Kus. Nama asli Untung
adalah Kusman. Suhardi ingat, Untung kecil sering menginap di rumahnya. Tinggi
Untung kurang dari 165 sentimeter, tapi badannya gempal. Potongannya seperti
preman. Orang-orang Cina,yang membuka praktek-praktek perawatan gigi di daerah
saya takut semua kepadanya, kata Suhardi tertawa. Menurut Suhardi, Untung sejak
kecil selalu serius, tak pernah tersenyum. Suhardi ingat, pada 1943, saat
berumur 18 tahun, Untung masuk Heiho. Saya yang mengantarkan Untung ke kantor
Heiho di perempatan Nonongan yang ke arah Sriwedari.
Setelah
Jepang kalah, menurut Suhardi, Untung masuk Batalion Sudigdo, yang markasnya
berada di Wonogiri. Batalion ini sangat terkenal di daerah Boyolali. Ini satu-satunya
batalion yang ikut PKI (Partai Komunis Indonesia), kata Suhardi. Menurut
Suhardi, batalion ini lalu terlibat gerakan Madiun sehingga dicari-cari oleh
Gatot Subroto.
Clash yang
terjadi pada Desember 1949 antara Republik dan Belanda membuat pengejaran
terhadap batalion-batalion kiri terhenti. Banyak anggota batalion kiri bisa
bebas. Suhardi tahu Untung kemudian balik ke Solo. Untung kemudian masuk Korem
Surakarta, katanya. Saat itu, menurut Suhardi, Komandan Korem Surakarta adalah
Soeharto. Soeharto sebelumnya adalah Komandan Resimen Infanteri 14 di Semarang.
Mungkin perkenalan awal Untung dan Soeharto di situ, kata Suhardi.
Keterangan
Suhardi menguatkan banyak tinjauan para analisis. Seperti kita ketahui,
Soeharto kemudian naik menggantikan Gatot Subroto menjadi Panglima Divisi
Diponegoro. Untung lalu pindah ke Divisi Diponegoro, Semarang. Banyak pengamat
melihat, kedekatan Soeharto dan Untung bermula di Divisi Diponegoro ini.
Keterangan Suhardi menambahkan kemungkinan perkenalan mereka sejak di Solo.
Hubungan
Soeharto-Untung terjalin lagi saat Soeharto menjabat Panglima Kostrad
mengepalai operasi pembebasan Irian Barat, 14 Agustus 1962. Untung terlibat
dalam operasi yang diberi nama Operasi Mandala itu. Saat itu Untung adalah
anggota Batalion 454 Kodam Diponegoro, yang lebih dikenal dengan Banteng
Raiders.
Di Irian,
Untung memimpin kelompok kecil pasukan yang bertempur di hutan belantara
Kaimana. Sebelum Operasi Mandala, Untung telah berpengalaman di bawah pimpinan
Jenderal Ahmad Yani. Ia terlibat operasi penumpasan pemberontakan PRRI atau
Permesta di Bukit Gombak, Batusangkar, Sumatera Barat, pada 1958. Di Irian,
Untung menunjukkan kelasnya. Bersama Benny Moerdani, ia mendapatkan penghargaan
Bintang Sakti dari Presiden Soekarno. Dalam sejarah Indonesia, hanya beberapa
perwira yang mendapatkan penghargaan ini. Bahkan Soeharto, selaku panglima saat
itu, hanya memperoleh Bintang Dharma, setingkat di bawah Bintang Sakti.
Kedua
prestasi inilah yang menyebabkan Untung menjadi anak kesayangan Yani dan
Soeharto, kata Kolonel Purnawirawan Maulwi Saelan, mantan Wakil Komandan
Tjakrabirawa, atasan Untung di Tjakrabirawa, kepada Tempo.
Untung masuk
menjadi anggota Tjakrabirawa pada pertengahan 1964. Dua kompi Banteng Raiders
saat itu dipilih menjadi anggota Tjakrabirawa. Jabatannya sudah letnan kolonel
saat itu.
Anggota
Tjakrabirawa dipilih melalui seleksi ketat. Pangkostrad, yang kala itu dijabat
Soeharto, yang merekomendasikan batalion mana saja yang diambil menjadi
Tjakrabirawa. ―Adalah menarik mengapa Soeharto merekomendasikan dua kompi
batalion Banteng Raiders masuk Tjakrabirawa, kata Suhardi. Sebab, menurut
Suhardi, siapa pun yang bertugas di Jawa Tengah mengetahui banyak anggota
Raiders saat itu yang eks gerakan Madiun 1948. Pasti Soeharto tahu itu eks PKI
Madiun.
Di
Tjakrabirawa, Untung menjabat Komandan Batalion I Kawal Kehormatan Resimen
Tjakrabirawa. Batalion ini berada di ring III pengamanan presiden dan tidak
langsung berhubungan dengan presiden.
Maulwi,
atasan Untung, mengaku tidak banyak mengenal sosok Untung. Untung, menurut dia,
sosok yang tidak mudah bergaul dan pendiam. Suhardi masuk Tjakrabirawa sebagai
anggota Detasemen Pengawal Khusus. Pangkatnya lebih rendah dibanding Untung. Ia
letnan dua. Pernah sekali waktu mereka bertemu, ia harus menghormat kepada
Untung. Suhardi ingat Untung menatapnya. Untung lalu mengucap, Gus, kamu ada di
sini.
Menurut
Maulwi, kedekatan Soeharto dengan Untung sudah santer tersiar di kalangan
perwira Angkatan Darat pada awal 1965. Para perwira heran mengapa, misalnya,
pada Februari 1965, Soeharto yang Panglima Kostrad bersama istri menghadiri
pesta pernikahan Untung di desa terpencil di Kebumen, Jawa Tengah. ―Mengapa
perhatian Soeharto terhadap Untung begitu besar? Menurut Maulwi, tidak ada satu
pun anggota Tjakra yang datang ke Kebumen. Kami, dari Tjakra, tidak ada yang
hadir, kata Maulwi.
Dalam
bukunya, Soebandrio melihat kedatangan seorang komandan dalam pesta pernikahan
mantan anak buahnya adalah wajar. Namun, kehadiran Pangkostrad di desa
terpencil yang saat itu transportasinya sulit adalah pertanyaan besar. Jika tak
benar-benar sangat penting, tidak mungkin Soeharto bersama istrinya menghadiri
pernikahan Untung, tulis Soebandrio. Hal itu diiyakan oleh Suhardi. Pasti ada
hubungan intim antara Soeharto dan Untung, katanya.
***
Dari mana
Untung percaya adanya Dewan Jenderal? Dalam bukunya, Soebandrio menyebut, di
penjara, Untung pernah bercerita kepadanya bahwa ia pada 15 September 1965
mendatangi Soeharto untuk melaporkan adanya Dewan Jenderal yang bakal melakukan
kup. Untung menyampaikan rencananya menangkap mereka.
Bagus kalau
kamu punya rencana begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu, demikian kata Soeharto
seperti diucapkan Untung kepada Soebandrio.
Bila kita
baca transkrip sidang pengadilan Untung di Mahkamah Militer Luar Biasa pada
awal 1966, Untung menjelaskan bahwa ia percaya adanya Dewan Jenderal karena
mendengar kabar beredarnya rekaman rapat Dewan Jenderal di gedung Akademi Hukum
Militer Jakarta, yang membicarakan susunan kabinet versi Dewan Jenderal.
Maulwi
melihat adalah hal aneh bila Untung begitu percaya adanya informasi kudeta
terhadap presiden ini. Sebab, selama menjadi anggota pasukan Tjakrabirawa,
Untung jarang masuk ring I atau ring II pengamanan presiden. Artinya ia isu.
Dalam catatan Maulwi, hanya dua kali Untung bertemu dengan Soekarno. Pertama
kali saat melapor sebagai Komandan Kawal Kehormatan dan kedua saat Idul Fitri
1964. Jadi, ya, sangat aneh kalau dia justru yang paling serius menanggapi isu
Dewan Jenderal, kata Maulwi.
Menurut
Soebandrio, Soeharto memberikan dukungan kepada Untung untuk menangkap Dewan
Jenderal dengan mengirim bantuan pasukan. Soeharto memberi perintah per
telegram Nomor T.220/9 pada 15 September 1965 dan mengulanginya dengan
radiogram Nomor T.239/9 pada 21 September 1965 kepada Yon 530 Brawijaya, Jawa
Timur, dan Yon 454 Banteng Raiders Diponegoro, Jawa Tengah. Mereka
diperintahkan datang ke Jakarta untuk defile Hari Angkatan Bersenjata pada 5
Oktober.
Pasukan itu
bertahap tiba di Jakarta sejak 26 September 1965. Yang aneh, pasukan itu membawa
peralatan siap tempur. Memang mencurigakan, seluruh pasukan itu membawa peluru
tajam, kata Suhardi. Padahal, menurut Suhardi, ada aturan tegas di semua
angkatan bila defile tidak menggunakan peluru tajam. Itu ada petunjuk
teknisnya, ujarnya.
Pasukan
dengan perlengkapan siaga I itu kemudian bergabung dengan Pasukan Kawal
Kehormatan Tjakrabirawa pimpinan Untung. Mereka berkumpul di dekat Monumen
Nasional.
Dinihari, 1
Oktober 1965, seperti kita ketahui, pasukan Untung bergerak menculik tujuh
jenderal Angkatan Darat. Malam itu Soeharto syahdan dalam perjalanan pulang
dari menunggui anaknya, Tommy, di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot
Subroto. Soeharto sempat melintasi kerumunan pasukan dengan mengendarai jip. Ia
dengan tenangnya melewati pasukan yang beberapa saat lagi berangkat membunuh
para jenderal itu.
Adapun
Untung, menurut Maulwi, hingga tengah malam pada 30 September 1965 masih
memimpin pengamanan acara Presiden Soekarno di Senayan. Maulwi masih bisa
mengingat pertemuan mereka terakhir terjadi pada pukul 20.00. Waktu itu Maulwi
menegur Untung karena ada satu pintu yang luput dari penjagaan pasukan Tjakra.
Seusai acara, Maulwi mengaku tidak mengetahui aktivitas Untung selanjutnya.
Ketegangan
hari-hari itu bisa dirasakan dari pengalaman Suhardi sendiri. Pada 29
September, Suhardi menjadi perwira piket di pintu gerbang Istana. Tiba-tiba ada
anggota Tjakra anak buah Dul Arief, peleton di bawah Untung, yang bernama
Jahuruk hendak masuk Istana. Menurut Suhardi, itu tidak diperbolehkan karena
tugas mereka adalah di ring luar sehingga tidak boleh masuk. Saya tegur dia.
Pada 1
Oktober pukul 07.00, Suhardi sudah tiba di depan Istana. Saya heran, dari
sekitar daerah Bank Indonesia, saat itu banyak tentara. Ia langsung mengendarai
jip menuju markas Batalion 1 Tjakrabirawa di Tanah Abang. Yang membuatnya heran
lagi, pengawal di pos yang biasanya menghormat kepadanya tidak menghormat lagi.
Saya ingat yang jaga saat itu adalah Kopral Teguh dari Banteng Raiders, kata
Suhardi. Begitu masuk markas, ia melihat saat itu di Tanah Abang semua anggota
kompi Banteng Raiders tidak ada.
Begitu tahu
hari itu ada kudeta dan Untung menyiarkan susunan Dewan Revolusi, Suhardi
langsung ingat wajah sahabat masa kecilnya dan sahabat yang sudah dianggap anak
oleh ibunya sendiri tersebut. Teman yang bahkan saat sudah menjabat komandan
Tjakrabirawa bila ke Solo selalu pulang menjumpai ibunya. Saya tak heran kalau
Untung terlibat karena saya tahu sejak tahun 1948 Untung dekat dengan PKI, katanya.
Kepada
Oditur Militer pada 1966, Untung mengaku hanya memerintahkan menangkap para
jenderal guna dihadapkan pada Presiden Soekarno. Semuanya terserah kepada Bapak
Presiden, apa tindakan yang akan dijatuhkan kepada mereka, jawab Untung.
Heru
Atmodjo, Mantan Wakil Asisten Direktur Intelijen Angkatan Udara, yang namanya
dimasukkan Untung dalam susunan Dewan Revolusi, mengakui Sjam Kamaruzaman-lah
yang paling berperan dalam gerakan tersebut. Keyakinan itu muncul ketika pada
Jumat, 1 Oktober 1965, Heru secara tidak sengaja bertemu dengan para pimpinan
Gerakan 30 September: Letkol Untung, Kolonel Latief, Mayor Sujono, Sjam
Kamaruzaman, dan Pono. Heru melihat justru Pono dan Sjam-lah yang paling banyak
bicara dalam pertemuan itu, sementara Untung lebih banyak diam. Saya tidak
melihat peran Untung dalam memimpin rangkaian gerakan atau operasi ini
(G-30-S), kata Heru saat ditemui Tempo.
Untung
adalah sebuah tragedi sekaligus kisah kepandiran. Perwira penerima Bintang
Sakti itu sampai menjelang ditembak pun masih percaya bakal diselamatkan.
No comments:
Post a Comment