Sunday 23 August 2015

LETKOL. UNTUNG SYAMSURI

Untung, Seorang Penculik atau Boneka Komunis?


Sosok utama Gerakan 30 September adalah Untung. Namanya singkat, satu kata, seperti kebiasaan tokoh Partai Komunis Indonesia menyebut diri;
Nyoto, Nyono, Pono. Sebagai sosok utama sekaligus pusat peristiwa, Komandan Dewan Revolusi tersebut akhirnya diringkus di kebun tebu sekitar daerah Tegal, Jawa Tengah.

Sesudah sepuluh hari berkelana seusai gagalnya aksi perebutan kekuasaan yang dia pimpin, Untung mencoba menyelamatkan diri ke Jawa Tengah. Dengan memakai pakaian sipil dia meninggalkan Jakarta, naik bus malam. Menjelang masuk Tegal, bus berhenti karena lewat pos pemeriksaan. Mungkin merasa akan dikenali, Untung malahan turun dan berlari.

Sebuah langkah fatal sekaligus memancing perhatian. Untung segera dikejar, diringkus, dan kemudian diajukan ke Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub). Sesudah melewati persidangan secara maraton, pada Maret 1966 Untung dinyatakan bersalah, dijatuhi hukuman mati dan dieksekusi oleh regu tembak di daerah Cimahi, Jawa Barat.

Pertanyaannya, apakah dia seorang ksatria yang ingin menyelamatkan Bung Karno dari kudeta Dewan Jenderal, sebagaimana alasan yang dia kemukakan ketika membentuk Dewan Revolusi? Apakah Untung seorang pengkhianat yang menculik sekaligus membunuh atasannya? Atau, sekadar boneka yang dimainkan Biro Khusus PKI pimpinan DN Aidit?


Senang main bola

Nama aslinya Kusman. Semasa remaja senang main bola, anggota KVC (Keparen Voetball Club) di Kampung Keparen, Kelurahan Jayengan, Solo. Nama ayah angkatnya Sjamsuri, seorang buruh batik. Dia memanggil saya Gus Hardi sebab saya anak juragan tempat Sjamsuri bekerja.

Sesudah sekian lama membisu, akhirnya Soehardi bersedia membuka misteri Untung bin Sjamsuri, Letnan Kolonel Infantri NRP 11284 dengan jabatan resmi terakhir Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Resimen Tjakrabirawa, kesatuan khusus pengawal Presiden Soekarno.

Untung baru setahun bertugas di Tjakrabirawa. Sebelumnya, dia menjabat Dan Yon 454/Para Kodam Diponegoro, pasukan yang populer dengan sebutan Banteng Raider. Kepindahannya ke Jakarta tanpa sengaja karena Bung Karno semula mengharapkan Mayor (Inf) Benny Moerdani, Dan Yon II RPKAD, untuk menjadi Tjakrabirawa. Dalam pandangan pribadi Bung Karno, Benny sosok perwira ideal. Penerima Bintang Sakti, tanda kehormatan tertinggi untuk anggota TNI, dan baru saja berhasil melerai perkelahian massal ketika RPKAD menyerbu asrama Kwini di Senen, asrama Yon II Tjakrabirawa eks KKO (kini Marinir) Angkatan Laut. Benny menolak tawaran Bung Karno sehingga Untung yang kemudian diperintahkan ke Tjakrabirawa untuk menggantikan Benny.

Meski Markas Banteng Raider di Semarang, pasukan tersebut slagorde Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Buku sejarah Kostrad melukiskan, Kostrad ditugaskan Angkatan Darat menyiapkan pasukan dalam rangka upacara Hari ABRI 5 Oktober 1965 dengan mendatangkan Yon 530/Para dari Jawa Timur, Yon 454/Para dari Jawa Tengah, Yon 328/Para dari Jawa Barat, Kesatuan Panser dan Tank dari Bandung serta Artileri dari Cimahi.

Menjelang tanggal 30 September, Untung bertemu kembali dengan bekas anak buahnya. Maka pada Jumat pagi dia menempatkan Banteng Raider bersama Yon 530/Para di Lapangan Merdeka depan Istana, dengan dalih menjaga Presiden dari ancaman kudeta Dewan Jenderal. Pasukan Kostrad lainnya, Yon 328/Para berikut Kesatuan Panser, tank serta artileri tidak diajak karena Untung tidak punya akses ke sana.

Pada dini hari 1 Oktober 1965, Untung memimpin Gerakan 30 September menculik delapan jenderal Angkatan Darat, namun pada saat terakhir nama Brigjen Sukendro dicoret. Tuduhannya, tujuh jenderal tadi anggota Dewan Jenderal yang akan menggulingkan Bung Karno. Dari tujuh sasaran, enam bisa diculik. Namun sasaran utama, Jenderal AH Nasution, Kepala Staf Angkatan Bersenjata, justru lolos. Dalam kegelapan malam serta tergesa-gesa, para penculik ternyata keliru sasaran. Mereka malah meringkus Letnan I Pierre Tendean, ajudan Nasution.


Tradisi menculik

Melakukan penculikan tentu saja bukan tindakan seorang ksatria, sosok ideal dalam pandangan prajurit TNI. Namun, menculik lawan politik lewat perintah resmi atau tidak, sejak perang kemerdekaan sampai masa pemerintahan Soeharto ternyata bukan hal baru. Kasus menonjol antara lain penculikan Perdana Menteri Sutan Syahrir di Solo (1947) serta penculikan para aktivis demokrasi di Jakarta (1988). Maka ancaman yang dikemukakan Presiden Soeharto untuk menculik anggota MPR demi menyelamatkan UUD 1945 bukan sekadar wacana kosong. Aksi penculikan terbukti bukan sesuatu hal yang tabu, sudah sering terjadi.

Penculikan yang dilakukan Untung berlangsung dini hari tanggal 1 Oktober. Maka Bung Karno memberi nama Gestok, Gerakan Satu Oktober. Tetapi jangan lupa, Untung sendiri menyebutnya Gerakan 30 September. Sedangkan Pusat Penerangan ABRI sengaja pakai istilah Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh). Meski singkatan semacam ini bertentangan dengan kaidah bahasa Indonesia, tetap dilakukan dengan tujuan agar masyarakat terbawa ingatannya kepada kekejaman Gestapo.

Menurut Untung, sesudah anggota Dewan Jenderal ditangkap, akan langsung dihadapkan kepada Bung Karno. Terserah Bapak Presiden, apa hukuman yang akan dijatuhkan. Skenario ini berantakan karena tiga sasaran telanjur tertembak dan kendali operasi ternyata tidak sepenuhnya di tangan Untung. Semua sasaran akhirnya ditembak. Siapa memberi perintah? Bukan saya, jawab Untung tegas dalam sidang Mahmilub.

Perintah tembak memang bukan datang dari Untung. Perintahnya datang dari warga sipil. Namanya Kamaruzaman, biasa dipanggil Sam, anggota Biro Khusus PKI. Eksekusi tersebut menyebabkan skenario awal lepas kendali. Menyambar ke segala arah dengan ekses berikut derita, yang sampai sekarang belum terpulihkan. Memicu aksi balas dendam berupa pembunuhan massal yang dalam taksiran moderat menghabiskan 500.000 nyawa pengikut komunis atau mereka yang begitu saja dituduh komunis.


Sesama Tjakrabirawa

Semasa peristiwa G30S meletus, Soehardi menjabat perwira provost Tjakrabirawa. Ketika tahun 1966 pasukan tersebut dibubarkan dan tugas mengawal Presiden digantikan Yon POMAD/Para, Soehardi tidak ikut dibersihkan karena memang tidak terlibat. Untung menjabat Dan Yon I Tjakrabirawa. Tetapi, hanya satu kompi anak buahnya ikut ke Lubang Buaya. Anggota Tjakrabirawa lain sama sekali tidak tahu ketika sebagian kecil rekannya meninggalkan asrama di Jalan Tanah Abang II (kini Markas Paspampres), mengikuti petualangan Untung.

Pertemuan kembali antara Soehardi dan Untung berlangsung awal tahun 1965 di tangga Istana Merdeka. Lho, Gus Hardi inggih tugas wonten mriki? (Lho, Gus Hardi juga tugas di sini?).

Menurut Soehardi, Saya jawab sambil menghormat, siap Mayor. Saya lebih dulu menghormat karena saya hanya kapten sedangkan dia mayor. Meski saya bekas juragannya dan sudah bertugas di Istana sejak tahun 1954, sementara Untung orang baru, pindahan dari Semarang.

Pengalaman semasa kecil, jarak sosial, dan hal-hal lain menyebabkan ketika di Jakarta antara Soehardi dan Untung tidak akrab. Sebagai pejabat baru di Tjakrabirawa, dia tidak menonjol, tinggal di Jalan Cidurian No 9. Kami tak pernah kontak sebab sejak kecil Untung pendiam.

Kusman dilahirkan di Desa Sruni, Kedungbajul, Kebumen, pada 3 Juli 1926. Ayah kandungnya bernama Abdullah, bekerja di toko bahan batik milik warga keturunan Arab di Pasar Kliwon, Solo. Sejak kecil dia diambil anak oleh Sjamsuri, pamannya, buruh batik di rumah orangtua Soehardi. Masuk sekolah dasar di Ketelan, Kusman melanjutkan ke sekolah dagang. Pelajaran belum selesai, Jepang masuk dan Kusman mendaftar jadi Heiho. Sesudah proklamasi, dia menjadi anggota TKR, embrio TNI.


Meloloskan diri ke Madiun

Semasa perang kemerdekaan Kusman betugas di daerah Wonogiri, sebagai anggota Batalyon Sudigdo. Ketika September 1948 meletus Peristiwa Madiun, Gubernur Militer Kolonel Gatot Soebroto memperoleh informasi, batalyon tersebut disusupi komunis, Pak Gatot memerintahkan Letnan Kolonel Slamet Rijadi, Komandan Brigade V, membersihkan. Soehardi melukiskan, Slamet Rijadi menggeser Mayor Soedigdo ke Cepogo, lereng Gunung Merbabu. Tetapi Kusman, pada waktu itu sudah sersan mayor, meloloskan diri ke Madiun, ikut memberontak.

Mengapa keterlibatan dalam peristiwa Madiun tidak diselesaikan?

Tanggal 19 Desember 1948 Belanda tiba-tiba melancarkan Agresi Militer Kedua. Peristiwa Madiun tidak tuntas. Hanya sebelas tokoh pemberontak, Amir Syariffudin dan kawan-kawannya, pada tengah malam masih sempat dijatuhi hukuman tembak di Ngalihan, Karanganyar, Solo. Sisanya terpaksa diputihkan karena semua potensi segera bergerak untuk melawan serbuan Belanda.

Sesudah peristiwa Madiun, Kusman berganti nama jadi Untung, bergabung kembali di TNI, bertugas di Divisi Diponegoro. Tahun 1958, dalam operasi penumpasan PRRI, Letnan I Untung menjabat komandan kompi, bertugas di Bukit Gombak, Batusangkar, Sumatera Barat.

Tanggal 14 Agustus 1962, Mayor Untung selaku Dan Yon 454/Para Banteng Raider diterjunkan di daerah Sorong, Irian Barat.

Tanggal 25 Agustus 1962, Panglima Mandala Mayor Jenderal Soeharto mengeluarkan perintah gencatan senjata karena di New York, AS, sudah ditandatangani persetujuan damai antara Indonesia dan Belanda. Selama sebelas hari bertugas di Irian, Untung belum sempat bertemu, apalagi bertempur, melawan Belanda.

Kapan kenal Soeharto?
Menurut Soehardi, Sesudah kembali dari Makassar, selesai menumpas pemberontakan Andi Azis, Pak Harto menjabat Dan Rem Salatiga, Dan Rem Solo, kemudian Panglima Diponegoro. Sesudah itu masuk Seskoad di Bandung, sebelum nantinya ditunjuk sebagai Panglima Mandala. Untung dan Soeharto kenalan lama. Akrab atau tidak, hanya mereka berdua bisa menjawab. Tetapi yang jelas, ketika akhir tahun 1964 Untung melangsungkan pernikahan di Kebumen, Pak Harto rela naik jip dari Jakarta untuk njagong.

Dari luar rumah azan magrib terdengar jernih. Soehardi minta diri untuk shalat, sesudah selesai saya langsung menemaninya berbuka puasa. Kisah sekitar Letnan Kolonel (Inf) Untung bin Sjamsuri untuk sementara terpaksa harus berhenti dulu.

Dia penerima Bintang Sakti, komandan resimen elite Tjakrabirawa. Pada 1 Oktober 1965, dia menculik para jenderal TNI Angkatan Darat. Tapi bagaimana sesungguhnya peran tokoh ini masih remang-remang. Dia Letnan Kolonel Untung.

Koran Tempo edisi Senin, 5 Oktober 2009, menurunkan laporan lengkap tentang salah satu tokoh penting dalam lembaran hitam sejarah Indonesia ini. Begitu beredar, edisi ini memicu geger. Ia menjadi pembicaraan di jejaring sosial. Sebuah milis terkemuka juga menjadikan sampul depan koran cergas itu sebagai salah satu topik pembicaraan hari ini.

Apa pemicunya? Koran Tempo menulis bahwa sejumlah saksi menuturkan, Gerakan 30 September 1965 yang dikendalikan Untung disebut-sebut mendapat restu dari Soeharto (almarhum). Menurut saksi, pada dinihari 1 Oktober 1965, saat pasukan Untung bergerak menculik para petinggi Angkatan Darat, Soeharto sempat melintasi di depan kerumunan. Berarti Soeharto sudah tahu lebih dahulu tentang aksi penculikan para jenderal?

Dalam bukunya, Soeharto sudah membantah kabar itu. Nah, untuk mengetahui lebih jauh mengenai misteri kisah itu, saya turunkan lagi di sini isi laporan utama Koran Tempo itu. Semoga membantu mereka yang belum kebagian edisi cetaknya. Artikel ditulis oleh Erwin Dariyanto dan disunting oleh Seno Joko Suyono.

***

Hari Selasa, pengujung tahun 1966. Penjara Militer Cimahi, Bandung, Jawa Barat. Dua pria saling berhadapan. Yang satu bertubuh gempal, potongan cepak berusia 39 tahun. Satunya bertubuh kurus, usia 52 tahun. Mereka adalah Letnan Kolonel Untung Syamsuri dan Soebandrio, Menteri Luar Negeri kabinet Soekarno.

Suara Untung bergetar. ―Pak Ban, selamat tinggal. Jangan sedih, kata Untung kepada Soebandrio.

Itulah perkataan Untung sesaat sebelum dijemput petugas seperti ditulis Soebandrio dalam buku Kesaksianku tentang G30S. Dalam bukunya, Soebandrio menceritakan, selama di penjara, Untung yakin dirinya tidak bakal dieksekusi. Untung mengaku G-30-S atas setahu Panglima Komando Strategis Angkatan Darat Mayor Jenderal Soeharto.

Keyakinan Untung bahwa ia bakal diselamatkan Soeharto adalah salah satu ―misteri tragedi September. Kisah pembunuhan para jenderal pada 1965 adalah peristiwa yang tak habis-habisnya dikupas. Salah satu yang jarang diulas adalah spekulasi kedekatan Untung dan Soeharto.

Memperingati tragedi September kali ini, Koran Tempo bermaksud menurunkan edisi khusus yang menguak kehidupan Letkol Untung. Tak banyak informasi tentang tokoh ini, bahkan dari sejarawan ―Data tentang Untung sangat minim, bahkan riwayat hidupnya, kata sejarawan Asvi Warman Adam.

***

Tempo berhasil menemui saksi hidup yang mengenal Letkol Untung. Salah satu saksi adalah Letkol CPM (Purnawirawan) Suhardi. Umurnya sudah 83 tahun. Ia adalah sahabat masa kecil Untung di Solo dan bekas anggota Tjakrabirawa. Untung tinggal di Solo sejak umur 10 tahun. Sebelumnya, ia tinggal di Kebumen. Di Solo, ia hidup di rumah pamannya, Samsuri. Samsuri dan istrinya bekerja di pabrik batik Sawo, namun tiap hari membantu kerja di rumah Ibu Wergoe Prajoko, seorang priayi keturunan trah Kasunan, yang tinggal di daerah Keparen, Solo. Wergoe adalah orang tua Suhardi.

Dia memanggil ibu saya bude dan memanggil saya Gus Hardi, ujar Suhardi. Suhardi, yang setahun lebih muda dari Untung, memanggil Untung: Si Kus. Nama asli Untung adalah Kusman. Suhardi ingat, Untung kecil sering menginap di rumahnya. Tinggi Untung kurang dari 165 sentimeter, tapi badannya gempal. Potongannya seperti preman. Orang-orang Cina,yang membuka praktek-praktek perawatan gigi di daerah saya takut semua kepadanya, kata Suhardi tertawa. Menurut Suhardi, Untung sejak kecil selalu serius, tak pernah tersenyum. Suhardi ingat, pada 1943, saat berumur 18 tahun, Untung masuk Heiho. Saya yang mengantarkan Untung ke kantor Heiho di perempatan Nonongan yang ke arah Sriwedari.

Setelah Jepang kalah, menurut Suhardi, Untung masuk Batalion Sudigdo, yang markasnya berada di Wonogiri. Batalion ini sangat terkenal di daerah Boyolali. Ini satu-satunya batalion yang ikut PKI (Partai Komunis Indonesia), kata Suhardi. Menurut Suhardi, batalion ini lalu terlibat gerakan Madiun sehingga dicari-cari oleh Gatot Subroto.

Clash yang terjadi pada Desember 1949 antara Republik dan Belanda membuat pengejaran terhadap batalion-batalion kiri terhenti. Banyak anggota batalion kiri bisa bebas. Suhardi tahu Untung kemudian balik ke Solo. Untung kemudian masuk Korem Surakarta, katanya. Saat itu, menurut Suhardi, Komandan Korem Surakarta adalah Soeharto. Soeharto sebelumnya adalah Komandan Resimen Infanteri 14 di Semarang. Mungkin perkenalan awal Untung dan Soeharto di situ, kata Suhardi.

Keterangan Suhardi menguatkan banyak tinjauan para analisis. Seperti kita ketahui, Soeharto kemudian naik menggantikan Gatot Subroto menjadi Panglima Divisi Diponegoro. Untung lalu pindah ke Divisi Diponegoro, Semarang. Banyak pengamat melihat, kedekatan Soeharto dan Untung bermula di Divisi Diponegoro ini. Keterangan Suhardi menambahkan kemungkinan perkenalan mereka sejak di Solo.

Hubungan Soeharto-Untung terjalin lagi saat Soeharto menjabat Panglima Kostrad mengepalai operasi pembebasan Irian Barat, 14 Agustus 1962. Untung terlibat dalam operasi yang diberi nama Operasi Mandala itu. Saat itu Untung adalah anggota Batalion 454 Kodam Diponegoro, yang lebih dikenal dengan Banteng Raiders.

Di Irian, Untung memimpin kelompok kecil pasukan yang bertempur di hutan belantara Kaimana. Sebelum Operasi Mandala, Untung telah berpengalaman di bawah pimpinan Jenderal Ahmad Yani. Ia terlibat operasi penumpasan pemberontakan PRRI atau Permesta di Bukit Gombak, Batusangkar, Sumatera Barat, pada 1958. Di Irian, Untung menunjukkan kelasnya. Bersama Benny Moerdani, ia mendapatkan penghargaan Bintang Sakti dari Presiden Soekarno. Dalam sejarah Indonesia, hanya beberapa perwira yang mendapatkan penghargaan ini. Bahkan Soeharto, selaku panglima saat itu, hanya memperoleh Bintang Dharma, setingkat di bawah Bintang Sakti.

Kedua prestasi inilah yang menyebabkan Untung menjadi anak kesayangan Yani dan Soeharto, kata Kolonel Purnawirawan Maulwi Saelan, mantan Wakil Komandan Tjakrabirawa, atasan Untung di Tjakrabirawa, kepada Tempo.

Untung masuk menjadi anggota Tjakrabirawa pada pertengahan 1964. Dua kompi Banteng Raiders saat itu dipilih menjadi anggota Tjakrabirawa. Jabatannya sudah letnan kolonel saat itu.

Anggota Tjakrabirawa dipilih melalui seleksi ketat. Pangkostrad, yang kala itu dijabat Soeharto, yang merekomendasikan batalion mana saja yang diambil menjadi Tjakrabirawa. ―Adalah menarik mengapa Soeharto merekomendasikan dua kompi batalion Banteng Raiders masuk Tjakrabirawa, kata Suhardi. Sebab, menurut Suhardi, siapa pun yang bertugas di Jawa Tengah mengetahui banyak anggota Raiders saat itu yang eks gerakan Madiun 1948. Pasti Soeharto tahu itu eks PKI Madiun.

Di Tjakrabirawa, Untung menjabat Komandan Batalion I Kawal Kehormatan Resimen Tjakrabirawa. Batalion ini berada di ring III pengamanan presiden dan tidak langsung berhubungan dengan presiden.

Maulwi, atasan Untung, mengaku tidak banyak mengenal sosok Untung. Untung, menurut dia, sosok yang tidak mudah bergaul dan pendiam. Suhardi masuk Tjakrabirawa sebagai anggota Detasemen Pengawal Khusus. Pangkatnya lebih rendah dibanding Untung. Ia letnan dua. Pernah sekali waktu mereka bertemu, ia harus menghormat kepada Untung. Suhardi ingat Untung menatapnya. Untung lalu mengucap, Gus, kamu ada di sini.

Menurut Maulwi, kedekatan Soeharto dengan Untung sudah santer tersiar di kalangan perwira Angkatan Darat pada awal 1965. Para perwira heran mengapa, misalnya, pada Februari 1965, Soeharto yang Panglima Kostrad bersama istri menghadiri pesta pernikahan Untung di desa terpencil di Kebumen, Jawa Tengah. ―Mengapa perhatian Soeharto terhadap Untung begitu besar? Menurut Maulwi, tidak ada satu pun anggota Tjakra yang datang ke Kebumen. Kami, dari Tjakra, tidak ada yang hadir, kata Maulwi.

Dalam bukunya, Soebandrio melihat kedatangan seorang komandan dalam pesta pernikahan mantan anak buahnya adalah wajar. Namun, kehadiran Pangkostrad di desa terpencil yang saat itu transportasinya sulit adalah pertanyaan besar. Jika tak benar-benar sangat penting, tidak mungkin Soeharto bersama istrinya menghadiri pernikahan Untung, tulis Soebandrio. Hal itu diiyakan oleh Suhardi. Pasti ada hubungan intim antara Soeharto dan Untung, katanya.

***

Dari mana Untung percaya adanya Dewan Jenderal? Dalam bukunya, Soebandrio menyebut, di penjara, Untung pernah bercerita kepadanya bahwa ia pada 15 September 1965 mendatangi Soeharto untuk melaporkan adanya Dewan Jenderal yang bakal melakukan kup. Untung menyampaikan rencananya menangkap mereka.

Bagus kalau kamu punya rencana begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu, demikian kata Soeharto seperti diucapkan Untung kepada Soebandrio.

Bila kita baca transkrip sidang pengadilan Untung di Mahkamah Militer Luar Biasa pada awal 1966, Untung menjelaskan bahwa ia percaya adanya Dewan Jenderal karena mendengar kabar beredarnya rekaman rapat Dewan Jenderal di gedung Akademi Hukum Militer Jakarta, yang membicarakan susunan kabinet versi Dewan Jenderal.

Maulwi melihat adalah hal aneh bila Untung begitu percaya adanya informasi kudeta terhadap presiden ini. Sebab, selama menjadi anggota pasukan Tjakrabirawa, Untung jarang masuk ring I atau ring II pengamanan presiden. Artinya ia isu. Dalam catatan Maulwi, hanya dua kali Untung bertemu dengan Soekarno. Pertama kali saat melapor sebagai Komandan Kawal Kehormatan dan kedua saat Idul Fitri 1964. Jadi, ya, sangat aneh kalau dia justru yang paling serius menanggapi isu Dewan Jenderal, kata Maulwi.

Menurut Soebandrio, Soeharto memberikan dukungan kepada Untung untuk menangkap Dewan Jenderal dengan mengirim bantuan pasukan. Soeharto memberi perintah per telegram Nomor T.220/9 pada 15 September 1965 dan mengulanginya dengan radiogram Nomor T.239/9 pada 21 September 1965 kepada Yon 530 Brawijaya, Jawa Timur, dan Yon 454 Banteng Raiders Diponegoro, Jawa Tengah. Mereka diperintahkan datang ke Jakarta untuk defile Hari Angkatan Bersenjata pada 5 Oktober.

Pasukan itu bertahap tiba di Jakarta sejak 26 September 1965. Yang aneh, pasukan itu membawa peralatan siap tempur. Memang mencurigakan, seluruh pasukan itu membawa peluru tajam, kata Suhardi. Padahal, menurut Suhardi, ada aturan tegas di semua angkatan bila defile tidak menggunakan peluru tajam. Itu ada petunjuk teknisnya, ujarnya.

Pasukan dengan perlengkapan siaga I itu kemudian bergabung dengan Pasukan Kawal Kehormatan Tjakrabirawa pimpinan Untung. Mereka berkumpul di dekat Monumen Nasional.

Dinihari, 1 Oktober 1965, seperti kita ketahui, pasukan Untung bergerak menculik tujuh jenderal Angkatan Darat. Malam itu Soeharto syahdan dalam perjalanan pulang dari menunggui anaknya, Tommy, di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto. Soeharto sempat melintasi kerumunan pasukan dengan mengendarai jip. Ia dengan tenangnya melewati pasukan yang beberapa saat lagi berangkat membunuh para jenderal itu.

Adapun Untung, menurut Maulwi, hingga tengah malam pada 30 September 1965 masih memimpin pengamanan acara Presiden Soekarno di Senayan. Maulwi masih bisa mengingat pertemuan mereka terakhir terjadi pada pukul 20.00. Waktu itu Maulwi menegur Untung karena ada satu pintu yang luput dari penjagaan pasukan Tjakra. Seusai acara, Maulwi mengaku tidak mengetahui aktivitas Untung selanjutnya.

Ketegangan hari-hari itu bisa dirasakan dari pengalaman Suhardi sendiri. Pada 29 September, Suhardi menjadi perwira piket di pintu gerbang Istana. Tiba-tiba ada anggota Tjakra anak buah Dul Arief, peleton di bawah Untung, yang bernama Jahuruk hendak masuk Istana. Menurut Suhardi, itu tidak diperbolehkan karena tugas mereka adalah di ring luar sehingga tidak boleh masuk. Saya tegur dia.

Pada 1 Oktober pukul 07.00, Suhardi sudah tiba di depan Istana. Saya heran, dari sekitar daerah Bank Indonesia, saat itu banyak tentara. Ia langsung mengendarai jip menuju markas Batalion 1 Tjakrabirawa di Tanah Abang. Yang membuatnya heran lagi, pengawal di pos yang biasanya menghormat kepadanya tidak menghormat lagi. Saya ingat yang jaga saat itu adalah Kopral Teguh dari Banteng Raiders, kata Suhardi. Begitu masuk markas, ia melihat saat itu di Tanah Abang semua anggota kompi Banteng Raiders tidak ada.

Begitu tahu hari itu ada kudeta dan Untung menyiarkan susunan Dewan Revolusi, Suhardi langsung ingat wajah sahabat masa kecilnya dan sahabat yang sudah dianggap anak oleh ibunya sendiri tersebut. Teman yang bahkan saat sudah menjabat komandan Tjakrabirawa bila ke Solo selalu pulang menjumpai ibunya. Saya tak heran kalau Untung terlibat karena saya tahu sejak tahun 1948 Untung dekat dengan PKI, katanya.

Kepada Oditur Militer pada 1966, Untung mengaku hanya memerintahkan menangkap para jenderal guna dihadapkan pada Presiden Soekarno. Semuanya terserah kepada Bapak Presiden, apa tindakan yang akan dijatuhkan kepada mereka, jawab Untung.

Heru Atmodjo, Mantan Wakil Asisten Direktur Intelijen Angkatan Udara, yang namanya dimasukkan Untung dalam susunan Dewan Revolusi, mengakui Sjam Kamaruzaman-lah yang paling berperan dalam gerakan tersebut. Keyakinan itu muncul ketika pada Jumat, 1 Oktober 1965, Heru secara tidak sengaja bertemu dengan para pimpinan Gerakan 30 September: Letkol Untung, Kolonel Latief, Mayor Sujono, Sjam Kamaruzaman, dan Pono. Heru melihat justru Pono dan Sjam-lah yang paling banyak bicara dalam pertemuan itu, sementara Untung lebih banyak diam. Saya tidak melihat peran Untung dalam memimpin rangkaian gerakan atau operasi ini (G-30-S), kata Heru saat ditemui Tempo.

Untung adalah sebuah tragedi sekaligus kisah kepandiran. Perwira penerima Bintang Sakti itu sampai menjelang ditembak pun masih percaya bakal diselamatkan.

No comments:

Post a Comment