BAB 3 :
KUASA BERPINDAH PERAN MAHASISWA
Ada
masa di mana Indonesia lowong kepemimpinan: sejak awal Oktober 1965 sampai
Maret 1966
atau selama sekitar enam bulan. Bung Karno masih sebagai presiden,
tetapi sudah tidak punya kuasa lagi. Beliau dilarang meninggalkan Istana Bogor
atau lebih tepat menjadi tawanan Soeharto. Sepanjang masa itu juga tidak ada
keputusan penting yang dikeluarkan oleh pemerintah. Soeharto lebih banyak
menentukan kebijakan negara, namun secara formal dia adalah Menpangad.
Bung
Karno pada tenggang waktu itu belum benar-benar sampai pada ajal politik.
Beliau masih punya pengaruh, baik di Angkatan Bersenjata maupun di kalangan
Parpol-Parpol besar dan kecil. Para pimpinan Parpol umumnya mendukung Angkatan
Darat untuk membasmi PKI, namun mereka juga mendukung Bung Karno yang berupaya
memulihkan wibawa, walaupun Bung Karno akrab dengan PKI.
Sepintas
tampak ada dualisme sikap para pimpinan Parpol. Di satu sisi anti-PKI, di sisi
lain mendukung Bung Karno. Sedangkan di kalangan Angkatan Bersenjata umumnya
juga menentang PKI, namun sebagian mendukung Bung Karno. Sebagaimana umumnya
menghadapi masa transisi, sebagian perwira merasa khawatir tentang posisi
mereka. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi jika Soeharto menjadi pemimpin
kelak. Di sisi lain, proses kudeta merangkak belum berakhir. Manuver Soeharto
merebut kekuasaan tertinggi ada empat tahap:
1. menyingkirkan
saingan beratnya sesama perwira tertinggi.
2.
Menghabisi PKI, partai besar yang akrab dengan Bung Karno 3. Melumpuhkan para
menteri pembantu presiden
4.
Melumpuhkan Bung Karno.
Mengapa
harus empat tahap? Jawabnya adalah bahwa sebelum G30S Soeharto bukan perwira
yang diperhitungkan. Karena selain pangkatnya masih Mayjen, ia juga pernah
memiliki cacat saat menyelundupkan barang di Jateng sehingga untuk mencapai
pimpinan puncak ia harus melewati proses panjang. Sampai di sini sudah dua
tahap tercapai: para jenderal saingannya sudah dihabisi dan PKI sudah digempur.
Kendati
demikian, Bung Karno masih juga punya pengaruh. Selain itu para menteri juga
masih ada walaupun sudah tidak berfungsi. Untuk mengimbangi – lebih tepat
melumpuhkan sisa-sisa kekuatan Bung Karno, Soeharto mengerahkan mahasiswa.
Seperti disebut di bagian terdahulu, pada akhir Oktober 1965 di rumah Brigjen
Sjarif Thajeb, atas perintah Soeharto dibentuk KAMI.
Nah,
sejak itu demo mahasiswa didukung oleh tentara terus bergerak mengkritik
Presiden Soekarno. Saat itulah muncul slogan Tritura (tri atau tiga tuntutan
rakyat):
1.
bubarkan PKI
2.
bersihkan anggota kabinet dari unsur-unsur PKI
3.
turunkan harga kebutuhan pokok.
Bung
Karno yang masih menjabat sebagai presiden lantas membubarkan KAMI. Tetapi
setelah KAMI bubar muncul kelompok sejenis berganti nama menjadi KAPPI
(Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia). Tujuannya tetap sama: berdemo
mengkritik Presiden Soekarno. Dan karena demo itu didukung oleh tentara tentu
saja para pemuda dan mahasiswa berani. Ini yang kemudian disebut kelompok
pemuda Angkatan ‘66, kelompok yang diprakarsai oleh Soeharto.
Sementara
itu harga kebutuhan pokok rakyat memang melambung tinggi. Saya tahu persis
melonjaknya harga itu terjadi karena rekayasa Soeharto. Tepatnya Soeharto
dibantu oleh dua pengusaha Cina: Liem Sioe Liong (dulu bekerjasama
menyelundupkan barang) dan Bob Hasan (juga teman Soeharto sewaktu di Jawa
Tengah).
Itu
dilakukan di tenggang waktu antara Oktober 1965 sampai Maret 1966. Akibat
selanjutnya: inflasi melambung sampai 600%, defisit anggaran belanja negara
semakin parah sampai 300%. Rakyat tercekik. Untuk membeli beras, gula dan
minyak orang harus antri. Inilah operasi intelijen yang sukses melumpuhkan
ekonomi negara.
Tentang
hubungan bisnis Soeharto dengan Liem Sioe Liong dan Bob Hasan di Jateng yang
paling tahu adalah Mayjen Pranoto. Saat Soeharto sebagai Panglima Divisi
Diponegoro, Pranoto adalah kepala stafnya. Pranoto sudah sangat jengkel pada
Soeharto perihal bisnis memanfaatkan jabatan yang dilakukan Soeharto, dibantu
Liem Sioe Liong dan Bob Hasan.
Sangat
mungkin ulah Soeharto dan Liem menyelundupkan barang dulu dibongkar oleh
Pranoto sehingga akhirnya diketahui Menpangad Yani, sampai-sampai Yani
menempeleng Soeharto. Jadi tindakan Soeharto menjegal Pranoto yang diangkat
oleh Presiden Soekarno menjadi caretaker Menpangad (1 Oktober 1965) bukan
semata- mata perebutan jabatan (dengan cara kotor) tetapi juga ada faktor
dendam pribadinya.
Sementara,
gerakan mahasiswa menuntut pemerintah semakin gencar. Tritura terus diteriakkan
hampir setiap hari. Soeharto merekayasa agar harga kebutuhan pokok melambung.
Dia pula yang mengerahkan mahasiswa berdemo menuntut penurunan harga. Sedangkan
rakyat jelas mendukung gerakan mahasiswa karena tuntutan mereka sejalan dengan
keinginan rakyat. Siapa pun yang menjadi presiden saat itu pasti tidak dapat
berbuat banyak. Apalagi Presiden Soekarno dilarang meninggalkan Istana Bogor.
Di sini semakin jelas kelicikan Soeharto. Cara Soeharto menjatuhkan Soekarno
benar-benar efektif walaupun di mata rakyat saat itu tidak kelihatan.
Saya
menilai hanya sebagian mahasiswa yang berdemo dengan motivasi tercekik oleh
harga bahan kebutuhan pokok sebab mereka bukan orang awam, mereka bukan anak
kecil. Sebagian dari mereka pasti tahu bahwa harga kebutuhan pokok melejit
akibat rekayasa Soeharto. Mereka adalah kaum intelektuil yang mengikuti
perkembangan negara mereka. Tetapi gerakan mereka didukung oleh tentara dan
rakyat – dua kekuatan utama bangsa ini sehingga sebagian yang sadar akan
kondisi yang sebenarnya tidak berani menentang arus. Semua pasti mencari
selamat bagi diri sendiri. Mereka terpaksa terbawa arus, ikut menentang
pemerintah.
Pada
tanggal 10 Januari 1966 ribuan mahasiswa berkumpul di Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia di Salemba. Mereka meneriakkan Tritura. Komandan RPKAD
(kelak diganti menjadi Kopassus) Sarwo Edhi berpidato di tengah ribuan
mahasiswa untuk mengobarkan semangat mahasiswa berdemo. Usai Sarwo Edhi
berpidato ribuan mahasiswa bergerak turun ke jalan menuju kantor P&K untuk
menyampaikan tuntutan tersebut. Di P&K mereka bertemu dengan Wakil Perdana
Menteri-III Chaerul Saleh. Mahasiswa menyampaikan tuntutan mereka kepada
Chaerul Saleh. Tuntutan ditanggapi Chaerul sambil lalu.
Lantas
mahasiswa melanjutkan demo turun ke jalan. Pendapat umum yang dibentuk melalui
surat kabar menyebutkan bahwa tuntutan mahasiswa itu murni. Ini jelas
menyesatkan masyarakat. Bahan kebutuhan pokok sengaja dimusnahkan oleh
Soeharto. Di sisi lain, mahasiswa bergerak didukung oleh tentara yang dipimpin
Soeharto. Jadi mana bisa tuntutan mereka dikatakan murni? Satu-satunya tuntutan
mahasiswa yang murni menurut saya adalah: bubarkan PKI.
Sebagai
gambaran: kelak setelah Soeharto berkuasa dan kepentingan politiknya sudah
tercapai, ia memberangus mahasiswa. Caranya dengan memerintahkan menteri
P&K mengeluarkan peraturan NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) dan BKK
(Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Itu terjadi di pertengahan 1970-an. Intinya:
mahasiswa dilarang berdemo. Saya di dalam penjara mengikuti berita itu dan
mengamati bahwa ternyata Soeharto ngeri dengan bekas salah satu senjatanya,
mahasiswa.
Akhirnya
ia juga jatuh tersungkur antara lain akibat tekanan ribuan mahasiswa yang
menduduki Gedung DPR/MPR pertengahan Mei 1998. Saya tidak pernah menyesal pada
sikap pemuda dan mahasiswa Angkatan-66. Kondisi dan situasi negara saat itu
memungkinkan mereka bersikap begitu. Generasi muda di mana pun di dunia ini
cenderung berpihak pada pembaharuan. Karakteristik ini dimanfaatkan dengan baik
oleh orang yang haus kuasa.
Apalagi
secara de facto pemimpin Indonesia sejak 1 Oktober 1965 adalah Soeharto, walau
secara de jure ia adalah Menpangad. Bung Karno memang masih sebagai Presiden RI
dan pemerintah masih berdiri, tetapi kondisi negara tak terkendali, baik oleh
penggempuran besar-besaran tentara terhadap rakyat untuk membersihkan PKI
maupun oleh kondisi perekonomian yang rusak berat. Orang tidak perlu
susah-susah mencari tahu apakah ini hasil rekayasa atau murni ketidak mampuan pemerintah,
sehingga rakyat secara jelas menyaksikan drama kejatuhan Bung Karno dari tampuk
kekuasaannya.
Namun
gerakan mahasiswa ternyata ditanggapi Bung Karno. Pada 15 Januari 1966 dalam
Sidang Kabinet Presiden Soekarno berpidato menjawab Tritura yang dikobarkan
oleh mahasiswa. Menurut Presiden Soekarno Tritura adalah hasil rekayasa TNI AD.
Dengarkan cuplikan pidato Soekarno yang sebagian sempat saya catat. Bunyinya
demikian: “Saya tidak akan mundur sejengkal pun. Saya
tetap Pemimpin Besar Revolusi. Maka saya tidak dapat bicara lain. Ayo, siapa yang membutuhkan
Soekarno, setuju dengan Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi, maka satukan
seluruh kekuatanmu. Pertahankan Soekarno. Berdirilah di belakang Soekarno.
Tunggu komando”.
Inilah
pernyataan Bung Karno di depan publik yang paling keras. Dengan pidato Bung
Karno yang berapi-api, semua pihak menjadi cemas. Bung Karno masih punya
pendukung, termasuk dari Angkatan Bersenjata. Para menterinya masih lengkap.
Jabatannya masih Presiden RI. Maka semua pihak khawatir Indonesia bakal
memasuki pergolakan sangat hebat dalam waktu dekat dan bakal terjadi
pertumpahan darah yang jauh lebih besar dari G30S. Maka setelah itu pada malam
hari berikutnya saya selaku Wakil Perdana Menteri-I membentuk Barisan Soekarno.
Anggotanya semua menteri. Tujuannya tentu untuk membela Presiden. Front
Nasional yang sudah ada sebelumnya harus masuk ke Barisan Soekarno.
Pada
tanggal 20 Januari 1966 para menteri berkumpul di Istana. Mereka menyatakan
sepakat menjadi bagian paling depan dari pendukung Soekarno. Itu merupakan
bagian dari upaya pendukung Soekarno untuk come back, walaupun secara formal
Soekarno masih Presiden-RI, pun secara formal pendukung terdepan masih Menteri
Negara. Namun Bung Karno tidak melakukan follow-up, tidak ada tindak lanjut dari pidatonya yang
keras itu. Tidak ada perintah apa pun meski ia tahu pendukungnya
sudah siap membela. Para pendukungnya pun
tidak bergerak sebab dalam pidatonya Bung Karno antara lain menyerukan: tunggu
komando. Seruan ini ditaati para pendukungnya. Dan
komando ternyata tidak juga kunjung datang. Seandainya komando benar-benar
diserukan, saya tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya Indonesia.
No comments:
Post a Comment