Matanya
dicungkil. Angkatan Bersendjata, 6 Oktober 1965.
Deru
mesinnya yang seperti harimau haus darah. Angkatan Bersendjata, 7
Oktober 1965.
Ada yang
dipotong tanda kelaminnya. Berita Yudha, 10 Oktober 1965.
Belakangan
ini saya dapat bukti bahwa jenderal-jenderal yang dimasukkan semua ke Lubang
Buaya tidak ada satu orang pun yang kemaluannya dipotong. Saya dapat buktinya
darimana? Visum repertum daripada team dokter-dokter yang menerima
jenazah-jenazah daripada jenderal-jenderal yang dimasukkan ke dalam sumur
Lubang Buaya itu. Presiden Ir. Sukarno, 13 Desember 1965.
***
Di atas
kursi roda, mengenakan kaos oblong putih dan sarung biru bergaris-garis, Lim
Joe Thay duduk terdiam. Bibirnya mengatup, sering kedua telapak tangannya
ditangkupkan di depan dada dan sekali-sekali diletakkan di atas paha. Rambutnya
telah memutih sempurna. Dia tak banyak bicara. Kalau pun bersuara, kata-katanya
terdengar sayup dan samar.
Sekali
waktu laki-laki yang kini berusia 83 tahun itu bergumam. Mumbling. Saya mencoba
menangkap isi ceritanya. Tidak jelas. Terpotong-potong, patah-patah. Kalau
disambungkan seperti cerita tentang sepasukan tentara yang bergerak di sebuah
tempat, entah di mana. Tapi cerita itu tak tuntas. Dia menutup sendiri
ceritanya, mengalihkan pandangan mata ke sembarang arah, sebelum kembali
menenggelamkan diri dalam diam.
Di saat yang lain, dia kembali menanyakan
nama saya. Dan kalau sudah begini, saya memegang tangannya, menyebutkan nama
saya sambil menatap matanya. Setelah itu senyumnya sedikit mengembang.
Dikenal
dengan nama dr. Arief Budianto, tak banyak yang menyadari Lim Joey Thay adalah
tokoh penting. Sangat penting, bahkan. Dia adalah satu dari segelintir orang
yang berada di titik paling menentukan dalam sejarah negara ini setelah
Proklamasi 1945.
Pagi
hari 4 Oktober 1965 pasukan yang dipimpin Pangkostrad Mayjen Soeharto menemukan
tujuh mayat perwira Angkatan Darat yang diculik dan dibunuh Gerakan 30
September dinihari 1 Oktober. Ketujuh perwira naas itu adalah Menteri Panglima
Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani, Deputi II Menpangad Mayjen R. Soeprapto,
Deputi III Menpangad Mayjen MT. Harjono, Deputi IV Menpangad Brigjen DI.
Panjaitan, Oditur Jenderal/Inspektur Kehakiman AD Brigjen Soetojo
Siswomihardjo, Asisten I Menpangad Mayjen S. Parman, dan Lettu P. Tendean
(Ajudan Menko Hankam/KASAB Jenderal AH Nasution).
Mayat
enam jenderal dan seorang perwira muda Angkatan Darat ini ditemukan di dalam
sebuah sumur tua sekitar 3,5 kilometer di luar Pangkalan Angkatan Udara Halim
Perdanakusumah.
Lim
Joey Thay yang ketika itu adalah lektor Ilmu Kedokteran Kehakiman Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI) merupakan satu dari lima ahli forensik
yangberdasarkan perintah Soeharto memeriksa kondisi ketujuh mayat tersebut
sebelum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, siang hari 5 Oktober.
Empat
dokter lain di dalam tim ini adalah dr. Brigjen Roebiono Kertopati, perwira
tinggi yang diperbantukan di RSP Angkatan Darat; dr. Kolonel Frans Pattiasina,
perwira kesehatan RSP Angkatan Darat; dr. Sutomo Tjokronegoro, ahli Ilmu Urai
Sakit Dalam dan ahli Kedokteran Kehakiman, juga profesor di FK-UI; serta dr.
Liau Yan Siang, rekan Lim Joey Thay di Ilmu Kedokteran Kehakiman FK-UI.
Kini
dari lima anggota tim otopsi itu, tinggal Lim Joey Thay dan Liu Yang Siang yang
masih hidup. Lim Joey Thay kini sakit-sakitan, sementara sejak beberapa tahun
lalu, Liu Yan Siang menetap di Amerika Serikat dan tidak diketahu pasti kabar
beritanya.
Berpacu
dengan waktu dan proses pembusukan, mereka berlima bekerja keras selama delapan
jam, dari pukul 4.30 sore tanggal 4 Oktober, hingga pukul 12.30 tengah malam 5
Oktober, di kamar mayat RSP Angkatan Darat.
***
Pagi
di bulan Juni tahun lalu saya dihubungi Dandhy Dwi Laksono, kawan jurnalis yang
ketika itu masih bekerja sebagai kordinator liputan sebuah stasiun televisi.
Dr.
Arif jatuh. Sekarang dirawat di St. Carolus. Gua mau ke sana. Lu nyusul ya,
begitu pesan pendeknya.
Satu
jam kemudian kami bertemu di kantin RS St. Carolus, Salemba, Jakarta Pusat.
Setelah sarapan dan membeli buah-buahan di kantin untuk dr. Lim Joey Thay, kami
berjalan menuju kompleks rawat inap Ignatius-II tempat ia dirawat.
Di
teras Ignatius-II, Lim Joey Thay duduk sendirian menghadap taman kecil di
depannya. Istri dan beberapa kerabatnya yang berada di bagian dalam paviliun
itu menyambut kami.
Informasi
yang kami terima menyebutkan bahwa dr. Lim Joey Thay terjatuh karena serangan
struk. Namun Ny. Arif menjelaskan bahwa dr. Lim Joey Thay terjatuh saat hendak
naik ke kursi roda di rumahnya. Mungkin karena terlalu lelah. Keadaannya tidak
mengkhawatirkan, kata Ny. Arif. Dibandingkan tahun sebelumnya, kondisi dr. Lim
Joey Thay lebih baik, sambungnya.
Dandhy
menemukan kembali visum et repertum ketujuh Pahlawan Revolusi dan kisah tentang
dr. Lim Joey Thay saat menyiapkan sebuah program liputan khusus untuk menyambut
peringatan peristiwa Gerakan 30 September yang oleh Bung Karno dianggap sebagai
resultan dari konflik internal Angkatan Darat, petualangan pemimpin Partai
Komunis Indonesia (PKI) dan operasi kaum nekolim di tanah air. Tim liputan yang
dipimpin Dandhy melakukan riset ekstensif mengenai penyiksaan yang dialami
ketujuh Pahlawan Revolusi itu. Dalam liputan khusus itu, wawancara Dandhy
dengan dr. Lim Joey Thay juga disertakan.
Saya
tak menyaksikan liputan khusus yang diputar Oktober 2007 itu. Tetapi dari
e-mail yang disampaikan Dandhy pada sebuah milis ketika dia mengumumkan
penayangan program tersebut saya menangkap penegasan sekali lagi dr. Lim Joey
Thay bahwa cerita tentang alat kelamin Pahlawan Revolusi yang disilet apalagi
dipotong dan ditelanjuga cerita tentang mata mereka yang dicungkil adalah
bohong belaka. Sayangnya, kebohongan ini sudah kadung dianggap sebagai fakta sejarah
dan diajarkan di sekolah-sekolah.
Tulis
Dandhy dalam e-mailnya, Hasil wawancara sebenarnya hanya mengonfirmasi apa yang
tertera dalam dokumen visum et repertum, bahwa enam Pahlawan Revolusi tewas
akibat luka tembak, dan satu orang (Mayjen M.T. Haryono) akibat luka tusuk. Ada
sejumlah luka lebam yang diragukan apakah akibat pemukulan atau akibat jenazah
dijatuhkan ke dalam sumur sedalam 12 meter.
Karena masalah komunikasi, dalam wawancara,
Prof Arief [Lim Joey Thay] didampingi dr. Djaja Admadja, bekas muridnya yang
kini adalah dokter forensik di RSCM (ahli DNA). dr. Djaja yang lebih banyak
mengurai detil, sementara Prof Arief sesekali menimpali, demikian tulis Dandhy.
Visum
et repertum jenazah Pahlawan Revolusi ini jelas bukan barang baru. Benedict
Anderson dari Cornell University telah menyalin ulang visum et repertum itu
dalam artikelnya, How Did the Generals Die? di jurnal Indonesia
edisi April 1987. Artikel Ben Anderson ini membuat pemerintahan Soeharto marah
besar, dan sejak itu Ben Anderson diharamkan menginjakkan kaki di Indonesia.
Ketujuh
pahlawan revolusi itu jelas mati dibunuh. Dan pembunuhan dengan cara apapun
jelas di luar nilai-nilai kemanusiaan. Namun dari hasil otopsi yang dilakukan
dr. Lim Joey Thay dan teman-temannya sama sekali tidak menemukan tanda-tanda
pencungkilan bola mata, atau apalagi, pemotongan alat kelamin seperti yang
dilaporkan media massa yang dikuasai Angkatan Darat, Angkatan Bersendjata dan
Berita Yudha, dan beberapa media cetak lain yang diperbolehkan beredar
selagi mengikuti aturan main dan kemauan pihak militer. Sumber berita lain di
masa itu adalah RRI, TVRI dan Kantor Berita Antara yang
seperti dua koran sebelumnya juga dikontrol militer.
Dalam
artikelnya ini, sebelum menyalin ulang visum et repertum ketujuh mayat Pahlawan
Revolusi untuk komunitas akademik, Ben Anderson lebih dulu mengutip beberapa
pemberitaan media massa mengenai detil pembunuhan para perwira.
Bila
dibandingkan dengan semua laporan-laporan yang dipublikasikan media-media massa
yang dikontrol tentara itu, kata Ben Anderson, hasil visum et repertum itu
memberikan deskripsi yang paling pas dan objektif mengenai nasib mereka setelah
diculik oleh kelompok Letkol Untung, Komandan Batalion I Resimen Kawal Presiden
Cakrabiwara.
Mata
Jenderal Ahmad Yani dicungkil, tulis Angkatan Bersendjata edisi 6
Oktober. Berita Yudha menegaskan sekali lagi soal pencungkilan mata ini dua
hari kemudian sambil menambahkan bahwa saat ditemukan mayat para perwira
Angkatan Darat terbungkus kain hitam. Sehari kemudian, 7 Oktober, Angkatan
Bersendjata mempublikasikan cerita tentang detail pembunuhan Brigjen
Panjaitan di depan rumahnya. Setelah dihujani tembakan, mayat Brigjen Panjaitan
dilemparkan ke dalam truk yang kemudian membawanya ke Lubang Buaya. Sebegitu
mengerikannya kekuatan pasukan penculik Panjaitan ini, sampai-sampai deru mesin
kendaraan yang mereka pakai saja seperti suara harimau yang haus darah.
Sementara,
walaupun wajah Suprapto dan tengkoraknya dihantam oleh penteror2 biadab namun dia masih dapat
dikenali, begitu tulis Berita Yudha edisi 9 Oktober. Sehari kemudian
koran yang sama menurunkan berita yang disebut bersumber dari saksi mata yang
berada di lokasi pembantaian. Menurut pengakuan saksi ini, biji mata beberapa
korban dicungkil keluar, sementara kemaluan beberapa lainnya dipotong.
Edisi
11 Oktober Angkatan Bersendjata menuliskan laporan yang lebih detil
tentang pembunuhan Lettu Tendean. Ajudan Jenderal Nasution ini disebutkan
menjadi sasaran latihan tembak anggota Gerwani.
Cerita-cerita
mengenai alat kelamin yang disayat, dipotong dan dimakan telah membangkitkan
amarah di akar rumput. Cerita-cerita imajinatif ini, menurut Ben Anderson dalam
artikelnya yang lain, Indonesian Nationalism Today and in the Future (1999),
sengaja disebarkan oleh pihak militer.
Ia
bagian dari dalih untuk melakukan pembantaian massal, tulis John Roosa (2006).
Dan ia bagai minyak tanah yang disiramkan ke api. Menyambar-nyambar.
Selanjutnya, yang terjadi adalah pembantaian besar-besaran di mana-mana
terhadap anggota PKI dan/atau siapa saja yang dituduh menjadi anggota PKI
dan/atau memiliki relasi dengan PKI.
Benedict
Anderson, menggarisbawahi bagaimana dan dengan maksud apa berita pemotongan
alat kelamin itu disebarkan.
Soeharto
dan kelompoknya telah menerima hasil otopsi detil yang dilakukan ahli forensik
sipil dan militer terhadap tubuh korban, para jenderal yang dibunuh 1 Oktober.
Laporan itu memperjelas bahwa para jenderal ditembak mati dan mayat mereka
dibuang ke sebuah sumur dalam di Lubang Buaya. Tetapi tanggal 6 Oktober, media
massa yang dikontrol Soeharto melancarkan sebuah kampanye yang menyebutkan
bahwa mata para jenderal dicongkel dan alat kelamin mereka dipotong, tulis Ben
Anderson.
Propaganda
pihak militer ini, yakin Ben Anderson, dilakukan untuk menciptakan atmosfer
histeria di seluruh Indonesia yang telah mendorong pembantaian lebih dari
setengah juta orang dengan cara paling mengerikan, tanpa melalui proses
pengadilan.
Tidak
keliru bila ada yang menyebut bahwa pemerintahan Orde Baru didirikan di atas
tumpukan tengkorak dan tulang belulang, demikian Ben Anderson.
Tidak
ada catatan yang meyakinkan tentang berapa jumlah rakyat yang tewas dalam
pembantaian massal itu. Jumlah yang sejauh ini dianggap sebagai kebenaran
berkisar antara 500 ribu hingga 1,5 juta. Dalam artikelnya tahun lalu, Exit
Soeharto: Obituary for a Mediocre Tyrant yang ditulis khusus untuk
mengenang Soeharto yang meninggal tiga bulan sebelumnya, Ben Anderson mengutip
pengakuan Jenderal Sarwo Edhie tentang jumlah orang yang tewas dalam pembunuhan
massal 1965-1966.
On his deathbed, the by-then marginalized General Sarwo Edhie, who led
the Red Berets in 1965-66, even said he had been responsible for the death of
three million people.
***
Begitulah.
Sejarah, kata sementara orang, adalah catatan para pemenang. Dus arti
sebaliknya adalah: orang yang kalah tak punya hak untuk ikut menuliskan
sejarah. Di bawah rezim otoriter, pemerintah pusat adalah satu-satunya pihak
yang punya hak untuk menentukan mana yang dapat disebut sebagai fakta sejarah
dan mana yang tidak. Dengan menggunakan stabilitas politik sebagai dalih
pembangunan nasional, pemerintahan Orde Baru mempabrikasi versi mereka tentang
konstruksi sejarah nasional, termasuk dalam hal ini, sejarah mengenai peristiwa
G30S yang menjadi pondasi rezim berusia tiga dasawarsa itu. Pokoknya, sejarah
versi penguasa adalah satu-satunya dogma yang harus diingat dan dipercaya.
Bagi
pemerintahan otoriter, cerita dan interpretasi yang berbeda dari versi penguasa
mengenai apa yang terjadi di masa lalu adalah upaya untuk mensabotase
kedaulatan negara dan proses pembangunan nasional. Karena itu, cerita-cerita
yang tak dikehendaki penguasa ini diharamkan, dan pihak-pihak yang membawa dan
menyebarkannya dinyatakan sebagai musuh negara. Sensor pun adalah aksi yang
biasa dilakukan pemerintahan Orde Baru untuk mengontrol informasi publik dan
dunia akademi yang berpotensi menggugat kebenaran versi penguasa.
Tidak
boleh ada fakta yang bertentangan dengan fakta yang diproduksi penguasa
mengenai peristiwa G30S dan tidak boleh ada penjelasan lain yang berbeda dari
penjelasan versi pemerintah yang boleh hidup di ruang publik. Kalau pun ada,
selama Soeharto berkuasa, ia hanya hidup dalam ruang bisik-bisik. Bagi
pemerintahan Soeharto, cerita dan sejarah mengenai peristiwa itu datar dan
sederhana: ia diotaki oleh PKI dan klik kiri yang berada di dalam tubuh
Angkatan Darat, serta G30S dinyatakan sebagai gerakan yang berusaha untuk
menggantikan Pancasila yang pro-Tuhan dengan komunisme yang anti-Tuhan.
Sejak
awal, Soeharto dan kelompoknya di Angkatan Darat mengaitkan kelompok G30S
dengan PKI. Untuk mempertajam imajinasi publik di tahun 1984 pemerintah Orde
Baru merilis film Pengkhianatan G30S/PKI. Selama beberapa tahun di
setiap tanggal 30 September film itu diputar ulang. Tidak cukup sampai situ,
sebuah monumen yang diberi nama Pancasila Sakti didirikan di Lubang Buaya.
Semua hal ini melengkapi ritual suci hari Kesaktian Pancasila setiap 1 Oktober.
Di
masa Orde Baru, tulis John Roosa dalan Pretext for Mass Murder (2006),
anti-komunis seakan menjadi agama resmi negara dengan dengan tempat suci,
ritual dan hari perayaan.
Setahun
setelah gelombang pembantaian besar-besaran itu dihentikan, di depan DPRS, 16
Agustus 1967, Soeharto yang sudah menjadi pejabat presiden memberikan
justifikasi bagi pembantaian yang disponsori militer dan didukung oleh
kelompok-kelompok non-komunis terhadap siapa saja yang disebut punya hubungan
baik langsung atau tidak langsung dengan partai komunis dan peristiwa 30 September
di Jakarta.
Komunis
yang berdasarkan pada dialektika materialisme sesunggunya adalah anti-Tuhan,
sementara Pancasila mengakui Tuhan Yang Maha Kuasa, ujarnya. Di sisi lain, dia
juga menyerang politik Nasakom Sukarno yang menurut Soeharto mustahil dan
bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.
*** Bung
Karno donder, marah, mendengar kabar dan berita yang mengatakan bahwa para
perwira Angkatan Darat yang menjadi korban dalam peristiwa di subuh 1 Oktober
1965 mengalami penyiksaan mahahebat sebelum nyawa mereka dihabisi. Kabar
seperti ini, menurut si Bung, sengaja disebarluaskan untuk membakar emosi
rakyat dan mendorong gontok-gontokan di kalangan rakyat yang akhirnya menjelma
menjadi sembelih-sembelihan.
Donder
itu terjadi dua kali dalam 24 jam. Pertama saat si Bung berbicara di depan
wartawan di Istana Bogor, malam hari, tanggal 12 Desember 1965. Donder kedua,
keesokan hari, saat Bung Karno berbicara di depan gubernur se-Indonesia, di
Istana Negara.
Kepada
para wartawan, cerita Bung Karno di depan para gubernur, dia bertanya darimana
media massa mendapat cerita tentang kronologi pembunuhan enam jenderal dan
seorang perwira pertama Angkatan Darat yang diculik kelompok Untung.
Tak
ada seorang wartawan pun yang menjawab. Menteri Penerangan Achmadi, Kepala
Dinas Angkatan Darat Brigjen Ibnu Subroto dan Letkol Noor Nasution yang
mengawasi Antara pun tak bisa mengatakan darimana mereka mendapat kabar itu.
Saya
tidak tahu apakah gubernur-gubernur tadi malam menyetel radio atau televisi.
Maka ada baiknya saya ceritakan sedikit pendonderan-pendonderan saya tadi
malam. Begini, tatkala sudah terjadi Lubang Buaya, jenazah-jenazah daripada
jenderal dibawa kesana dan dimasukkan ke dalam sumur. Ooh, itu
wartawan-wartawan suratkabar menulis, bahwa jenderal-jenderal itu disiksa di
luar perikemanuiaan. Semua, katanya, maaf, saudari-saudari, semuanya dipotong
mereka punya kemaluan.
Malahan
belakangan juga ada di dalam surat kabar ditulis bahwa ada seorang wanita
bernama Djamilah, mengatakan bahwa motongnya kemaluan itu dengan pisau silet.
Bukan satu pisau silet, tetapi lebih dahulu 100 anggota Gerwani dibagi silet.
Dan silet ini dipergunakan untuk mengiris-ngiris kemaluan. Demikian pula
dikatakan, bahwa di antara jenderal-jenderal itu matanya dicungkil.
Kisah
Djamilah yang disebut Bung Karno ini dimuat oleh koran Api Pantjasila,
edisi 6 November 1965. Koran ini berafiliasi dengan Ikatan Pendukung
Kemerdekaan Indonesian (IPKI), sebuah partai politik yang didukung tentara. Di
tahun 1973, bersama empat partai lain, PNI, Partai Murba, Partai Parkindo, dan
Partai Katholik, partai ini difusikan menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Dalam laporan Api Pantjasila, Djamilah digambarkan sebagai seorang
wanita muda, 15 tahun, yang tengah hamil tiga bulan. Anggota Gerwani ini
dikatakan berasal dari Pacitan, Jawa Timur. Ia mengaku, di Lubang Buaya
dinihari itu, dia dan teman-temannya dipersenjatai silet oleh anggota kelompok
Gerakan 30 September, dan setelah itu mereka diperintahkan untuk menyayat dan
memotong kemaluan para perwira Angkatan Darat yang jadi korban.
Sebelumnya
pada edisi 20 Oktober, Api Pantjasila menurunkan laporan yang
menyebutkan bahwa kelompok pemuda yang menyerang markas komunis di
Harupanggang, di sekitar Garut, Jawa Barat, menemukan alat yang digunakan untuk
mencungkil bola mata Ahmad Yani. Sama sekali tidak ada penjelasan bagaimana
alat itu, kalau memang benar digunakan untuk mencungkil mata Ahmad Yani, bisa
berada di Harupanggang, ratusan kilometer dari Pondok Gede.
Antara edisi 13 Desember 1965 menurunkan berita yang tak kalah sensasionalnya.
Menurut Antara, sebelum membantai korban penculikan anggota Gerwani yang
telah dipersenjatai silet terlebih dahulu menarikan tarian cabul yang dikenal
dengan nama Harum Bunga, meliuk-liukkan tubuh mereka sampai banyak di antaranya
yang hilang kesadaran dan telanjang.
Menurut
peneliti dari Universitas Amsterdam, Belanda, Saskia E. Wieringa dalam
artikelnya di tahun 2003, pemerintahan Orde Baru secara sistematis
menghancurkan moral Gerwani dan lebih dari itu, wanita Indonesia pada umumnya.
Cerita kebinalan anggota Gerwani di Lubang Buaya semakin dianggap sebagai
kebenaran setelah tokoh agama dan media massa yang berafiliasi dengan kelompok
agama ikut angkat bicara.
Sinar Harapan edisi 9 Oktober mengutip pernyataan Dewan Gereja Indonesia yang
mengatakan tidak habis pikir bagaimana mungkin di sebuah negara Pancasila yang
mempercayai Tuhan tindakan amoral seperti itu bisa terjadi. Edisi 12 Oktober
koran Duta Masyarakat yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU), organisasi
Muslim terbesar di Indonesia dan lawan lawas PKI dalam politik segitiga
Nasakom, menurunkan berita yang menggambarkan anggota Gerwani menari sambil
telanjang di depan korban yang sudah sekarat dan tewas.
Tarian
mereka, tulis Duta Masyarakat, mengingatkan pada upacara kaum kanibal
masyarakat primitif ratusan tahun lalu.
Angkatan Bersenjata edisi 3 November menurunkan laporan tentang pengakuan seorang anggota
Pemuda Rakyat yang menyaksikan anggota Gerwani berteriak-teriak sambil
bernyanyi-nyanyi dan mempermainkan Jenderal Ahmad Yani yang sudah sekarat tak
sadarkan diri.
Berita Yudha edisi 4 November kembali menurunkan berita tentang Gerwani. Kali ini
disebutkan tentang kelompok Kancing Hitam yang terdiri dari wanita-wanita
cantik anggota Gerwani yang merelakan tubuhnya digunakan sebagai pemuas nafsu
petinggi-petinggi partai politik. Anggota Kancing Hitam, demikian kata Berita
Yudha, berusaha sebisa mungkin merayu petinggi partai-partai itu untuk
mendukung PKI.
Tidak
sampai di situ. Gambaran tentang anggota Gerwani yang binal dan bermoral rendah
diabadikan Orde Baru pada relif di bagian bawah monumen Pancasila Sakti di
Lubang Buaya. Bulan Januari lalu saya menyempatkan diri mengunjungi monumen itu
dan mengamati relief tersebut. Tiga orang anggota Gerwani sedang menari sambil
tersingkap belahan dada mereka, sementara tak jauh dari mereka seorang korban
penculikan yang mungkin sudah dibunuh dimasukkan ke dalam sumur tua Lubang
Buaya.
Itulah
agaknya sedikit dari banyak berita yang membuat Bung Karno donder. Dan ia masih
melanjutkan pendonderannya.
Saya
pada waktu itu memakai saya punya gezond verstand, Saudara-saudara. Dan
dengan memakai saya punya gezond verstand, itu saya betwiffelen,
ragukan kebenaran kabar ini. Tetapi saya melihat akibat daripada pembakaran
yang sedemikian ini. Akibatnya ialah, masyarakat seperti dibakar. Kebencian
menyala-nyala, sehingga di kalangan rakyat menjadi gontok-gontokkan, yang
kemudian malahan menjadi sembelih-sembelihan.
Saudara-saudara
mengetahui, bahwa saya sejak mulanya berkata, jangan, jangan, jangan, jangan
sembelih-sembelihan, jangan gontok-gontokkan, jangan panas-panasan.
Nah,
Saudara-saudara, waktu belakangan ini saya dapat bukti, bahwa memang benar
sangkaan saya itu, bahwa jenderal-jenderal yang dimasukkan semua ke Lubang
Buaya tidak ada satu orang pun yang kemaluannya dipotong. Saya dapat buktinya
darimana? Visum repertum daripada team dokter-dokter yang menerima
jenazah-jenazah daripada jenderal-jenderal yang dimasukkan ke dalam sumur Lubang
Buaya itu.
Visum
repertum oleh dokter dituliskannya pro justitia. Bahwa sumpah pro justitia
tidak boleh bohong, tidak boleh menambah, tidak boleh mengurangi. Apa kenyataan
itu, harus dimasukkan dalam visum repertum itu harus jadi pegangan, sebab ini
satu kenyataan, bukan khayalan.
***
Lim
Joey Thay dan empat anggota tim forensik lainnya yang memeriksa mayat Jenderal Ahmad
Yani sama sekali tak menemukan tanda-tanda kanibalisme seperti yang diberitakan
media massa yang telah dikuasai militer dan Soeharto. Begitu juga dengan mayat
enam korban lainnya.
Pada
tubuh Ahmad Yani, misalnya, tim dokter menemukan delapan luka tembak dari arah
depan dan dua luka tembak dari arah belakang. Juga ditemukan dua luka tembak
yang tembus di bagian perut dan sebuah luka tembak yang tembus di bagian
punggung. Matanya masih utuh walau sudah kempes, begitu juga dengan
kemaluannya, masih ada pada tempatnya walau sudah membusuk.
Mayat
Ahmad Yani diidentifikasi oleh ajudannya, Mayor CPM Soedarto, dan dokter
pribadinya, Kolonel CDM Abdullah Hassan. Tanda di tubuh Jenderal Ahmad Yani,
berupa parut pada punggung tangan kiri dan pakaian yang dikenakannya serta
kelebihan gigi berbentuk kerucut pada garis pertengahan rahang atas diantara
gigi-gigi seri pertama, juga masih dapat dikenali. Dokumen visum et repertum
ketujuh Pahlawan Revolusi ini ditulis dalam format yang sama. Di pojok kanan
atas halaman depan terdapat tulisan Departmen Angkatan Darat, Direktortat
Kesehatan, Rumah Sakit Pusat, Pro Justicia.
Sementara
di pojok kiri atas halaman depan tertulis Salinan dari salinan.
Bagian
kepala laporan bertuliskan Visum et Repertum diikuti nomor laporan pada baris
bawah yang dimulai dari H.103 (Letjen Ahmad Yani) hingga H.109 (Lettu P.
Tendean).
Bagian
awal dokumen ini dimulai dengan penjelasan mengenai dasar hukum pembentukan tim
dokter untuk mengotopsi mayat ketujuh perwira Angkatan Darat. Disebutkan bahwa
tim tersebut dibentuk berdasarkan perintah Panglima Kostrad selau Panglima
Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban kepada Kepala Rumah Sakit Pusat
Angkatan Darat di Jakarta, tanggal 4 Oktober. Selanjutnya Kepala RSP-AD
meneruskan perintah itu kepada kelima ahli forensik tadi, termasuk Lim Joey
Thay.
Berikutnya
adalah bagian yang menjelaskan waktu dan tempat visum. Tertulis pada bagian
ini: maka kami, pada tanggal empat Oktober tahun seribu sembilan ratus enam
pulu limam mulai jam setengah lima sore sampai tanggal lima Oktober tahun
seribu sembilan ratus enam puluh lima jam setengah satu pagi, di Kamar Seksi
Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat, Jakarta, telah melakukan pemeriksaan luar
atas jenazah yang menurut surat perintah tersebut di atas adalah jenazah dari
pada… diikuti bagian yang menjelaskan jatidiri mayat dimulai dari nama,
umur/tanggal lahir, jenis kelamin, bangsa, agama, pangkat, dan terakhir
jabatan.
Setiap
dokumen visum et repertum itu juga menjelaskan bahwa mayat yang diperiksa
adalah ―korban tembakan dan/atau penganiayaan pada tanggal satu Oktober tahun
seribu sembilan ratus enam pulu lima pada peristiwa apa yang dinamakan Gerakan
30 September.
Mayat-mayat
ini diidentifikasi oleh orang-orang yang mengenal mereka, serta disebutkan apa
saja tanda-tanda tubuh atau tanda-tanda lain yang melakat di mayat yang menjadi
ciri utama mayat.
Selesai
dengan bagian pengantar ini, barulah tim dokter membeberkan hasil pemeriksaan
luar yang mereka lakukan, dan menutupnya dengan kesimpulan dan pernyataan bahwa
hasil pemeriksaan itu dituliskan dengan mengingat sumpah jabatan.
Bagian
paling akhir dari dokumen ini mengenai autentifikasi keaslian dokumen. Karena
dokumen yang kami peroleh ini merupakan salinan dari salinan maka ada dua
penanda autentifikasi dalam bagian dokumen ini.
Pengesahan pertama bertuliskan disalin sesuai
aslinya dan ditandatangani oleh Yang menyalin yakni Kapten CKU Hamzil Rusli Bc.
Hk. (Nrp. 303840) selaku panitera. Dan pengesahan kedua bertuliskan disalin
sesuai dengan salinan dan ditandatangani oleh panitera dalam perkara ex LKU
Letnan Udara Satu Soedarjo Bc. Hk. (Nrp. 473726). Tidak ditemukan petunjuk
waktu kapan dokumen ini disalin dan disalin ulang.
Saat
mengunjungi dr. Lim Joey Thay di paviliun RS St. Carolus bulan Juni tahun lalu,
saya tak menangkap guratan emosi di wajahnya. Ia tampak begitu tenang. Ia
mengikuti kami yang mengabadikan gambarnya. Sesekali istrinya datang untuk
membenarkan sarung dr. Lim Joey Thay. Atau memberikan minum. Kami juga sempat
bertemu dengan dokter yang menangani dr. Lim Joey Thay. Kepada dokter muda ini
dr. Lim Joey Thay mencoba menjelaskan keadaannya. Sepintas tidak ada yang
mengkhawatirkan. Ia hanya butuh istirahat setelah kelelahan dan terjatuh.
Tetapi
Dandhy bercerita kepada saya pengalamannya saat mewawancarai dr. Lim Joey Thay
dua tahun lalu. Beberapa kali dr. Lim Joey Thay menitikkan airmata saat
berbicara dengan terpatah-patah tentang kebohongan yang disebarkan mengenai
kondisi mayat ketujuh Pahlawan Revolusi.
Beberapa
hari lalu, Dandhy kembali menulis pesan di inbox Facebook saya. Dia barusan
mengunjungi dr. Lim Joey Thay. Kali ini bersama Kepala Arsip Nasional Republik
Indonesia (ANRI) Djoko Utomo. Pihak Arsip Nasional kelihatannya ingin
memastikan keaslian dokumen visum et repertum itu.
Kepala
ANRI merasa perlu bertemu langsung dengan dr. Lim Joey Thay, satu dari dua
anggota tim otopsi Pahlawan Revolusi yang tersisa. Dr. Djadja, murid dr. Lim
Joey Thay ikut menemani gurunya dalam pertemuan itu.
Menurut Dandhy dalam pesan singkatnya, konsisi
terakhir dr. Lim Joey Thay benar-benar sudah sulit bicara.
No comments:
Post a Comment