Orang-orang
sering menjadi terkesima ketika membongkar-bongkar gudang yang bertimbun dan
berdebu.
Sementara iseng membolak-balik ratusan halaman fotokopi rekaman
stenografis dari sidang pengadilan Letkol AURI Atmodjo di depan Mahmilub, saya
temukan dokumen-dokumen yang saya terjemahkan di bawah ini, yang aslinya
merupakan lampiran-lampiran pada berkas sidang pengadilan itu.
Dokumen itu
adalah laporan yang disusun oleh sebuah tim terdiri dari lima orang ahli
kedokteran forensik, yang telah memeriksa mayat-mayat enam orang jendral (Yani,
Suprapto, Parman, Sutojo, Harjono, dan Pandjaitan), dan seorang letnan muda
(Tendean) yang terbunuh pada pagi-pagi buta tanggal 1 Oktober 1965. Laporan
mereka yang lugas merupakan lukisan paling obyektif dan tepat yang pernah kita
miliki, tentang bagaimana tujuh orang itu mati. Mengingat kontroversi yang
telah lama tentang masalah ini, dan berita-berita yang disajikan oleh
suratkabar dan majalah umum berlain-lainan, maka saya memandang perlu
menerjemahkan dokumen-dokumen tersebut sepenuhnya untuk kepentingan kalangan
ilmiah.
Bagian atas
setiap visum et repertum (otopsi) menunjukkan bahwa tim tersebut bekerja pada
hari Senin tanggal 4 Oktober, atas perintah Mayjen Suharto selaku Komandan
KOSTRAD ketika itu, kepada kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD). Tim
terdiri dari dua orang dokter tentara (termasuk Brigjen Roebono Kertopati yang
terkenal itu), dan tiga orang sipil ahli kedokteran forensik pada Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Di antara ketiga orang ini yang paling senior
ialah Dr. Sutomo Tjokronegoro, ketika itu ahli paling terkemuka dalam
kedokteran forensik di Indonesia. Tim bekerja sama selama 8 jam, yaitu dari
pukul 4.30 sore tanggal 4 Oktober sampai 12.30 lewat tengah malam tanggal 5
Oktober, bertempat di Kamar Bedah RSPAD.
Jelas mereka
harus bekerja cepat, oleh karena dari berita-berita pers kita ketahui
mayat-mayat itu baru bisa diangkat dari lubang sumur di Lubang Buaya (di mana
para pembunuh telah melemparkannya) menjelang siang tanggal 4 Oktober, lebih 75
jam setelah pembunuhan terjadi. Dalam jangka waktu itu, dalam iklim tropis bisa
diperkirakan mayat sudah sangat membusuk. Dan sesudah hari siang, Selasa
tanggal 5 Oktober, mayat-mayat itu dimakamkan dengan upacara militer di Taman
Pahlawan Kalibata. Satu hal yang pasti patut diperhatikan. Mengingat bahwa
otopsi itu dilakukan atas perintah langsung Mayjen Suharto, maka kiranya tidak
akan mungkin jika laporan para dokter tersebut tidak segera disampaikan
kepadanya, segera setelah tugas dilaksanakan.
Tujuh buah
laporan itu masing-masing disusun menurut bentuk yang sama: pernyataan adanya
perintah Mayjen Suharto kepada lima orang ahli itu; identifikasi atas mayat;
deskripsi tubuh, termasuk pakaian atau hiasan-hiasan badan; uraian rinci
tentang luka-luka; kesimpulan tentang waktu dan penyebab kematian; pernyataan
di bawah sumpah dari kelima ahli itu, bahwa pemeriksaan telah dilaksanakan
sepenuh-penuhnya dan sebagaimana mestinya.
Karena
gambaran umum tentang matinya tujuh tokok itu, kita, sebagaimana halnya
masyarakat pembaca di Indonesia tahun 1965, harus banyak bersandar pada apa
yang diberitakan oleh dua suratkabar tentara, yaitu Angkatan Bersenjata dan
Berita Yudha, serta dinas informasi ABRI yang memasok suratkabar-suratkabar
tersebut. Walaupun ada beberapa suratkabar non-militer yang tetap terbit, namun
pers kiri telah ditindas pada petang hari tanggal 1 Oktober, sedangkan radio
dan televisi yang dikuasai negara, dan telah ada di tangan militer sepenuhnya
menjelang 1 Oktober, tidak mengudara. Karena itu perlu diperbandingkan
berita-berita yang disajikan oleh suratkabar-suratkabar tentara tersebut,
dengan ini laporan dari para ahli kedokteran yang ditunjuk militer yang selesai
tersusun pada hari Selasa tanggal 5 Oktober, yang bisa kita simpulkan dari
dokumen-dokumen lampiran itu.
Mengingat
bahwasanya dua suratkabar tersebut adalah harian-harian pagi, sehingga edisi 5
Oktober mereka mungkin sudah ditidurkan sementara para dokter masih
menyelesaikan pekerjaannya, maka tidak aneh bila pemberitaan mereka tentang
hari itu barangkali tergesa-gesa, tanpa memanfaatkan informasi yang panjang
lebar itu. Angkatan Bersenjata memuat beberapa buah foto kabur mayat-mayat yang
telah membusuk, dan menggambarkan pembunuhan tersebut sebagai perbuatan biadab
berupa penganiayaan yang dilakukan di luar batas perikemanusiaan.
Berita Yudha
yang selalu lebih garang, mengatakan bahwa mayat-mayat itu penuh dengan
bekas-bekas penyiksaan. Bekas-bekas luka di sekujur tubuh akibat siksaan
sebelum ditembak masih membalut tubuh-tubuh pahlawan kita. Mayjen Suharto
sendiri dikutip menyatakan, jelaslah bagi kita yang menyaksikan dengan mata
kepala (jenazah-jenazah itu), betapa kejamnya aniaya yang telah dilakukan oleh
petualang-petualang biadab dari apa yang dinamakan Gerakan 30 September‘.
Suratkabar itu meneruskan dengan menggambarkan saat-saat terakhir kehidupan
Jendral Yani, mengatakan bahwa sesudah ditembak rubuh di rumahnya, ia
dilemparkan hidup-hidup ke dalam sebuah truk dan terus menerus disiksa sampai penyiksaan
terakhirnya di Lubang Buaya.
Bukti-bukti
tentang penyiksaan ini ditunjukkan dengan adanya luka-luka pada leher dan
mukanya, dan kenyataan bahwa anggota-anggota tubuhnya tidak sempurna lagi. Apa
yang dimaksud oleh kata-kata yang agak kabur itu menjadi lebih jelas pada hari-
hari berikut. Pada hari Kamis tanggal 7 Oktober, Angkatan Bersenjata menyatakan
bahwa matanya (Yani) dicungkil. Berita ini dikuatkan dua hari kemudian oleh
Berita Yudha dengan menambahkan bahwa muka mayat itu ditemukan terbungkus dalam
sehelai kain hitam.
Pada tanggal
7 Oktober itu juga Angkatan Bersenjata melukiskan lebih lanjut, tentang
bagaimana Jendral Harjono dan Jendral Pandjaitan tewas oleh berondongan
tembakan senjata api di rumah masing-masing, lalu mayat mereka dilempar ke
dalam sebuah truk yang menghilang dalam kegelapan malam dengan deru mesinnya
yang seperti harimau haus darah. Sementara itu Berita Yudha memberitakan
tentang bekas-bekas siksaan pada kedua tangan Harjono.
Pada tanggal
9 Oktober Berita Yudha memberitakan, bahwa meskipun muka dan kepala Jendral
Suprapto telah dihancurkan oleh penteror-penteror biadab, namun ciri-cirinya
masih bisa dikenali. Pada Letnan Tendean terdapat luka-luka pisau pada dada
kiri dan perut, lehernya digorok, dan kedua bola matanya ―dicungkil. Harian ini
pada hari berikutnya mengutip saksi mata pengangkat mayat bulan Oktober itu,
yang mengatakan bahwa di antara kurban beberapa ada yang matanya keluar, dan
beberapa lainnya ada yang dipotong kelaminnya dan banyak hal-hal lain yang sama
sekali mengerikan dan di luar perikemanusiaan.
Pada tanggal
11 Oktober Angkatan Bersenjata menulis panjang lebar tentang matinya Tendean,
dengan menyatakan bahwa ia mengalami siksaan luar biasa di Lubang Buaya,
sesudah diserahkan kepada para anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Ia
dijadikan benda permainan jahat perempuan- perempuan ini, digunakan sebagai bulan-bulanan
sasaran latihan menembak sukwati Gerwani.
Begitu
suratkabar-suratkabar tentara memulai, maka yang lain pun segera serta merta
mengikuti. Misalnya Api Pantjasila, orang partai IPKI yang bernaung di bawah
militer, pada tanggal 20 Oktober memberitakan, bahwa alat pencungkil yang
digunakan untuk jendral-jendral itu telah ditemukan oleh pemuda-pemuda anti
komunis, ketika mereka menyerbu gedung-gedung Partai Komunis, di desa
Harupanggang di luar kota Garut.
Walaupun
tanpa diterangkan, mengapa partai tersebut memandang desa itu cocok untuk
menyimpannya. Pada tanggal 25 Oktober suratkabar ini juga memuat pengakuan
seseorang bernama Djamin, anggota organisasi pemuda Partai Komunis, Pemuda
Rakyat, yang mengatakan telah menyaksikan bagaimana Jendral Suprapto telah
disiksa di luar batas kesusilaan oleh anggota-anggota Gerwani.
Pengakuan-pengakuan
serupa itu dimuat berturut-turut, dan memuncak pada cerita menarik tentang
Nyonya Djamilah, disiarkan pada tanggal 6 Oktober oleh Dinas Penerangan ABRI
kepada seluruh kalangan pers. Nyonya Djamilah diceritakan sebagai hamil tiga
bulan, pimpinan Gerwani dari Pacitan berumur lima belas tahun, mengaku bahwa ia
dan kawan-kawannya di Lubang Buaya telah menerima pembagian pisau kecil serta
silet dari anggota-anggota pasukan Gerakan 30 September. Lalu mereka, yang
seluruhnya berjumlah seratus orang itu, mengikuti perintah orang- orang itu
pula, mulai memotong dan menyayat-sayat kemaluan jendral-jendral yang telah
mereka tangkap itu. (Dibagi-bagikan pisau kecil dan pisau silet… menusuk-nusuk
pisau pada kemaluan orang-orang itu. Api Pantjasila, 6 November 1965).
Malahan
tidak berhenti di situ saja. Antara yang telah dikuasai militer itu, pada
tanggal 30 November melukiskan bagaimana orang-orang Gerwani itu dengan
mudahnya telah menyerahkan tubuh mereka kepada para personel AURI yang ikut
serta dalam Gerakan 30 September. Sementara itu pada tanggal 13 Desember
Angkatan Bersenjata melukiskan mereka bertelanjang menarikan Tarian Bunga Harum
di bawah pimpinan Ketua Partai Komunis Dipa Nusantara Aidit, sebelum terjun
dalam pesta pora massal bersama para anggota Pemuda Rakyat.
Di dalam
cerita-cerita yang memenuhi suratkabar selama bulan- bulan Oktober, November
dan Desember ini sementara itu
pembantaian besar-besaran terhadap orang-orang yang berhubungan dengan Partai
Komunis terus berjalan terkandung dua hal yang sangat menarik diperhatikan.
Pertama, ditiup-tiupkan bahwa tujuh kurban itu mengalami siksaan yang
mengerikan khususnya dicungkil mata dan dipotong kemaluan mereka; kedua,
ditonjolkan bahwa pelaku-pelaku kejahatan adalah orang-orang sipil dari
organisasi yang berafiliasi dengan komunis.
Apakah yang
diberitakan kepada kita oleh laporan para ahli forensik pada tanggal 5 Oktober
itu? Pertama, dan terutama, bahwa tidak ada satu biji mata pun dari para kurban
yang telah dicungkil, dan bahwa semua kemaluan mereka pun masih utuh. Kepada
kita bahkan diberitakan bahwa empat berkhitan dan tiga tidak berkhitan.
Kecuali itu,
barangkali perlu kurban-kurban itu dibagi ke dalam dua golongan: mereka yang
dengan sebagian besar bukti non-forensik menunjukkan telah dibunuh dengan
ditembak selagi masih di rumah oleh para penculik mereka, yaitu Jendral Yani,
Jendral Pandjaitan, dan Jendral Harjono; dan mereka yang dibunuh sesudah dibawa
ke Lubang Buaya, yaitu Jendral Parman, Jendral Suprapto, dan Jendral Sutojo,
serta Letnan Tendean.
Golongan I.
Berita paling lengkap tentang kematian mereka terbit jauh sesudah peristiwa
terjadi: tentang Yani dalam Berita Yudha tanggal 5 Desember; Pandjaitan dalam
Kompas tanggal 25 Oktober; Berita Yudha Minggu tanggal 21 November, dan Berita
Yudha tanggal 13 Desember; dan Harjono dalam Berita Yudha Minggu tanggal 28
November. Semua pemberitaan menunjukkan, bahwa jendral-jendral itu telah
dibunuh dengan mendadak dan seketika di rumah dengan berondongan tembakan yang
dilakukan oleh anggota-anggota Resimen Kawal Cakrabirawa, di bawah pimpinan
operasi Lettu Doel Arief.
Gambaran
demikian hanya sebagian saja dibenarkan oleh laporan forensik. Para ahli
forensik itu menyatakan bahwa luka-luka pada tubuh Yani sajalah yang merupakan
sepuluh luka tembak masuk dan tiga tembus. Pandjaitan mengalami tiga luka
tembak pada kepala, serta luka robek kecil di tangan. Pada luka-luka yang
dialami Harjono timbul tanda tanya, karena tidak disebut-sebut sebagai akibat
tembakan. Penyebab kematiannya rupanya adalah torehan panjang dan dalam pada
bagian perut, luka yang lebih mungkin disebabkan oleh bayonet ketimbang pisau
lipat atau silet. Sebuah luka serupa yang tak mematikan terdapat pada punggung
korban. Cedera lain satu-satunya digambarkan pada tangan dan pergelangan tangan
kiri, luka-luka disebabkan oleh barang tumpul.
Tak ada cara
lain yang lebih tepat untuk menafsirkan luka-luka ini kecuali harus mengatakan,
bahwa luka-luka tesebut tidak mungkin karena siksaan jarang penyiksa memilih
pergelangan kiri dalam melakukan pekerjaan mereka dan luka itu barangkali
karena mayat itu dilempar ke dalam sumur di Lubang Buaya yang 36 kaki dalamnya.
Golongan II.
Cerita
lengkap tentang matinya korban-korban ini terdapat dalam suratkabar-suratkabar
berikut: Parman, Berita Yudha, 17 Oktober dan juga Berita Yudha serta Angkatan
Bersenjata tanggal 2 Desember; Soeprapto, Berita Yudha Minggu tanggal 5
Desember; Sutojo, Berita Yudha Minggu tanggal 21 November. Terhadap empat orang
inilah berita-berita tentang siksaan biadab dan seksual paling banyak
diberikan. Apa yang diungkapkan oleh laporan forensik adalah sebagai berikut:
S. Parman mengalami lima luka tembak, termasuk dua yang mematikan pada kepala;
dan, di samping itu, robek dan patah tulang pada kepala, rahang, dan kaki kiri
bawah, semuanya sebagai akibat benda tumpul dan keras popor bedil atau dinding
dan lantai sumur tetapi jelas bukan luka-luka siksaan, juga tidak sebagai
akibat silet atau pisau lipat.
Soeprapto
mati oleh karena sebelas luka tembak pada berbagai bagian tubuhnya. Luka-luka
lain berupa enam luka robek dan patah tulang sebagai akibat dari benda tumpul
pada kepala dan muka; satu disebabkan oleh benda keras tumpul pada betis kanan;
luka- luka dan patah tulang itu akibat benda tumpul yang sangat keras pada
bagian pinggul dan pada paha kanan atas; dan tiga sayatan yang, melihat pada
ukuran dan kedalamannya, mungkin disebabkan oleh bayonet. Sekali lagi benda
tumpul mempertunjukkan terjadinya benturan dengan benda-benda keras yang besar
dan berbentuk tak menentu (popor bedil dan batu-batu sumur), dan bukannya silet
atau pisau, Sutojo mengalami tiga luka tembak (termasuk satu yang fatal pada
kepala), sedang tangan kanan dan tempurung kepala retak sebagai akibat benda
tumpul keras.
Sekali lagi
kombinasi ganjil antara tangan kanan, tulang tengkorak, dan benda pejal berat
yang memberikan kesan popor bedil atau batu-batu sumur. Tendean mati akibat
empat luka tembak. Kecuali itu para ahli tersebut menemukan luka gores pada
dahi dan tangan kiri, demikian juga tiga luka akibat trauma pejal pada kepala.
Tak terdapat
sepatah kata pun di laporan-laporan ini tentang adanya siksaan yang tak
tersangkal, dan tak ada juga bekas silet atau pisau kecil apapun. Bukan saja
karena hampir semua luka-luka bukan tembak itu dilukiskan sebagai akibat dari
benda pejal dan keras, tetapi karena pembagiannya secara jasmaniah pun pergelangan
kaki, tulang kering, pergelangan tangan, paha, pelipis dan lain-lain pada
umumnya tampak sembarangan.
Adalah
sangat menarik, bahwa sasaran para penyiksa yang lazim yaitu pelir, dubur,
mata, kuku, telinga, dan lidah tidak disebut-sebut. Maka dengan cukup meyakinkan
bisa dikatakan bahwa enam orang dari korban-korban itu mati oleh tembakan
senjata api (perihal Harjono yang mati di dalam rumahnya tetap membingungkan);
dan jika tubuh mereka mengalami tindak kekerasan lain adalah akibat pemukulan
dengan gagang bedil yang mematahkan peluru-peluru mematikan itu, atau cedera
yang mungkin diakibatkan karena jatuh dari ketinggian 36 kaki yaitu kira-kira
tiga tingkat lantai ke dalam sumur yang berdinding batu.
Perlu juga
dikemukakan, bahwa dalam pidatonya tanggal 12 Desember 1965 kepada Kantor
Berita Indonesia Antara, Presiden Soekarno mengutuk para wartawan yang telah
membesar-besarkan pernyataan mereka, dan menegaskan bahwa dokter-dokter yang
telah memeriksa mayat para kurban menyatakan, tentang tidak adanya perusakan
mengerikan pada mata dan alat kelamin sepeti telah diberitakan dalam pers
(Lihat Suara Islam, 13 Desember 1965, dan FBIS, 13 Desember 1965).
No comments:
Post a Comment