Salam,
Surat 26 Februari 1985 saya terima kemarin, juga surat
terbuka Achdiat K. Mihardja untuk teman-teman (sarjana) Australia yang
dilampirkan. Terimakasih.
Lampiran itu memang mengagetkan, apalagi
menyangkut-nyangkut diri saya, dan tetap dalam kesatuan semangat kaum
manikebuis pada taraf sekarang: membela diri dan membela diri tanpa ada
serangan sambil merintihkan kesakitannya masa lalu, yang sebenarnya lecet pun
mereka tidak menderita sedikit pun. Total jendral dari semua yang dialami oleh
kaum manikebuis dalam periode terganggu kesenangannya, belum lagi mengimbangi
penganiayaan, penindasan, penghinaan, perampasan dan perampokan yang dialami
oleh satu orang Pram.
Setelah mereka berhasil ikut mendirikan rezim militer,
dengan meminjam kata-kata dalam surat terbuka tsb.: "All forgotten and
forgiven" dan revisiannya: "We've forgiven but not forgotten."
Saya hanya bisa mengelus dada. Kemunafikan dan keangkuhan dalam paduan yang
tepat, seimbang dengan kekecilan nyalinya dalam masa ketakutan. Dan Bung
sendiri tahu, perkembangan sosial- budaya-politik di sini Indonesia bukan semata-mata ulah perorangan, lebih banyak satu
prosedur nasional dalam mendapatkan identitas nasional dan mengisi kemerdekaan.
Tak seorang pun di antara para manikebuis pernah
menyatakan simpati jangan bayangkan protes pada lawannya yang dibunuhi, kias
atau pun harfiah. Sampai sekarang. Misalnya terhadap seniman nasional Trubus.
Japo[?] Lampong. Apalagi seniman daerah yang tak masuk hitungan mereka. Di mana
mereka sekarang.Di mana itu pengarang lagu Genjer-genjer? Soekarno mengatakan:
Yo sanak, yo kadang, yen mati m[?a]lu kelangan. Yang terjadi adalah masih
menggunakan suasana Jawa: tego larane, tego patine.
Masalah pokok pada waktu itu sederhana saja: perbenturan
antara dua pendapat; revolusi sudah atau belum selesai. Yang lain-lain adalah
masalah ikutan daripada-nya. Saya sendiri berpendapat, memang belum selesai.
Buktinya belum pernah muncul sejarah revolusi Indonesia. Karena memang belum
ada distansi dengannya. Belum merupakan kebulatan yang selesai. Maka para
sejarawan takut. Malah kata revolusi nasional cenderung dinamai dan dibatasi sebagai
perang kemerdekaan.
Pertentangan manikebu dan pihak kami dulu tidak lain cuma
soal polemik. Memang keras, tapi tak sampai membunuh, kan? Kan itu memang satu
jalan untuk mendapatkan kebenaran umum, yang bisa diterima oleh umum? Bahwa
pada waktu itu terjadi teror yang dilakukan oleh orang-orang Lekra sebagaimana
dituduhkan sekarang, betul- betul saya belum bisa diyakinkan. Beb Vuyk dalam
koran Belanda menuduh: teror telah dilakukan orang-orang Lekra terhadap
beberapa orang, antaranya Bernard IJzerdraad.
Waktu ia datang ke Indonesia dan menemuinya sendiri,
IJzerdraad menjawab tidak pernah diteror. Dan Beb Vuyk tidak pernah mengkoreksi
tulisannya. Beb Vuyk sendiri meninggalkan Indonesia setelah kegagalan pemberontakan
PRRI Permesta, kemudian minta kewarganegaraan
Belanda. Mungkin ia merasa begitu pentingnya bagi Indonesia sehingga dalam
usianya yang sudah lanjut merasa berkepentingan untuk mendirikan kebohongan
terutama untuk menyudutkan saya. pada hal dalam polemik-polemik tsb. saya hanya
menggunakan hak saya sebagai warganegara merdeka untuk menyatakan pendapat. Dan
saya sadari hak saya. Seperti sering kali saya katakan: kewarganegaraan saya
peroleh dengan pergulatan bukan hadiah gratis.
Dan apa sesungguhnya kudeta gagal G-30S/PKI itu? Saya
sendiri tidak tahu. Sekitar tanggal 24 bulan lalu saya menerima fotokopi dari
seorang wartawan politik Eropa dari Journal of Contemporary Asia, tanpa nomor
dan tanpa tahun, berjudul: "Who's Plot New Light on the 1965 Events," karangan W.F.
Wertheim. Itulah untuk pertama kali saya baca uraian dari orang yang tak
berpihak. Juga itu informasi pertama setelah 20 tahun belakangan ini.
Rupa-rupanya karena ketidaktahuan saya itu saya harus
dirampas dari segala-galanya selama 14 tahun 2 bulan + hampir 6 tahun tahanan
kota (tanpa pernyataan legal), tanpa pernah melihat dewan hakim yang
mendengarkan pembelaan saya. Memang sangat mahal harga kewarganegaraan yang
harus saya bayar. Maka juga kewarganegaraan saya saya pergunakan semak-simal
mungkin. Itu pun masih ada saja orang yang tidak rela. Juga surat pada Bung ini
saya tulis dengan menjunjung tinggi harga kewarganegaraan saya.
Sekarang akan saya tanggapi tulisan A.K.M. Ia tidak ada
di Indonesia waktu meletus peristiwa 1965 itu. Tetapi saya sendiri mengalami.
Saya akan ceritakan sejauh saya alami sendiri, untuk tidak membuat terlalu
banyak kesalahan.
Pada 1 Oktober 1965 pagihari saya dengar dari radio
adanya gerakan Untung. Kemudian berita tentang susunan nama Dewan Revolusi.
Sebelum itu pengumuman naik pangkat para prajurit yang ikut dalam gerakan
Untung dan penurunan pangkat bagi mereka yang jadi perwira di atas letkol.
Sudah pada waktu itu saya terheran-heran, kok belum-belum sudah mengurusi
pangkat? Ini gerakan apa, oleh siapa? Saya lebih banyak di rumah daripada tidak.
Kerja rutine ke luar rumah adalah dalam rangka menyiapkan Lentera dan mengajar
pada Res Publika.
Dan sangat kadang-kadang ke pabrik pensil di mana saya
"diangkat" jadi "penasihat." Jadi di rumah itu saja saya
"ketahui" beberapa hal yang terjadi dari suara-suara luar yang
datang. Mula-mula datang Abdullah S.P., itu penantang Hamka, waktu itu baru
saja bekerja di sebuah surat kabar Islam yang baru diterbitkan, dan yang
sekarang saya lupa namanya. Ia mengatakan merasa tidak aman dan hendak
mengungsi ke tempatku. Saya keberatan, karena memang tidak tahu situasi yang
sesungguhnya. Seorang pegawai tatausaha Universitas Res Publika datang ke rumah
menyerahkan honor, dan mengatakan Universitas ditutup karena keadaan tidak
aman. Ia menyerahkan honor lipat dari biasanya. Beberapa hari kemudian datang
pegawai dari pabrik pensil, juga menyerahkan honor, juga lipat dari biasanya,
karena pabrik terpaksa ditutup, keadaan gawat. Kemudian datang seorang teman
yang memberitakan, rumah Aidit dibakar, demikian juga beberapa rumah lain.
Ia juga memberitakan tentang cara massa bergerak. Mereka
menyerang rumahtangga orang, kemudian datang para petugas berseragam yang tidak
melindungi malah menangkap yang diserang. "Saya yakin Bung akan
diperlakukan begitu juga," katanya. Soalnya apa dengan saya? tanyaku.
"Kesalahan bung, karena bung tokoh." Itu saja? Tempatku di sini,
kataku akhirnya.
Seorang penjahit, yang pernah dibisiki larangan
menjahitkan pakaian saya oleh tetangga anggota PNI penjahit itu juga tetangga menawarkan tempat aman pada saya
nun di Brebes (kalau saya tidak salah ingat). Saya ucapkan terimakasih.
Mengherankan betapa orang lain dapat melihat, keamananku dalam ancaman. Seorang
teman lain datang dan menganjurkan agar saya lari. Mengapa lari? tanya saya.
Apa yang saya harus larikan? Diri saya? dan mengapa?
Kemudian datang seorang pengarang termuda yang saya
kenal. Biasanya ia langsung masuk ke belakang dan membuka sendiri lemari makan.
Ia tidak mengulangi kebiasaannya. Tingkahnya menimbulkan kecurigaan. Saya masih
ingat kata- kata yang saya ucapkan kepadanya: saya seorang diri dari dulu,
kalau pengeroyok memang hendak datangi saya akan saya hadapi seorang diri;
tempat saya di sini.
Keadaan makin lama makin gawat. Isteri saya baru dua
bulan melahirkan. adalah tepat bila ia dan anak-anak untuk sementara menginap
di rumah mertua. Papan nama saya, dari batu marmer, bertahun-tahun hanya
tergeletak, sengaja saya pasang di tembok depan dengan lebih dahulu memahat
tembok. Sebagai pernyataan: saya di sini, jangan nyasar ke alamat yang salah.
Di tempat lain isteri kedua mertua saya mengadakan
selamatan untuk keselamatan saya. Sementara itu saya tetap tinggal di rumah
menyiapkan ensiklopedi sastra Indonesia. Dalam keadaan lelah saya saya beralih
mempelajari Hadits Bukori. di malam hari semua lampu saya padamkan dan saya
duduk seorang diri di beranda. Teman saya hanya seorang, adik saya yang pulang
ke Indonesia untuk menyiapkan disertasinya, Koesalah Soebagyo Toer.
Kemudian datang tanggal 13 Oktober 1965 jam 23.00.
Tahu-tahu rumah saya sudah dikepung. Lampu pagar dari 200 watt waktu tegangan hanya 110, namun
dapat dianggap terlalu mewah untuk kehidupan kampung saya nyalakan. Di depan pintu saya
lihat orang lari menghindari cahaya. Mukanya bertopeng. Tangannya mem-bawa pikar.
Malam-malam, dengan topeng pula, langsung terpikir oleh saya, barang itu tentu
habis dirampoknya dari rumah yang habis diserbu. Saya tahu itu pikiran jahat.
apa boleh buat karena suara- suara gencar memberitakan ke rumah, pihak militer mengangkuti anak-anak sekolah
ke atas truk dan disuruh berteriak-teriak menentang Soekarno.
Saya tidak pernah melihat sendiri. Saya percaya, karena
pelda (atau peltu?) yang tinggal di depan rumah saya, sudah dua malam berturut-
turut bicara keras di gang depan rumah, bahwa militer punya politik sendiri,
Soekarno sudah tidak ada artinya. Konon ia bekas KNIL. Malah pada malam kedua
ia buka mulut keras-keras sambil mondar-mandir, dan saya merasa itu ditujukan
pada saya, rokok kretek saya cabut dari bibir dan saya lemparkan padanya.
Terdengar ia melompat sambil memekik. Jadi kalau saya punya pikiran jahat
seperti itu bukan tidak pada tempatnya. Nah, setiap lampu pagar saya matikan,
muncul gerombolan di depan pintu. Bila saya nyalakan lagi mereka lari.
Jelas mereka muka-muka yang saya telah kenal. Tak lama
kemudian batu-batu kali tetangga samping, yang dipersiapkan untuk membangun
rumah, berlayangan ke rumah saya. Itu tidak mungkin dilemparkan oleh tenaga
satu orang. Paling tidak dua orang dengan jalan membandulnya dengan sarung atau
dengan lainnya. Kalau anak-anak saya masih di rumah, terutama bayi 2 bulan itu,
saya tak dapat bayangkan apa yang bakal terjadi. Batu besar berjatuhan di dalam
rumah menerobosi genteng dan langit-langit.
Jadi benar-benar orang menghendaki kematian saya. Saya
ambil tongkat pengepel dari kayu keras, juga mempersenjatai diri dengan samurai
kecil (pemberian Joebaar Ajoeb sekembalinya dari Jepang). Ini hari terakhir
saya, di sini, di tempat saya. Saya tahu, takkan mungkin dapat melawan satu
gerombolan, tapi saya toh harus membela diri? Jalan kedua untuk bertahan adalah
memberi gerombolan itu sesuatu yang mereka ingat seumur hidup: kata-kata yang
lebih ampuh dari senjata.
Dengan suara cukup keras saya memekik: Ini yang kalian
namai berjuang? Kalau hanya berjuang aku pun berjuang sejak muda. Tapi bukan
begini caranya. Datang ke sini pemimpin kalian! Berjuang macam apa begini ini?
Ingar bingar
terhenti. Juga lemparan batu. Tiba-tiba sebongkah besar batu kali menyambar
paha saya dan melesat mengenai pintu depan yang sekaligus hancur. Lemparan batu
menjadi hebat kembali. Lampu pagar sengaja dihancurkan dengan lemparan juga.
Saya dengar suara: Mana minyaknya. Sini, bakar saja.
Tetapi saya dengar juga suara orang tua tetangga sebelah kiri saya, seorang
dukun cinta: jangan, jangan dibakar, nanti rumah saya ikut terbakar. Tak lama
kemudian terdengar suara lagi: jangan lewat di tanah saya. Waktu saya lihat ke
dalam rumah adik saya sudah tidak ada. Rupanya ia meloloskan diri dari pintu
pagar belakang dan langsung memasuki tanah sang dukun cinta.
Dan betul saja kata teman itu: kemudian datang orang-
orang berseragam. Metode kerja yang kelak akan terus- menerus dapat dilihat.
Mereka terdiri dari polisi dan militer. Saya belum lagi sempat menggunakan
tongkat dan samurai saya, mereka belum lagi memasuki pekarangan rumah saya.
Komandan militer operasi dan gerombolannya saya bukakan
pintu. Mereka masuk dan langsung menyalahkan saya: sia-sia melawan rakyat.
Kontan saya jawab: Gerombolan, bukan rakyat.
Setelah mereka memeriksa seluruh rumah ia bilang lagi:
Siapkan, pak mari kami amankan, segera pergi dari sini. Saya berteriak
memanggil adik saya. Dia muncul, entah dari mana. Dijanjikan akan diamankan, saya siapkan naskah saya Gadis Pantai untuk
diselesaikan dan mesin tulis. Pada seorang polisi dalam team itu saya bertanya:
kenal saya? Kenal, pak. Tolong selamatkan semua kertas dan perpustakaan saya.
di situ adalah perkerjaan Bung Karno (waktu itu saya belum sampai selesai
menghimpun cerpen-cerpen Bung Karno, dan korespondensi Soekarno-Sartono-Thamrin
masih belum memadai untuk diterbitkan). Dia berjanji untuk menyelamatkan.
Mereka giring kami berdua melalui gang. Gerombolan itu
berjalan mengepung di samping dan belakang. Ada yang membawa tombak, keris,
golok, belati. Benar, alat negara itu tidak menangkap gerombolan penyerbu,
malah menangkap yang diserbu. Dan sebanyak itu dikerahkan untuk menumpas satu dua orang. Hebat benar membikin
momentum qua perjuangan. Sampai di sebuah lapangan gang jurusan belakang rumah,
sebelum dinaikkan ke atas Nissan mereka ikat tanganku ke belakang dan
menyangkutkan ke leher, sehingga rontaan pada tangan akan menjerat leher. Tali
mati. Bukan simpul mati yang diajarkan di kepanduan. Tali mati.
Macam ikatan yang dipergunakan untuk tangkapan yang akan
dibunuh semasa revolusi dulu. Tentu saja saya menyesal akan mati dalam keadaan
seperti ini. Lebih indah bila dengan bertarung di atas tanah tempat saya
tinggal. Melewati jembatan depan rumah sakit umum pusat Koptu Sulaiman
menghantamkan gagang besi stennya pada mataku. Cepat saya palingkan kepala dan
besi segitiga itu tak berhasil mencopot bola mata tetapi meretakkan tulang
pipi. Saya memahami kemarahannya, bukan padaku sebenarnya, tapi pada atasannya,
karena tak boleh ikut memasuki rumah saya.
Mereka bawa kami ke Kostrad, kalau saya tidak keliru.
Yang sedang piket adalah seorang Letkol. Kami diturunkan di situ, dan pada
perwira itu saya minta agar kertas dokumentasi dan perpustakaan diselamatkan.
Kalau Pemerintah memang menghendaki agar diambil, tapi jangan dirusak. Ia
menyanggupi. Dari situ kami dibawa memasuki sebuah kompleks perumahan yang saya
tak tahu kompleks apa. Dari jendela nampak puncak emas Monas. Kemudian saya
dapat mengenali rumah itu; hanya masuknya tidak berkelok-kelok melalui kompleks,
tetapi langsung dari jalan raya, karena pada 1955 di ruang yang sama saya
pernah menemui Erwin Baharuddin, bekas sesama tahanan Belanda di penjara
Bukitduri.
Piket mengambil semua yang saya bawa di tangan, naskah
dan mesin tulis, juga samurai yang tersisipkan dalam kaos kaki. Waktu ia
tinggal seorang diri rolex saya dikembalikan, berpesan supaya jangan kelihatan,
sembunyikan baik-baik. kami dipersilakan ke sebuah ruangan tempat di mana sudah
menggeloyor di lantai beberapa orang. Seorang adalah Daryono dari suatu SB
(entah SB apa) dan seorang perjaka jangkung tetangga sendiri. Piket yang
mengembalikan jamtangan itu memasuki ruangan tempat kami tergolek di lantai. Di
sebuah papantulis besar tertulis dengan kapur: Ganyang PKI. Ia pergi ke situ
dan menghapus tulisan itu sambil berguman: apa saja ini!
Seorang bocah berpangkat kopral, bermuka manis,
menghampiri dan menanyai ini-itu. Saya tanyakan apa pangkatnya. Ia menjawab
dengan pukulan dan tempeleng, kemudian pergi. Kurang lebih dua jam kemudian
saya lihat Nissan patrol datang dan menurun-nurunkan barang. Beberapa contoh
ditaruh di atas meja di ruangan tempat kami menggeletak di lantai. Saya kenal
benda-benda itu: kartotik file saya sendiri, dokumentasi potret sejarah, malah
juga klise timah yang saya siapkan untuk saya pergunakan dalam jangka panjang.
Saya jadi mengerti perpustakaan dan dokumen-tasi saya, jerih-payah selama lima
belas tahun telah dibongkar, 5.000 jilid buku dan beberapa ton koleksi
suratkabar.
Angka-angka itu saya dapatkan dari sarjana perpustakaan
yang sekitar dua tahun membantu saya. Tangkapan-tangkapan baru terus
berdatangan. Ada yang sudah tak bisa jalan dan dilemparkan ke lantai. Kemudian
datang tangkapan yang langsung mengenali saya. Ia bertanya mengapa saya
berlumuran darah. Baru waktu itu saya sadar kemejaku belang bonteng kena darah sendiri,
demikian juga celana, yang rupanya teriris batu kali yang dilemparkan. Dialah
yang bercerita, semua kertas saya diangkuti militer. Massa menyerbu dan
merampok apa saja yang ada, sampai-sampai mangga yang sedang sarat berbuah
digoncang buahnya. Tak ada satu cangkir atau piring tersisa. Rumah bung tinggal
jadi bolongan kosong blong.
Jangan dikira ada perasaan dendam pada saya; tidak.
Justru yang teringat adalah satu kalimat dari Njoto, yang A.K.M. juga kenal:
Tingkat budaya dan peradaban angkatan perang kita cukup rendah, memprihatinkan,
kita perlu meningkatkannya. Saya juga teringat pada kata-kata lain lagi: Kalau
kau mendapatkan kebiadaban, jangan beri kebiadaban balik, kalau mampu, beri dia
keadilan sebagai belasan. Dalam tahanan di RTM tahun 1960 saya mendapatkan kata
baru dari dunia kriminal: brengsek. Sekarang saya dapat kata baru pula: diamankan,
yang berarti: dianiaya, sama sekali tidak punya sangkut-paut dengan aman dan
keamanan. Sebelum itu saya punya patokan cadangan bila orang bicara denganku:
ambil paling banyak 50% dari omongannya sebagai benar. Sekarang saya
mendapatkan tambahan patokan: Kalau yang berkuasa bilang A, itu berarti minus
A. Apa boleh buat, pengalaman yang mengajarkan.
Di antara orang kesakitan di kiri dan kanan saya, di mana
orang tidak bisa dan tidak boleh ditolong, terbayang kembali wartawan Afrika saya sudah tidak ingat dari Mali,
Ghana atau Pantai Gading yang
waktu naik mobil pertanyakan: Apa Nasakom itu mungkin? Apa itu bukan utopi?
Saya jawab: di Indonesia diperlukan suatu jalan. Setiap waktu bom waktu
kolonial bisa meletus. Itu kami tidak kehendaki. Nampaknya Nasakom sebagai
kenyataan masih dalam pembinaan. Dia bilang: Kalau Nasakom gagal? Bukankah itu
berarti punahnya pemerintah sipil, karena Nasakom tersapu? Jawabku: Kami hanya
bisa berusaha. Dia bilang lagi: Kalau Nasakom disapu, tidak akan lagi ada
kekuatan nasionalis, agama maupun komunis! Dialog selanjutnya saya sudah tak
ingat.
Pagi itu-itu diawali kedatangan serombongan wartawan
Antara, tanpa sepatu, semua lututnya berdarah. Di antaranya paman saya sendiri,
R. Moedigdo, yang saya tumpangi hampir 3,5 tahun semasa pendudukan Jepang. Dia
pun tak terkecuali. Kemudian saya dengar, mereka baru datang dari tangsi CPM
Guntur dan habis dipaksa merangkak di atas kerikil jalanan. Menyusul datang
power. Orang-orang militer melempar-lemparkan tangkapan baru itu dari atas
geladak dan terbanting ke tanah. Ruangan telah penuh- sesak dengan tangkapan
baru, sampai di gang-gang. Itu berarti semakin banyak erangan dan rintihan. Di
antaranya terdapat sejumlah wanita. Sedang gaung dari pers yang menyokong
militer sudah sejak belum ditangkap, tak henti- hentinya menalu gendang untuk
membangkitkan emosi rakyat terhadap PKI dan organisasi massanya: Gerwani di
Lubangbuaya memotongi kemaluan para jendral dan melakukan tarian cabul dan
semacamnya, tipikal buah pikiran orang yang tak pernah mempunyai cita-cita.
Bulu kuduk berdiri bukan karena tak pernah menduga orang Indonesia bisa membuat
kreasi begitu kejinya.
Kemudian datang waktu pemeriksaan. Saya dibawa ke ruang
pemeriksaan, yang sepanjang jam, siang dan malam diisi oleh raungan dan
pekikan. Juga dari mulut wanita. Memang ruang yang saya masuki waktu itu tidak
seriuh biasanya. Alat-alat penyetrum tidak dikerahkan. Di pojokan seorang KKO
bertampang Arab, hitam, tinggi dan langsing, dingan kaki bersepatu bot menginjak
kaki telanjang yang diperiksanya. Dan di antara jari-jemari pemuda malang itu
disisipi batang pensil dan tangan itu kemudian diremas si pemeriksa sambil
tersenyum dan bertanya: Ada apa? Ada apa kok memekik? Di samping pemuda itu
adalah saya, diperiksa oleh seorang letnan (atau kapten?) bernama Nusirwan
Adil.
Di luar dugaan pemeriksaan terhadap saya tidak disertai
penganiayaan seperti dideritakan pemuda malang di samping kiri saya. Pemeriksa
itu tenang dan sopan, dan mungkin cukup terpelajar dan beradab. Ia memulai
dengan pertanyaan mengapa saya berdarah-darah.
Jawab: terjatuh.
Tapi itu bukan termasuk dalam acara pemeriksaan.
Pertanyaan: Bagaimana pendapat tentang gerakan Untung?
Jawab: tidak tahu sesuatu tentangnya.
Pertanyaan: Apa membenarkan gerakan itu?
Jawab: Kalau mendapat kesempatan mempelajari kenyataan-
kenyataannya yang authentik mungkin dalam lima tahun sesudahnya saya akan bisa
menjawab pertanyaan itu.
Sebelum meneruskan tentang pemeriksaan ini saya sisipkan
dulu beberapa hal sebelum penangkapan saya. Pertama: sejak semula saya
sependapat bahwa gerakan Untung, yang kemudian dinamai G-30S/PKI, adalah
gerakan dalam tubuh angkatan darat sendiri. Pendapat itu tetap bertahan sampai
sekarang, juga sebelum membaca tulisan Wertheim dalam Journal of Contemporary
Asia. Berita-berita pengejaran dan pembunuhan semakin hari semakin banyak dan
menekan. Kedua: seorang perwira intel pernah datang berkunjung khusus untuk
menyampaikan, bahwa militer akan memainkan peranan kucing terhadap PKI sebagai
tikus. Tiga: dua mahasiswa UI telah dilynch di jalanan raya yang baru dibangun,
masih lengang, di sekitar kampus. Keempat: pemeriksaan terhadap para tangkapan
berkisar pada dua hal, pertama keterlibatan dalam peristiwa Lubangbuaya, kedua
keanggotaan Pemuda Rakyat dan PKI.
Kelima: beberapa hari sebelum penangkapan seorang pegawai
Balai Pustaka mengumumkan dalam harian Api Pancasila di Jakarta, bahwa saya
adalah tokoh Pemuda Rakyat. Karena sebagai pelapor ia menyebutkan diri pegawai
Balai Pustaka, jadi saya datang menemui direktur BP waktu itu Hutasuhut, kalau saya tidak salah
ingat dan mengajukan protes karena BP
dipergunakan sebagai benteng untuk menyebarkan informasi yang salah tentang
saya. Direktur BP menolak protes saya. Pegawai yang menulis itu tinggal
beberapa puluh langkah dari rumah saya. Dalam peristiwa plagiat Hamka ia pernah
mengirimkan surat pembelaan untuk Hamka dan hanya sebagian daripadanya saya
umumkan.
Dan memang ruangan rumah saya pernah dipinjam untuk
pendirian ranting Pemuda Rakyat. Tetapi itu bukan satu- satunya. Kalau sore
ruangan belakang juga menjadi tempat taman kanak-kanak (reportase tentangnya
pernah ditulis oleh Valentin Ostrovsky, kalau saya tidak meleset mengingat).
Setiap Kamis malam ruangan depan dipergunakan untuk tempat diskusi Grup diskusi
Simpat Sembilan. Setiap pertemuan didahului dengan pemberitahuan pada
kelurahan. Jadi tidak ada sesuatu yang dapat dituduhkan illegal.
Keenam: seseorang menyampaikan pada saya, mungkin juga
pada sejumlah orang lagi, kalau diperiksa adakan anggota PKI atau ormasnya,
akui saja ya tidak peduli benar atau tidak;
soalnya mereka tidak segan-segan membikin orang jadi invalid seumur hidup untuk
menjadi tidak berguna bagi dirinya sendiri pun untuk sisa umurnya selanjutnya.
Dan, tidak semua orang tsb., dapat saya sebut namanya, karena memang tidak
mampu mengingat hampir
20 tahun telah liwat.
Jadi waktu pemeriksa menanyakan apakah saya anggota PKI,
saya jawab ya.
Pertanyaan: Apakah percaya negara ini akan jadi negara
komunis?
Jawab: Tidak dalam 40 tahun ini. Sebabnya?
Faktor geografi dan konservativitas Indonesia.
Cuma itu sesungguhnya isi pemeriksaan pokok. Tetapi
karena selama dalam penahanan itu harian Duta Masyarakat memberitakan reportase
tentang penyerbuan gerombolan itu ke rumah saya dan rumah S. Rukiah Kertapati,
di mana disebutkan di rumah saya ditemukan buku-buku curian dari musium pusat
dan di rumah Rukiah setumpuk permata, jadi pemeriksaan berpusat pada soal
pencurian tsb. Memang saya pernah meminjam satu beca majalah, harian dan buku
dari musium pusat. Yang belum saya kembalikan adalah Door Duisternis to Licht
Kartini dan harian Medan Prijaji tahun 1911 dan 1912. Kalau arsip itu tersusun
baik, akan bisa ditemukan, bahwa sumbangan saya ada 10 kali lebih banyak dari
pada yang masih saya pinjam.
Dengan demikian pemeriksaan selesai. Benar tidaknya omongan saya ini dapat
dicek pada proces verbal, sekiranya masih tersimpan baik pada instansi yang
berwenang.
Bila ada selisih, soalnya karena waktunya sudah terlalu
lama.
Mungkin Bung bertanya dari mana saya tahu ada berita
dalam Duta Masyarakat yang menuduh saya mencuri. Ya, pada suatu pagi muncul
seorang kapten di ruang tempat serombongan tahanan. Ia langsung mengenali saya,
sebaliknya saya mengenal dia sebagai sersan di RTM tahun 1960. Ia bertubuh
tinggi, berkulit langsat dan bibir atasnya suwing. Saya tak dapat mengingat
namanya. Suatu malam ia kunjungi aku di kamar kapalselam (sel isolasi) di RTM
itu. Banyak mengobrol, antara lain ia bercerita pernah ikut pasukan merah dalam
Peristiwa Madiun. Pagi itu ternyata ia berpangkat kapten. Langsung ia bertanya
di mana Sjam. Itu untuk pertama kali saya dengar nama itu. Tapi ia segera
membatalkan pertanyaanya dengan kata-kata: Ah, Pak Pram sastrawan, tentu tidak
tahu siapa dia.
Ramahnya luarbiasa, bawahannya diperintahkannya untuk
mengambilkan kopi dan menyedia-kan veldbed untuk saya. Dan hanya perintah
pertama yang dilaksanakan. Setelah ia pergi seorang sersan gemuk yang terkenal
galak, dari Sulawesi, kalau tak salah ingat, juga seorang haji, memanggil saya
dengan ramahnya dan menyuruh saya membaca Duta Masyarakat itu.
Nah Bung, setelah pemeriksaan satu rombongan dikirim ke
CPM Guntur. Sebelum pergi saya minta pada Nusyirwan Adil untuk membebaskan adik
saya, karena baru saja datang ke Indonesia untuk menyiapkan disertasinya. Ia
luluskan permintaan saya, diketikkan surat pembebasan. Sebelum pergi ia saya
titipi jam tangan saya, untuk dipergunakan belanja istri saya.
Di Guntur hanya untuk didaftar dan dirampas apa yang ada
dalam kantong para tangkapan. Sepatu sampai sikat gigi dan ikat pinggang. Waktu itu baru saya sadari di dalam kantong
saya masih tersimpan honorarium dari Res Publika dan pabrik pensil. Semua
dirampas dengan alasan: nanti dalam tahanan agar tidak dicuri temannya. Dari
guntur kami dibawa ke Salemba. Tangan tetap di atas tengkuk dan tubuh harus
tertekuk, tidak boleh berdiri tegak, setinggi para penangkap. Dalam
pelataran-pelataran penjara itu nama dibaca satu persatu oleh seorang militer. Waktu sampai pada giliran
saya ia berhenti dan berseru: Lho, Pak Pram, di sini ketemu lagi? Peltu (atau
pelda) itu adalah pengawal bersepedamotor yang mengawal sebuah sedan biru-tua
dalam bulan November 1960 dari Peperti Peganggsaan ke RTM Jl. Budi Utomo. Dalam sedan itu saya, setelah
diminta "diwawancarai" oleh Sudharmono, mayor BC Hk. Dan peltu atau
pelda di depanku Oktober 1965 itu adalah Rompis.
Sejak itu berkelanjutan perampasan hak-hak
kewarganegaraan dan hak-hak sipil saya selama hampir 20 tahun ini. Dan Bung
Keith, tidak satu orang pun dari kaum manikebuis itu terkena lecet, tidak
kehilangan satu lembar kertas pun. Sampai sekarang pun mereka masih tetap hidup
dalam andaian, sekiranya kaum kiri menang. Dari menara andaian itu mereka
menghalalkan segala: perampasan, penganiayaan, penghinaan, pembunuhan. Tetap
hidup dalam kulit telur keamanan dan kebersihan, suci, anak baik-baik para
orangtua, dan anak emas dewa kemenangan. Paling tidak sepuluh tahun lamanya
saya melakukan kerjapaksa, mereka satu jam pun tidak pernah. Nampaknya mereka masih
tidak rela melihat saya hidup keluar dari kesuraman. Waktu saya baru pulang
dari Buru, banyak di antaranya yang memperlihatkan sikap manis. Bukan main.
Tetapi setelah saya menerbitkan BM, wah, kembali muncul keberingasan.
Tentang A.K.M. sendiri pertama kali saya mengenalnya pada
tahun 1946, di sebuah hotel di Garut. Ia tidak mengenal saya. Waktu itu saya
sedang dalam sebuah missi militer. Ia datang ke hotel itu dan ngomong-ngomong
dengan pemiliknya. Namanya tetap teringat, karena waktu itu ia redaktur majalah
Gelombang Zaman yang terbit di Garut.
Pertemuan kedua ialah di Balai Pustaka, waktu ia masih
jadi pegawai Balai Pustaka yang dikuasai oleh kekuasaan pendudukan Belanda.
Setelah penyerahan kedaulatan ia jadi sep saya dalam kantor yang sama ya saya sebagai pegawai negeri
dengan pengalaman semasa revolusi sama sekali tidak diakui, karena semua
pegawainya bekas pegawai kekuasaan Belanda. Sewaktu ia hidup aman di Australia,
ternyata ia masih dalam hidup dalam andaian, dan sebagaimana yang lain- lain
tetap membiakkan pengalaman kecil mengecil semasa Soekarno untuk jadi gabus apung dalam
menyudutkan orang- orang semacam saya. Titik tolaknya tetap andaian. Semua
tidak ada yang mencoba menghadapi saya secara berdepan, dari dulu sampai detik
saya menulis ini.
Dalam pada itu yang dirampas dari saya sampai detik ini
belum dikembalikan. Rumah saya diduduki oleh militer, dari sejak berpangkat
kapten sampai mayor atau letkol, bahkan bagian belakang disewakan pada orang
lain. Itu pun hanya rumah kampung, namun punya nilai spiritual bagi keluarga
dan saya sendiri. Barangkali ada gunanya saya ceritakan.
Saya mendirikannya pada tahun 1958 bulan-bulan tua. pajak
Honoraria seorang pengarang adalah 15 persen, langsung dipotong oleh penerbit.
Waktu saya menyiarkan protes tentang tingginya pajak yang 15 persen, tidak
lebih dari seminggu kemudian perdana menteri Djuanda menaikkannya jadi 20
persen, sama dengan pajak lotre. Maka juga pendirian rumah itu melalui
ancang-ancang panjang. Kumpul-kumpul dulu kayu dari meter kubik pertama hingga
sampai sepuluh dst. Saya merencanakan rumah berdinding bambu sesuai dengan
kekuatan. Sepeda motor saya, BSA 500cc. Sepeda motor militer sebenarnya juga dikurbankan. Tiba-tiba mertua
lelaki datang dan mengecam: mengapa mesti bambu? Itu terlalu mahal biayanya.
Menyusul perintah: tembok! Ternyata bukan asal perintah.
Ia tinggalkan pada saya dua puluh ribu rupiah. Kalau sudah ada, kembalikan,
katanya lagi. Maka jadilah rumah tembok yang terbagus di seluruh gang. Ternyata
tidak sampai di situ ceritanya. Rekan-rekan yang tidak bisa mengerti, seorang
pengarang bisa mendirikan rumah, mulai dengan desas-desusnya. Satu pihak
mengatakan, saya telah kena sogok Rusia. ada yang mengatakan RRT. Teman-teman
yang dekat mengatakan saya telah kena sogok Amerika. Orang tetap tidak percaya
seorang pengarang bisa membangun rumah sendiri. Mereka lupa, dalam Bukan Pasar
Malam telah saya janjikan pada ayah saya untuk memperbaiki rumah, dalam tahun
pertama saya keluar dari penjara Belanda. yang saya lakukan lebih daripada apa
yang saya janjikan, saya bangun baru, dan pada masanya adalah rumah terbagus di
seluruh kompleks, sekali pun hanya berdinding kayu jati. (Sekarang memang jati
lebih mahal dari tembok).
Kami sempat meninggali rumah kampung itu hanya sampai
tahun 1965 atau 7 tahun. Orang yang tidak berhak justru selama hampir 20 tahun.
Iseng-iseng pernah saya tanyakan; jawabnya seenaknya: apa bisa membuktikan
rumah itu bukan pemberian partai? Habis sampai di situ. Pada yang lain mendapat
jawaban: jual saja rumah itu, separohnya berikan pada penghuninya. Dan saya
bilang: saya tidak ada prasangka orang yang menghuni rumah saya itu dari
golongan pelacur. Walhasil sampai sekarang tetap begitu saja.
Baik, kaum manikebuis masih belum puas dengan segala yang
saya alami. Saya sama sekali tidak punya sedikitpun perasaan dendam. Setiap dan
semua pengalaman indrawi mau pun jiwai, bukan hanya sekedar modal, malah
menjadi fondasi bagi seorang pengarang. Apa yang dialamai A.K.M. semasa
Soekarno masih belum apa-apa dibandingkan yang saya alami. Peristiwa Kemayoran?
Pada 1958 sepulang dari Konferensi Pengarang A - A di Tasykent lewat Tiongkok
saya tidak diperkenankan lewat Hongkong dan terpaksa lewat Mandalay, Burma.
Artinya, dengan kesulitan tak terduga.
Sampai di Rangoon pihak Kedutaan RI tidak mau membantu
memecahkan kesulitan saya. Apa boleh buat, tidak ada jalan bagi saya daripada
mengancam akan memanggil para wartawan Rangoon dan Jawatan Imigrasi Burma,
memberikan pernyataan, bahwa ada kedutaan yang tak mau mengurus warganegaranya
yang terdampar. Mereka terpaksa mengurus saya sampai tiba di Jakarta. Dari
Rangoon kemudian datang surat yang menuntut macam-macam. Saya hanya menjawab
dengan caci maki dengan tembusan pada menteri
luarnegeri, waktu itu Dr. Subandrio. Saya harap surat itu masih tersimpan dalam
arsip.
Peristiwa itu terjadi berdekatan dengan hari saya
menghadap Bung Karno untuk menyerahkan dokumen keputusan Konferensi di samping
juga bingkisan dari Ketua Dewan Menteri Uzbekistan, Syaraf Rasyidov, kepadanya,
disaksikan oleh beberapa orang, diantaranya Menteri Hanafi. Tak terduga dalam
pertemuan itu terjadi sedikit pertikaian dengan Bung Karno. Ia memberi saya
suatu instruksi dan saya menolak, karena sebagai pengarang saya punya porsi
kerja sendiri. Pertikaian ini kemudian melarut, yang saya anggap wajar, sampai
akhirnya atas perintah Nasution saya ditahan di RTM, kemudian ke tempat lebih
keras di Cipinang, karena menentang PP 10.
Hampir satu tahun dalam penjara, kemudian dilepaskan
dalam satu rombongan dan dengan satu nafas dengan para pemberontak PRRI Permesta sebagai hadiah
terbebasnya Irian Barat. Pada hal tidak lebih dari 3 tahun sebelumnya Nasution
itu-itu juga memberi saya surat penghargaan no. 0002 untuk bantuan pada
angkatan perang dalam melawan PRRI di SumBar.
Penahanan 1960-61 itu merupakan pukulan pahit bagi saya.
Bukan saya yang melakukan adalah kekuasaan Pemerintah saya sendiri. Juga sama
sekali tidak ada setitik pun keadilan di dalamnya. Saya merasa hanya menuliskan
apa yang saya anggap saya ketahui, dan berdasarkan padanya pendapat saya sendiri.
Dengan nama jelas, lengkap. Alamat saya pun jelas, bukan seekor keong yang
setiap waktu dapat memindahkan rumahnya. Saya membutuhkan pengadilan. Dan itu
tidak diberikan kepada saya.
Dalam isolasi ketat di Cipinang saya kirimkan surat pada
Bung Karno melalui Ngadino, kemudian mengganti nama jadi Armunanto, kepala
redaksi Bintang Timur dan anggota DPA. Surat itu bertujuan untuk mendapat
hukuman yang justified, entah sebagai pengacau, entahlah sebagai penipu.
Setidak-tidaknya bukan yang seperti sekarang. Ia tidak meneruskannya, dengan
alasan ada orang lain menyimpan tembusannya. Orang itu adalah H.B. Jassin. Saya
yakin surat itu masih tersimpan.
Dapat Bung bandingkan, bahwa andaian kesulitan semasa
Soekarno masih tidak berarti dengan kenyataan kesulitan yang saya sendiri
alami. Saya heran, bahwa di dalam halaman 2 A.K.M. menyatakan keheranannya
mengapa namanya dicoret dari daftar pencalonan Front Nasional. Terasa lucu dan
naif, selama ia sendiri tidak punya kekuasaan untuk menentukannya. Katanya
Lekra membakari bukunya? Saya baru tahu dari halaman itu. Mungkin Boen S.
Oemarjati yang berhak memberi penjelasan.
Di halaman 3 alinea pertama terdapat kisah yang
mengagumkan tentang Taslim Ali. Saya sering datang ke tempatnya di gedung
perusahaan Intrabu. Jadi dalam gambaran saya orang yang "selalu
menterornya dengan meletakkan pestol di atas meja" -nya itu adalah saya.
Pramoedya Ananta Toer. Soalnya surat Goenawan Muhammad tertanggal 28 November
1980 pada Sumartana mengatakan (hlm.3): "Achdiat pernah bercerita, bahwa
Pram pernah datang ke Balai Pustaka dengan meletakkan pistol di meja."
Kapan itu terjadi? Pestol siapa? Siapa yang saya temui dan saya teror? Kiranya,
kalau Goenawan tak berandai- andai, A.K.M. sendiri yang berhak menjawab.
Dalam alam kemerdekaan nasional memang pernah saya
bersenjata api. Suatu hari dalam 1958. Bukan pestol, tapi parabellum. Tempat:
dalam sebuah jeep dalam perjalanan antara Bayah dengan Cikotok. Saksi: seorang
letnan angkatan darat. Ia membutuhkan bantuan saya untuk menyelidiki benar-
tidaknya ada boulyon-boulyon emas disembunyikan oleh Belanda sebelum
meninggalkan Jawa pada 1942 di dasar tambang mas Cikotok, dengan kesimpulan,
bahwa semua itu omong kosong belaka.
Mengapa bersenjata? Karena sebelumnya sebuah kendaraan
umum telah dicegat DI, dibakar. Dan bangkainya masih nongkrong di pinggir
jalan. Sebagai pengarang saya masih lebih percaya kepada kekuatan kata daripada
kekuatan peluru yang gaungnya hanya akan berlangsung sekian bagian dari menit,
bahkan detik. Dan saya pun tidak pernah bisa diyakinkan ada orang datang untuk
menteror Taslim Ali. Apa yang bisa didapatkan dari dia? Sebaiknya A.K.M.
menyebut jelas siapa nama penteror itu.
Di halaman 5 tulisan A.K.M. alinea terbawah ditulis
bahwa: "di depan rumahnya saya sempat menyusukan selembar 10 ribu rupiah
ke dalam kepalannya. Dia agaknya begitu terharu, sehingga nampak matanya basah
tergenang," dan "saya tahu Pram tentu butuh duit ketika itu."
Memang agak janggal menampilkan saya saya semacam itu. Pada waktu itu saya tidak
dapat dikatakan dalam kesulitan keuangan. Segera setelah pulang dari Buru
sejumlah bekas tahanan Buru datang pada saya minta dibantu memecahkan kesulitan
mereka mencari penghidupan.
Memang pihak gereja telah banyak membantu, dan saya
menghormati dan menghargai jasanya pada mereka dengan tulus. Tetapi selama
status dan namanya bantuan barang tentu tidak mencukupi kebutuhan apalagi untuk
keluarganya. Jadi saya dirikan sebuah PT pemborong bangunan, sebuah usaha yang
bisa menampung banyak tenaga. Pada waktu A.K.M. datang ke rumah telah 36 orang
ditampung, sebagian berkeluarga. Tidak kurang dari 5 rumah dikerjakan, di
antara 2 rumah mewah. Ada di antara mereka menumpang ada saya. Usaha ini telah
dapat memberi hidup (terakhir) 60 orang dengan keluarganya. Tapi kesulitan itu?
Beberapa kali datang intel, yang dengan lisan mengatakan, rumah saya jadi
tempat berkumpul tapol. Beberapa orang dari kantor kotapraja memberi ultimatum
untuk menyediakan uang sekian ratus ribu dalam sekian hari.
Seseorang datang dan mengibar-ngibarkan kartu
identitasnya sebagai intel Hankam. Seorang datang mengaku sebagai pegawai
sospol Depdag dengan tambahan keterangan, teman-temannya orang Batak banyak,
dan orang tidak selamanya waspada. Tak akan saya katakan apa maksud kedatangan
mereka. Itu yang datang dari luar. Kesulitan dari dalam pun tak kalah
banyaknya. Teman-teman bekas tapol rata-rata sudah surut tenaganya karena tua.
Mereka belum terbiasa dengan teknik baru pembangunan rumah sekarang. Mereka
tidak terbiasa dengan material baru dan pengerjaannya. Di samping itu
kerjapaksa berbelas tahun tanpa imbalan tanpa penghargaan, setiap hari terancam
hukuman, telah berhasil merusakkan mental sebagian dari mereka.
Dalam pekerjaan yang mereka hadapi mereka tidak berbekal
ketrampilan vak. Sedang impian berbelas tahun dalam posisinya sebagai
budak-budak Firaun adalah terlalu indah. Seorang yang di Buru mempunyai
setiakawan begitu tinggi dan diangkat jadi kepala kerja, kemudian lari membawa
uang, dan bukan sedikit. Seorang yang relatif masih muda, suatu malam datang
dengan membawa truk dan mengangkuti material bangunan yang telah tersedia dan
menjualnya di tempat lain dengan harga rendah untuk dirinya sendiri. Seorang
lagi yang juga tergolong muda, sama sekali tanpa ketrampilan tukang, mendadak
mengorganisasi pemogokan dengan tuntutan berlipat dari hasil kerjanya. Pick-up
Luv Chevrolet, sumbangan teman- teman Savitri, dalam 3 bulan sudah berban
gundul dan penyok-penyok.
Pukulan lain yang tak kurang menyulitkan datang. Memang
sudah diselesaikan sekitar 8 rumah dengan keadaan seperti itu. Kemudian dua di
antara yang dibangunkan rumahnya tidak mau melunasi kewajibannya, mengetahui
kedudukan hukum kami lemah. Berkali-kali Savitri minta pertanggungjawaban atas
bantuan teman-temannya yang diberikan. Saya tak mampu lakukan itu. Tidak lain
dari saya sendiri yang akan merasa malu, dan semua harus saya telan sendiri.
Akhirnya saya perintahkan pembubaran PT itu tanpa pernah memberikan pertanggung jawaban pada teman-teman Savitri.
Nah Bung, seperti itu situasi waktu terima selembar
sepuluh ribu itu, yang sama sekali tidak pernah saya kira akan dipergunakan
oleh A.K.M. untuk memperindah gambaran tentang dirinya. Semua kebaikan tidak
akan sia-sia memang bila tidak berpamrih. Dengan pamrih pun tentu saja tidak
mengapa, sejauh setiap tindak manusia yang sadar pasti mempunyai motif. Tetapi
bila pemberian dipergunakan sebagai investasi, yang setiap waktu dikutip
ribanya, sekalipun hanya riba moril, itu memang betul-betul investasi, bukan
pemberian.
Dan siapa di dunia ini tidak pernah menerima? Waktu saya
baru datang dari Buru dan sejumlah orang yang datang hanya untuk bersumbang.
Jumlahnya dari 60 sampai 100 ribu, di antaranya 3 mesin tulis, yang
tiga-tiganya langsung diteruskan untuk tapol yang lebih memerlukan. Demikian
juga halnya dengan uang pemberian. Saya pribadi praktis tidak ada uang dalam
kantong. Itu akan kelihatan bila berada di luar rumah. Di Buru pun ada sejumlah
pemberi, dari lingkungan dalam dan luar tapol, dari satu sampai sepuluh ribu.
Dalam keadaan sulit di Buru pun orang normal tidak bisa
tinggal jadi penerima saja. Terutama pihak gereja Katholik pernah memberi
keperluan tulis-menulis saya setiap bulan. Bahkan pernah saya terima 2 kali
berturut satu kardus besar berisi kacamata, dan pakaian untuk saya pribadi.
(Sampai sekarang saya simpan.) Maksud saya hanya untuk menerangkan, pada
bangsa-bangsa terkebelakang, atau menurut redaksi baru bangsa-bangsa yang
berkembang, memberi adalah keluarbiasaan dan menerima adalah kebiasaan yang
perlu dinyatakan.
Jangan dikira saya menulis demikian dengan emosi. Tidak.
Suatu dialog bagi saya tetap lebih menyenangkan daripada monolog.
Setidak-tidaknya dialog adalah pencerminan jiwa demokratis. Tetapi ucapan all
forgiven and forgotten atau we've forgiven but not forgotten, benar-benar
produk megalomaniak yang disebabkan mendadak bisa melesat dari kompleks
inferiornya, bukan karena kekuatan dalam, tapi luar dirinya.
Tentang Pancasila di hlm. 6, saya takkan banyak bicara
kecuali menyarankan untuk membuka-buka kembali pers Indonesia semasa Soekarno,
khususnya sekitar sebab mengapa presiden RI membubarkan konstituante itu.
Golongan mana yang menolak dan mana yang menerima Pancasila sebelum dapat
interpretasi atau pun revisi, formal ataupun non- formal.
Dalam hubungan ini saya teringat pada ucapan Nyoto, kalau
tidak salah di alun-alun Klaten pada tahun 1964, bahwa nampak ada kecenderungan
pada suatu golongan masyarakat (saya takkan mungkin mampu mereproduksi
redaksinya) yang membaca kalimat-kalimat Pancasila menjadi: Satu, Ketuhanan
yang Maha Esa; Dua, Ketuhanan yang Maha Esa; Tiga, Ketuhanan yang Maha Esa;
Empat, Ketuhanan yang Maha Esa; dan Lima, Ketuhanan yang Maha Esa. Dia tidak
dalam keadaan bergurau.
Selama 14 tahun dalam tahanan ucapan Nyoto bukan saja
menjadi kebenaran, lebih dari itu. Dakwah-dakwah yang diberikan, atau lebih
tepatnya dengan istilah orde baru santiaji, orang tidak menyinggung sila-sila
lain sesudah sila pertama, kalau menyinggung pun hanya sekedar penyumbat botol
kosong: beragama dan tidak beragama berarti sembahyang. Tidak bersembahyang
berarti tidak pancasilais, bisa juga anti pancasila. Ya, buntut panjang itu rupanya diperlukan
untuk menterjemahkan alam pikiran formalis Pribumi Indonesia, tidak mampu
membebaskan diri dari lambang-lambang, upacara, hari peringatan, pangkat dan
tanda-tandanya dan bagi suku Jawa cukup lengkap
di dideretkan dalam sastra wayang.
Berdasarkan pengalaman sendiri saya dapat katakan:
Revolusi Indonesia tidak digerakkan oleh Pancasila; ia digerakkan oleh
patriotisme dan nasionalisme. Baru pada 1946 saya pernah mendapat tugas untuk
memberi penerangan tentang Pancasila dan PBB kepada pasukan. Selanjutnya tetap
tidak ada pertautan antara Pancasila dengan Revolusi.
Saya menghormati pandangan A.K.M. tentang Pancasila yang
ia yakini, sekali pun dengan Pancasila itu juga orang- orang sejenis kami diburukan
sampai 10 tahun, dan A.K.M. tidak pernah melakukan sesuatu protes. Dan
pertanyaan kemudian, apakah ia tetap berpandangan demikian artinya tak perlu melaksanakannya
dalam praktek pada waktu kepentingan dan
keselamatan jiwanya terancam? Bicara di lingkungan aman memang lebih mudah
untuk siapapun, dan: tanpa pembuktian. Dalam hubungan Pancasila dengan
demokrasi barat di hlm. 7 sebagai pesan A.K.M. pada rekan-rekannya sarjana
Australia saya mempunyai kisah.
Pada 1984, Mr. Moh. Roem terkena serangan jantung dan
dirawat di RSCM. Seorang dokter menjemput saya, mengatakan, Pak Roem
menginginkan kedatangan saya. Saya tak pernah mengkaji apakah itu keinginan Pak
Roem atau ambisi si dokter itu saja. Langsung saya berangkat bersama dengannya.
Di ruang itu Pak Roem tidur dalam keadaan masih dihubungkan pada alat
pengontrol jantung. Penjemput saya langsung menemani perawat sehingga hanya
kami berdua di situ tanpa saksi.
Menghadapi orang dalam keadaan gawat tentu saja saya
tidak bicara apa-apa. hanya beliau yang bicara sampai lelah, sebagai pertanda
saya harus mengundurkan diri untuk menghemat tenaga yang beliau perlukan
sendiri. Terlalu banyak yang disampaikannya pada saya untuk orang dalam keadaan
gawat seperti itu. Satu hal yang berhubungan dengan Pancasila dan demokrasi
Barat, dan beliau sebagai ahli hukum, adalah: 50 + 1? Ya, biar begitu perlu
dipertimbangkan dengan adil, tidak seperti selama ini dinilai. Dalam sejarah
kita telah dibuktikan, bahwa kesatuan Indonesia terwujud hanya karena demokrasi
parlementer Barat.
Nah, Bung Keith, inti persoalan dengan kaum manikebu
cukup jelas: saya menggunakan hak saya sebagai warganegara Indonesia, hak yang
juga ada pada kaum manikebu. Omong kosong bila dikatakan pada waktu itu mereka
tak punya media untuk menerbitkan sanggahan. Waktu sekarang, waktu secara
formal hak sanggah melalui mass media tidak ada, saya tetap menyanggah dengan
berbagai cara yang mungkin, kalau memang ada yang perlu disanggah. Sedang
ucapan Pak Roem tsb., ternyata adalah pesan politik terakhir. Beberapa minggu
kemudian beliau meninggal dunia.
Saya belum selesai. Masih ada satu hal yang perlu
disampaikan, hanya di luar hubungan dengan surat terbuka Achdiat K. Mihardja. Tak
lama setelah pertemuan kita terakhir saya menerima surat dari M.L., yang
intinya tepat suatu jawaban terhadap saya. Tentu saja saya mendapat kesan kuat,
pembicaraan kita Bung teruskan padanya. Terima kasih, bahwa hal-hal yang tidak
jelas sudah dibikin terang olehnya.
Untuk tidak keliru membikin estimate tentang saya dalam
persoalan khusus ataupun umum ada manfaatnya saya sampaikan bahwa saya
menyetujui kehidupan bipoler. Saya membenarkan adanya dua superpower, bukan
saja sebagai kenyataan, juga sebagai pernyataan makro nurani politik ummat
manusia. Kalau hanya ada satu superpower akibatnya seluruh dunia akan jadi
bebeknya. Dua superpower mewakili kekuatan ya dan kekuatan tidak, kekuasaan dan
opposisi.
Dalam tingkat nasional saya menyetujui kehidupan bipoler.
Ada kekuasaan ada opposisi. Kalau tidak, rakyat akan jadi bebek pengambang,
dengan kepribadian tidak berkembang. Demokrasi dengan opposisi adalah juga
pernyataan makro nurani politik nasional. Dia adalah juga pencerminan mikro
nurani pribadi manusia, yang tindakannya ditentukan oleh ya atau tidak. Hewan
dengan serba naluri tak memerlukan nurani. Ia tak mengenal ya ataupun tidak.
Semoga surat kelewat panjang ini lebih tepat usaha pendokumentasian
diri sendiri ada manfaatnya. Saya tidak ada
keberatan bila diperbanyak.
Salam pada semua yang saya kenal, juga pada M.L. dan
Savitri yang pernah saya kecewakan.
Belakangan ini kesehatan saya agak membaik. Soalnya saya
menggunakan ramuan tradisional yang ternyata mengagumkan. Dengan pengamatan
melalui tes urine dengan benedict kadar gula yang positif dalam 24 jam dapat
menjadi negatif, yang tidak dapat saya peroleh melalui sport dan kerja badan
selama 2 minggu.
Salam hangat untuk Bung sendiri dan keluarga.
Tetap
(tanda tangan).
Pramoedya Ananta Toer
No comments:
Post a Comment