KARL Marx,
Stalin, Lenin. Nama nama itu akrab sejak Njoto belia. Buku buku karya tokoh
revolusioner itu
menjadi santapan sehari hari. Padahal ia masih duduk di bangku
Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), semacam sekolah menengah pertama di
Solo, Jawa Tengah. Buku koleksinya ada yang setebal telapak tangan.
"Buku
buku berat berbahasa asing itu dipilih atas kemauannya sendiri, tidak ada yang
mengarahkan," kata Sri Windarti, adik kandung Njoto, awal September lalu.
Buku buku tokoh kiri itu dibaca Njoto sehabis belajar.
Budaya
membaca kuat tertanam di keluarga itu. Ayahnya, Raden Sosro Hartono,
membiasakan anak anaknya gemar membaca dari kecil. Mereka bebas membaca apa
saja, asalkan urusan belajar dan sekolah tidak terbengkalai. Njoto bahkan punya
kebiasaan membaca di mana mana, meski tengah kumpul bersama keluarga. Selalu
saja ada buku atau koran yang ia pegang.
Ketertarikan
Njoto akan buku ideologi pergerakan bisa jadi mekar jauh sebelum itu. Sebelum
Njoto meneruskan sekolah ke Solo, toko milik Raden Sosro Hartono di Bondowoso,
Jawa Timur, kerap kedatangan tamu eks Digulis aktivis gerakan politik yang
dibuang Belanda ke Boven Digul, Papua. Raden Sosro sering mengadakan rapat
dengan mereka di situ. "Om om bekas tahanan Digul itu suka menengok saya
dan Njoto, lalu mengajak ngobrol," kata Windarti, kini 80 tahun.
Namun, baik
kepada Windarti maupun teman temannya, Njoto tertutup dalam urusan politik.
Menurut dia, Njoto belajar politik secara sembunyi sembunyi. Pada masa itu
Jepang melarang masyarakat bicara tentang politik. Alhasil, Njoto tidak pernah
terlihat seperti aktivis. "Dia tidak pernah mendiskusikan gerakan politik,"
kata Sabar Anantaguna, teman sekelasnya di Solo, yang di sekolah duduk persis
di belakang Njoto.
Sabar masih
ingat, Njoto tiba tiba menghilang pada saat naik kelas dua. Kepada Windarti, ia
pamit pulang ke rumah orang tua di Jember, Jawa Timur. Tapi tidak pernah kembali
ke Solo. Usut punya usut, dia malah pergi ke Surabaya, tatkala api revolusi
perjuangan tengah membara. "Mungkin ketika itu ia merasa kemampuan
berpolitiknya sudah cukup," ujar Windarti. Njoto terlibat dalam perebutan
senjata Jepang di Surabaya, Bangil, dan Jember.
Hingga
kemudian menyembul sepucuk berita: Njoto menjadi anggota Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) di Yogyakarta, wakil PKI Banyuwangi. Usianya 16 tahun,
tapi ia mencatut umur lebih tua dua tahun. "Saya dengar sendiri, saat itu
ia masih di bawah umur," kata almarhum Joesoef Isak, sahabat Njoto, ketika
diskusi di kantor Tempo, Agustus lalu.
Ia tinggal
di Hotel Merdeka, kawasan Malioboro, bersama sejumlah menteri. Kantor Komite
Nasional letaknya tak jauh dari situ. Kabinet Sjahrir baru saja dipindahkan
dari Jakarta ke Yogya. Dari Solo, Windarti sempat menemuinya di Yogya. Njoto
kerap mengajaknya makan siang.
Di kota ini
satu tahun kemudian Njoto bertemu Aidit dan M.H. Lukman. Saat itu, pemimpin PKI
Sardjono, eks Digulis, baru memindahkan kantor pusat PKI di Jalan Boemi 29,
Solo, ke Jalan Bintaran, Yogyakarta. Aidit, berkat bimbingan Alimin, yang baru
pulang dari Uni Soviet, menjadi anggota Comite Central dalam Kongres PKI
Januari 1947. Aidit dan Lukman-keduanya sudah bertemu sejak 1943 di Menteng 31,
sarang pemuda aktivis kemerdekaan-kemudian tinggal di Yogya. Mereka
menghidupkan majalah dwibulanan Bintang Merah.
Sejak itu
Aidit, Njoto, Lukman menjadi akrab. Saat KNIP bersidang di Malang pada Maret
1947, Aidit terpilih menjadi Ketua Fraksi PKI, Njoto memimpin Badan Pekerja
KNIP.
Foto Njoto
berpidato di Malang terpampang di sebuah koran. Sabar terperanjat. "Saya
baru sadar bahwa ia seorang pemimpin," kata Sabar, yang belakangan bergiat
di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Pria 82 tahun itu lantas teringat cerita
Sudarnanto, kawan sekolah di Solo, yang pernah menyaksikan bahwa di kamar Njoto
terpampang foto tokoh komunis. Darah aktivis pemuda berkacamata tebal itu, kata
Sabar, menetes dari ayahnya. "Karakter Njoto kebetulan sama seperti
Ayah," Windarti menambahkan.
Njoto
bersama Aidit dan Lukman kemudian masuk Komisi Penterjemah PKI pada awal 1948,
yang tugasnya menerjemahkan Manifes Partai Komunis, karya Karl Marx dan
Frederich Engels.
Pada Agustus
1948, tiga serangkai ini sama sama jadi anggota Comite Central PKI. Aidit
mengurus bidang agraria, Lukman di Sekretariat Agitasi dan Propaganda,
sedangkan Njoto menjalin relasi dengan badan badan perwakilan.
Hingga
pecahlah geger Madiun, 19 September 1948.
Partai
limbung, tercerai berai. Aidit, Njoto, Lukman bagaikan The Three Musketeers.
Mereka muncul menjadi tulang punggung partai.
Ketiganya
menghidupkan partai dan bisa membuat partai lebih besar. Mereka kemudian
dikenal sebagai trisula PKI.
Aidit sempat
tertangkap, tapi dibebaskan karena tak ada yang mengenalnya. Ibarruri Putri
Alam, putri sulung Aidit, melukiskan bahwa ayahnya bisa lolos ke Jakarta dengan
menyamar menjadi pedagang Cina. Njoto dan Lukman kemudian menyusul ke Jakarta.
Papan nama
PKI dari kayu jati mereka boyong dari Yogya ke Jakarta.
Di Jakarta
trio Aidit, Lukman, Njoto menyantap asam garam pergerakan. Mereka menggodok
orientasi partai. Terbunuhnya banyak kader dalam peristiwa Madiun membuat
mereka mandiri. "Mereka jadi independen karena tak punya lagi tempat
bertanya," kata almarhum Murad Aidit, dalam bukunya, Aidit Sang Legenda.
Tiga
serangkai diam diam memperluas jaringan PKI di Jakarta dengan membentuk Onder
Seksi Comite di tingkat kecamatan. Adapun organisasi dijalankan lewat sistem
komisariat di komite sentral.
Situasinya
sulit karena hampir setiap kabinet alergi komunisme.
Sampai
sampai trio Aidit Lukman Njoto harus bersembunyi dengan menyamar. Aidit dan
Lukman bahkan pernah disiarkan pergi ke Cina pada 1949. Padahal itu bualan
belaka untuk mengecoh pengejaran.
Ada yang
bilang sesungguhnya mereka ke Medan. Ada yang bilang ke Jakarta. "Mereka
sering menginap di rumah seorang kawan di Kemayoran," tulis sejarawan
Prancis, Jacques Leclerc, dalam Aidit dan Partai pada Tahun 1950.
Dalam situasi
serba repot itu, Aidit dan Lukman justru nekat menerbitkan Bintang Merah pada
15 Agustus 1950. Dua pekan sekali mereka meluncurkan stensilan Suara Rakyat,
embrio Harian Rakjat yang menjadi koran terbesar dengan oplah 55 ribu per hari.
Njoto bergabung pada Januari 1951.
Dua tahun
kemudian tiga sahabat kelompok Bintang Merah ini memimpin partai. Aidit menjadi
Sekretaris Jenderal, Lukman Wakil Sekjen I, dan Njoto Wakil Sekjen II (jabatan
ini diganti menjadi ketua dan wakil ketua pada 1959).
Usia mereka
saat itu jauh lebih muda dari pimpinan partai lain di Indonesia, bahkan
setengah usia daripada pemimpin partai komunis negara lain. Bambang Sindhu
dalam Harian Minggu terbitan Mei 1954 menulis, keadaanlah yang menghendaki
tenaga tenaga muda yang militan tampil ke permukaan. "Orang orang tua,
pemimpin tua, biarlah di samping saja," tulis Bambang. "Bila perlu,
malah ditinggal di belakang...."
Sebagai
ketua, Aidit bertanggung jawab terhadap politik secara umum. Lukman memimpin
Front Persatuan. Urusan agitasi dan propaganda diemban Njoto. Tak cuma
organisasi, untuk meluaskan jaringan mereka juga mendirikan sekolah, dari
tingkat dasar sampai universitas.
Usaha itu
berbuah. Dalam Pemilihan Umum 1955, Partai Komu nis menduduki urutan keempat.
Persahabatan
ketiganya berlanjut hingga Njoto menempati rumah di Jalan Malang, Menteng,
Jakarta. Aidit dan Lukman sering datang dan mengadakan rapat di rumah itu.
"Kadang ngobrol di ruang tamu, kadang masuk ke kamar kerja liat liat
koleksi buku," kata Windarti. Tempe goreng dan nasi rawon adalah hidangan
yang biasa disajikan Soetarni, istri Njoto.
Tiga
serangkai itu juga pergi bersama sama bila ada pameran lukisan. Lukman selalu
lebih dulu menjemput Njoto. "Saya hanya ikut, tidak mengerti mereka
ngomong apa," ujar Windarti.
Aidit dan
Njoto, kata Windarti, tipikal sosok yang serius, terutama dalam urusan
pekerjaan. Sedangkan Lukman lebih supel dan suka guyon. Lukman, kata
Iramani-adik bungsu Njoto-bahkan suka menawarinya pisang goreng.
No comments:
Post a Comment