KOLONEL UNTUNG
Tokoh ini tipikal seorang militer lapangan, sama sekali
bukan tipe intelektual dengan otak cemerlang yang mampu melakukan langkah
manipulasi canggih penuh perhitungan.
Ia anak bodoh tetapi berani dan setia
pada Sukarno. Hal ini amat berbeda dan berbalikan dengan Jenderal Suharto
beserta beberapa pembantunya seperti Ali Murtopo [dan Yoga Sugomo] Begitu
analisis Ben Anderson.. Sekalipun demikian ia salah satu lulusan terbaik
Akademi Militer.
Letkol Untung salah satu pelaku G30S yang sebelumnya
pernah menjadi anak buah Suharto di Jawa Tengah dalam Divisi Diponegoro. Ia pun
pernah menjadi anggota Kelompok Pathuk di Yogya meskipun bukan dalam kelas yang
sama dengan Suharto atau Syam. Mereka berpisah pada tahun 1950, kemudian
bertemu kembali pada tahun 1962 ketika bersama bertugas merebut Irian Barat, ia
berada di garis depan. Mendengar kisah keberaniannya selama bertugas di medan
Irian, ia dianugerahi Bintang Penghargaan oleh Presiden, lalu ditarik menjadi
Komandan Batalion I Resimen Cakrabirawa, suatu kedudukan cukup strategis.
Sebelumnya ia pernah menjabat Komandan Yon 454 Diponegoro, pasukan yang
memiliki kualitas yang kemudian terlibat G30S.
Letkol Untung menikah pada umur yang agak terlambat pada
akhir 1964. Acara perkawinannya dilaksanakan di tempat cukup jauh di daerah
udik di desa terpencil Kebumen. Sekalipun demikian Mayjen Suharto memerlukan
hadir bersama isterinya ke tempat yang ketika itu tidak begitu mudah dicapai.
Ia merupakan satu-satunya perwira tinggi yang datang, ini merupakan kehormatan
besar bagi Untung dan menunjukkan hubungan keduanya cukup akrab. Bahkan yang
mempertemukan Untung dengan calon isterinya ialah Ibu Tien Suharto. Soal
kehadiran Suharto ini tidak pernah diungkapkan olehnya sendiri yang memiliki
ingatan tajam itu, tetapi toh terekam dalam sebuah berita koran Pikiran Rakyat.
Letkol Untung pernah dikirim belajar ke AS, tentunya CIA
memiliki cukup catatan tentang dirinya sehingga ia dapat direkomendasikan.
Seperti tercantum dalam catatan laporan CIA tertanggal 1 Oktober 1965 dalam CIA
2001:300, memorandum untuk Presiden Johnson bahwa Untung memiliki military
police background and was trained in the United States. Sementara orang
menyebut catatan CIA ini tidak akurat karena Untung tidak pernah belajar ke AS.
Banyak pihak menyatakan ia seorang muslim yang taat, sangat muak dengan korupsi
dan tingkah laku kehidupan sejumlah perwira tinggi.
Menurut David Johnson, Letkol Untung bukanlah tergolong
pada apa yang disebut perwira progresif, ia pun bukan tergolong perwira yang
tidak puas. Ia lebih tergolong sebagai seorang militer profesional yang
berhasil. Ia pun menunjukkan tanda-tanda memiliki pandangan anti komunis.
Selama beberapa bulan berkumpul di Penjara Cimahi, Bandung, Subandrio mencatat
bahwa Untung bukan orang yang menyukai masalah politik, ia tipe tentara yang
loyal kepada atasan. Ia risau dengan adanya isu Dewan Jenderal yang hendak
menggulingkan Presiden Sukarno. Kepribadiannya polos dan jujur, hal ini antara
lain dibuktikan dengan kenyataan, sampai detik terakhir sebelum eksekusinya, ia
masih percaya vonis mati terhadap dirinya tidak mungkin dilaksanakan. Percayalah
Pak Ban, vonis buat saya itu hanya sandiwara, ujarnya kepada Subandrio. Ia
percaya Suharto mendukung tindakannya terhadap para jenderal dan akan
memberikan bantuan seperti dijanjikannya.
Dalam persidangan Letkol Untung terungkap ia baru
mengenal Syam dan Bono ketika dipertemukan oleh Mayor Udara Suyono kepada
sejumlah perwira dalam pertemuan pertengahan Agustus 1965 sebelum gerakan.
Untung yang tidak pernah sepenuhnya percaya kepada Syam, mencoba melakukan
penyelidikan tentang hubungan rahasianya dengan ketua PKI. Hal ini tidak
berlanjut, dan menganggap lebih bijak untuk tidak menantang Syam berhubung ia
terdesak waktu bagi penyelesaian agendanya sendiri. Bagi Letkol Untung agenda
mereka adalah mengambil langkah-langkah untuk menggagalkan kudeta Dewan
Jenderal serta melindungi Presiden Sukarno. Kudeta itu diyakininya akan terjadi
pada 5 Oktober 1965.
Berdasarkan kesaksian Mayor AU Suyono maka dapat
disimpulkan adanya berbagai pertentangan di antara tokoh gerakan dengan
ketegangan yang kian meningkat serta bermacam perbedaan pendapat selama
berjalannya waktu yang mendekat. Letkol Untung menjadi cemas dan mungkin
mempertimbangkan untuk
menghentikan semuanya. Rencana gerakan semula adalah tanggal 25 September,
tetapi karena pasukan dari Jawa Timur belum tiba maka gerakan ditunda sampai 30
September.
Dapat disimpulkan Untung bukanlah seorang komunis bawah
tanah. Jika ia seorang komunis semacam itu, ia mungkin sekali akan mendapatkan
akses lebih mudah untuk menghubungi langsung ketua PKI DN Aidit untuk
memastikan kedudukan Syam yang sebenarnya. Andaikata ia seorang komunis
demikian maka dalam kedudukan dan pangkat yang disandangnya ia bakal memiliki
serangkaian pendidikan dan pengalaman politik yang cukup memadai yang akan
dengan mudah membuang ilusi pribadi terhadap Jenderal Suharto, bahwa Suharto
telah berkhianat terhadapnya bagi keuntungan diri dan kelompoknya. Dengan
begitu ia akan menyadari kesalahan analisisnya terhadap Suharto.
Ia seorang prajurit yang setia kepada Bung Karno. Dokumen
yang terkenal dengan Cornell Paper menyebutkan sebelum peristiwa telah
bertahun-tahun, Sukarno, para jenderal [AD], pimpinan komunis dan golongan lain
telah terjerat dalam manuver politik yang rumit. Semua itu secara keseluruhan
menyebabkan Letkol Untung melakukan aksinya.
Letkol Untung dieksekusi mati pada tahun 1969 di Cimahi.
Demikianlah nasib seorang prajurit yang naif politik itu tetap memendam ilusi
pribadi besar sampai saat terakhir, yang pundaknya telah menjadi panjatan sang
manipulator. Adatah itu memang realitas kehidupan di sepanjang sejarah. Pemeo
menyatakan itulah politik dalam kenyataan telanjangnya, menghalalkan segala
cara.
KOLONEL ABDUL LATIEF
Pemeran G30S ini juga pernah menjadi anak buah Suharto di
Divisi Diponegoro. Ia ikut ambil bagian sebagai salah satu komandan kompi yang
berani dalam SU 1 Maret 1949 di Yogya yang dipimpin Letkol Suharto. Akhirnya
Latief menjadi Komandan Brigade Infanteri I Kodam Jaya, suatu kedudukan
strategis. Sebagai Komandan Kostrad pun Suharto mendekati Kolonel Latief antara
lain dengan mendatangi rumahnya ketika Latief mengkhitankan anaknya. Menurut
Subandrio hal ini merupakan suatu langkah sedia payung sebelum hujan, suatu
saat ia akan dapat memanfaatkannya. Di samping itu Latief mengantongi rahasia
skandal Suharto dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 seperti yang tercantum dalam
pembelaannya di depan Mahmilub pada 27 Juni 1978.
Letkol Suharto tidak banyak mengambil bagian dalam SU
itu, ia hanya enak-enak berada di garis belakang yang aman sembari makan soto
di warung sebagai yang diceritakan Latief ketika pertempuran seru terjadi dan
cukup banyak korban jatuh. Adegan ‗Suharto makan soto babat‘ itulah yang
disebut Subandrio sebagai skandal Suharto. Dalam pasukan Kapten Latief yang
masuk ke Yogya dari Godean itu bergabung juga laskar Pesindo yang sudah bersiap
di dalam kota di bawah pimpinan Supeno dan Pramuji, menurut AM Hanafi merupakan
kekuatan militan serangan umum tersebut.
Hubungan Latief Dengan Suharto
Latief sendiri menyatakan karier kemiliterannya nyaris
selalu mengikuti jejak Suharto. Pada gilirannya membuat hubungan Latief dan
Suharto bukan lagi sekedar bawahan dan atasan, melainkan sudah sebagai dua
sahabat. Suharto tahu Latief tak akan melakukan sesuatu yang dapat merugikan
dirinya. Sudah sejak setelah agresi kedua, Latief merasa selalu mendapatkan
kepercayaan dari Suharto sebagai komandannya yakni memimpin pasukan pada saat
yang sulit. Ketika Trikora pun ia masih dicari bekas komandannya itu, tetapi
Latief sedang mengikuti Seskoad.
Pada bulan Juni 1965 Mayjen Suharto meminta agar Latief
dapat memimpin suatu pasukan di Kalimantan Timur, akan tetapi Umar
Wirahadikusuma menolak melepasnya karena tenaganya diperlukan untuk tugas
keamanan di Kodam V Jaya. Di luar dinas Latief mempunyai hubungan kekeluargsaan
yang cukup akrab dengan Suharto dan sering berkunjung ke rumahnya. Ketika
Sigit, anak Suharto dikhitan, isteri Latief datang. Sebaliknya ketika Latief
mengkhitankan anaknya maka Suharto dan Ibu Tien juga datang ke rumahnya. Bahkan
pada 28 September 1965 ketika Latief berkunjung ke rumah Suharto di Jl HA
Salim, ia membicarakan soal tukar-menukar rumah dinas. Latief menawarkan rumah
dinas baginya di Jl Jambu bekas kedutaan Inggris yang lebih besar untuk ditukar
dengan kediaman Suharto yang lebih kecil yang sedang ditempatinya.
Menurut Subandrio, Suharto berhasil membentuk trio
bersama kedua orang tersebut di atas, keduanya memiliki posisi strategis yang
lebih tinggi dibanding trio yang pernah dibentuk sebelumnya bersama Ali Murtopo
dan Yoga Sugomo yang telah menghasilkan dirinya ditunjuk sebagai Panglima
Diponegoro, lalu naik pangkat menjadi Kolonel dengan menggeser calon kuat
Kolonel Bambang Supeno yang pengangkatannya tinggal menanti tandatangan saja.
Kolonel Latief: “Jenderal Suharto
Terlibat G30S!”
Dalam pembelaannya Letkol Latief tetap menuduh Jenderal
Suharto sebagai ikut terlibat dalam G30S. Ia tidak memiliki ilusi apa pun
terhadap Jenderal Suharto yang sedang berkuasa, orang yang setiap saat dapat
mengirimkan dirinya ke dunia lain atau membebaskannya, menilik dalam
kenyataannya selama rezim militer Orba, Jenderal Suharto berada di atas hukum.
Dapat disimpulkan ia memiliki suatu kesadaran politik cukup tinggi. Selama
penahanannya Latief mengalami siksaan luar biasa seperti dipaparkan dalam
pembelaannya. Menakjubkan ia masih bertahan hidup meskipun badannya cukup
rusak, semangat hidupnya luar biasa. Setelah tekanan berbagai pihak di dalam
dan luar negeri, ia baru dibebaskan dari penjara pada permulaan 1999. Dengan
keadaan badan yang rapuh, ia terkena stroke, akan tetapi semangat hidupnya tidak
pernah pudar. Sejak itu ia harus dibantu seorang penerjemah untuk berkomunikasi
dengan orang lain. Sekalipun demikian ia tetap aktif mengikuti berbagai
pertemuan, seminar, menulis makalah. Dalam suatu kesempatan bertemu dengan
penulis pada permulaan 2001, ia sedang menyelesaikan bukunya tentang SU 1 Maret
1949.
Berbagai pertanyaan timbul terhadap kenyataan bahwa
seorang Latief tidak dihukum mati oleh pengadilan yang sekedar mementingkan
proses formal dan mengabaikan pembuktian material. Bahkan untuk tokoh yang
masih menjabat sebagai menteri pada tahun 1965 seperti Aidit dan Nyoto, dengan
entengnya dibereskan‘ oleh penguasa militer Orba.
Rupanya pengadilan terhadap mereka tidak menguntungkan
sang penguasa. Sebagian orang mencurigai Latief sebagai melakukan deal tertentu
dengan Suharto, sampai saat ini tanpa bukti, atau barangkali menurut logika
intelijen. Seseorang di suatu tempat dalam rezim tampaknya menghendaki ia tetap
hidup, begitu tulis Carmel Budiardjo. Seseorang itu tidak bisa lain kecuali Jenderal
Suharto. Untuk kepentingan apa ia menghendaki Latief hidup, bagian dari suatu
deal? Macam apa kesepakatan itu, terlalu mahal untuk Latief dan terlalu riskan
untuk Suharto, ini bila ditinjau dari kacamata setelah G30S. Tentu saja Suharto
pun selama berkuasa dengan amat mudahnya setiap saat dapat melenyapkan Latief
bagai menepuk nyamuk.
Kenyataan bahwa Latief tidak dihukum mati, menimbulkan
suatu spekulasi bahwa ia memiliki keterangan yang lebih sempurna yang disimpan
di luar Indonesia dengan pesan supaya segera diumumkan jika ia dibunuh. Dalam
majalah Far Eastern Economic Review 2 Agustus 1990 diberitakan memoar Latief
disimpan di sebuah bank. Keterangan Latief memang memenuhi syarat untuk
menyeret Jenderal Suharto sebagai terlibat G30S golongan A, sesuai Pasal 4
Keputusan Kopkamtib 18 Oktober 1965, semua orang yang terlibat secara langsung,
mereka yang mengetahui rencana kup dan lalai melaporkan kepada yang berwajib.
Ada satu hal lagi yang amat mencolok, Kolonel Latief
ditangkap sepuluh hari setelah kegagalan gerakan, tetapi ia diadili 13 tahun
kemudian pada 1978. Sedang vonisnya baru mendapatkan kepastian hukum pada tahun
1982! Latief merupakan saksi kunci yang dapat menggoyahkan kedudukan Jenderal
Suharto. Pada masa permulaan bahkan pada tahun-tahun permulaan pengikut BK
masih cukup kuat, maka diperlukan waktu bagi Suharto untuk mengkonsolidasikan
diri dan kekuasaannya.
Dengan kata lain Suharto memerlukan waktu, pendeknya
faktor waktu amat penting dalam hal ini. Itulah sebabnya setelah usaha menyiksa
dan mengisolasi Latief habis-habisan selama 10 tahun tidak juga membunuhnya,
dengan berjalannya waktu ia tidak terlalu berbahaya lagi. Suharto sudah cukup
kuat dan mampu mengangkangi hukum dengan mudah. Demikian ulasan Joesoef Isak
yang sangat menarik, faktor waktulah yang diperlukan oleh rezim Suharto untuk
menaklukkan kesaksian dan bahan apa pun yang dimiliki Latief. Sudah jauh-jauh
hari kenyataan ini telah dimanipulasikan dengan keterangan juru bicara militer
yang menyatakan Latief dengan sengaja tidak mematuhi perintah dokter [berhubung
luka-luka yang dideritanya], sehingga ia tidak cukup sehat untuk muncul di
pengadilan, sebagai disiarkan Kompas 26 Maret 1966.
Peran apa sebenarnya yang telah dimainkan oleh Kolonel
Latief, semata-mata sebagai seorang militer yang setia kepada Presiden Sukarno,
seseorang yang terseret masuk ke dalam perangkap Syam, atau orang Suharto yang
sepahnya dibuang setelah habis manis, atau yang lain? Kalau dia sepah yang
dibuang seharusnya ia dilenyapkan setelah dikorek keterangan yang diperlukan
kepentingan rezim, agar selanjutnya bungkam. Seseorang yang menamakan dirinya
sebagai mantan intel tiga negara sekaligus RI-CIA-KGB mesinyalir Latief sebagai
agen ganda, karena itu ia selamat terus (Detak 5 Oktober 1998:9).
Masih dapatkah kita mengharapkan sesuatu yang lain di
samping pledoinya di pengadilan, demi kepentingan sejarah bangsa? Sayang sampai
meninggalnya tokoh ini pada 2005, tidak ada informasi baru yang disampaikannya.
Trio Sel Komunis?
Dalam berbagai diskusi informal tentang G30S sebagian
orang mengutuk Latief sebagai pengkhianat karena telah melaporkan gerakan yang
diikutinya sendiri kepada Jenderal Suharto. Hal ini perlu dipertanyakan apakah
menemui Suharto sebagai bekas komandannya dan orang yang cukup dekat dengan
dirinya itu inisiatifnya sendiri? Kalau bukan siapa yang memerintahkannya?
Sebagian pihak menyatakan dia itu sebenarnya anggota trio sel bawahtanah PKI
bersama Letkol Untung dan.... Jenderal Suharto di bawah binaan Syam [atau
Aidit?] sebagai bagian dari BC PKI.
Dalam hubungan ini tak aneh jika ada pihak yang menyebut
Jenderal Suharto sebagai gembong PKI yang berkhianat. Ada cerita seorang tokoh
yang tidak mau disebut namanya, pada permulaan Oktober 1965 menemui Aidit di
Jawa Tengah ketika baru tiba dari Jakarta, DN Aidit menyatakan, Wah celaka,
kita ditipu oleh Suharto!
Di sepanjang kesaksiannya, Kolonel Latief tidak sekalipun
menjatuhkan nama PKI, sangat kontras dengan Syam, Ketua BC PKI. Sayang hal-hal
di atas tidak dapat dirujuk silang dengan narasumber lain maupun sumber sejarah
yang dapat dipertanggungjawabkan [atau belum?]. Apakah kita akan mimpi
mendapatkan tambahan keterangan dari Jenderal Besar (Purn) Suharto yang sedang
didapuk sebagai koruptor hiu paling akbar di dunia dan baru memenangkan Rp 1
triliun di Mahkamah Agung RI menghadapi majalah Time? (Dipetik dari Harsutejo,
Sejarah Gelap G30S, revisi).
KOLONEL LATIEF, GEMBONG ATAU KORBAN?
Jika Latief semasa hidupnya sudi menjelaskan secara
rinci, terbuka dan jujur dalam menjawab pertanyaan yang pernah diajukan
kepadanya, mungkin akan lebih mudah mendudukkan dirinya, meskipun tetap saja
akan terbuka kemungkinan kontroversi. Apalagi keterangan sejujur dan serinci
apa pun yang diberikan setelah sekian puluh tahun terjadinya suatu peristiwa sejarah,
tetap terbuka kemungkinan kerancuan.
Sayang pertanyaan-pertanyaan di bawah ini, yang diajukan
ketika dia masih dapat berkomunikasi dengan cukup, tidak pernah dijawabnya
dengan jelas. Dapat saya tambahkan bahwa pada tahun-tahun akhir hidupnya dia
sulit berkomunikasi karena serangan stroke yang telah menutup harapan adanya
keterangan berharga yang lain dari pihaknya, kecuali jika ada peninggalan
tertulis yang belum pernah dipublikasikan.
Pertanyaan tersebut di antaranya meliputi:
(1) Dalam sejumlah pertemuan mereka yang menamakan diri
Perwira Progresif (termasuk Latief) sebelum 1 Oktober 1965, dihadiri (bahkan
dipimpin) sejumlah orang sipil yakni Syam, Pono dan Bono dari Biro Chusus (BC,
ejaan lama) PKI. Apakah ini berarti konsep G30S dari PKI (baca: Syam/Aidit)?
Bagaimana sebenarnya hubungan orang-orang militer ini dengan BC? Apa sekedar
karena sama-sama alat revolusi sesuai dengan ajaran Bung Karno (BK) dan
pendukung BK? Atau suatu komplotan? Hubungan ini diungkapkan dalam buku putih
Orba sebagai komplotan PKI (atau sebenarnya komplotan Aidit?).
(2) Dalam salah satu pertemuan (ke 5 pada 17 September
1965) anak buah Latief, Mayor Inf Agus Sigit, Dan Yon 203, mendebat arahan Syam
tentang rencana G30S yang dipandangnya semrawut, tidak profesional. Usulan dia
tentang penutupan jalan masuk ke Jakarta dari arah Bogor, Tangerang dan Bekasi
pada saat gerakan, ditolak sebagai kekiri-kirian. Ia menyampaikan pertanyaan
tajam, apa sebab Presiden tidak memerintahkan segera menangkap Dewan Djenderal
(DD, ejaan lama)? Apa tidak mampu? Apa sebab orang-orang dalam pertemuan itu
yang harus menangkapnya? Selanjutnya (karena tidak setuju) ia tidak lagi
mengikuti pertemuan berikutnya, bahkan kemudian pasukannya tidak muncul.
(3) Sebelum 1 Oktober Latief setidaknya menemui Jenderal
Suharto dua kali. Siapa yang menugaskan dirinya? Apa benar dia datang di RS
Gatot Subroto bersama Syam yang berada di tempat agak jauh seperti kesaksian
Syam?
(4) Latief sebagai Dan Brigif I Kodam Jaya membawahi tiga
batalion tetapi yang ikut bergerak bersamanya cuma dua peleton Detasemen Kompi
Markas. Lalu peran apa sebenarnya yang dilakukannya pada 1 Oktober 1965,
namanya tidak tercantum dalam daftar Komando Gerakan, tetapi hanya sebagai
anggota Dewan Revolusi, sedang dari segi pangkat dia nomor dua setelah Brigjen
Suparjo. Apa sebab gerakan dipimpin Letkol Untung, kenapa bukan Brigjen Suparjo
yang paling tinggi pangkatnya?
(5) Berbagai macam persiapan (misalnya gerakan dipimpin
Letkol Untung yang baru lima bulan berada di pasukan Cakrabirawa/Jakarta,
pasukan yang mengambil bagian dalam gerakan tidak jelas atau terlalu sedikit
tidak seperti yang dilaporkan, logistik tidak memadai), dokumen-dokumen G30S
tidak menyebut kedudukan BK. Dekrit No.1 menyebutkan, Dengan jatuhnya segenap
kekuasaan Negara ke tangan Dewan Revolusi Indonesia, maka Kabinet Dwikora
dengan sendirinya berstatus demisioner; dalam Keputusan No.2 disebut, Berhubung
segenap kekuasaan dalam Negara RI pada 30 September 1965 diambil alih oleh Gerakan 30 September...
lalu ada penurunan pangkat. Selanjutnya pasukan G30S membunuh tiga orang
jenderal di tempat, membunuh sisanya di Pondokgede/Lubang Buaya. Semuanya ini
mengarah pada suatu desain agar gerakan itu gagal.
(6) G30S tidak mempunyai rencana alternatif, tetapi hanya
ada satu rencana, itu merupakan permulaan kegagalan dari kacamata militer
maupun politik seperti ditulis Jenderal Nasution. Atau ini sebenarnya bagian
dari skenario karena G30S memang dirancang untuk gagal? Mantan Kolonel Inf
Latief tidak pernah menjawabnya sampai maut menjemputnya pada 6 April 2005 di
rumahnya di Tangerang. Kontroversi sejarah G30S masih akan panjang.
SYAM KAMARUZAMAN
Telah lama beredar desas-desus, Syam Kamaruzaman, gembong
G30S yang misterius itu masih hidup. Setelah jatuhnya Suharto pada 21 Mei 1998,
desas-desus itu menjadi lebih gencar dalam alam keterbukaan. Bahkan ada yang
mengaku pernah bertemu dengan Syam di Meksiko. Eksekusi 1986 bersama Supono Marsudijoyo
alias Pono boleh jadi benar, tetapi Syam yang lain, begitu argumennya. Amat
menarik, pihak AD telah mengidentifikasi paling tidak 3 (tiga) Syam seperti
tersebut di bawah. Selama itu penampilan Syam berubah-ubah, ia misterius antara
lain karena riwayat hidupnya yang tidak jelas. Konon ia membujang sampai umur
40 tahunan, juga tidak diketahui bagaimana keluarganya. Nama aslinya ialah
Syamsul Qomar bin Mubaidah, dalam dokumen 1960-an disebut Kamarusaman bin Ahmad
Mubaidah. Nama samarannya Sjamsuddin, Djiman, Karman, Ali Muchtar, Ali Sastra.
Nama terakhir ini tertera di dalam KTP pada saat ditangkap di Cimahi 8 Maret
1967.
Menurut Letkol Ali Said SH, Syam bukan tokoh PKI sepele,
ia dapat disejajarkan dengan DN Aidit. Ia sebagai jendral intel PKI yang
menjadi anggota PKI sejak 1949. Teman-teman dekat Syam ketika muda tidak
percaya ia memiliki kaliber semacam itu. Sejak pindah ke Yogya riwayat yang
sebenarnya menjadi buram. Ada yang mengatakan ia adik kelas Munir (kelak ketua
SOBSI) di Sekolah Dagang. Ada yang mengatakan ia di Taman Siswa karena menjadi
anggota diskusi Kelompok Pathuk‘ 43 yang mayoritasnya dari Taman Siswa. Menurut
Prof Dr Ir Haryosudirjo, mantan menteri masa Bung Karno, Syam bersekolah di
SMT(Teknik).
Syam bertindak sebagai intel di Resimen 22 Brigade 10,
Divisi Diponegoro dengan pangkat Letnan Satu, eks Laskar Gabungan Yogya. Begitu
komentar spontan anggota tim Mahmillub, Subono Mantovani SH ketika melihat foto
Syam; di masa Yogya itu Subono Mantovani juga berpangkat letnan satu, sebelumnya
berada dalam satu kelompok Pathuk bersama Letkol Suharto. Komandan resimennya
ketika itu Mayor Haryosudirjo tersebut di atas. Berdasar pengakuan Syam yang
diceritakan kepada Latief, ia berada dalam pasukan Suharto ketika SU 1 Maret
1949.
Syam seorang pemuda yang mendapatkan arahan Johan
Syahruzah, tokoh PSI di kelompok Pathuk. Para pemuda Pathuk ini yang
memprakarsai permintaan agar Sri Sultan mengajak anggota BKR Suharto untuk
berdiplomasi dengan Jepang guna menyerahkan senjatanya. Di antara para pemuda
itu terdapat Sumantoro dan Syamsul Qamar Mubaidah. Bersama Suharto mereka
mendatangi markas Jepang pada masa kemerdekaan itu.
Jadi Suharto telah mengenal Syam sejak permulaan
kemerdekaan Demikian tulis AM Hanafi. Sekitar 1947 Syam mulai berkenalan dengan
DN Aidit yang mengajaknya untuk aktif di Pemuda Tani, afiliasi BTI. Sebagai
intel pada Batalyon 10 Yogya, Lettu Syam di bawah Letkol Suharto. Sejak itu
Syam berhubungan dekat dengan Aidit maupun Suharto. Hubungan persahabatannya
dengan Suharto berjalan selama 20 tahun. Suharto tentu saja tak pernah
menyinggung sedikit pun kalau ia telah mengenal orang misterius yang bernama
Syam ini sudah sejak lama, seolah ia orang yang tak pernah tahu menahu dengan
tokoh ini.
Pada tahun 1949 Syam pindah ke Jakarta membantu Munir di
BTI. Sekitar 1950 Syam mendirikan SBP(Pelayaran) dan SBB(Becak) yang bermarkas
di Jl Guntur, Jakarta. Sebagai ketua SBP pada 1950 ia membantu pembebasan Aidit
yang baru datang dari Vietnam [menurut mitos] yang ditahan di Tanjung priok karena
tidak punya tiket. Pada tahun 1950-57 ia di SOBSI Jakarta, lalu sebagai
sekretaris. Pada 1957 ia diangkat sebagai pembantu pribadi Aidit, Ketua PKI.
Dalam setahun ia masuk kepengurusan sebagai anggota Departemen Organisasi. Ia
disebut sebagai pernah menjadi informan Komisaris Polisi Mudigdo di Pati yang
kelak menjadi mertua Aidit. Barangkali dari sini pulalah Aidit kemudian
menjalin hubungan dekat dengan Syam, serta memberikan kepercayaan besar
kepadanya. Peter Dale Scott menyebut Syam sebagai seorang kader PSI, pada tahun
1950-an ini juga ia sering datang dan menginap di rumah Suharto di Yogya.
Menurut Subandrio, yang juga Ketua Badan Pusat Intelijen
(BPI), pada 1958 Syam perwira intelijen AD serta mitra lokal CIA. Dengan
demikian Syam mempunyai hubungan tertentu dengan CIA, baik secara langsung atau
pun tidak. Ketika Kolonel Suharto memasuki Seskoad di Bandung, Syam ikut serta
dalam kursus militer itu, demikian menurut penyelidikan Poulgrain. Hubungan
mereka begitu rumit. Kolonel Suwarto dididik di Amerika, ia sahabat Guy Pauker,
orang penting CIA dalam hubungan dengan Indonesia, pernah mengajar di Barkeley,
konsultan RAND Corporation yang menitikberatkan kontak-kontaknya dengan
kalangan militer AD Indonesia. Suwarto pernah diundang Pauker meninjau
perusahaan tersebut pada 1962.
Pauker mendapat tugas melakukan sapu bersih terhadap PKI.
Antara lain lewat Suwarto lah CIA melakukan operasinya misalnya dengan apa yang
disebut civic mission AD, yang sebenarnya merupakan civic action CIA dalam
melakukan kontak-kontak dengan kelompok anti komunis di kalangan AD. Rupanya
lewat jalur inilah Suharto pertama kali berhubungan dengan CIA. Berdasar
pemeriksaan dokumen-dokumen yang ada di AS, Belanda dan Indonesia, dalam
majalah resmi PSI nama Syam tercantum sebagai Ketua PSI Ranting Rangkasbitung,
Banten. Dalam arsip Belanda Syam tercatat sebagai intel Recomba Jawa Barat.
Recomba merupakan pemerintah federal boneka Belanda, bisa
saja Syam menyelundup menjadi spion untuk mengorek rahasia Belanda, akan tetapi
hal ini aneh. Dalam berbagai koran 1950-an ia disebut sebagai informan dari
Komando Militer Kota (KMK) Jakarta. Sejumlah narasumber perwira yang menjadi
tapol di Salemba menyebutkan Syam pada tahun 1951 tercatat sebagai kader PSI
yang mendapatkan pelatihan partai itu di antara 29 kader yang lain.
Syam – Sang Agen Ganda?
Pada 1960-an dengan bentuk lebih jelas pada 1964 Syam
diangkat menjadi ketua Biro Chusus (BC), suatu jaringan intelijen PKI yang
hanya mempunyai hubungan langsung dengan Aidit selaku ketua Politbiro CC PKI.
Tugas Syam, pertama mengumpulkan info untuk diolah dan diserahkan kepada Aidit.
Kedua, membangun sel-sel PKI di tubuh ABRI dan membinanya. Tugas Syam yang lain
mengadakan evaluasi dan melaksanakan tugas-tugas yang tak mungkin dilakukan
alat-alat formal PKI. BC mempunyai aparatnya sendiri yang tidak diketahui oleh
pimpinan formal PKI.
Ia memberikan laporan, mengolah informasi dan
menyampaikannya kepada Aidit secara langsung. Oleh Aidit bahan-bahan dan
keputusan disodorkan pada Politbiro untuk disetujui dan dilaksanakan. Menurut
orang-orang PKI yang pernah dekat dengan dirinya, ia dengan enteng mengeluarkan
pestol dan meletakkannya di meja jika kehendaknya ditentang. Menurut seseorang
yang mengaku sebagai mantan agen CIA, Suharto mendapat perhatian cukup dari BC
PKI dan dibina melalui Syam, Untung dan Latief. Dalam hal ini Suharto mendapat
kategori sebagai ‗orang yang dapat dimanfaatkan‘.
Hal ini cocok dengan keterangan Untung dan Latief bahwa
Suharto akan membantu gerakan mereka, dan dibuktikan dengan didatangkannya Yon
530 dan Yon 454 dalam keadaan siap tempur. Sedang yang lain menamainya sebagai
trio sel PKI. Pada tahun 1967 majalah Ragi Buana menamai Syam sebagai ‗double
agent‘ ia menjadi informan Kodam Jaya sejak 1955 sampai kudeta 1965. Untuk
memperdalam ilmunya pada 1962 ia dikirim ke RRT, Korea Utara dan Vietnam,
termasuk memperdalam bidang intelijen terutama menyangkut strategi
mempersiapkan dan menggerakkan pemberontakan bersenjata.
Di Vietnam ia melakukan pekerjaan praktek di lapangan. Majalah
ini menyebut Syam dan Aidit telah terjebak ke dalam jaring-jaring spionase
Washington, Peking dan Moskow. Sebutan double agent digunakan koran-koran dan
radio termasuk radio Nederland ketika itu, selanjutnya pers tidak lagi
menggunakan istilah tersebut. Rupanya Kopkamtib kemudian sangat berkeberatan
akan penggunaan istilah itu yang dapat merugikan Jenderal Suharto, lalu
melarangnya. Sebagai Ketua BC PKI, Syam lapor langsung kepada Aidit. Karena
Aidit satu-satunya pimpinan PKI yang membentuk BC serta mengetahui personelnya,
maka BC ini merupakan partai dalam partai dengan Syam sebagai orang
tertingginya. Seperti disebutkan oleh Sudisman, BC dibentuk tanpa persetujuan
CC PKI, dalam hal ini Aidit telah melanggar konstitusi partai. Dengan demikian
BC bukan aparat partai, tetapi aparat Aidit. Di pihak lain yang mengontrol
seluruh struktur aparat dan sepak terjang BC bukan Aidit, tetapi Syam. Jika
Syam seorang agen ganda, maka praktis seluruh struktur BC merupakan alat dalam
kendali musuh PKI.
Peran Syam
Banyak saksi sejarah teman-teman Syam meragukan peran
besarnya dalam G30S. Ia sama sekali tidak memberikan kesan sebagai pemikir,
artinya ia sekedar wayang yang dimainkan oleh dalang mahir di balik layar
sejarah. Di Yogya ia memang pernah berada di lingkungan olah pikir.
Kadang-kadang ia datang ke kelompok diskusi Mahameru I, sebuah rumah di
belakang SMA 3 Yogya, kemudian menjadi kantor PSI. Tempat itu untuk diskusi
antara lain Sutan Syahrir dan HA Salim. Menurut Sumadi Mukajin, Syam dikenal
pendiam, tertutup dan… agak goblok. Sedang Kelompok Pathuk kemudian berkembang
menjadi salah satu simpul terkuat jaringan politik bawah tanah Syahrir. Di situ
buku-buku Marx, Adam Smith, Machiaveli, Gandhi, Lenin dsb menjadi bahan kajian.
Terdapat persamaan modus operandi antara percobaan kudeta
3 Juli 1946 yang telah menculik PM Syahrir dengan G30S. Mula-mula Letkol
Suharto berada dalam satu kubu dengan atasannya Komandan Divisi Mayjen
Sudarsono. Mereka, termasuk pasukan Suharto menduduki RRI dan Kantor Telepon
Yogya pada 2 Juli 1946. Anehnya kemudian Letkol Suharto berbalik menangkap
kelompok yang mencoba melakukan kudeta. Ketika itu Syam sebagai intel Batalion
10 pimpinan Letkol Suharto. Rupanya G30S merupakan ulangan permainan politik
semacam itu. Bagaimana sebenarnya hubungan Syam dengan Letkol Untung cs?
Menurut Kolonel Latief, Syam telah memotong jalur atau melakukan intersepsi
terhadap pasukan Lettu Dularip.
Ia mengenal Syam sebagai intel pembantu atasannya Letkol
Untung. Ketika Dularip bertanya bagaimana caranya mengajak para jenderal itu
untuk menghadap Presiden Sukarno, maka Syam tegas menjawab dengan mantap, Tangkap,
hidup atau mati. Syam sendiri di Mahmilub menyebutnya sebagai perintah Aidit,
sesuatu yang bertentangan dengan perintah Letkol Untung. Tidak ada bukti dan
alasan apa pun juga yang dapat diketengahkan apa sebabnya G30S membunuh para
jenderal yang diculiknya dalam keadaan terpaksa meskipun beberapa orang memang
melawan. Dengan demikian ini merupakan skenario aslinya. Siapakah sebenarnya
yang memerintahkan Syam melakukan tindakan semacam itu? Yang pasti tindakan itu
sama sekali tidak menguntungkan gerakan G30S.
Berbagai pengumuman Dewan Revolusi termasuk pembentukan
Dewan Revolusi itu sendiri yang sama sekali tidak menyebut nama Sukarno sangat
tidak menguntungkan baik G30S secara keseluruhan maupun Untung cs dan Aidit.
Dengan telah ditembak matinya Aidit tanpa diajukan ke pengadilan maka Syam
mempunyai kesempatan untuk memonopoli seluruh keterangan tentang G30S dalam
hubungannya dengan PKI. Hanya Syam sebagai Ketua BC PKI dan Aidit sebagai Ketua
Politbiro PKI yang mengetahui seluk beluk biro tersebut dalam hubungan dengan
peristiwa G30S serta hubungannya dengan sejumlah perwira militer.
Demikianlah keterangan-keterangan Syam dalam persidangan
Mahmillub, baik sebagai terdakwa maupun saksi telah memonopoli fakta-fakta yang
seluruhnya menjurus kepada digiringnya Aidit dan PKI sebagai terdakwa yang
sebenarnya, dengan pion-pionnya Letkol Untung dan kawan-kawannya. Maka Syam
bertindak baik sebagai dirinya maupun sebagai Aidit tanpa secuwil pun
keterangan Aidit.. Nama Syam berada dalam daftar gaji Kodam Jaya. Di Kodam Jaya
Syam berhubungan dengan Latief, di samping hubungannya dengan Kostrad. Agar
lebih meyakinkan maka dalam semua proses kemunculan Syam, ia dilukiskan sebagai
seorang komunis sejati yang amat dekat dengan Ketua Aidit. Syam selalu mengakui
dia yang memberikan perintah, dan perintah itu semuanya berasal dari Aidit.
Pendeknya Aidit merupakan dalang seluruh peristiwa. Ia toh tidak akan membantahnya
dari kubur. Begitu Syam mempunyai kesempatan bicara, ia begitu bernafsu
menceritakan apa saja yang ia ketahui tentang G30S.
Di pengadilan ia menyombongkan dirinya sebagai otak di
belakang gerakan. Buku Putih menyebutkan salah satu pekerjaan Syam melakukan
penyusupan ke tubuh Angkatan Bersenjata dan melakukan apa yang disebut
pembinaan. Dalam kenyataannya ia telah melakukan pembinasaan, bukan pembinaan
terhadap sejumlah besar personel ABRI yang berhaluan kiri dan pendukung BK.
Rupanya ia memang mempunyai misi melakukan infiltrasi ke tubuh ABRI untuk
mencari tahu dan mengidentifikasi siapa-siapa yang termasuk 30% personel
simpatisan PKI yang telah mencoblos palu-arit dalam pemilu 1955, untuk didepak,
dihukum dan dilenyapkan sebagai kelanjutan rasionalisasi yang tak tuntas masa
pemerintahan Hatta.
Dengan demikian ia membentuk BC sebagai partai dalam
partai dengan pola yang sama seperti yang dilakukan AD yakni negara dalam
negara. Demikian analisis MR Siregar tentang peran besar Syam bagi PKI. Seluruh
pengakuan dan pengakuan serta tindakan Syam tidak secuwil pun merupakan
pembelaan terhadap PKI atau Aidit. Sebaliknya ia terus menerus
mendiskreditkannya. Dengan demikian ia tidak bekerja untuk PKI atau Aidit. Maka
tidak aneh jika banyak orang termasuk para pengamat dan pakar mempertanyakan
orang misterius ini, dan untuk siapa ia bekerja.
Seluruh proses Mahmillub diarahkan untuk menggiring
pembenaran tuduhan terhadap PKI serta menjeratnya dari segi hukum, sedang di
lapangan dilakukan pembantaian tanpa ampun. Dengan demikian seolah segalanya
dilandasi hukum. Kegiatan Setelah Gagal Berbeda dengan tokoh PKI lain yang
terus terbaca gerak geriknya selama buron seperti ditulis Buku Putih, tampaknya
buku ini kesulitan menjelaskan sepak terjang Syam di Jawa Barat sebelum
ditangkap pada tahun 1967.
Bersama itu intelijen militer mampu mengikuti terus
kegiatan bawah tanah pimpinan PKI kecuali Syam. Begitu hebatkah jenderal intel
PKI ini berkelit bagaikan siluman hingga kegiatannya tidak terdeteksi? Baru
saja didemonstrasikan betapa konyol dan cerobohnya rancangan dan jalannya
peristiwa G30S, sejak dari penculikan, eksekusi para jenderal dan
pengumuman-pengumuman RRI Jakarta atas nama Letkol Untung dengan Dewan
Revolusinya, buruknya logistik dsb. Seperti disebut Jenderal Nasution, mereka
tidak membuat rencana alternatif, dan ini berarti secara strategis sudah suatu
kegagalan. Selanjutnya ketika komandan kontrol G30S menghubungi tiga sektor
yang telah mereka bentuk, sebagai disebut Brigjen Suparjo, semuanya kosong.
Bukankah ini salah satu indikasi kuat Syam sebenarnya berada di kubu lain yakni
kubu Jenderal Suharto, yang kegiatan sebenarnya juga untuk sang jenderal? Dia
sendiri yang melakukan sabotase terhadap gerakan yang dikendalikannya.
Gerakan ini dirancang untuk gagal. Maka Latief
berkeyakinan Syam tidaklah bertindak atas nama pribadi, dan yang dituding olehnya
tak lain daripada Jenderal Suharto. Betapa rumitnya hubungan Syam yang konon
pernah mengenyam pendidikan intelijen di Vietnam, Korea Utara dan Cina ini, sekaligus
juga pendidikan Seskoad. Dunia intelijen memang selalu ruwet tidak sederhana,
berliku-liku, terbuka untuk segala hal dan kemungkinan yang paling kontradiktif
pun serta hampir-hampir mokal, tetapi tertutup rapat bagi dunia luar. Seorang
ksatria pahlawan penumpas kudeta militer berlumuran darah mungkin sekali adalah
salah satu pelaku utama di baliknya, suatu ironi yang menjungkirbalikkan segala
hal.
Dan itu bernama dunia intelijen. Menurut keyakinan
sementara orang seperti tersirat dalam buku Hanafi dan Subandrio,
bertahun-tahun Syam sebenarnya telah memasang jebakan untuk Aidit dengan
menjalin hubungan pribadi maupun hubungan organisasi partai. Hubungan itu terus
meningkat dengan meningkatnya keterampilan Syam dalam bidang intelijen yang
telah digaulinya sejak jaman revolusi fisik. Begitu hebatkah tokoh ini, atau
dan begitu bodohnyakah DN Aidit sebagai Ketua Politbiro beserta pendukungnya?
Ada „Tiga Orang Syam‟?
Syam ditangkap pada 8 Maret 1967 di Cimahi. Berdasarkan
dokumen-dokumen CIA yang telah dibuka untuk umum seperti dicatat oleh Peter
Dale Scott, pesakitan itu merupakan orang ketiga yang diidentifikasi oleh pihak
AD sebagai orang yang bernama Syam‘. Jadi paling tidak ada tiga orang Syam‘. Ia
ditahan di RTM Budi Utomo Jakarta pada 27 Mei 1967. Beberapa bekas tahanan
politik yang pernah berkumpul atau dekat dengan sel tempat Syam, menyatakan
selama ditahan ia bertindak seperti seorang bos. Ia dapat mondar-mandir dengan leluasa di tahanan,
mengenal banyak petugas militer seperti berada di lingkungannya sendiri. Banyak
tahanan politik yang dianggap cukup penting dibawa ke RTM untuk dapat
diidentifikasi oleh Syam agar bisa mendapatkan tempat yang tepat.
Sering ia tiba-tiba tidak berada di tempat tanpa
diketahui oleh orang lain akan keberadaannya. Sangat umum diketahui para tapol,
ada sejumlah orang yang dekat dengan para pejabat, memberikan berbagai
informasi yang benar maupun karangannya sendiri, ketika diminta atau tidak
untuk meringankan dirinya sendiri dan memberatkan orang lain. Bahkan beberapa
orang dijadikan interogator dan ikut menyiksa teman-temannya sendiri, ikut
serta dalam operasi penangkapan dsb. Orang semacam itu biasanya disebut
pengkhianat, biasanya dengan cepat dapat diketahui oleh tapol yang lain. Syam
jauh lebih rumit dan lebih besar daripada sekedar kelompok ini.
John Lumengkewas, seorang mantan Wakil Sekjen PNI dan
ditahan selama 7 tahun menuturkan kesaksiannya ketika ditahan di RTM tentang
tokoh Syam. Ia punya pengetahuan ensiklopedis bagi orang-orang yang dituduh
PKI. Ia mendapat perlakuan istimewa di RTM, berbeda dengan tapol lainnya.
Fasilitas di selnya mewah untuk ukuran waktu itu, menu makanannya berbeda, ia
bebas berada di luar sel, akrab berbincang-bincang dengan petugas. Dia
sebentar-sebentar dipanggil oleh petugas dari pintu blok, lalu pergi ke kantor
RTM. Nampak sekali Syam sudah lama berhubungan dengan kalangan ABRI tertentu.
Oei Tjoe Tat SH, mantan Menteri Negara yang juga pernah
ditahan di RTM, menggambarkan Syam sebagai orang yang tidak tahu diri. Kalau ia
keluar untuk diperiksa, orang lain menjadi tidak tenteram karena ulahnya. Ia
orang misterius yang dijauhi oleh para tahanan yang lain. Syam dijatuhi hukuman
mati oleh Mahmillub pada 9 Maret 1968. Di tahun-tahun berikutnya ia
menyombongkan diri kepada rekan-rekannya di penjara bahwa ia masih bertahan
hidup meski sudah dijatuhi hukuman mati. Ia selalu memiliki informasi untuk
diberikan dalam kesaksian terhadap orang lain yang diadili selama
bertahun-tahun. Ia mulai masuk penjara Cipinang pada 27 Oktober 1972.
Menurut kesaksian para tapol, Syam dan komplotannya
Subono masih bisa keluar penjara serta menulis laporan untuk kepentingan AD.
Bahkan pada awal tahun 1980, ia keluar masuk di berbagai instansi militer.
Menurut keterangan seorang mantan perwira Kopkamtib, Syam memang dipakai
sebagai informan militer. Berdasarkan catatan, Syam diambil dari Cipinang pada
27 September 1986 jam 21.00 oleh petugas Litkrim Pomdam Jaya atas nama Edy B
Sutomo (Nrp.27410), 264
lalu dibawa ke RTM Cimanggis. Tiga hari kemudian tengah
malam bersama dua kawannya ia dibawa dari Cimanggis dan pada jam 01.00 sampai
ke Tanjungpriok.
Mereka diangkut dengan kapal laut militer ke sebuah pulau
di Kepulauan Seribu dan dieksekusi pada jam 03.00. Tak ada keterangan mengapa
pelaksanaan eksekusi terhadap Syam dan sejumlah tokoh yang lain terus
diulur-ulur hingga 14 tahun dihitung dari sejak masuk Cipinang, bahkan 18 tahun
bila dihitung sejak vonis Mahmillub. Adakah itu Syam yang asli atau Syam‘ yang
lain? Agaknya akan tetap menjadi misteri sebagaimana misteri berbagai hal
seputar G30S. Menurut pengakuan Latief ketika ditahan di Cipinang pada 1990 ia
berada satu blok dengan Syam. Sementara itu seorang pejabat di lingkungan
Depkeh RI menyatakan Syam dikeluarkan dari Cipinang pada September 1986 atas izin
Presiden Suharto.
Antara dua keterangan ini sekedar perbedaan waktu,
mungkin saja Latief tidak akurat. Jalannya peristiwa menunjukkan peran agen
Syam menjadi salah satu kunci penting keberhasilan operasi yang sedang
dilancarkan oleh sahabat lamanya, Jenderal Suharto. Mungkinkah orang yang
agaknya tahu betul akan isi perut Suharto dalam hubungan dengan G30S dibiarkan
hidup bebas?
No comments:
Post a Comment