KERAJAAN PAKUAN PAJAJARAN
Pakuan Pajajaran atau Pakuan (Pakwan) atau Pajajaran adalah pusat
pemerintahan Kerajaan Sunda,
sebuah kerajaan yang selama beberapa abad (abad
ke-7 hingga abad ke-16) pernah berdiri di wilayah barat pulau Jawa. Lokasi
Pakuan Pajajaran berada di wilayah Bogor, Jawa Barat sekarang.
Pengantar
Hampir secara umum penduduk Bogor mempunyai keyakinan bahwa Kota Bogor
mempunyai hubungan lokatif dengan Kota Pakuan, ibukota Pajajaran. Asal-usul dan
arti Pakuan terdapat dalam berbagai sumber. Di bawah ini adalah hasil
penelusuran dari sumber-sumber tersebut berdasarkan urutan waktu:
1. Naskah Carita Waruga Guru
(1750-an). Dalam naskah berhasa Sunda kuno ini diterangkan bahwa nama Pakuan
Pajajaran didasarkan bahwa di lokasi tersebut banyak terdapat pohon Pakujajar.
2. K.F. Holle (1869). Dalam
tulisan berjudul De Batoe Toelis te Buitenzorg (Batutulis di Bogor), Holle
menyebutkan bahwa di dekat Kota Bogor terdapat kampung bernama Cipaku, beserta
sungai yang memiliki nama yang sama. Di sana banyak ditemukan pohon paku. Jadi
menurut Holle, nama Pakuan ada kaitannya dengan kehadiran Cipaku dan pohon
paku. Pakuan Pajajaran berarti pohon paku yang berjajar ("op rijen staande
pakoe bomen").
3. G.P. Rouffaer (1919) dalam
Encyclopedie van Niederlandsch Indie edisi Stibbe tahun 1919. Pakuan mengandung
pengertian "paku", akan tetapi harus diartikan "paku jagat"
(spijker der wereld) yang melambangkan pribadi raja seperti pada gelar Paku
Buwono dan Paku Alam. "Pakuan" menurut Fouffaer setara dengan "Maharaja".
Kata "Pajajaran" diartikan sebagai "berdiri sejajar" atau
"imbangan" (evenknie). Yang dimaksudkan Rouffaer adalah berdiri
sejajar atau seimbang dengan Majapahit. Sekalipun Rouffaer tidak merangkumkan
arti Pakuan Pajajaran, namun dari uraiannya dapat disimpulkan bahwa Pakuan
Pajajaran menurut pendapatnya berarti "Maharaja yang berdiri sejajar atau
seimbang dengan (Maharaja) Majapahit". Ia sependapat dengan Hoesein
Djajaningrat (1913) bahwa Pakuan Pajajaran didirikan tahun 1433.
4. R. Ng. Poerbatjaraka
(1921). Dalam tulisan De Batoe-Toelis bij Buitenzorg (Batutulis dekat Bogor) ia
menjelaskan bahwa kata "Pakuan" mestinya berasal dari bahasa Jawa
kuno "pakwwan" yang kemudian dieja "pakwan" (satu
"w", ini tertulis pada Prasasti Batutulis). Dalam lidah orang Sunda
kata itu akan diucapkan "pakuan". Kata "pakwan" berarti
kemah atau istana. Jadi, Pakuan Pajajaran, menurut Poerbatjaraka, berarti
"istana yang berjajar"(aanrijen staande hoven).
5. H. Ten Dam (1957). Sebagai
Insinyur Pertanian, Ten Dam ingin meneliti kehidupan sosial-ekonomi petani Jawa
Barat dengan pendekatan awal segi perkembangan sejarah. Dalam tulisannya,
Verkenningen Rondom Padjadjaran (Pengenalan sekitar Pajajaran), pengertian
"Pakuan" ada hubungannya dengan "lingga" (tonggak) batu
yang terpancang di sebelah prasasti Batutulis sebagai tanda kekuasaan. Ia
mengingatkan bahwa dalam Carita Parahyangan disebut-sebut tokoh Sang Haluwesi
dan Sang Susuktunggal yang dianggapnya masih mempunyai pengertian
"paku".
Ia berpendapat bahwa "pakuan" bukanlah nama, melainkan kata
benda umum yang berarti ibukota (hoffstad) yang harus dibedakan dari keraton.
Kata "pajajaran" ditinjaunya berdasarkan keadaan topografi. Ia
merujuk laporan Kapiten Wikler (1690) yang memberitakan bahwa ia melintasi
istana Pakuan di Pajajaran yang terletak antara Sungai Besar dengan Sungai
Tanggerang (disebut juga Ciliwung dan Cisadane). Ten Dam menarik kesimpulan
bahwa nama "Pajajaran" muncul karena untuk beberapa kilometer
Ciliwung dan Cisadane mengalir sejajar. Jadi, Pakuan Pajajaran dalam pengertian
Ten Dam adalah Pakuan di Pajajaran atau "Dayeuh Pajajaran".
Sebutan "Pakuan", "Pajajaran", dan "Pakuan
Pajajaran" dapat ditemukan dalam Prasasti Batutulis (nomor 1 & 2),
sedangkan nomor 3 bisa dijumpai pada Prasasti Kebantenan di [[Bekasi].
Dalam naskah Carita Parahiyangan ada kalimat berbunyi "Sang
Susuktunggal, inyana nu nyieunna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga
Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta
Narayana Madura Suradipati, inyana pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata"
(Sang Susuktunggal, dialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri
Baduga Maharaja Ratu Penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton
Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, yaitu pakuan Sanghiyang Sri Ratu
Dewata).
Sanghiyang Sri Ratu Dewata adalah gelar lain untuk Sri Baduga. Jadi yang
disebut "pakuan" itu adalah "kadaton" yang bernama Sri Bima
dan seterunya. "Pakuan" adalah tempat tinggal untuk raja, biasa
disebut keraton, kedaton atau istana. Jadi tafsiran Poerbatjaraka lah yang
sejalan dengan arti yang dimaksud dalam Carita Parahiyangan, yaitu "istana
yang berjajar". Tafsiran tersebut lebih mendekati lagi bila dilihat nama
istana yang cukup panjang tetapi terdiri atas nama-nama yang berdiri sendiri.
Diperkirakan ada lima (5) bangunan keraton yang masing-masing bernama: Bima,
Punta, Narayana, Madura dan Suradipati. Inilah mungkin yang biasa disebut dalam
peristilahan klasik "panca persada" (lima keraton). Suradipati adalah
nama keraton induk. Hal ini dapat dibandingkan dengan nama-nama keraton lain,
yaitu Surawisesa di Kawali, Surasowan di Banten dan Surakarta di Jayakarta pada
masa silam.
Karena nama yang panjang itulah mungkin orang lebih senang meringkasnya,
Pakuan Pajajaran atau Pakuan atau Pajajaran. Nama keraton dapat meluas menjadi
nama ibukota dan akhirnya menjadi nama negara. Contohnya : Nama keraton
Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang meluas menjadi nama
ibukota dan nama daerah. Ngayogyakarta Hadiningrat dalam bahasa sehari-hari
cukup disebut Yogya.
Pendapat Ten Dam (Pakuan = ibukota ) benar dalam penggunaan, tetapi
salah dari segi semantik. Dalam laporan Tome Pires (1513) disebutkan bahwa
bahwa ibukota kerajaan Sunda itu bernama "Dayo" (dayeuh) dan terletak
di daerah pegunungan, dua hari perjalanan dari pelabuhan Kalapa di muara
Ciliwung. Nama "Dayo" didengarnya dari penduduk atau pembesar
Pelabuhan Kalapa. Jadi jelas, orang Pelabuhan Kalapa menggunakan kata
"dayeuh" (bukan "pakuan") bila bermaksud menyebut ibukota.
Dalam percakapan sehari-hari, digunakan kata "dayeuh", sedangkan
dalam kesusastraan digunakan "pakuan" untuk menyebut ibukota
kerajaan.
Untuk praktisnya, dalam tulisan berikut digunakan "Pakuan"
untuk nama ibukota dan "Pajajaran" untuk nama negara, seperti
kebiasaan masyarakat Jawa Barat sekarang ini.
Lokasi Pakuan
Naskah kuno
Dalam kropak (tulisan pada lontar atau daun nipah) yang diberi nomor 406
di Mueseum Pusat terdapat petunjuk yang mengarah kepada lokasi Pakuan. Kropak
406 sebagian telah diterbitkan khusus dengan nama Carita Parahiyangan. Dalam bagian
yang belum diterbitkan (biasa disebut fragmen K 406) terdapat keterangan
mengenai kisah pendirian keraton Sri Bima, Punta, Narayana Madura Suradipati.
"Di inya urut kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Sri Kadatwan Bima
Punta Narayana Madura Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebolta ku Maharaja
Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah. Disiar ka hulu Cipakancilan. Katimu Bagawat
Sunda Mayajati. Ku Bujangga Sedamanah dibaan ka hareupeun Maharaja Tarusbawa”.
(Di sanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri
Kadatuan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Setelah selesai [dibangun] lalu
diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah. Dicari ke hulu
Cipakancilan. Ditemukanlah Bagawat Sunda Majayati. Oleh Bujangga Sedamanah
dibawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa).
Dari sumber kuno itu dapat diketahui bahwa letak keraton tidak akan
terlalu jauh dari "hulu Cipakancilan". Hulu Cipakancilan terletak
dekat lokasi kampung Lawang Gintung yang sekarang, sebab ke bagian hulu sungai
ini disebut Ciawi. Dari naskah itu pula kita mengetahui bahwa sejak jaman
Pajajaran sungai itu sudah bernama Cipakancilan. Hanyalah juru pantun kemudian
menterjemahkannya menjadi Cipeucang. Dalam bahasa Sunda kuno dan Jawa kuno kata
"kancil" memang berarti "peucang".
Berita-berita VOC
Laporan tertulis pertama mengenai lokasi Pakuan diperoleh dari catatan
perjalan ekspedisi pasukan VOC ("Verenigde Oost Indische
Compagnie"/Perserikatan Kumpeni Hindia Timur) yang oleh bangsa kita lumrah
disebut Kumpeni. Karena Inggris pun memiliki perserikatan yang serupa dengan
nama EIC ("East India Company"), maka VOC sering disebut Kumpeni
Belanda dan EIC disebut Kumpeni Inggris.
Setelah mencapai persetujuan dengan Cirebon (1681), Kumpeni Belanda
menandatangani persetujuan dengan Banten (1684). Dalam persetujuan itu
ditetapkan Cisadane menjadi batas kedua belah pihak.
Laporan Scipio
Dua catatan penting dari ekspedisi Scipio adalah:
• Catatan perjalanan antara
Parung Angsana (Tanah Baru) menuju Cipaku dengan melalui Tajur, kira-kira lokasi
Pabrik "Unitex" sekarang. Catatannya adalah sbb.: "Jalan dan
lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku adalah lahan yang bersih dan di sana
banyak sekali pohon buah-buahan, tampaknya pernah dihuni".
• Lukisan jalan setelah ia
melintasi Ciliwung. Ia mencatat "Melewati dua buah jalan dengan pohon
buah-buahan yang berderet lurus dan 3 buah runtuhan parit". Dari anggota
pasukannya, Scipio memperoleh penerangan bahwa semua itu peninggalan dari Raja
Pajajaran.
Dari perjalanannya disimpulkan bahwa jejak Pajajaran yang masih bisa
memberikan "kesan wajah" kerajaan hanyalah "Situs
Batutulis".
Penemuan Scipio segera dilaporkan oleh Gubernur Jenderal Joanes
Camphuijs kepada atasannya di Belanda. Dalam laporan yang ditulis tanggal 23
Desember 1687, ia memberitakan bahwa menurut kepercayaan penduduk, "dat
hetselve paleijs en specialijck de verheven zitplaets van den getal tijgers
bewaakt ent bewaart wort" (bahwa istana tersebut terutama sekali tempat
duduk yang ditinggikan untuk raja "Jawa" Pajajaran sekarang masih berkabut
dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau).
Rupanya laporan penduduk Parung Angsana ada hubungannya dengan seorang
anggota ekspedisi yang diterkam harimau di dekat Cisadane pada malam tanggal 28
Agustus 1687. Diperkirakan Situs Batutulis pernah menjadi sarang harimau dan
ini telah menumbuhkan khayalan adanya hubungan antara Pajajaran yang sirna
dengan keberadaan harimau.
Laporan Adolf Winkler (1690)
Laporan Scipio menggugah para pimpinan Kumpeni Belanda. Tiga tahun
kemudian dibentuk kembali team ekspedisi dipimpin oleh Kapiten Winkler. Pasukan
Winkler terdiri dari 16 orang kulit putih dan 26 orang Makasar serta seorang
ahli ukur.
Perjalanan ringkas ekspedisi Winkler adalah sebagai berikut :
Seperti Scipio, Winkler bertolak dari Kedung Halang lewat Parung Angsana
(Tanah Baru) lalu ke selatan. Ia melewati jalan besar yang oleh Scipio disebut
"twee lanen". Hal ini tidak bertentangan Scipio. Winkler menyebutkan
jalan tersebut sejajar dengan aliran Ciliwung lalu membentuk siku-siku. Karena
itu ia hanya mencatat satu jalan. Scipio menganggap jalan yang berbelok tajam
ini sebagai dua jalan yang bertemu.
Setelah melewati sungai Jambuluwuk (Cibalok) dan melintasi "parit
Pakuan yang dalam dan berdinding tegak ("de diepe dwarsgragt van
Pakowang") yang tepinya membentang ke arah Ciliwung dan sampai ke jalan
menuju arah tenggara 20 menit setelah arca. Sepuluh menit kemudian (pukul
10.54) sampai di lokasi kampung Tajur Agung (waktu itu sudah tidak ada). Satu
menit kemudian, ia sampai ke pangkal jalan durian yang panjangnya hanya 2 menit
perjalanan dengan berkuda santai.
Bila kembali ke catatan Scipio yang mengatakan bahwa jalan dan lahan
antara Parung Angsana dengan Cipaku itu bersih dan di mana-mana penuh dengan
pohon buah-buhan, maka dapat disimpulkan bahwa kompleks "Unitex" itu
pada jaman Pajajaran merupakan "Kebun Kerajaan". Tajur adalah kata
Sunda kuno yang berarti "tanam, tanaman atau kebun". Tajur Agung sama
artinya dengan "Kebon Gede atau Kebun Raya". Sebagai kebun kerajaan,
Tajur Agung menjadi tempat bercengkerama keluarga kerajaan. Karena itu pula
penggal jalan pada bagian ini ditanami pohon durian pada kedua sisinya.
Dari Tajur Agung Winkler
menuju ke daerah Batutulis menempuh jalan yang kelak (1709) dilalui Van
Riebeeck dari arah berlawanan. Jalan ini menuju ke gerbang kota (lokasi dekat
pabrik paku "Tulus Rejo" sekarang). Di situlah letak Kampung Lawang Gintung
pertama sebelum pindah ke "Sekip" dan kemudian lokasi sekarang
(bernama tetap Lawang Gintung). Jadi gerbang Pakuan pada sisi ini ada pada
penggal jalan di Bantar Peuteuy (depan kompleks perumahan LIPI). Dulu di sana
ada pohon Gintung.
Di Batutulis Winkler menemukan
lantai atau jalan berbatu yang sangat rapi. Menurut penjelasan para
pengantarnya, di situlah letak istana kerajaan ("het conincklijke huijs
soude daerontrent gestaen hebben"). Setelah diukur, lantai itu membentang
ke arah paseban tua. Di sana ditemukan tujuh (7) batang pohon beringin.
Di dekat jalan tersebut
Winkler menemukan sebuah batu besar yang dibentuk secara indah. Jalan berbatu
itu terletak sebelum Winkler tiba di situs Bautulis, dan karena dari batu
bertulis perjalanan dilanjutkan ke tempat arca ("Purwa Galih"), maka
lokasi jalan itu harus terletak di bagian utara tempat batu bertulis
(prasasti). Antara jalan berbatu dengan batu besar yang indah dihubungkan oleh
"Gang Amil". Lahan di bagian utara Gang Amil ini bersambung dengan
Bale Kambang (rumah terapung). Bale kambang ini adalah untuk bercengkrama raja.
Contoh bale kambang yang masih utuh adalah seperti yang terdapat di bekas Pusat
Kerajaan Klungkung di Bali.
Dengan indikasi tersebut, lokasi keraton Pajajaran mesti terletak pada
lahan yang dibatasi Jalan Batutulis (sisi barat), Gang Amil (sisi selatan),
bekas parit yang sekarang dijadikan perumahan (sisi timur) dan "benteng
batu" yang ditemukan Scipio sebelum sampai di tempat prasasti (sisi
utara). Balekambang terletak di sebelah utara (luar) benteng itu. Pohon
beringinnya mestinya berada dekat gerbang Pakuan di lokasi jembatan Bondongan
sekarang.
o Dari Gang Amil, Winkler
memasuki tempat batu bertulis. Ia memberitakan bahwa "Istana Pakuan"
itu dikeliligi oleh dinding dan di dalamnya ada sebuah batu berisi tulisan
sebanyak 8 1/2 baris (Ia menyebut demikian karena baris ke-9 hanya berisi 6
huruf dan sepasang tanda penutup).
Yang penting adalah untuk kedua batu itu Winkler menggunakan kata
"stond" (berdiri). Jadi setelah terlantar selama kira-kira 110 th
(sejak Pajajaran burak, bubar atau hancur, oleh pasukan Banten tahun 1579), batu-batu itu masih berdiri, masih
tetap pada posisi semula.
o Dari tempat prasasti,
Winkler menuju ke tempat arca (umum disebut Purwakalih, 1911 Pleyte masih mencatat
nama Purwa Galih). Di sana terdapat tiga buah patung yang menurut informan
Pleyte adalah patung Purwa Galih, Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung. Nama trio
ini terdapat dalam Babad Pajajaran yang ditulis di Sumedang (1816) pada masa
bupati Pangeran Kornel, kemudian disadur dalam bentuk pupuh 1862. Penyadur
naskah babad mengetahui beberapa ciri bekas pusat kerajaan seperti juga
penduduk Parung Angsana dalam tahun 1687 mengetahui hubungan antara
"Kabuyutan" Batutulis dengan kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi.
Menurut babad ini, "pohon campaka warna" (sekarang tinggal
tunggulnya) terletak tidak jauh dari alun-alun.
Laporan Abraham van Riebeeck (1703, 1704,
1709)
Abraham adalah putera Joan van Riebeeck pendiri Capetown di Afrika
Selatan. Penjelajahannya di daerah Bogor dan sekitarnya dilakukan dalam
kedudukan sebagai pegawai tinggi Kumpeni. Dua kali sebagai Inspektur Jenderal
dan sekali sebagai Gubernur Jenderal. Kunjungan ke Pakuan tahun 1703 disertai
pula oleh istrinya yang digotong dengan tandu.
Rute perjalanan tahun 1703: Benteng - Cililitan - Tanjung - Serengseng -
Pondok Cina - Depok - Pondok Pucug (Citayam) - Bojong Manggis (dekat Bojong
Gede) - Kedung Halang - Parung Angsana (Tanah Baru).
Rute perjalanan tahun 1704: Benteng - Tanah Abang - Karet - Ragunan -
Serengseng - Pondok Cina dan seterusnya sama dengan rute 1703.
Rute perjalanan tahun 1709: Benteng - Tanah Abang - Karet - Serengseng -
Pondok Pucung - Bojong Manggis - Pager Wesi - Kedung Badak - Panaragan.
Berbeda dengan Scipio dan Winkler, van Riebeeck selalu datang dari arah
Empang. Karena itu ia dapat mengetahui bahwa Pakuan terletak pada sebuah
dataran tinggi. Hal ini tidak akan tampak oleh mereka yang memasuki Batutulis
dari arah Tajur. Yang khusus dari laporan Van Riebeeck adalah ia selalu menulis
tentang "de toegang" (jalan masuk) atau "de opgang" (jalan
naik) ke Pakuan.
Beberapa hal yang dapat diungkapkan dari ketiga perjalanan Van Riebeeck
adalah:
Alun-alun Empang ternyata
bekas alun-alun luar pada jaman Pakuan yang dipisahkan dari benteng Pakuan
dengan sebuah parit yang dalam (sekarang parit ini membentang dari Kampung
Lolongok sampai Cipakancilan).
Tanjakan Bondongan yang
sekarang, pada jaman Pakuan merupakan jalan masuk yang sempit dan mendaki
sehingga hanya dapat dilalui seorang penunggang kuda atau dua orang berjalan
kaki.
Tanah rendah di kedua tepi
tanjakan Bondongan dahulu adalah parit-bawah yang terjal dan dasarnya
bersambung kepada kaki benteng Pakuan, d. Jembatan Bondongan yang sekarang,
dahulu merupakan pintu gerbang kota.
Di Belakang benteng Pakuan
pada bagian ini terdapat parit atas yang melingkari pinggir kota Pakuan pada
sisi Cisadane.
Pada kunjungan tahun 1704, di seberang "jalan" sebelah barat
tempat patung "Purwa Galih" ia telah mendirikan pondok peristirahatan
("somerhuijsje") bernama "Batutulis". Nama ini kemudian
melekat menjadi nama tempat di daerah sekitar prasasti tersebut.
Hasil Penelitian
Prasasti Batutulis sudah mulai diteliti sejak tahun 1806 dengan
pembuatan "cetakan tangan" untuk Universitas Leiden (Belanda). Upaya
pembacaan pertama dilakukan oleh Friederich tahun 1853. Sampai tahun 1921 telah
ada empat orang ahli yang meneliti isinya. Akan tetapi, hanya C.M. Pleyte yang
mencurahkan pada lokasi Pakuan, yang lain hanya mendalami isi prasasti itu.
Hasil penelitian Pleyte dipublikasikan tahun 1911 (penelitiannya sendiri
berlangsung tahun 1903). Dalam tulisannya, Het Jaartal op en Batoe-Toelis nabij
Buitenzorg (Angka tahun pada Batutulis di dekat Bogor), Pleyte menjelaskan
"Waar alle legenden, zoowel als de meer geloofwaardige historische berichten,
het huidige dorpje Batoe-Toelis, als plaats waar eenmal Padjadjaran's
koningsburcht stond, aanwijzen, kwam het er aleen nog op aan. Naar eenige
preciseering in deze te trachten".
( Dalam hal legenda-legenda dan berita-berita sejarah yang lebih
dipercayai menunjuk kampung Batutulis yang sekarang sebagai tempat puri
kerajaan Pajajaran, masalah yang timbul tinggalah menelusuri letaknya yang
tepat ).
Sedikit kotradiksi dari Pleyte adalah pertama ia menunjuk kampung
Batutulis sebagai lokasi keraton, akan tetapi kemudian ia meluaskan lingkaran
lokasinya meliputi seluruh wilayah Kelurahan Batutulis yang sekarang. Pleyte
mengidentikkan puri dengan kota kerajaan dan kadatuan Sri Bima Narayana Madura
Suradipati dengan Pakuan sebagai kota.
Babad Pajajaran melukiskan bahwa Pakuan terbagi atas "Dalem
Kitha" (Jero kuta) dan "Jawi Kitha" (Luar kuta). Pengertian yang
tepat adalah "kota dalam" dan "kota luar". Pleyte masih
menemukan benteng tanah di daerah Jero Kuta yang membentang ke arah Sukasari
pada pertemuan Jalan Siliwangi dengan Jalan Batutulis.
Peneliti lain seperti Ten Dam menduga letak keraton di dekat kampung
Lawang Gintung (bekas) Asrama Zeni Angkatan Darat. Suhamir dan Salmun bahkan
menunjuk pada lokasi Istana Bogor yang sekarang. Namun pendapat Suhamir dan
Salmun kurang ditunjang data kepurbakalaan dan sumber sejarah. Dugaannya hanya
didasarkan pada anggapan bahwa "Leuwi Sipatahunan" yang termashur
dalam lakon-lakon lama itu terletak pada alur Ciliwung di dalam Kebun Raya
Bogor. Menurut kisah klasih, "leuwi" (lubuk) itu biasa dipakai
bermandi-mandi para puteri penghuni istana. Lalu ditarik logika bahwa letak
istana tentu tak jauh dari "Leuwi Sipatahunan" itu.
Pantun Bogor mengarah pada lokasi bekas Asrama Resimen
"Cakrabirawa" (Kesatrian) dekat perbatasan kota. Daerah itu dikatakan
bekas Tamansari kerajaan bernama "Mila Kencana". Namun hal ini juga
kurang ditunjang sumber sejarah yang lebih tua. Selain itu, lokasinya terlalu
berdekatan dengan kuta yang kondisi topografinya merupakan titik paling lemah
untuk pertahanan Kota Pakuan. Kota Pakuan dikelilingi oleh benteng alam berupa
tebing-tebing sungai yang terjal di ketiga sisinya. Hanya bagian tenggara batas
kota tersebut berlahan datar. Pada bagian ini pula ditemukan sisa benteng kota
yang paling besar. Penduduk Lawang Gintung yang diwawancara Pleyte menyebut
sisa benteng ini "Kuta Maneuh".
Sebenarnya hampir semua peneliti berpedoman pada laporan Kapiten Winkler
(kunjungan ke Batutulis 14 Juni 1690). Kunci laporan Winkler tidak pada sebuah
"hoff" (istana) yang digunakan untuk situs prasasti, melainkan pada
kata "paseban" dengan tujuh (7) batang beringin pada lokasi Gang
Amil. Sebelum diperbaiki, Gang Amil ini memang bernuansa kuno dan pada
pinggir-pinggirnya banyak ditemukan batu-batu bekas "balay" yang
lama.
Panelitian lanjutan membuktian bahwa benteng Kota Pakuan meliputi daerah
Lawang Saketeng yang pernah dipertanyakan Pleyte. Menurut Coolsma, Lawang
Saketeng berarti "porte brisee, bewaakte in-en uitgang" (pintu
gerbang lipat yang dijaga dalam dan luarnya). Kampung Lawang Saketeng tidak
terletak tepat pada bekas lokasi gerbang.
Benteng pada tempat ini terletak pada tepi Kampung Cincaw yang menurun
terjal ke ujung lembah Cipakancilan, kemudian bersambung dengan tebing Gang
Beton di sebelah Bioskop Rangga Gading. Setelah menyilang Jalan Suryakencana,
membelok ke tenggara sejajar dengan jalan tersebut. Deretan pertokoan antara
Jalan Suryakencana dengan Jalan Roda di bagian in sampai ke Gardu Tinggi,
sebenarnya didirikan pada bekas pondasi benteng.
Selanjutnya benteng tersebut mengikuti puncak lembah Ciliwung. Deretan
kios dekat simpangan Jalan Siliwangi - Jalan Batutulis juga didirikan pada
bekas fondasi benteng. Di bagian ini benteng tersebut bertemu dengan benteng
Kota Dalam yang membentang sampai ke Jero Kuta Wetan dan Dereded. Benteng luar
berlanjut sepanjang puncak lereng Ciliwung melewati kompleks perkantoran PAM,
lalu menyilang Jalan Raya Pajajaran, pada perbatasan kota, membelok lurus ke
barat daya menembus Jalan Siliwangi (di sini dahulu terdapat gerbang), terus memanjang
sampai Kampung Lawang Gintung.
Di Kampung Lawang Gintung, benteng ini bersambung dengan "benteng
alam" yaitu puncak tebing Cipaku yang curam sampai di lokasi Stasiun
Kereta Api Batutulis. Dari sini, batas Kota Pakuan membentang sepanjang jalur
rel kereta api sampai di tebing Cipakancilan setelah melewati lokasi Jembatan
Bondongan. Tebing Cipakancilan memisahkan "ujung benteng" dengan
"benteng" pada tebing Kampung Cincaw.
Pemerintahan di Pakuan Pajajaran
Kejatuhan Prabu Kertabumi (Brawijaya V) Raja Majapahit tahun 1478 telah
mempengaruhi jalan sejarah di Jawa Barat. Rombongan pengungsi dari kerabat
keraton Majapahit akhirnya ada juga yang sampai di Kawali. Salah seorang
diantaranya ialah Raden Baribin saudara seayah Prabu Kertabumi. Ia diterima dengan
baik oleh Prabu Dewa Niskala bahkan kemudian dijodohkan dengan Ratna Ayu Kirana
(puteri bungsu Dewa Niskala dari salah seorang isterinya), adik Raden Banyak
Cakra (Kamandaka) yang telah jadi raja daerah di Pasir Luhur. Disamping itu
Dewa Niskala sendiri menikahi salah seorang dari wanita pengungsi yang
kebetulan telah bertunangan.
Dalam Carita Parahiyangan disebutkan "estri larangan ti
kaluaran". Sejak peristiwa Bubat, kerabat keraton Kawali ditabukan
berjodoh dengan kerabat keraton Majapahit. Selain itu, menurut
"perundang-undangan" waktu itu, seorang wanita yang bertunangan tidak
boleh menikah dengan laki-laki lain kecuali bila tunangannya meninggal dunia
atau membatalkan pertunangan.
Dengan demikian, Dewa Niskala telah melanggar dua peraturan sekaligus dan
dianggap berdosa besar sebagai raja. Kehebohan pun tak terelakkan. Susuktunggal
(Raja Sunda yang juga besan Dewa Niskala) mengancam memutuskan hubungan dengan
Kawali. Namun, kericuhan dapat dicegah dengan keputusan, bahwa kedua raja yang
berselisih itu bersama-sama mengundurkan diri. Akhirnya Prabu Dewa Niskala
menyerahkan Tahta Kerajaan Galuh kepada puteranya Jayadewata. Demikian pula
dengan Prabu Susuktungal yang menyerahkan Tahta Kerajaan Sunda kepada
menantunya ini (Jayadewata).
Dengan peristiwa yang terjadi tahun 1482 itu, kerajaan warisan Wastu
Kencana berada kembali dalam satu tangan. Jayadewata memutuskan untuk
berkedudukan di Pakuan sebagai "Susuhunan" karena ia telah lama
tinggal di sini menjalankan pemerintahan sehari-hari mewakili mertuanya. Sekali
lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan.
Masa akhir kerajaan Sunda di Pakuan Pajajaran berlangsung selama 97
tahun, yang secara berturut-turut dipimpin oleh
1. Sri Baduga Maharaja (1482
- 1521)
2. Surawisesa (1521 - 1535)
3. Ratu Dewata (1535 - 1534)
4. Ratu Sakti (1543 - 1551)
5. Ratu Nilakendra (1551 -
1567)
6. Raga Mulya (1567 - 1579)
1). Sri Baduga Maharaja
Zaman Pajajaran diawali oleh pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Ratu
Jayadewata) yang memerintah selama 39 tahun (1482-1521). Pada masa inilah
Pakuan mencapai puncak perkembangannya.
Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua
kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima Tahta Galuh dari ayahnya
(Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewapranata. Yang kedua
ketika ia menerima Tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya, Susuktunggal. Dengan
peristiwa ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan dinobatkan dengar gelar Sri
Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Jadi sekali
lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah "sepi" selama 149 tahun,
Jawa Barat kembali menyaksikan iring-iringan rombongan raja yang berpindah
tempat dari timur ke barat. Untuk menuliskan situasi kepindahan keluarga
kerajaan dapat dilihat pada Pindahnya Ratu Pajajaran
Di Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi.
Nama Siliwangi sudah tercatat dalam kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu
ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam
berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa
itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama
besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan
para pujangga Sunda).
Menurut tradisi lama. orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja
yang sesungguhnya, maka juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan
nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan
bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis:
"Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira
wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran
swaraga nira".
(Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang
menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya).
Waktu mudanya Sri Baduga terkenal sebagai kesatria pemberani dan tangkas
bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu
bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama
Islam). Dalam berbagai hal, orang sejamannya teringat kepada kebesaran mendiang
buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu
Wangi.
Tentang hal itu, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan
bahwa orang Sunda menganggap Sri Baduga sebagai pengganti Prabu Wangi, sebagai
silih yang telah hilang. Naskahnya berisi sebagai berikut (artinya saja):
"Di medan perang Bubat ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu
Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya
diperintah dan dijajah orang lain.
Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang
Patih Gajah Mada yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama
semua pengiringnya gugur tidak tersisa.
Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya
di seluruh bumi Jawa Barat. Kemashurannya sampai kepada beberapa negara di
pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang lain. Kemashuran Sang Prabu
Maharaja membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan,
angkatan perang dan rakyat Jawa Barat. Oleh karena itu nama Prabu Maharaja
mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut
dengan nama Prabu Siliwangi. Demikianlah menurut penuturan orang Sunda".
Kesenjangan antara pendapat orang Sunda dengan kenyataan sejarah seperti
yang diungkapkan di atas mudah dijajagi. Pangeran Wangsakerta, penanggung jawab
penyusunan Sejarah Nusantara, menganggap bahwa tokoh Prabu Wangi adalah
Maharaja Linggabuana yang gugur di Bubat, sedangkan penggantinya
("silih"nya) bukan Sri Baduga melainkan Wastu Kancana (kakek Sri
Baduga, yang menurut naskah Wastu Kancana disebut juga Prabu Wangisutah).
Nah, orang Sunda tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga menganggap
Prabu Siliwangi sebagai putera Wastu Kancana (Prabu Anggalarang). Tetapi dalam
Carita Parahiyangan disebutkan bahwa Niskala Wastu Kancana itu adalah
"seuweu" Prabu Wangi. Mengapa Dewa Niskala (ayah Sri Baduga) dilewat?
Ini disebabkan Dewa Niskala hanya menjadi penguasa Galuh. Dalam hubungan ini
tokoh Sri Baduga memang penerus "langsung" dari Wastu Kancana.
Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara II/4, ayah dan mertua Sri Baduga
(Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar PRABU, sedangkan Jayadewata
bergelar Maharaja (sama seperti kakeknya Wastu Kancana sebagai penguasa
Sunda-Galuh).
Dengan demikian, seperti diutarakan Amir Sutaarga (1965), Sri Baduga itu
dianggap sebagai "silih" (pengganti) Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh
Pangeran Wangsakerta disebut Prabu Wangisutah). "Silih" dalam
pengertian kekuasaan ini oleh para pujangga babad yang kemudian ditanggapi
sebagai pergantian generasi langsung dari ayah kepada anak sehingga Prabu
Siliwangi dianggap putera Wastu Kancana.
Keterangan tentang bubat yang dimuat harian Suara Merdeka adalah sebagai
berikut:
" Perang antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda itu terjadi
di desa Bubat. Perang ini dipicu oleh ambisi Maha Patih Gajah Mada yang ingin
menguasai Kerajaan Sunda. Pada saat itu sebenarnya antara Kerajaan Sunda dan
Majapahit sedang dibangun ikatan persaudaraan, yaitu dengan menjodohkan Dyah
Pitaloka dengan Maharaja Hayamwuruk. Nah Rombongan Kerajaan Sunda ini di gempur
oleh pasukan Mahapatih Gajah Mada yang menyebabkan semua pasukan Kerajaan Sunda
yang ikut rombongan punah. Akibat perang Bubat inipula, maka hubungan antara
Mahapatih Gajah Mada dan Maharaja Hayamwuruk menjadi renggang ".
Ada sebuah pustaka yang bisa dijadikan rujukan, Guguritan Sunda, yang
Mengisahkan gejolak sosial dan pecahnya perang di Desa Bubat antara Kerajaan
Majapahit dengan Kerajaan Sunda dan gugurnya Mahapatih Gajah Mada secara
misterius. Alih bahasa oleh I Wayan Sutedja (sepertinya pustaka aslinya ditulis
dalam Bahasa Bali, 1995. disimpan di Universitas Ohio.
Kebijakan Sri Baduga dan Kehidupan Sosial
Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan
jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang
disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi
mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti
peninggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya saja):
Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana.
Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang
di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda
Sembawa.
Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan
"dasa", "calagra", "kapas timbang", dan
"pare dongdang".
Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea.
Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada
ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa.
Dengan tegas di sini disebut "dayeuhan" (ibukota) di Jayagiri
dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak,
yaitu "dasa" (pajak tenaga perorangan), "calagra" (pajak
tenaga kolektif), "kapas timbang" (kapas 10 pikul) dan "pare
dondang" (padi 1 gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah
dasa, calagra, "upeti", "panggeureus reuma".
Dalam koropak 406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang
Bungbulang, Garut) harus membawa "kapas sapuluh carangka" (10
carangka = 10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai
upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada
rakyat secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat.
"Pare dondang" disebut "panggeres reuma". Panggeres
adalah hasil lebih atau hasil cuma-cuma tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang.
Jadi, padi yang tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen dan
kemudian ditinggalkan karena petani membuka ladang baru, menjadi hak raja atau
penguasa setempat (tohaan). Dongdang adalah alat pikul seperti "tempat
tidur" persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang untuk
memasukan pikulan. Dondang harus selalu digotong. Karena bertali atau
bertangkai, waktu digotong selalu berayun sehingga disebut "dondang"
(berayun). Dondang pun khusus dipakai untuk membawa barang antaran pada selamatan
atau arak-arakan. Oleh karena itu, "pare dongdang" atau
"penggeres reuma" ini lebih bersifat barang antaran.
Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk
"dasa" dan "calagra" (Di Majapahit disebut "walaghara
= pasukan kerja bakti). Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan
raja diantaranya : menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis),
bekerja di ladang atau di "serang ageung" (ladang kerajaan yang hasil
padinya di peruntukkan bagi upacara resmi).
Dalam kropak 630 disebutkan "wwang tani bakti di wado" (petani
tunduk kepada wado). Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin
calagara. Sistem dasa dan calagara ini terus berlanjut setelah jaman kerajaan.
Belanda yang di negaranya tidak mengenal sistem semacam ini memanfaatkanna
untuk "rodi". Bentuk dasa diubah menjadi "Heerendiensten"
(bekerja di tanah milik penguasa atau pembesar). Calagara diubah menjadi
"Algemeenediensten" (dinas umum) atau "Campongdiesnten"
(dinas Kampung) yang menyangkut kepentingan umum, seperti pemeliharaan saluran
air, jalan, rumah jada dan keamanan. Jenis pertama dilakukan tanpa imbalan
apa-apa, sedangkan jenis kedua dilakuan dengan imbalan dan makan.
"Preangerstelsel" dan "Cultuurstelsel" yang keduanya berupa
sistem tanam paksa memanfaatkan tradisi pajak tenaga ini.
Dalam akhir abad ke-19 bentuknya berubah menjadi "lakon gawe"
dan berlaku untuk tingkat desa. Karena bersifat pajak, ada sangsi untuk mereka
yang melalaikannya. Dari sinilah orang Sunda mempunyai peribahasa "puraga
tamba kadengda" (bekerja sekedar untuk menghindari hukuman atau dendaan).
Bentuk dasa pada dasarnya tetap berlangsung. Di desa ada kewajiban
"gebagan" yaitu bekerja di sawah bengkok dan ti tingkat kabupaten
bekerja untuk menggarap tanah para pembesar setempat.
Jadi "gotong royong tradisional berupa bekerja untuk kepentingan
umum atas perintah kepala desa", menurut sejarahnya bukanlah gotong
royong. Memang tradisional, tetapi ide dasarnya adalah pajak dalam bentuk
tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa disebut karyabhakti dan sudah dikenal pada masa
Tarumanagara dalam abad ke-5.
Piagam-piagam Sri Baduga lainnya berupa "piteket" karena
langsung merupakan perintahnya. Isinya tidak hanya pembebasan pajak tetapi juga
penetapan batas-batas "kabuyutan" di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya
yang dinyatakan sebagai "lurah kwikuan" yang disebut juga desa
perdikan, desa bebas pajak.
Peristiwa-peristiwa di masa pemerintahannya
Beberapa peristiwa menurut sumber-sumber sejarah:
Carita Parahiyangan
Dalam sumber sejarah ini, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian :
" Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh
alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja
lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa ".
( Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan
musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara,
barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak
yang serakah akan ajaran agama ).
Dari Naskah ini dapat diketahui, bahwa pada saat itu telah banyak Rakyat
Pajajaran yang beralih agama (Islam) dengan meninggalkan agama lama.
Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2.
Naskah ini menceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan
Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat menghentikan pengiriman upeti yang
seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran. [Syarif Hidayat masih cucu
Sri Baduga dari Lara Santang. Ia dijadikan raja oleh uanya (Pangeran
Cakrabuana) dan menjadi raja merdeka di Pajajaran di Bumi Sunda (Jawa Barat)]
Ketika itu Sri Baduga baru saja menempati istana Sang Bhima (sebelumnya
di Surawisesa). Kemudian diberitakan, bahwa pasukan Angkatan Laut Demak yang
kuat berada di Pelabuhan Cirebon untuk menjada kemungkinan datangnya serangan
Pajajaran.
Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya yang dikirimkan dari
Pakuan ke Cirebon, tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di sana. Jagabaya
tak berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat
besar. Setelah berunding, akhirnya Jagabaya menghamba dan masuk Islam.
Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera
disiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan itu dapat
dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi) keraton Ki Purwa Galih. [Cirebon
adalah daerah warisan Cakrabuana (Walangsungsang) dari mertuanya (Ki Danusela)
dan daerah sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng Tapa (Ayah
Subanglarang).
Cakrabuana sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga (sebelum menjadi
Susuhunan) sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Karena Syarif
Hidayat dinobatkan oleh Cakrabuana dan juga masih cucu Sri Baduga, maka alasan
pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh penguasa Pajajaran].
Demikianlah situasi yang dihadapi Sri Baduga pada awal masa
pemerintahannya. Dapat dimaklumi kenapa ia mencurahkan perhatian kepada
pembinaan agama, pembuatan parit pertahanan, memperkuat angkatan perang,
membuat jalan dan menyusun PAGELARAN (formasi tempur). [Pajajaran adalah negara
yang kuat di darat, tetapi lemah di laut.
Menurut sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki
kira-kira 100.000 prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40
ekor. Di laut, Pajajaran hanya memiliki enam buah Kapal Jung 150 ton dan
beberaa lankaras (?) untuk kepentingan perdagangan antar-pulaunya (saat itu
perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun)].
Keadaan makin tegang ketika hubungan Demak-Cirebon makin dikukuhkan
dengan perkawinan putera-puteri dari kedua belah pihak.
Ada empat pasangan yang dijodohkan, yaitu :
1. Pangeran Hasanudin dengan
Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi).
2. Ratu Ayu dengan Pangeran
Sabrang Lor.
3. Pangeran Jayakelana dengan
Ratu Pembayun.
4. Pangeran Bratakelana
dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa).
Perkawinan Pangeran Sabrang Lor alias Yunus Abdul Kadir dengan Ratu Ayu
terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan
Demak, Sabrang Lor untuk sementara berada di Cirebon.
Persekutuan Cirebon-Demak inilah yang sangat mencemaskan Sri Baduga di
Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota Surawisesa menghubungi Panglima
Portugis Alfonso d'Albuquerque di Malaka (ketika itu baru saja gagal merebut
Pelabuhan Pasai atau Samudra Pasai). Sebaliknya upaya Pajajaran ini telah pula
meresahkan pihak Demak.
Pangeran Cakrabuana dan Susuhunan Jati (Syarif Hidayat) tetap
menghormati Sri Baduga karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh karena
itu permusuhan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah
ketegangan yang melumpuhkan sektor-sektor pemerintahan. Sri Baduga hanya tidak
senang hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab, bukan terhadap Kerajaan
Cirebon. Terhadap Islam, ia sendiri tidak membencinya karena salah seorang
permaisurinya, Subanglarang, adalah seorang muslimah dan ketiga anaknya --
Walangsungsang alias Cakrabuana, Lara Santang, dan Raja Sangara -- diizinkan
sejak kecil mengikuti agama ibunya (Islam).
Karena permusuhan tidak berlanjut ke arah pertumpahan darah, maka masing
masing pihak dapat mengembangkan keadaan dalam negerinya. Demikianlah pemerintahan
Sri Baduga dilukiskan sebagai jaman kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome
Pires ikut mencatat kemajuan jaman Sri Baduga dengan komentar "The Kingdom
of Sunda is justly governed; they are true men" (Kerajaan Sunda diperintah
dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur).
Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke
kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar
= 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk
mengisi muatan 1000 kapal.
Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah karuhun
Kabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa Jawa dan huruf
Arab-pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa gemuh
Pakuan (kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila hanya Sri Baduga yang
kemudian diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya dalam jaman Pajajaran.
Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi yang dalam Prasasti Tembaga
Kebantenan disebut Susuhuna di Pakuan Pajajaran, memerintah selama 39 tahun
(1482 - 1521). Ia disebut secara anumerta Sang Lumahing (Sang Mokteng)
Rancamaya karena ia dipusarakan di Rancamaya.
Didahului oleh
Kerajaan Galuh
Prabu Dewa Niskala
Kerajaan Sunda
Prabu Susuktunggal Pajajaran
Dilanjutkan:
Surawisesa
2). Surawisesa
Pengganti Sri Baduga Maharaja adalah Surawisesa (puteranya dari Mayang
Sunda dan juga cucu Prabu Susuktunggal). Ia dipuji oleh Carita Parahiyangan
dengan sebutan "kasuran" (perwira), "kadiran" (perkasa) dan
"kuwanen" (pemberani). Selama 14 tahun memerintah ia melakukan 15
kali pertempuran. Pujian penulis Carita Parahiyangan memang berkaitan dengan
hal ini.
Nagara Kretabhumi I/2 dan sumber Portugis mengisahkan bahwa Surawisesa
pernah diutus ayahnya menghubungi Alfonso d'Albuquerque (Laksamana Bungker) di
Malaka. Ia pergi ke Malaka dua kali (1512 dan 1521). Hasil kunjungan pertama
adalah kunjungan penjajakan pihak Portugis pada tahun 1513 yang diikuti oleh
Tome Pires, sedangkan hasil kunjungan yang kedua adalah kedatangan utusan Portugis
yang dipimpin oleh Hendrik de Leme (ipar Alfonso) ke Ibukota Pakuan. Dalam
kunjungan itu disepakati persetujuan antara Pajajaran dan Portugis mengenai
perdagangan dan keamanan.
Dari perjanjian ini dibuat tulisan rangkap dua, lalu masing-masing pihak
memegang satu) Menurut Soekanto (1956) perjanjian itu ditandatangai 21 Agustus
1522. Ten Dam menganggap bahwa perjanjian itu hanya lisan. Namun, sumber
Portugis yang kemudian dikutip Hageman menyebutkan "Van deze overeenkomst
werd een geschrift opgemaakt in dubbel, waarvan elke partij een behield".
Dalam perjanjian itu disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng
di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi
muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang keperluan yang diminta oleh
pihak Sunda. Kemudian pada saat benteng mulai dibangun, pihak Sunda akan
menyerahkan 1000 karung lada tiap tahun untuk ditukarkan dengan muatan sebanyak
dua "costumodos" (kurang lebih 351 kuintal).
Perjanjian Pajajaran - Portugis sangat mencemaskan Sultan Trenggana,
Sultan Demak III. Selat Malaka, pintu masuk perairan Nusantara sebelah utara
sudah dikuasai Portugis yang berkedudukan di Malaka dan Samudra Pasai. Bila
Selat Sunda yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara di selatan juga
dikuasai Portugis, maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan
ekonomi Demak terancam putus. Trenggana segera mengirim armadanya di bawah
pimpinan Fadillah Khan yang menjadi Senapati Demak.
Fadillah Khan memperistri Ratu Pembayun, janda Pangeran Jayakelana.
Kemudian ia pun menikah dengan Ratu Ayu, janda Sabrang Lor (Sultan Demak II).
Dengan demikian, Fadillah menjadi menantu Raden Patah sekaligus menantu
Susuhunan Jati Cirebon. Dari segi kekerabatan, Fadillah masih terhitung
keponakan Susuhunan Jati karena buyutnya Barkta Zainal Abidin adalah adik Nurul
Amin, kakek Susuhunan Jati dari pihak ayah. Selain itu Fadillah masih terhitung
cucu Sunan Ampel (Ali Rakhmatullah) sebab buyutnya adalah kakak Ibrahim Zainal
Akbar ayah Sunan Ampel. Sunan Ampel sendiri adalah mertua Raden Patah (Sultan
Demak I).
Barros menyebut Fadillah dengan Faletehan. Ini barangkali lafal orang
Portugis untuk Fadillah Khan. Tome Pinto menyebutnya Tagaril untuk Ki Fadil
(julukan Fadillah Khan sehari-hari).
Kretabhumi I/2 menyebutkan, bahwa makam Fadillah Khan (disebut juga Wong
Agung Pase) terletak di puncak Gunung Sembung berdampingan (di sebelah
timurnya) dengan makam Susushunan Jati. Hoesein Djajaningrat (1913) menganggap
Fadillah identik dengan Susuhunan Jati. Nama Fadillah sendiri baru muncul dalam
buku Sejarah Indonesia susunan Sanusi Pane (1950). Carita Parahiyangan menyebut
Fadillah dengan Arya Burah]
Pasukan Fadillah yang merupakan gabungan pasukan Demak-Cirebon berjumlah
1967 orang. Sasaran pertama adalah Banten, pintu masuk Selat Sunda. Kedatangan
pasukan ini telah didahului dengan huru-hara di Banten yang ditimbulkan oleh
Pangeran Hasanudin dan para pengikutnya. Kedatangan pasukan Fadillah menyebabkan
pasukan Banten terdesak. Bupati Banten beserta keluarga dan pembesar keratonnya
mengungsi ke Ibukota Pakuan.
Hasanudin kemudian diangkat oleh ayahnya (Susuhunan Jati), menjadi
Bupati Banten (1526). Setahun kemudian, Fadillah bersama 1452 orang pasukannya
menyerang dan merebut pelabuhan Kalapa. Bupati Kalapa bersama keluarga dan para
menteri kerajaan yang bertugas di pelabuhan gugur. Pasukan bantuan dari Pakuan
pun dapat dipukul mundur. Keunggulan pasukan Fadillah terletak pada penggunaan
meriam yang justru tidak dimiliki oleh laskar Pajajaran.
Bantuan Portugis datang terlambat karena Francisco de Sa yang ditugasi
membangun benteng diangkat menjadi Gubernur Goa di India. Keberangkatan ke
Sunda dipersiapkan dari Goa dengan 6 buah kapal. Galiun yang dinaiki De Sa dan
berisi peralatan untuk membangun benteng terpaksa ditinggalkan karena armada
ini diterpa badai di Teluk Benggala. De Sa tiba di Malaka tahun 1527.
Ekspedsi ke Sunda bertolak dari Malaka. Mula-mula menuju Banten, akan
tetapi karena Banten sudah dikuasai Hasanudin, perjalanan dilanjutkan ke
Pelabuhan Kalapa. Di Muara Cisadane, De Sa memancangkan padrao pada tanggal 30
Juni 1527 dan memberikan nama kepada Cisadane "Rio de Sa Jorge".
Kemudian galiun De sa memisahkan diri. Hanya kapal brigantin (dipimpin Duarte
Coelho) yang langsung ke Pelabuhan Kalapa.
Coelho terlambat mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu
dekat ke pantai dan menjadi mangsa sergapan pasukan Fadillah. Dengan kerusakan
yang berat dan korban yang banyak, kapal Portugis ini berhasil meloloskan diri
ke Pasai. Tahun 1529 Portugis menyiapkan 8 buah kapal untuk melakukan serangan
balasan, akan tetapi karena peristiwa 1527 yang menimpa pasukan Coelho demikian
menakutkan, maka tujuan armada lalu di ubah menuju Pedu.
Setelah Sri Baduga wafat, Pajajaran dengan Cirebon berada pada generasi
yang sejajar. Meskipun yang berkuasa di Cirebon Syarif Hidayat, tetapi
dibelakangnya berdiri Pangeran Cakrabuana (Walasungsang atau bernama pula Haji
Abdullah Iman). Cakrabuana adalah kakak seayah Prabu Surawisesa. Dengan
demikian, keengganan Cirebon menjamah pelabuhan atau wilayah lain di Pajajaran
menjadi hilang.
Meskipun, Cirebon sendiri sebenarnya relatif lemah. Akan tetapi berkat
dukungan Demak, kedudukannya menjadi mantap. Setelah kedudukan Demak goyah
akibat kegagalan serbuannya ke Pasuruan dan Panarukan (bahkan Sultan Trenggana
tebunuh), kemudian disusul dengan perang perebutan tahta, maka Cirebon pun
turut menjadi goyah pula. Hal inilah yang menyebabkan kedudukan Cirebon
terdesak dan bahkan terlampaui oleh Banten di kemudian hari.
Perang Cirebon - Pajajaran berlangsung 5 tahun lamanya. Yang satu tidak
berani naik ke darat, yang satunya lagi tak berani turun ke laut. Cirebon dan
Demak hanya berhasil menguasai kota-kota pelabuhan. Hanya di bagian timur
pasukan Cirebon bergerak lebih jauh ke selatan. Pertempuran dengan Galuh
terjadi tahun 1528. Di sini pun terlihat peran Demak karena kemenangan Cirebon
terjadi berkat bantuan Pasukan meriam Demak tepat pada saat pasukan Cirebon
terdesak mundur. Laskar Galuh tidak berdaya menghadapi "panah besi yang
besar yang menyemburkan kukus ireng dan bersuara seperti guntur serta
memuntahkan logam panas". Tombak dan anak panah mereka lumpuh karena
meriam. Maka jatuhlah Galuh. Dua tahun kemudian jatuh pula Kerajaan Talaga,
benteng terakhir Kerajaan Galuh.
Sumedang masuk ke dalam lingkaran pengaruh Cirebon dengan dinobatkannya
Pangeran Santri menjadi Bupati Sumedang pada tanggal 21 Oktober 1530. Pangeran
Santri adalah cucu Pangeran Panjunan, kakak ipar Syarif Hidayat. Buyut Pangeran
Santri adalah Syekh Datuk Kahfi pendiri pesantren pertama di Cirebon. Ia
menjadi bupati karena pernikahannya dengan Satyasih, Pucuk Umum (Unun?)
Sumedang. Secara tidak resmi Sumedang menjadi daerah Cirebon.
Dengan kedudukan yang mantap di timur Citarum, Cirebon merasa
kedudukannya mapan. Selain itu, karena gerakan ke Pakuan selalu dapat dibendung
oleh pasukan Surawisesa, maka kedua pihak mengambil jalan terbaik dengan
berdamai dan mengakui kedudukan masing-masing. Tahun 1531 tercapai perdamaian
antara Surawisesa dan Syarif Hidayat. Masing-masing pihak berdiri sebagai
negara merdeka. Di pihak Cirebon, ikut menandatangani naskah perjanjian,
Pangeran Pasarean (Putera Mahkota Cirebon), Fadillah Khan dan Hasanudin (Bupati
banten).
Perjanjian damai dengan Cirebon memberikan peluang kepada Surawisesa
untuk mengurus dalam negerinya. Setelah berhasil memadamkan beberapa
pemberontakkan, ia berkesempatan menerawang situasi dirinya dan kerajaannya.
Warisan dari ayahnya hanya tinggal setengahnya, itupun tanpa pelabuhan pantai
utara yang pernah memperkaya Pajajaran dengan lautnya. Dengan dukungan 1000
orang pasukan belamati yang setia kepadanyalah, ia masih mampu mempertahankan
daerah inti kerajaannya.
Dalam suasana seperti itulah ia mengenang kebesaran ayahandanya.
Perjanjian damai dengan Cirebon memberi kesempatan kepadanya untuk menunjukkan
rasa hormat terhadap mendiang ayahnya. Mungkin juga sekaligus menunjukkan
penyesalannya karena ia tidak mampu mempertahankan keutuhan wilayah Pakuan
Pajajaran yang diamanatkan kepadanya.
Dalam tahun 1533, tepat 12 tahun setelah ayahnya wafat, ia membuat
sasakala (tanda peringatan) buat ayahnya. Ditampilkannya di situ karya-karya
besar yang telah dilakukan oleh Susuhunan Pajajaran. Itulah Prasasati Batutulis
yang diletakkannya di Kabuyutan tempat tanda kekuasaan Sri Baduga yang berupa
lingga batu ditanamkan. Penempatannya sedemikian rupa sehingga kedudukan antara
anak dengan ayah amat mudah terlihat. Si anak ingin agar apa yang dipujikan
tentang ayahnya dengan mudah dapat diketahui (dibaca) orang. Ia sendiri tidak
berani berdiri sejajar dengan si ayah. Demikianlah, Batutulis itu diletakkan
agak ke belakang di samping kiri Lingga Batu.
Surawisesa tidak menampilkan namanya dalam prasasti. Ia hanya meletakkan
dua buah batu di depan prasasti itu. Satu berisi astatala ukiran jejak tangan,
yang lainnya berisi padatala ukiran jejak kaki. Mungkin pemasangan batutulis
itu bertepatan dengan upacara srada yaitu "penyempurnaan sukma" yang
dilakukan setelah 12 tahun seorang raja wafat. Dengan upacara itu, sukma orang
yang meninggal dianggap telah lepas hubungannya dengan dunia materi.
Surawisesa dalam kisah tradisional lebih dikenal dengan sebutan Guru
Gantangan atau Munding Laya Dikusuma. Permaisurinya, Kinawati, berasal dari
Kerajaan Tanjung Barat yang terletak di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan,
sekarang. Kinawati adalah puteri Mental Buana, cicit Munding Kawati yang
kesemuanya penguasa di Tanjung Barat.
Baik Pakuan maupun Tanjung Barat terletak di tepi Ciliwung. Diantara dua
kerajaan ini terletak kerajaan kecil Muara Beres di Desa Karadenan (dahulu
Kawung Pandak). Di Muara Beres in bertemu silang jalan dari Pakuan ke Tanjung
Barat terus ke Pelabuhan Kalapa dengan jalan dari Banten ke daerah Karawang dan
Cianjur. Kota pelabuhan sungai ini jaman dahulu merupakan titik silang. Menurut
Catatan VOC tempat ini terletak 11/2 perjalanan dari Muara Ciliwung dan disebut
jalan Banten lama (oude Bantamsche weg)].
Surawisesa memerintah selama 14 tahun lamanya. Dua tahun setelah ia
membuat prasasti sebagai sasakala untuk ayahnya, ia wafat dan dipusarakan di
Padaren. Di antara raja-raja jaman Pajajaran, hanya dia dan ayahnya yang
menjadi bahan kisah tradisional, baik babad maupun pantun. Babad Pajajaran atau
Babad Pakuan, misalnya, semata mengisahkan "petualangan" Surawisesa
(Guru Gantangan) dengan sebuah cerita Panji.
Didahului oleh
Sri Baduga Maharaja
Pajajaran
Dilanjutkan:
Ratu Dewata
3). Ratu Dewata
Surawisesa digantikan oleh puteranya, Ratu Dewata. Berbeda dengan
Surawisesa yang dikenal sebagai panglima perang yang perwira, perkasa dan
pemberani, Ratu Dewata sangat alim dan taat kepada agama. Ia melakukan upacara
sunatan (adat khitan pra-Islam) dan melakukan tapa pwah-susu, hanya makan
buah-buahan dan minum susu. Menurut istilah sekarang vegetarian.
Resminya perjanjian perdamaian Pajajaran-Cirebon masih berlaku. Tetapi
Ratu Dewata lupa bahwa sebagai tunggul negara ia harus tetap bersiaga. Ia
kurang mengenal seluk-beluk politik.
Hasanudin dari Banten sebenarnya ikut menandatangani perjanjian
perdamaian Pajajaran-Cirebon, akan tetapi itu dia lakukan hanya karena
kepatuhannya kepada siasat ayahnya (Susuhunan Jati) yang melihat kepentingan
Wilayah Cirebon di sebelah timur Citarum. Secara pribadi Hasanudin kurang
setuju dengan perjanjian itu karena wilayah kekuasaannya berbatasan langsung
dengan Pajajaran. Maka secara diam-diam ia membentuk pasukan khusus tanpa
identitas resmi yang mampu bergerak cepat. Kemampuan pasukan Banten dalam hal
bergerak cepat ini telah dibuktikannya sepanjang abad ke-18 dan merupakan
catatan khusus Belanda, terutama gerakan pasukan Syekh Yusuf.
Menurut Carita Parahiyangan, pada masa pemerintahan Ratu Dewata ini
terjadi serangan mendadak ke Ibukota Pakuan dan musuh "tambuh
sangkane" (tidak dikenal asal-usulnya).
Ratu Dewata masih beruntung karena memiliki para perwira yang pernah
mendampingi ayahnya dalam 15 kali pertempuran. Sebagai veteran perang, para
perwira ini masih mampu menghadapi sergapan musuh. Di samping itu, ketangguhan
benteng Pakuan peninggalan Sri Baduga menyebabkan serangan kilat Banten (dan
mungkin dengan Kalapa) ini tidak mampu menembus gerbang Pakuan. [Alun-alun
Empang sekarang pernah menjadi Ranamandala (medan pertempuran) mempertaruhkan
sisa-sisa kebesaran Siliwangi yang diwariskan kepada cucunya].
Penyerang tidak berhasil menembus pertahanan kota, tetapi dua orang
senapati Pajajaran gugur, yaitu Tohaan Ratu Sangiang dan Tohaan Sarendet.
[Kokohnya benteng Pakuan adalah pertama merupakan jasa Banga yang pada tahun
739 menjadi raja di Pakuan yang merupakan bawahan Raja Galuh. Ia ketika itu
berusaha membebaskan diri dari kekuasaaan Manarah di Galuh. Ia berhasil setelah
berjuang selama 20 tahun dan keberhasilannya itu di awali dengan pembuatan
parit pertahanan kota. Kemudian keadaan Pakuan ini diperluas pada jaman Sri
Baduga seperti yang bisa ditemukan pada Pustaka Nagara Kretabhuni I/2 yang
isinya antara lain (artinya saja).
"Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu membangun telaga besar
yang bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan
jalan ke Wanagiri, memperteguh kedatuan, memberikan desa (perdikan) kepada
semua pendeta dan pengiringnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi
penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat kaputren (tempat
isteri-isteri-nya), kesatrian (asrama prajurit), satuan-satuan tempat
(pageralaran), tempat-tempat hiburan, memperkuat angkatan perang, memungut
upeti dari raja-raja bawahan dan kepala-kepala desa dan menyusun Undang-undang
Kerajaan Pajajaran"
Amateguh kedatwan (memperteguh kedatuan) sejalan dengan maksud
"membuat parit" (memperteguh pertahanan) Pakuan, bukan saja karena
kata Pakuan mempunyai arti pokok keraton atau kedatuan, melainkan kata amateguh
menunjukkan bahwa kata kedatuan dalam hal ini kota raja. Jadi sama dengan
Pakuan dalam arti ibukota.
Selain hal di atas, juga lokasi Pakuan yang berada pada posisi yang
disebut lemah duwur atau lemah luhur (dataran tinggi, oleh Van Riebeeck disebut
"bovenvlakte"). Pada posisi ini, mereka tidak berlindung di balik
bukit, melainkan berada di atas bukit. {Pasir Muara di Cibungbulang merupakan
contoh bagaimana bukit rendah yang dikelilingi tiga batang sungai pernah
dijadikan pemukiman "lemah duwur" sejak beberapa ratus tahun sebelum
masehi}. Lokasi Pakuan merupakan lahan lemah duwur yang satu sisinya terbuka
menghadap ke arah Gunung Pangrango. Tebing Ciliwung, Cisadane dan Cipaku
merupakan pelindung alamiah.
Tipe lemah duwur biasanya dipilih sama masyarakat dengan latar belakang
kebudayaan huma (ladang). Kota-kota yang seperti ini adalah Bogor, Sukabumi dan
Cianjur. Kota seperti ini biasanya dibangun dengan konsep berdasarkan
pengembangan perkebunan. Tipe lain adalah apa yang disebut garuda ngupuk. Tipe
seperti ini biasanya dipilih oleh masyarakat dengan latar belakang kebudayaan
sawah. Mereka menganggap bahwa lahan yang ideal untuk pusat pemerintahan adalah
lahan yang datar, luas, dialiri sungai dan berlindung di balik pegunungan.
Kota-kota yang dikembangkan dengan corak ini misalnya Garut, Bandung dan
Tasikmalaya. Sumedang memiliki dua persyaratan tipe ini. Kutamaya dipilih oleh
Pangeran Santri menurut idealisme Pesisir Cirebon karena ia orang Sindangkasih
(Majalengka) yang selalu hilir mudik ke Cirebon. Baru pada waktu kemudian
Sumedang dikukuhkan dengan pola garuda ngupuk pada lokasi pusat kota Sumedang
yang sekarang.
Gagal merebut benteng kota, pasukan penyerbu ini dengan cepat bergerak
ke utara dan menghancurkan pusat-pusat keagamaan di Sumedang, Ciranjang dan Jayagiri
yang dalam jaman Sri Baduga merupakan desa kawikuan yang dilindungi oleh
negara.
Sikap Ratu Dewata yang alim dan rajin bertapa, menurut norma kehidupan
jaman itu tidak tepat karena raja harus "memerintah dengan baik".
Tapa-brata seperti yang dilakukannya itu hanya boleh dilakukan setelah turun
tahta dan menempuh kehidupan manurajasuniya seperti yang telah dilakukan oleh
Wastu Kancana. Karena itulah Ratu Dewata dicela oleh penulis Carita
Parahiyangan dengan sindiran (kepada para pembaca)
"Nya iyatna-yatna sang kawuri, haywa ta sira kabalik
pupuasaan"
(Maka berhati-hatilan yang kemudian, janganlah engkau berpura-pura rajin
puasa).
Rupa-rupanya penulis kisah kuno itu melihat bahwa kealiman Ratu Dewata
itu disebabkan karena ia tidak berani menghadapi kenyataan. Penulis kemudian
berkomentar pendek "Samangkana ta precinta" (begitulah jaman susah).
Didahului oleh
Surawisesa
Pajajaran
Dilanjutkan:
Ratu Sakti
4). Ratu Sakti
Raja Pajajaran keempat adalah Ratu Sakti. Untuk mengatasi keadaan yang
ditinggalkan Ratu Dewata yang bertindak serba alim, ia bersikap keras bahkan
akhirnya kejam dan lalim. Dengan pendek Carita Parahiyangan melukiskan raja
ini. Banyak rakyat dihukum mati tanpa diteliti lebih dahulu salah tidaknya.
Harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan keraton tanpa rasa malu sama
sekali.
Kemudian raja ini melakukan pelanggaran yang sama dengan Dewa Niskala
yaitu mengawini "estri larangan ti kaluaran" (wanita pengungsi yang
sudah bertunangan). Masih ditambah lagi dengan berbuat skandal terhadap ibu
tirinya yaitu bekas para selir ayahnya. Karena itu ia diturunkan dari tahta
kerajaan. Ia hanya beruntung karena waktu itu sebagian besar pasukan Hasanuddin
dan Fadillah sedang membantu Sultan Trenggana menyerbu Pasuruan dan Panarukan.
Setelah meninggal, Ratu Sakti dipusarakan di Pengpelengan.
Didahului oleh
Ratu Dewata
Pajajaran
Dilanjutkan:
Ratu Nilakendra
5). Ratu Nilakendra
Nilakendra atau Tohaan di Majaya naik tahta sebagai penguasa Pajajaran
yang kelima. Pada saat itu situasi kenegaraan telah tidak menentu dan frustasi
telah melanda segala lapisan masyarakat. Carita Parahiyangan memberitakan sikap
petani "Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan" (Petani
menjadi serakah akan makanan, tidak merasa senang bila tidak bertanam sesuatu).
Ini merupakan berita tidak langsung, bahwa kelaparan telah berjangkit.
Frustasi di lingkungan kerajaan lebih parah lagi. Ketegangan yang
mencekam menghadapi kemungkinan serangan musuh yang datang setiap saat telah
mendorong raja beserta para pembesarnya memperdalam aliran keagamaan Tantra.
Sekte Tantra adalah sekte yang melakukan meditasi dengan mempersatukan Yoni dan
Lingga. Artinya meditasi dilakukan dengan melakukan hubungan antara laki laki
dan perempuan. Srri Kertanegara dari Kerajaan Singhasari juga penganut ajaran
ini.
"Lawasnya ratu kampa kalayan pangan, tatan agama gyan kewaliya
mamangan sadrasa nu surup ka sangkan beuanghar"
(Karena terlalu lama raja tergoda oleh makanan, tiada ilmu yang
disenanginya kecuali perihal makanan lezat yang layak dengan tingkat kekayaan).
Selain itu, Nilakendra malah memperindah keraton, membangun taman dengan
jalur-jalur berbatu ("dibalay") mengapit gerbang larangan. Kemudian
membangun "rumah keramat" (bale bobot) sebanyak 17 baris yang
ditulisi bermacam-macam kisah dengan emas.
Mengenai musuh yang harus dihadapinya, sebagai penganut ajaran Tantra
yang setia, ia membuat sebuah "bendera keramat" ("ngibuda
Sanghiyang Panji"). Bendera inilah yang diandalkannya menolak musuh.
Meskipun bendera ini tak ada gunanya dalam menghadapi laskar Banten karena mereka
tidak takut karenanya. Akhirnya nasib Nilakendra dikisahkan "alah
prangrang, maka tan nitih ring kadatwan" (kalah perang, maka ia tidak
tinggal di keraton).
Nilakendra sejaman dengan Panembahan Hasanudin dari Banten dan bila
diteliti isi buku Sejarah Banten tentang serangan ke Pakuan yang ternyata
melibatkan Hasanudin dengan puteranya Yusuf, dapatlah disimpulkan, bahwa yang
tampil ke depan dalam serangan itu adalah Putera Mahkota Yusuf. Peristiwa
kekalahan Nilakendra ini terjadi ketika Susuhunan Jati masih hidup (ia baru wafat
tahun 1568 dan Fadillah wafat 2 tahun kemudian).
Demikianlah, sejak saat itu ibukota Pakuan telah ditinggalkan oleh raja
dan dibiarkan nasibnya berada pada penduduk dan para prajurit yang
ditinggalkan. Namun ternyata Pakuan sanggup bertahan 12 tahun lagi.
Didahului oleh
Ratu Sakti
Pajajaran
Dilanjutkan:
Raga Mulya
6). Raga Mulya
Raga Mulya adalah raja terakhir Kerajaan Pajajaran. Nama ini dalam
naskah Wangsakerta disebut juga sebagai Prabu Suryakancana, sedangkan dalam
Carita Parahiyangan dikenal dengan nama Nusya Mulya.
Prabu Suryakancana tidak berkedudukan di Pakuan, tetapi di Pulasari,
Pandeglang. Oleh karena itu, ia dikenal pula sebagai Pucuk Umun (Panembahan)
Pulasari (mungkin raja ini berkedudukan di Kaduhejo, Kecamatan Menes pada
lereng Gunung Palasari).
Dalam Pustaka Nusantara III/1 dan Kretabhumi I/2 disebutkan,
Pajajaran sirna ing ekadaśa śuklapaksa Wesakamasa sewu limang atus
punjul siki ikang Śakakala
Yang artinya,
" Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun
1501 Saka. "
Tanggal tersebut kira-kira bertepatan dengan 8 Mei 1579 M.
Naskah Banten memberitakan keberangkatan pasukan Banten ketika akan
melakukan penyerangan ke Pakuan dalam pupuh Kinanti yang artinya,
" Waktu keberangkatan itu terjadi bulan Muharam tepat pada awal
bulan hari Ahad tahun Alif inilah tahun Sakanya satu lima kosong satu ".
Walaupun tahun Alif baru digunakan oleh Sultan Agung Mataram dalam tahun
1633 M, namun dengan perhitungan mundur, tahun kejatuhan Pakuan 1579 itu memang
akan jatuh pada tahun Alif. Yang keliru hanyalah hari, sebab dalam periode itu,
tanggal satu Muharam tahun Alif akan jatuh pada hari Sabtu.
Yang terpenting dari naskah Banten tersebut adalah memberitakan bahwa
benteng kota Pakuan baru dapat dibobol setelah terjadinya penghianatan.
Komandan kawal benteng Pakuan merasa sakit hati karena tidak memperoleh
kenaikan pangkat. Ia adalah saudara Ki Jongjo, seorang kepercayaan Panembahan
Yusuf. Tengah malam, Ki Jongjo bersama pasukan khusus menyelinap ke dalam kota
setelah pintu benteng terlebih dahulu dibukakan saudaranya itu.
Kisah itu mungkin benar mungkin tidak. Yang jelas justeru menggambarkan
betapa tangguhnya benteng Pakuan yang dibuat Siliwangi. Setelah ditinggalkan
oleh raja selama 12 tahun, pasukan Banten masih terpaksa menggunakan cara halus
untuk menembusnya.
Dan berakhirlah jaman Pajajaran (1482-1579). Itu ditandai dengan
diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana, tempat duduk kala seorang raja
dinobatkan, dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu
berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa diboyong ke Banten karena tradisi
politik waktu itu "mengharuskan" demikian. Pertama, dengan
dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja
baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus
kekuasaan Pajajaran yang "sah" karena buyut perempuannya adalah
puteri Sri Baduga Maharaja.
Dalam Carita Parahiyangan diberitakan sebagai berikut:
Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga
Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta
Narayana Madura Suradipati, inyana Pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata.
Artinya:
" Sang Susuktunggal ialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana
(untuk) Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam
di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istana Sanghiyang
Sri Ratu Dewata. "
Kata "palangka" secara umum berarti tempat duduk (bahasa
Sunda, pangcalikan), yang secara kontekstual bagi kerajaan berarti
"tahta". Dalam hal ini adalah tahta penobatannya itu tempat duduk
khusus yang hanya digunakan pada upacara penobatan. Di atas palangka itulah si
(calon) raja diberkati (diwastu) oleh pendeta tertinggi. Tempatnya berada di
kabuyutan kerajaan, tidak di dalam istana. Sesuai dengan tradisi, tahta itu
terbuat dari batu dan digosok halus mengkilap.
Batu tahta seperti ini oleh penduduk biasanya disebut batu pangcalikan
atau batu ranjang (bila kebetulan dilengkapi dengan kaki seperti balai-balai
biasa). Batu pangcalikan bisa ditemukan, misalnya di makam kuno dekat Situ
Sangiang di Desa Cibalanarik, Kecamatan Sukaraja, Tasikmalaya dan di Karang
Kamulyan bekas pusat Kerajaan Galuh di Ciamis. Sementara batu ranjang dengan
kaki berukir dapat ditemukan di Desa Batu Ranjang, Kecamatan Cimanuk, Pandeglang
(pada petakan sawah yang terjepit pohon).
Palangka Sriman Sriwacana sendiri saat ini bisa ditemukan di depan bekas
Keraton Surasowan di Banten. Karena mengkilap, orang Banten menyebutnya watu
gigilang. Kata gigilang berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan
kata sriman.
Didahului oleh
Ratu Nilakendra
Pajajaran
Dilanjutkan:
-
Pindahnya Ratu Pajajaran
Proses kepindahan isteri Ratu Pakuan (Sri Baduga) ke Pakuan terekam oleh
pujangga bernama Kai Raga di Gunung Srimanganti (Cikuray). Naskahnya ditulis
dalam sebuah pantun dan dinamai Carita Ratu Pakuan, yang diperkirakan ditulis
pada akhir abad ke-17 atau awal abad ke-18. Naskah itu dapat ditemukan pada
Koropak 410 . Isinya adalah sebagai berikut (terjemahannya saja):
Tersebutlah Ambetkasih bersama madu-madunya bergerak payung lebesaran
melintas tugu yang seia dan sekata hendak pulang ke Pakuan kembali dari keraton
di timur halaman cahaya putih induk permata cahaya datar namanya keraton
berseri emas permata rumah berukir lukisan alun di Sanghiyang Pandan-larang
keraton penenang hidup.
Bergerak barisan depan disusul yang kemudian teduh dalam ikatan
dijunjung bakul kue dengan tutup yang diukir kotak jati bersudut bulatan emas
tempat sirih nampan perak bertiang gading ukiran telapak gajah hendak dibawa ke
Pakuan.
Bergerak tandu kencana beratap cemara gading bertiang emas bernama
lingkaran langit berpuncak permata indah ditatahkan pada watang yang bercungap
singa-singaan di sebelah kiri-kanan payung hijau bertiang gading berpuncak
getas yang bertiang berpuncak emas dan payung saberilen berumbai potongan
benang tapok terongnya emas berlekuk berayun panjang langkahnya terkedip sambil
menoleh ibarat semut, rukun dengan saudaranya tingkahnya seperti semut beralih.
Bergerak seperti pematang cahaya melayang-layang berlenggang di
awang-awang pembawa gendi di belakang pembawa kandaga di depan dan ayam-ayaman
emas kiri-kanan kidang-kidangan emas di tengah siapa diusun di singa barong.
Bergerak yang di depan, menyusul yang kemudian barisan yang lain lagi.
Yang dikisahkan dalam pantun itu adalah Ngabetkasih (Ambetkasih), isteri
Sri Baduga yang pertama (puteri Ki Gedeng Sindang Kasih, putera Wastu Kancana
ketiga dari Mayangsari). Ia pindah dari keraton timur (Galuh) ke Pakuan bersama
isteri-isteri Sri Baduga yang lain.
Taruhan Bola |
No comments:
Post a Comment