”Tetapi sikap mendua seperti itu, bukan hanya milik Sjarif Thajeb
seorang, karena faktanya
hampir kebanyakan tokoh, baik yang berada dalam
pemerintahan maupun dalam kehidupan politik kepartaian, pada masa „tak menentu‟
itu memang memilih sikap opportunistik sebagai „prinsip‟. Sikap dan perilaku
yang menimbulkan tanda tanya di kalangan mahasiswa, kerap kali ditunjukkan pula
oleh Brigjen Amirmahmud yang saat itu menjadi Panglima Kodam Jaya menggantikan
posisi Mayjen Umar Wirahadikusumah”.
SEJAK
pagi-pagi tanggal 10 Januari 1966 mahasiswa Jakarta berkumpul di kampus
Universitas Indonesia Salemba mengadakan appel. Massa mahasiswa selain dari Universitas
Indonesia sendiri, juga berasal dari berbagai perguruan tinggi lainnya di
Jakarta, dengan beberapa pengecualian. Setelah itu mereka bergerak menuju
Sekretariat Negara Jalan Veteran untuk menyampaikan resolusi mereka. Tetapi di
Sekretariat Negara para mahasiswa hanya ditemui oleh Wakil Sekertaris Negara,
sehingga mahasiswa tak mau menyerahkan resolusi mereka dan tak bersedia
membubarkan diri. Bersamaan dengan itu, kelompok-kelompok mahasiswa lainnya
berkeliling ke beberapa penjuru kota untuk menyampaikan penjelasan-penjelasan
kepada masyarakat mengenai tiga tuntutan mereka. Simpang-simpang jalan yang
strategis diduduki mahasiswa dan di tempat itu mahasiswa memancangkan
spanduk-spanduk yang berisi tiga tuntutan mahasiswa.
Baru
pada sore hari, sekitar 16.00 Waperdam III Chairul Saleh muncul dan menemui
mahasiswa. Ketua Presidium KAMI Pusat Cosmas Batubara lalu menyampaikan
pernyataan mahasiswa yang berisi Tri Tuntutan Rakyat. Chairul Saleh menerima
pernyataan itu dan menanggapi bahwa segalanya tergantung pada kemauan Presiden
Soekarno. Kabinet bisa dirubah, harga-harga bisa diturunkan, kata Chairul
Saleh, asal Presiden Soekarno memerintahkannya, maka semuanya akan
dilaksanakan. Demonstrasi di Sekretariat Negara berakhir sekitar 17.00. Dalam
perjalanan pulang mahasiswa meneriakkan yell-yell mengumandangkan tiga tuntutan
mereka. Mahasiswa menyerukan agar para penumpang bus hanya membayar tarif
Rp.200 dan tidak Rp.1000 seperti keputusan pemerintah.
Demonstrasi
hari pertama ini, keesokan harinya diikuti dengan aksi mogok kuliah oleh
mahasiswa Jakarta. Aksi mahasiswa Jakarta ini disusul oleh demonstrasi besar
ribuan massa mahasiswa Bandung, 13 Januari 1966, melibatkan KOMII dan KAMI
dalam satu gerakan bersama, hasil rancangan Alex Rumondor dan kawan-kawan. Para
mahasiswa Bandung ini mencetuskan Resolusi Amanat Penderitaan Rakyat, yang
antara lain menyatakan solidaritas mahasiswa Bandung terhadap aksi-aksi yang
dilancarkan mahasiswa Jakarta dan memperkuat tuntutan-tuntutan 10 Januari 1966
itu.
Bersamaan
dengan resolusi tersebut, dicetuskan pula Petisi Amanat Penderitaan Rakyat‖
yang disampaikan kepada Gubernur Jawa Barat Mashudi untuk diteruskan kepada
Presiden Soekarno. Sejak 10 Januari dan 13 Januari itu, aksi-aksi mahasiswa
lalu marak dan berlangsung terus menerus di kedua kota itu yang kemudian
disusul oleh mahasiswa di kota-kota besar lainnya.
Akhir
Januari, Menteri PTIP Brigjen Dr Sjarif Thajeb, mengeluarkan instruksi agar
mahasiswa menghentikan mogok kuliah. Presidium KAMI Pusat ikut mengeluarkan anjuran
agar mahasiswa mematuhi instruksi Menteri PTIP itu. Akan tetapi KAMI Bandung
menolak instruksi itu, sehingga KAMI Pusat pun menyatakan bahwa penghentian
mogok kuliah hanya berlaku di lingkungan KAMI Jakarta Raya. Namun hanya 4 hari
setelahnya, 4 Februari, mahasiswa Jakarta melakukan mogok kuliah tahap kedua.
Sebelumnya,
2 Februari, di depan kampusnya, mahasiswa ITB berikrar akan terus melakukan
aksi-aksi dan mogok kuliah sampai tuntutan dalam Tritura dipenuhi. Mereka tak
mau mematuhi instruksi Menteri PTIP. Ikrar serupa dilakukan pula mahasiswa
Jakarta pada tanggal 10 Februari. Langsung pada tanggal yang sama, Menteri PTIP
mengulangi instruksinya agar mogok kuliah dihentikan. Meskipun tercatat
peranannya dalam membidani kehadiran KAMI, Sjarif Thajeb kerapkali menunjukkan
sikap mendua bila itu menyangkut Soekarno. Tetapi sikap mendua seperti itu,
bukan hanya milik Sjarif Thajeb seorang, karena faktanya hampir kebanyakan
tokoh, baik yang berada dalam pemerintahan maupun dalam kehidupan politik kepartaian,
pada masa tak menentu‘ itu memang memilih sikap opportunistik sebagai prinsip.
Sikap
dan perilaku yang menimbulkan tanda tanya di kalangan mahasiswa, kerap kali
ditunjukkan pula oleh Brigjen Amirmahmud yang saat itu menjadi Panglima Kodam
Jaya menggantikan posisi Mayjen Umar Wirahadikusumah. Pada pertengahan Januari,
segera setelah Soekarno memberi komando untuk pembentukan Barisan Soekarno,
maka terjadi konsolidasi yang berlangsung cepat di kalangan pendukung Soekarno.
Menteri Penerangan Achmadi misalnya, 17 Januari 1966, untuk sebagian berhasil
mewujudkan perintah Soekarno itu.
Cikal
bakal Barisan Soekarno segera terbentuk dan mulai bergerak antara lain dengan
menyebarkan pamflet-pamflet yang menyerang KAMI dan bahkan memprovokasi
sejumlah benturan fisik. Justru pada saat itu Panglima Kodam Jaya Amirmahmud
mengeluarkan pengumuman yang melarang penyelenggaraan demonstrasi dalam bentuk
apapun di Jakarta. Demi menjaga dan terpeliharanya suasana tenang dan tertib
dalam rangka pengamanan guna tercapai tujuan revolusi. Karena yang melakukan
demonstrasi hanyalah mahasiswa yang tergabung dalam KAMI, maka dengan
sendirinya KAMI lah yang terpojok. Larangan ini memecah konsentrasi mahasiswa
Jakarta yang tergabung dalam KAMI, sekaligus cenderung melemahkan kekuatan
mereka. Sjarif Thajeb kemudian melengkapkan tekanan dengan larangan terhadap
mogok kuliah yang dijalankan mahasiswa.
Meskipun
ada larangan demonstrasi, mahasiswa Jakarta tetap saja melakukan
gerakan-gerakan. Mereka mengganti istilah demonstrasi dengan berkunjung
ramai-ramai. Salah satu sasaran kunjungan ramai-ramai itu adalah Departemen
Luar Negeri yang dipimpin Soebandrio, Selasa 18 Januari. Gagal bertemu
Soebandrio di sana para mahasiswa menuju kediaman resmi Menlu di Jalan Merdeka
Selatan, dan bisa bertemu Soebandrio. Mulanya Soebandrio hanya mau menemui
delegasi mahasiswa, dan menjelaskan tentang ucapan-ucapannya sebelumnya yang
menuduh mahasiswa ditunggangi Nekolim dan menyatakan aksi-aksi mahasiswa tidak
sopan.
Ketika
diminta untuk berbicara langsung di depan massa mahasiswa, ia malah mengatakan Saya
juga punya massa. Spontan delegasi mahasiswa balik bertanya Apakah bapak
bermaksud mengadu domba antara massa bapak dengan massa kami?. Bukan… bukan itu
maksud saya, ujarnya pada akhirnya, Baiklah, saya akan bicara…... Begitu muncul
di depan massa mahasiswa, ia disambut teriakan Ganyang Haji Peking!, Kami tidak
memusuhi Bung Karno, Kami memusuhi Durno. Jadi, seperti tentara yang taktis
terhadap Soekarno, hingga sebegitu jauh, mahasiswa pun masih bersikap taktis
pula terhadap Soekarno. Dan adalah pada hari itu pula, delegasi KAMI bertemu
dengan Soekarno.
Ini
adalah yang kedua kalinya. Delegasi KAMI terdiri antara lain dari Cosmas
Batubara, David Napitupulu, Zamroni, Mar‘ie Muhammad, Elyas, Lim Bian Koen,
Firdaus Wajdi, Abdul Gafur dan Djoni Sunarja. Tentang pertemuan ini, David
Napitupulu pernah mengisahkan betapa Soekarno masih berhasil menunjukkan wibawa
dan membuat beberapa tokoh mahasiswa melipatkan‘ dan merapatkan tangan di depan
perut dengan santun. Salah satu anggota delegasi menjelaskan kepada Soekarno
bahwa kalau ada ekses-ekses yang terjadi dalam aksi-aksi KAMI, semisal
corat-coret dengan kata-kata kotor, itu adalah pekerjaan tangan-tangan kotor
yang menyusup ke dalam barisan mahasiswa progressif revolusioner.
Delegasi
KAMI lalu menyampaikan tiga tuntutan rakyat. Dan Soekarno menjawab Saya
mengerti sepenuhnya segala isi hati dan tuntutan para mahasiswa, dan tidak
menyangsikan maksud-maksud baik mahasiswa. Tetapi dengan keras Soekarno
menyatakan tidak setuju cara-cara mahasiswa yang menjurus ke arah vandalisme
materil dan vandalisme mental, yang menurut sang Presiden bisa ditunggangi
golongan tertentu dan Nekolim, yang tidak menghendaki persatuan Bung Karno dan
mahasiswa. Tentang pembubaran PKI, kembali Soekarno tidak memberikan jawaban
memenuhi tuntutan pembubaran, dan hanya menyuruh mahasiswa menunggu keputusan
politik yang akan diambilnya.
Awal Pebruari, sekali lagi Amirmahmud
melakukan semacam akrobatik politik, yang menyenangkan Soekarno. Selasa 1
Pebruari di lapangan Banteng berlangsung suatu rapat umum yang difasilitasi
oleh Amirmahmud dan berhasil menelurkan suatu ikrar dari 120 organisasi politik
dan organisasi massa se Jakarta Raya yang menyatakan sanggup untuk melaksanakan
komando Presiden, sesuai amanat Presiden 15 Januari mengenai pembentukan
Barisan Soekarno. Keesokan harinya, Amirmahmud menghadap Soekarno di istana
menyampaikan ikrar itu. Usai menghadap, kepada pers, Amirmahmud dengan bersemangat
menyampaikan pernyataan 120 orpol dan ormas itu otomatis menjadi Barisan
Soekarno.
Mungkin saja, peran yang dijalankan oleh
Amirmahmud ini masih termasuk dalam kawasan taktis, seperti pendapat beberapa
tokoh mahasiswa yang direkam Hasjroel Moechtar. Dengan melihat kedua tindakan
Amirmahmud itu sebagai sesuatu yang tak terlepas dari sikap Angkatan Darat,
menurut pendapat yang disimpulkan Hasjroel, maka tindakan itu tak boleh tidak
dimaksudkan sebagai upaya taktis Angkatan Darat mencoba mengambil alih situasi dari
Soebandrio dan pendukung-pendukung fanatik Bung Karno. Dan masih cukup banyak
aktivis yang mempercayai itu sebagai tindakan taktis, yang menyelamatkan
mahasiswa dari benturan-benturan fisik yang berbahaya dengan para pendukung
Soekarno. Namun tak bisa dihindari bahwa kedua tindakan itu memberi hasil akhir
yang membingungkan masyarakat dan terutama para mahasiswa yang merasa
dipojokkan.
No comments:
Post a Comment