Sunday 16 August 2015

Sejarah Kerajaan Sunda | Part 5

KESULTANAN PAKUNGWATI CIREBON



A.  PANGERAN CAKRABUANA 

Banten pada masa penyebaran Islam di Kerajaan Sunda, sesungguhnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan, dari pendahulunya, Cirebon. Oleh karena itu, untuk membahas Banten, terlebih dahulu harus mengenal Cirebon.


Dalam Carita Parahiyangan, karya Tim Pimpinan Pangeran Wangsakerta, yang disusun oleh Atja dan Edi S. Ekadjati (1989), tentang Cirebon dikemukakan sebagai berikut:

Adapun mengenai raja‑raja Cirebon, mereka keturunan raja Pajajaran dari isteri Sang Prabhu yang bernama Nyai Subanglarang atau Subangkarancang. Dalam pernikahannya itu berputera beberapa orang. Dua di antaranya, ialah;

1.    Raden Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana;
2.    Nyai Larasantang atau Saripah Muda'im (Atja & Ekadjati, 1989:165).

Dalam naskah‑naskah Cirebon lainnya dijelaskan pula, bahwa dari Subanglarang, Sri Baduga Maharaja memperoleh anak bungsu laki‑laki, bernama Rajasangara.

Dari isterinya yang pertama, Ambetkasih (puterinya Ki Gedeng Sindangkasih), Sri Baduga Maharaja tidak memperoleh anak. Sedangkan dari isterinya yang ketiga, Kentring Manik Mayang Sunda (puterinya Prabu Susuktunggal), berputera beberapa orang, di antaranya:

1.    Sanghiyang Surawisesa;
2.    Surasowan; dan
3.    Dewi Surawati; kelak diperisteri oleh Adhipati Surakerta.

Semua putera‑puteri Sri Baduga Maharaja, dilahirkan di Keraton Pakuan Pajajaran. Status Pangeran Walangsungsang, di antara semua putera puteri Sri Baduga Maharaja, berperan sebagai anak sulung. Status ini sangat memungkinkan, jika Pangeran Walangsungsang, merupakan anak terdekat pertama dengan ayahandanya.

Ibunda Pangeran Walangsungsang (Subanglarang), adalah murid Syekh Hasanudin, dari Pondok Quro Pura Dalem (Karawang). Syekh Hasanudm, adalah ulama Cina yang berasal dari Campa, pemeluk Islam madzhab Hanafi.

Adapun riwayat Syekh Hasanudin, hingga mendirikan Pondok Quro di Pura Dalem Karawang, adalah sebagai berikut:

Pada tahun 1416 Masehi, armada laut Cina, mengadakan pelayaran keliling, atas perintah Kaisar Cheng‑tu atau Kaisar Yunglo, Kaisar dari Dinasti Ming ketiga. Armada laut Cina tersebut, dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho alias Sam‑Po‑Tay‑Kam yang beragama Islam. la didampingi oleh jurututulisnya, Ma Huan, yang juga beragama Islam.

Armada laut Cina yang dipimpin Laksamana Cheng Ho, sebanyak 63 buah kapal layar, dengan prajurit laut sebanyak 27.800 orang. Tujuan pelayaran mereka, untuk menjalin persahabatan, dengan raja‑raja Cina di seberang lautan.

Di antara sekian banyak awak kapal, terdapat beberapa orang penumpang, yang dipimpin oleh Syekh Hasanudin. la bermaksud, menyebarkan ajaran agama Islam, di Pulau Jawa. Oleh karena sesama muslim, Laksamana Cheng Ho, mengijinkan Syekh Hasanudin beserta pengiringnya, untuk ikut menumpang pada kapal layarnya.

Ketika armada laut Cina itu singgah di pelabuhan Pura Dalem Karawang, Syekh Hasanudin beserta pengiringnya, memohon diri untuk turun. Sedangkan Laksamana Cheng Ho dengan armada lautnya, meneruskan pelayarannya ke Majapahit, di Jawa  Timur.

Syekh Hasanudin, ketika turun di Pura Dalem Karawang, disertai pula oleh puteranya, Tan Go Wat. Kelak, Tan Go Wat, dikenal sebagai Syekh Bantong. Setelah lama tinggal di Pura Dalem, akhirnya Syekh Hasanudin berjodoh dengan Ratna Sondari, puterinya Ki Gedeng Karawang. Dari perkawinannya, memperoleh anak, yang kelak dikenal sebagai Syekh Ahmad.

Syekh Hasanudin, mendirikan Pondok Quro tertua pertama di Kerajaan Sunda, di pesisir Pura Dalem Karawang, pada tahun 1416 Masehi. Peristiwa penting ini, terjadi pada masa pemerintahan Sang Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana (1371‑1475 Masehi), kakeknya Sri Baduga Maharaja.

Selama 59 tahun, Sang Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana, menyaksikan berseminya agama Islam di wilayah kekuasaannya. Sebagai penguasa daerah bawahan Kerajaan Sunda, Ki Gedeng Karawang, tidak akan berani membiarkan Islam berkembang di wilayahnya, kalau tanpa seijin Sang Mahapraburesi.

Bagi Sang Mahapraburesi, Islam bukan hal yang baru dan acing. Sebab, adik iparnya, Bratalegawa alias Haji Purwa Galuh, sudah terlebih dahulu memeluk agama Islam.

Keteladanan Wastu Kancana sangat luar biasa. Hal ini tampak dalam Carita Parahiyangan. Penulis naskahnya sangat mahal dengan kata-kata, dan lebih kikir lagi dengan pujian. Namun bagi tokoh Wastu Kancana, ia bersedia mengurbankan lembaran kropaknya sampai 4 halaman, padahal untuk Sri Baduga Maharaja, walau pun ia masih sanggup memujinya, hanya disediakan seperempat halaman saja (Danasasmita,1984: 42).

Pangeran Walangsungsang, adalah cicit dari Sang Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana. la dengan kedua adiknya, pemeluk agama Islam mazhab Hanafi, mengikuti agama yang dipeluk ibunya, Subanglarang.

Sebagai catatan, madzhab Hanafi, adalah paham hukum Islam yang difatwakan oleh Imam Abu Hanifah. Nama sesungguhnya dari Abu Hanifah, adalah Nu'am bin Tsabit bin Zautha bin Mah. la. seorang bangsa Ajam, keturunan bangsa Parsi yang bermukim di Kabul, Afganistan.

Selain sebagai ibunda tercinta, peran Subanglarang bagi diri Pangeran Walangsungsang dan kedua adiknya, adalah Guru Agama. Di lingkungan Keraton Pakuan Pajajaran, hanya ibunya, yang membimbing Pangeran Walangsungsang dalam hal Islam. Kenyataan seperti itu, bagi Sri Baduga Maharaja, tidak menjadi masalah. Sikap Sri Baduga Maharaja terhadap Islam: rasika dharmika ring pamekul agami rasul (bertindak adil dan bijaksana terhadap pemeluk agama Rasul). Perlu dicatat, ketika Sri Baduga Maharaja masih remaja dan bernama Sang Pamanahrasa, dibina langsung oleh kakeknya, Sang Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana. Sikap "rasika dharmika ring pamekul agami rasul ", diteladani dari kakeknya.

Ketika Subanglarang wafat, Pangeran Walangsungsang serta adik-adiknya, merasa sangat kehilangan. Ketiadaan guru agama Islam lainnya di kota Pakuan Pajajaran, mendorong Pangeran Walangsungsang, memohon izin kepada ayahnya, untuk pergi mengembara, mencari guru agama Islam yang dapat memenuhi hasrat keresahan batinnya.

Tentu saja, walaupun dengan berat hati, Sri Baduga Maharaja terpaksa mengijinkan kepergian putera sulung kesayangannya itu. Peristiwa-peristiwa itulah, yang Iuput dipahami dan dijadikan dasar cerita, oleh para penulis babad. Sehingga rnereka beranggapan (sebagaimana yang sering terbaca dalam Babad Cirebon), bahwa Pangeran Walangsungsang itu, diusir dari keraton Pakuan Pajajaran, akibat konflik agama dengan ayahnya.

Sementara itu, Ki Gedeng Tapa, kakeknya Pangeran Walangsungsang yang menjadi penguasa wilayah Singapore (Cirebon), telah memukimkan seorang Guru Agama Islam mazhab Syafi'i: Syekh Datuk Kahfi.

Syekh Datuk Kahfi adalah putera Syekh Datuk Ahmad.
Syekh Datuk Ahmad adalah putera Maulana Isa dari Malaka.
Maulana Isa adalah putera Abdul Qadir Qaelani.
Abdul Qadir Qaelani adalah putera Amir Abdullah Khanudin.

Amir Abdullah Khanudin, adalah generasi ke‑17 turunan Rasulullah Mohammad.

Syekh Datuk Kahfi berjodoh dengan Hadijah, cucu Haji Purwa Galuh (Bratalegawa), yang bermukim di Dukuh Pasambangan Cirebon. Kemudian, Syekh Datuk Kahfi, atas keinginan Ki Gedeng Tapa, mendirikan Pondok Quro di Bukit Amparan Jati (Gunung Jati) Cirebon. Pondok Quro Amparan Jati, merupakan pesantren tertua kedua di Kerajaan Sunda, setelah Pondok Quro Karawang. Oleh Ki Gedeng Tapa, Syekh Datuk Kahfi mendapat nama julukan, Syekh Nurjati.

Dalam pengembaraannya, Pangeran Walangsungsang disertai adiknya, Nyai Larasantang. Ketika Pangeran Walangsungsang dan Nyai Larasantang tiba di Singapore (Cirebon), keduanya berguru kepada Syekh Datuk Kahfi. Pangeran Walangsungsang yang semula menjadi penganut Islam mazhab Hanafi, dari Syekh Datuk Kahfi, mendapat pengetahuan agama Islam mazhab Syafi'i.

Sebagai catatan, mazhab Syafi'i adalah paham hukum Islam yang difatwakan oleh Imam Syafi'i. la dilahirkan pada bulan Rajab tahun 150 Hijriyah (767 Masehi), di kampung Ghuzah, wilayah Asqalan di dekat pantai Lautan Putih (Laut Mati) Palestina bagian tengah.

Pangeran Walangsungsang, mempelajari ilmu pemerintahan dan ketata‑negaraan, dari kakeknya, Ki Gedeng Tapa. la dipercaya memegang jabatan Pangraksabumi (Cakrabumi), dalam pemerintahan kerajaan daerah Singapura (Cirebon). Dalam pemerintahan sehari‑hari, Pangeran Walangsungsang berfungsi pula sebagai wakil kakeknya, Ki Gedeng Tapa.

Dalam naskah Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawa dwipa parwa I sarga 4, dikemukakan riwayat Pangeran Walangsungsang, ketika mendirikan Dukuh Cirebon, antara lain sebagai berikut:

to sawiji ping desa haneng tira ning tasik carbon wastanya // rikung akwah tumuwuh parungpung alang‑alang lawan dukul sagara / mangidul ring wanakweh satwa krura / pantara ning/ waraha / liman pas lawan salwirya // atut tira ning tasik akweh saraksak mwang dok / ing parwataparswa careme kweh aswa // riking lwah akweh matsya lawan rebo n/

Terjemahannya:

Ada sebuah desa terletak di tepi pantai, Cirebon namanya. Di situ banyak tumbuhan pohon kayu alang‑alang dan rumput (semak belukar) laut. Di bagian selatannya, masih hutan belantara tempat binatang buas. Seperti babi hutan, harimau, ular, gajah, kura‑kura dan berbagai jenis lainnya. Di tepi pantai, banyak burung belibis dan elang laut (camar). Sedangkan di Gunung Ciremai, banyak kuda liar. Di sungai, banyak ikan dan rebon (udang kecil).

Pada awalnya, sebuah wilayah hutan yang dialiri sungai Cirebon itu, disebut Kebon Pasisir, atau Tegal Alang‑Alang, atau Lemah Wungkuk. Pada saat itu (tahun 1436 Masehi), di Kebon Pasisir, telah bermukim 5 orang penduduk, ialah: Ki Danusela alias Ki Gedeng Alang Alang; Nyai Arumsari (isterinya); Nyai Ratnariris atau Kancanalarang (puterinya); Ki Sarmawi (pembantunya); dan Isteri Ki Sarmawi (pembantunya). Mereka, pindah dari tempat tinggal asalnya, Cirebon Girang. Ki Danusela, adalah adiknya Ki Danuwarsih. Sedangkan Ki Danuwarsih, seorang ulama agama Budha, adalah mertua Pangeran Walangsungsang. Sebab, puteri Ki Danuwarsih, yaitu Nyai Indang Geulis, bersedia masuk Islam, yang akhirnya menjadi isteri Pangeran Walangsungsang.

Di kalangan Pondok Quro Amparan Jati, Pangeran Walangsungsang, lebih dikenal dengan sebutan Ki Samadullah. Nama itu diperoleh dari gurunya, Syekh Datuk Kahfi.

Pada tanggal 14 bagian terang bulan Caitra tahun 1367 Saka, atau hari Kamis tanggal 8 April 1445 Masehi, bertepatan dengan penanggalan 1 Muharam 848 Hijriyah, Ki Samadullah yang disertai isterinya (Nyai Indang Geulis), dan adiknya (Nyai Larasantang), serta 52 orang santri Pondok Quro Amparan Jati, membuka hutan Kebon Pasisir. Setelah Kebon Pasisir menjadi tempat terbuka, dibangunlah pemukiman baru, kemudian diberi nama Cirebon Pasisir. Diberi nama demikian, untuk membedakan dengan pemukiman yang sudah ada di wilayah hulu sungai Cirebon, yang disebut Cirebon Girang.

Semula, penduduk Cirebon Pasisir, hanya terdiri dari 52 orang santri pekerja, ditambah Ki Danusela dengan 4 orang anggota keluarganya. Setelah melihat ada pemukiman baru, rakyat dari Muara Jati dan dukuh Pasambangan, berdatangan dan pindah ke Cirebon Pasisir.

Atas kesepakatan bersama, Ki Danusela diangkat menjadi Kuwu Pertama (kuwu=sesepuh desa) di Cirebon Pasisir. Kemudian, Pangeran Walangsungsang alias Ki Samadullah, dipercaya menjadi Wakil Kuwu.

/ i sedeng ki somadullah rina
kcabumyaksa lawan winasta
n ki cakrabhumi ngaran ira //

Terjemahan:

Sedangkan Ki Samadullah sebagai akhli pertanahan (pangraksabumi), mendapat gelar Ki Cakrabumi, namanya.

ki gedeng alang‑alang so
mah lawan ki somadullah so
nah rahine kulem makakar
ma angluru rebon lawan iwa
k ing lwah haneng wetan grha ni
ra / mwang tira ning tasik / ri
sampunya tumuluy magawe tra
si / pens lawan uyah //

Terjemahannya:

Adapun rakyat Ki Gedeng Alang‑alang dan rakyat Ki Samadullah, sebelum tidur, berkumpul bekerjasama menumbuk rebon dan ikan, dari sungai sebelah timur pemukiman mereka (di tepi pantai), bekerja menyelesaikan pembuatan terasi, petis dan garam.

// a teher carbon dumadi desanung akrak hetunya janmapada sakeng desantara / sarwa wangsa hang rikung/ wwang doltinuku / thanayan thani / wwang angluru rebon lawan iwak tira ning sagara akrak prahwa mandeg/ ring samangkana sira pribhumi sarwa wangsa / sarwa panganut nira / pangucap nira tulisnya / praswabhawa nira / akarya nira kunang mebedha sowang-sowang//

Terjemahan:

Kemudian, Cirebon menjadi kawasan desa yang ramai di antara desa-desa lainnya. Berbagai bangsa ada di sana. Pedagang, para petani. Mereka menumbuk rebon dan ikan. Sekarang di tepi lautnya (pesisir) ramai disinggahi perahu. Pribuminya terdiri dari berbagai suku bangsa. Macam-macam anutannya, bahasa dan tulisannya, tingkah lakunya, keakhliannya, masing‑masing berbeda.

Pada tahun 1369 Saka (1447 Masehi), semua jumlah penduduk yang menetap di Dukuh Cirebon, adalah 346 orang. Laki‑laki 182 orang dan wanita 164 orang. Rinciannya: Sunda 196 orang, Jawa  106 orang, Sumatera 16 orang, Hujung Mendini 4 orang, India 2 orang, Parsi 2 orang, Syam 3 orang, Arab 11 orang, dan Cina 6 orang.

Wangsa Manggala dan Tirta Manggala, menduga kata "Cirebon" berasal dari kata "Sarumban" atau "Caruban". Hal itu, mengingat penduduk Cirebon pertama, terdiri dari campuran (saruban) berbagai suku bangsa. Sehingga, pustaka yang disusunnya, diberi judul Purwaka Caruban Nagari (Negeri Caruban Permulaan). Padahal, kata "Cirebon" sendiri, sudah memberikan arti dan makna yang cukup jelas. Cirebon, ci berarti sungai; dan rebon berarti udang kecil. Cirebon, berarti sungai yang banyak udang-udang kecilnya.

Di dukuh Cirebon Pasisir, Pangeran Walangsungsang larut dengan kehidupan masyarakat kecil, dan ia memerankan dirinya sebagal Guru Agama Islam, dengan panggilan akrab Ki Samadullah. Bersama santri-santrinya, Ki Samadullah, mendirikan Tajug (Masjid), diberi nama Jalagrahan. (Jala=air; grahan=rumah), yang terletak di tepi laut.

/ kaucap ri sedeng ki cakrabhumi lawan myi nira matithi ring giri ngamparan jati ing pondok guru nira // syeh datuk khahphi ya to syeh maulana idlophi ngaran ira waneh / vrineh pituduh ring sisya nira // mangkana ling sang guru / anak ngwang/ kamung marwa samidahaken to sera baitullah ing mekahnagari i ngarabbumi //

Terjemahan:

 Teriwayatkan, Ki Cakrabumi dan adiknya (Larasantang) pergi berkunjung ke Gunung Amparan Jati, ke tempat tinggal guru mereka Syekh Datuk Kahfi atau Syekh Maulana Idlofi nama lainnya, kemudian memberi petunjuk kepada muridnya itu. Sang guru mengingatkan, "Anakku, agar kamu berdua sama‑sama mendapatkan kesempurnaan Islam, pergilah kalian ke Baltullah negeri Mekah di tanah Arab".

          Sesudah memperhatikan nasihat gurunya, Ki Samadullah dan adiknya, pergi berlayar untuk menunaikan ibadah Haji. Sedangkan isterinya Pangeran Walangsungsang, Nyai Indang Geulis, tidak bisa ikut, karena sedang hamil.

          Pangeran Walangsungsang bersama Nyai Larasantang, berlayar menuju Tanah Arab. Di tengah perjalanan, kapal layarnya singgah di negeri Mesir. Beberapa orang pembesar dari negeri Mesir, naik ke kapal layar, degan maksud yang sama, untuk menunaikan ibadah Haji ke Mekah. Tidak terkisahkan lamanya perjalanan. Akhirnya, kapal layar yang ditumpangi Pangeran Walangsungsang dan Nyai Larasantang, tiba di pelabuhan Jedah. Kedua kakak beradik dari Cirebon Pasisir itu, menjadi perhatian seorang Walikota Mesir Syarif Abdullah yang bergelar Sultan Makmun. Syarif Abdullah, adalah keturunan Bani Hasyim, yang pernah berkuasa atas wilayah Palestina. la. menjadi Walikota Mesir, di bawah kekuasaan Sultan Mesir wangsa Ayubi, dari Bani Mameluk.

Syarif Abdullah adalah putera Ali Nurul Alim.

Ali Nurul Alim putera Jamaluddin Al Husain (Kamboja).

Jamaluddin Al Husain putera Ahmad Shah Jalaluddin.

Ahmad Shah Jalaluddin putera Amir Abdullah Khanudin.

Sedangkan Amir Abdullah Khanudin, generasi ke‑I7 keturunan Rasulullah Muhammad.

Kembali kepada Syarif Abdullah.

Ternyata, Syarif Abdullah telah jatuh cinta, kepada Nyai Larasantang. Terpikat oleh puteri keraton Pajajaran yang cantik jelita, samyasanya sang candreng patwelas suklapaksya (bersinar bagaikan benderangnya bulan tanggal empat belas).

Di tanah suci Mekah, Pangeran Walangsungsang atau Ki Samadullah, Nyai Larasantang dan Syarif Abdullah (Walikota Mesir), sama‑sama tinggal di rumah Syekh Bayanullah, adiknya Syekh Datuk Kahfi. Di rumah Ki Bayanullah itulah, Nyai Larasantang dan Syarif Abdullah Saling jatuh cinta dan mengikat janji.

…// tu-
muLuy nay larasantang pinak-
stri de nira syarifih abdullah
lawan sinungan pasengga-
han nay syariphah mudai‑
m/…

Terjemahan:

Selanjutnya, Nyai Larasantang diperisteri oleh Syarifah Abdullah dan diberi gelar Nyai (Hajjah) Syarifah Muda'im.

/ i sedeng sang raka nira
sinungan pasenggahan haji
abdullah iman a jawi // te
lung cndra tumuli haji
abdnllah iman mulih ring ja
wadwipa / mruang rayi nira ta
molah rikung//

Terjemahan:

Sedangkan kakaknya, diberi gelar Haji Abdullah Iman Al Jawi. Tiga bulan kemudian, Haji Abdullah Iman pulang ke Pulau Jawa . Dan adiknya menetap di sana.

.. // kahucapa nikang
lampah ira mulih ping jawa //
haji abdullah iman mande‑
g ing carnpanagari / ri sarnpu-
nya tekan carbon haji a-
bdullah iman dumadi rawaara-
warah agameslam ri janrnapa-
da/..

Terjemahan:

Teriwayatkan dalam perjalannya pulang menuju (Pulau) Jawa , Haji Abdullah Iman singgah di negeri Campa. Sesudahnya, tiba di Cirebon, Haji Abdullah mengajarkan agama Islam kepada masyarakat.

// hana prua pasanggaman ni-
ra haji abdullah ima-
n lawan nay indang ghelis manakta
stri nay pakungwati ngaran nira //

Terjemahan:

Adapun dari perkawinannya, Haji Abdullah Iman dengan Nyai Indang Geulis, mempunyai anak perempuan, Nyai Pakungwati namanya.

Haji Abdullah Iman memperisteri puteri Ki Gedeng Alang‑dang, yaitu Nyai Ratnariris atau Nyai Kancanalarang. Dan perkawinannya, Haji Abdullah Iman mempunyai anak laki‑laki, diberi nama Pangeran Carbon (Pangeran Cirebon) .

Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Ki Cakrabumi menjadi Kuwu kedua, yang kelak dikenal pula sebagai Embah Kuwu Sangkan. Tidak lama kemudian, kakeknya, Ki Gedeng Jumajan Jati atau Ki Gedeng Tapa, wafat. Pangeran Cakrabuana mendapat warisan, semua kekayaan dari kakeknya itu. Ki Gedeng Tapa, selain sebagai penguasa Singapura, ia juga menjadi Jurulabuan yang kaya raya. Harta warisan yang diterima oleh Haji Abdullah Imam digunakan untuk membangun Cirebon Pasisir, dijadikan sebuah kota besar. la membangun Keraton, kemudian diberi nama Pakungwati, sama dengan nama puterinya. Kata pakung, adalah sebutan lain untuk udang kecil, yang banyak didapat dari sungai Cirebon.

Kemudian, Pangeran Walangsungsang alias Haji Abdullah Imam membentuk tentara yang dilengkapi pasukan panah. Maka jadilah Cirebon, sebagai kerajaan corak Islam pertama di Kerajaan Sunda Pajajaran.

Sri Baduga Maharaja Kerajaan Sunda, sangat gembira mendengar keberhasilan puteranya. Kemudian, ia mengutus Tumenggung Jagabaya, disertai pasukan pengawalnya, untuk menobatkan puteranya. Sang Prabu mengirimkan Pratanda (tanda keprabuan) dan Anarimakna Kacakrawartyan (tanda kekuasaan), sebagai tanda pengakuan dan pengukuhan puteranya. Pangeran Walangsungsang, atau Ki Samadullah, atau Ki Cakrabumi, atau Pangeran Cakrabuana, dinobatkan sebagai Tumenggung dan diberi gelar Sri Mangana, oleh ayahnya, Sri Baduga Maharaja.



B.  SUSUHUNAN JATI CIREBON

Dalam Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I sargah 4 dan Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 4, mengenai silsilah turunan Rasulullah Muhammad, nihan tekang panusun ikang sayuktinya (begini susunan yang sesungguhnya):

//rasul muhammad manak ta pati‑
mah ajwahra pinakastri de-
ning sayidana ali ibnu
abi thalib / ing pasangga-
man nira manak sayid huse-
n assabti / sayid husen a-
ssabti manak iman jainal a-
bidin iman jainal abi-
din manak muhammad al bakir/
muhammad al bakir manak ima-
n japar sadik / iman japar sa-
dik manak ali al uraidi //

Terjemahan:

Rasul Muhammad mempunyai anak Fatimah Azzahra, diperisteri oleh Sayidina Ali ibnu Abi Thalib. Dari perkawinannya mempunyai anak Sayid Husein Assabti. Sayid Husein Assabti mempunyai anak Iman Zainal Abidin. Iman Zainal Abidin mempunyai anak Muhammad Al Bakir. Muhammad AI Bakir mempunyai anak Iman Jafar Syadik. Iman Jafar Syadik mempunyai anak Ali AI Uraidi.

Kemudian, Ali Al Uraidi mempunyai anak beberapa orang. Dua orang di antaranya: Sulaiman Al Basri dan Muhammad Annaghib (Sayid Idris), adalah generasi ketujuh turunan Rasulullah Muhammad.

Sulaiman Al Basri menetap di Parsi (Iran), mempunyai anak beberapa orang. Salah seorang di antaranya Abu Zain Al Basri.

Abu Zain Al Basri mempunyai anak Ahmad Al Baruni.
Ahmad Al Baruni mempunyai anak Sayid Idris Al Malik.
Sayid Idris Al Malik mempunyai anak Muhammad Makdum Sidik.
Sayid Muhammad Makdum Sidik mempunyai anak Sayid Hibatullah.
Sayid Hibatullah mempunyai anak Sayid Maimun.
Sayid Maimun mempunyai anak Fatimah, diperisteri oleh Sayid Hassan. la meninggal dunia di Jawa  Timur.

Dari perkawinannya, Fatimah dengan Syekh Sayid Hassan dari negeri Arab bagian selatan, mempunyai anak beberapa orang. Salah seorang di antaranya, yaitu Sayid Abdurrakhman yang menetap di kota Tarim. Sayid Abdurrakhman orang kaya. Mempunyai anak beberapa orang. Salah seorang di antaranya wanita, yaitu Sarah. Sarah diperisteri oleh Sayid Abdul Malik. Dari perkawinannya, mempunyai anak beberapa orang.

Sayid Abdul Malik, dari Tarim pindah ke India bersama anak isterinya. Oleh karena itu, Sayid Abdul Malik mempunyai isteri lagi, kepada puteri pejabat daerah negeri India. Dari sejak itulah, Syekh Abdul Malik mendapat sebutan Asamat Khan.

Adapun Abdul Malik, anak Alwi Amir Pagih.
Alwi Amir Pagih anak Muhammad.
Muhammad anak Ali AI Ghayam.
Ali AI Ghayam anak Sayid Alwi.
Sayid Alwi anak Muhammad.
Muhammad anak Ubaidillah.
Ubaidillah anak Ahmad Al Muhajir.
Ahmad AI Muhajir anak Isa Al Basri.

Isa Al Basri anak Muhammad Anaghib, yaitu adik dari Sulaiman Al Basri. Kedua‑duanya, sama-sama generasi ketujuh keturunan Rasulullah Muhammad. Sebab, Sayid Abdul Malik dengan isterinya Sarah, asalnya merupakan satu keluarga.

Riwayat selanjutnya, Sayid Abdul Malik dengan puteri India, mempunyai anak beberapa orang. Salah seorang di antaranya, bergelar Al Amir Abdullah Khannudin atau Maulana Abdullah nama lainnya.

Abdullah Khannudin, mempunyai anak beberapa orang. Salah seorang di antaranya: Al Amir Ahmad Syah Jalaluddin, disebut juga Zainal Abidin Al Kabir.

Kemudian Al Amir Ahmad Syah Jalaluddin, mempunyai anak beberapa orang. Salah seorang di antaranya: Imam Jamaluddin Al Husein, atau disebut juga Jamaluddin Al Kabir.

Dari India, Imam Jamaluddin Al Husein pindah ke Kamboja, yang seterusnya menetap di sana, sebagai guru agama Islam, mengajar penduduk di sana.

Riwayat selanjutnya, Imam Jamaluddin AI Husein atau disebut Sayid Husein, mempunyai anak beberapa orang, tiga di antaranya:

1.    Ali Nurul Alim;
2.    Barkat Zainal Alim; dan
3.    Ibrahim Zainuddin Al Akbar.

Ali Nurul Alim, menetap di negeri Mesir, mempunyai isteri seorang puteri Mesir. Mempunyai anak beberapa orang, empat di antaranya:

1.    Syarif Sulaiman Al Bagdad; menjadi penguasa di salah satu kota negeri Bagdad, tidak mempunyai anak.

2.    Syarifah Halimah; yang diperisteri oleh Syekh Datuk Kahfi, menjadi guru agama Islam di Hujung Mendini (Malaysia).

3.    Syarif Abdullah Al Masir; menjadi Walikota di negeri Mesir, memperisteri Larasantang atau Syarifah Muda'im, puteri Sri Baduga Maharaja dari Kerajaan Sunda Pajajaran.

4.    Syarif Abubakar; disebut juga Syarif Ungkah Jutra.

Ketika menetap di negeri Bagdad, Syarifah Halimah dengan Syekh Datuk Kahfi (Syekh Nurjati alias Syekh Maulana Idlafi), mempunyai anak 4 orang, masing masing ialah:

1.    Syarif Abdurakhman;
2.    Syarifah Bagdad;
3.    Syarif Abdurakhim;
4.    Syarif Hafiddin Abbas.

Keempat orang anak Syekh Datuk Kahfi dari Syarifah Halimah, menjadi anak angkat uwanya, yaitu Sultan Sulaiman Al Bagdad, hingga keempat anak itu mencapai usia remaja (pemuda). Hal itu tetjadi, karena ayahnya (Syekh Datuk Kahfi), pergi ke Jawa dwipa, dan menetap di Giri Amparan Jati Cirebon.

Riwayat yang menjadi penyebab, hingga Syekh Datuk Kahfi tinggal di Dukuh Pasambangan, yaitu ketika Syekh Datuk Kahfi tinggal di Parsi (Iran). Bersama 12 pengikutnya (I0 laki‑laki dan 2 wanita), ia menjadi duta negeri Parsi, untuk menggalang persahabatan dengan Ki Gedeng Tapa, Juru Labuan Muara Jati Cirebon.

Syekh Datuk Kahfi, oleh Ki Gedeng Tapa, diminta untuk menjadi guru agama Islam di Singapura (Cirebon). Di sanalah Syekh Datuk Kahfi menyebarkan Islam di daerah; Pasambangan, Junti, Japura, Panjunan dan beberapa desa lainnya. Syekh Datuk Kahfi menetap di desa Pasambangan, menikah dengan Hadijah, cucunya Haji Purwa Galuh.

Setelah menguraikan silsilah keturunan Rasulullah Muhammad sampai kepada Syekh Datuk Kahfi, pada naskah yang sama ditegaskan pala;

kang sayuktinya sakweh
ing kamastwing athawa si-
nebut wali / kumwa juga
sunan lawan dan accarya-
gameslam ri nusannusa i bhu-
mi nusantara mwang len naga-
ri yatiku hujung mendini //
campa / kamboja / bharata-
nagari / parsi / athawa sa-
keng masaring tekeng ma-
gribi mwang lenya waneh /
hana ta putro pada-
na ning rasul muhammad
mangkana juga sira seh
datuk khahphi lawan wali‑
wali lenya / kumwa ju‑
ga lawan sira seh le‑
mah abang/ mangkana pasana‑
kan nira//

Terjemahan:

Sesungguhnya, semua itu para Kamastu atau disebut Wali. juga semua Sunan dan Guru Agama Islam di kepulauan Nusantara dan negeri lainnya: Hujung Mendini, Campa, Kamboja, Bharatanagari (India), Parsi (Iran) atau dari Masrik sampai Magrib dan yang lainnya lagi, dari setiap turunan Rasul Muhammad. Begitu juga Syekh Datuk Kahfi dan Wali‑wali lainnya. Begitu juga dengannya Syekh Lemah Abang beserta keturunannya.

Maka jelaslah sudah, yang disebut Wall itu adalah: para Kamastu, Sunan dan Guru Agama Islam, dari setiap keturunan Rasulullah Muhammad.
Selanjutnya, dalam naskah yang sama diriwayatkan pula silsilah tokoh-tokoh penyebar agama Islam lainnya, yang ada kaitannya dengan alur keturunan Rasulallah Muhammad, antara lain sebagai berikut:

Syekh Abdullah Khanuddin, mempunyai anak beberapa orang, dua orang di antaranya; pertama, Al Amir Ahmad Syah Jalaluddin, kedua, Syekh Khadir Kaelani. Selanjutnya, Syekh Kadir Kaelani mempunyai anak Syekh Maulana Isa atau Syekh Datuk Isa, yang menetap di negeri Malaka.

Syekh Datuk Isa mempunyai anak beberapa orang, di antaranya:

1.    Syekh Datuk Ahmad; mempunyai anak beberapa orang. Tiga orang di antaranya yaitu; yang pertama perempuan, yang kedua Syekh Datuk Kahfi, dan yang ketiga Syekh Bayan.

2.    Syekh Datuk Soleh; mempunyai anak Syekh Abdul Jalil atau Syekh Jabaranta alias Syekh Lemah Abang, mempunyai anak Syekh Datuk Pardun.

Itulah alur turunan Iman Jamaluddin Al Husein (Jamaluddin Al Kabir atau Sayid Husein), dari garis putera pertamanya: Ali Nurul Alim. Sedangkan alur garis keturunan dari putera keduanya (Barkat Zainal Alim), adalah sebagai berikut:

1.    Barkat Zainal Alim mempunyai putera beberapa orang. Dua orang di antaranya, yaitu:

2.    Maulana Abdul Ghafur atau Maulana Malik Ibrahim; dan
3.    Ahmad Syah Zainul Alim

Salah seorang putera Maulana Abdul Gafur (Maulana Malik Ibrahim), yaitu Maulana Makdur Ibrahim, yang mempunyai anak beberapa orang.

Dua orang di antaranya, yaitu:

1.    Maulana Fadhillah Al Paseh atau Wong Agung Paseh Tubagus Paseh; selanjutnya menjadi Bupati Sunda Kalapa, dengan gelar Fadhillah Khan Al Paseh ibnu Maulana Makdur Ibrahim Al Gujarat;

2.    Syarifah Habibah binti Maulana Makdur Ibrahim Al Gujarat; kemudian menetap di Panguragan Cirebon, dengan nama sebutan Nyai Agheng Panguragan.

Putera Iman Jamaluddin Al Husein yang ketiga, yaitu Ibrahim Zainuddin Al Akbar atau Maulana Syamsu Tamres, atau lebih dikenal dengan sebutan Syekh Ibrahim Akbar, menetap di Kamboja. Tokoh inilah yang sempat dikunjungi oleh Pangeran Cakrabuana (Haji Abdullah Iman), ketika perjalanan pulang setelah menunaikan ibadah haji dari Mekah.

Ibrahim Zainuddin Al Akbar mempunyai isteri puteri raja Campa, yaitu Dewi Candrawulan. Adik Dewi Candrawulan, yaitu Dewi Darawati, tinggal di Pulau Jawa  menjadi isteri Raja Majapahit Brawijaya V atau Prabu Kertabumi.

Dari perkawinan Ibrahim Zainuddin Al Akbar dengan Dewi Candrawulan, dikaruniai beberapa orang anak. Dua di antaranya yaitu;

1.    Ali AI Mustada; dikenal dengan sebutan Tubagus Alimin
2.    Ali Rakhmatullah; dikenal dengan sebutan Tubagus Rakhmat.
3.  Ali Rakhmatullah atau Tubagus Rakhmat alias Raden Rakhmat, sejak usia muda sudah menekuni ilmu agama Islam. la berguru kepada ayahnya di negeri Campa, selesai berguru ia pergi ke Pulau Jawa.

Dalam perjalanannya, singgah di Palembang, Sumatera. Di Palembang, Ali Rakhmatullah tinggal selama 6 bulan, di sana sempat mengajarkan agama Islam kepada penduduk. Hingga Bupati Palembang yaitu Arya Damar, memeluk agama Islam dengan gelar Arya Dillah.

Arya Dillah atau Arya Damar, adalah bupati dari Majapahit untuk Palembang. Karena pada waktu itu, Palembang merupakan wilayah kekuasaan Majapahit. Arya Dillah memperisteri seorang puteri Cina, yaitu Siu Ban Ci, dan mempunyai anak Raden Kusen (yang kelak disebut Dipati Terung).

Ratna Siu Ban Ci (puteri Tan Go Wat alias Ki Bentong), adalah janda Prabu Kretabhumi atau Prabu Brawijaya V. Dari perkawinannya dengan Raja Majapahit ini, Siu Ban Ci dikaruniai anak bernama Jin Bun atau Raden Praba (kelak bernama Raden Patah).

Setelah enam bulan di Palembang, Ali Rakhmatullah melanjutkan perjalanannya ke Pulau Jawa, dan singgah di negeri Banten. Setelah menetap beberapa lama, Ali Rakhmatullah berangkat kembali, menuju ke Jawa  Timur, untuk menemui uwanya di Keraton Majapahit.

Di Keraton Majapahit, Ali Rakhmatullah menemui Ratu Darawati, isteri Brawijaya V Prabu Kertabunu. Ratu Darawati, adalah kakak Candrawulan (ibunda Ali Rakhmatullah).

Atas usulan Ratu Darawati, oleh Prabu Kertabumi, Ali Rakhmatullah diberi sebidang tanah perdikan di Ampel Denta. Kemudian, Ali Rakhmatullah menetap di Ampel Denta itu (Surabaya).

Ali Rakhmatullah mengajarkan agama Islam kepada penduduk Ampel Denta. Dalam jangka 3 tahun, semua penduduk Ampel Denta, memeluk agama Rasul Muhammad. Di sanalah Ali Rakhmatullah atau Tubagus Rakhmat alias Raden Rakhmat, mendapat julukan Susuhunan Ampel (Sunan Ampel).

Ali Rakhmatullah atau Sunan Ampel, berjodoh dengan puteri bupati Tuban (Arya Teja), yaitu Ratnawati alias Nyai Ageng Manila. Dari perkawinannya, dikaruniai anak beberapa orang, empat orang di antaranya:

1.    Maulana Makdum Ibrahim yang bergelar Sunan Bonang;
2.    Maulana Syarifuddin yang bergelar Sunan Drajat;
3.    Nyai Ageng Maloka atau Nyai Ageng Tendes; dan
4.    Puteri, yang diperisteri oleh Raden Sahid (Sunan Kalijaga), putera bupati Tuban (Tumenggung Majapahit).

Selain dengan puteri Sunan Ampel, Raden Sahid alias Sunan Kalijaga berjodoh pula dengan Dewi Saroh, puterinya Maulana Ishak. Mereka dikaruniai tiga orang anak, antara lain:

1.    Raden Umar Sahid yang bergelar Sunan Murya (ketika belum dewasa bernama Raden Prawoto); memperisteri puteri Sunan Undung, yaitu Dewi Sujinah;
2.    Dewi Rukayah;
3.    Dewi Sofiyah.

Perkawinan Sunan Murya dengan Dewi Sujinah (adik Sunan Kudus), dikaruniai anak laki‑laki, yaitu Pangeran Santri dengan gelar Sunan Kadilangu.

Sunan Kudus atau Jafar Syadik, memperisteri puteri Maulana Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang, yaitu Dewi Rukhil, dan mempunyai anak laki‑laki, yaitu Raden Amir Hassan.

Dari isterinya yang lain, yaitu puterinya Pangeran Pecat Tanda Terung, Sunan Kudus dikaruniai delapan anak laki‑laki dan perempuan. Di antaranya, masing masing:

1.    Nyai Ageng Pembayun;
2.    Panembahan Palembang;
3.    Panembahan Mekaos Hanggakusuma;
4.    Panembahan Kodi;
5.    Panembahan Karimun;
6.    Penambahan Joko;
7.    Ratu Pakoja; dan
8.  Ratu Prodo Binabar, yang berjodoh dengan Pangeran Poncowati yang menjadi Senapatinya Sunan Kudus.

Selanjutnya, diriwayatkan silsilah keturunan Ali Rakhmatullah dari isterinya yang kedua, yaitu Siti Khorimah, puteri Ki Wiryosarojo. Mereka dikaruniai anak perempuan dua orang, yaitu:

1.    Siti Murtasiyah; berjodoh dengan Raden Paku yang bergelar Sunan Giri;
2.    Siti Mursimah.

Raden Paku alias Sunan Giri, adalah puteranya Maulana Ishak, dari isterinya yang berasal dari Blambangan. Sunan Giri berjodoh juga dengan Siti Wardah, puterinya Ki Ageng Bungkul.

Selanjutnya Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, parwa II sarga 4, dan Pustaka Pararatwan i Bhumijawadwipa, parwa I sarga 4, meriwayatkan secara rinci tokoh Syarif Hidayat, antara lain sebagai berikut:

..//ipa-
sanggaman nira sariph abdullah
lawan sanphah mudaim mana-
k ta jala rwang siki/ ya ta
pantaranya sowangsowang/sya-
riph hidayat lawan syariph nuru-
llah ngaran nira

Terjemahannya:
Dari perkawinannya, Syarif Abdullah dengan Syarifah Muda'im (Nyai Larasantang), mempunyai anak dua orang, di antaranya masing‑masing ialah, Syarif Hidayat dan Syarif Nurullah namanya.

.. / ing pasanggama-
n nira nay sariphah mudaim la-
wan syariph abdullah manak ta
jalu syariph hidayat ngaran i-
reng saharsa telungatu-
s pitung puluh ikang saka-
kala //

Terjemahannya:
Dari perkawinannya, Syarifah Muda'im dengan Syarif Abdullah, mempunyai anak laki‑laki, Syarif Hidayat namanya. Lahir tahun 1370 Saka (1448 Masehi).

ri sampunya syariph hidayat yuswa taruna / akara Twang puluh warsya / rasika dharmestha mwang ahyun dumadyaken accaryagameslam / matangyan lungha to ya ring mekah // ri kanang rasika maguru ring seh tajuddin al kubri laurasnya rzuang warsya/ irika to ya ringseh ataullahi sajjilli ngaran aranung panganutanya imam saphii// ring huuncs Twang warsya / tumuluy rasika lungha ring kitha bagdad/ ng kana magunn tasawwuph rasul laman tamolah ing pondok unuang pasanak rama nira // tumuluy mulih to ya ring masimagan // syariph hidayat urns makolih akweh ngaran ira ya to sayid al kamil seh nurrudin ibrahim ibnu maulana sultan mahmud cl khibti ngaran ira waneh //

Terjemahan:
Sesudah Syarif Hidayat menjadi pemuda, baru berusia dua puluh tahun, bersikap saleh dan ingin menjadi guru agama Islam. Oleh karena itu pergi dari Mekah. Di sana berguru kepada Syekh 'Tajuddin al Kubri, lamanya dua tahun. Pada waktu itulah, dari Syekh Athallahi Sajjilli, ia mengetahui nama anutan mazhab Imam Syafi'i. Selesai dua tahun. Selanjutnya pergi ke kota Bagdad. Di sana berguru Tasawuf Rasul dan tinggal di pesantren saudara ayahnya. Selanjutnya pulang ke negeri Mesir. Syarif Hidayat sudah mendapatkan banyak nama, yaitu Sayid Al Kamil, Syekh Nuruddin Ibrahim ibnu Maulana Sultan Mahmud Al Khibti nama lainnya.

ateher syariph hidayat lungha ring Jawa dwipa // ikang lampahnya rasika mandeg ring ghujarat tamolah ri kanang lawasnya telung candra /

Terjemahannya:
Kemudian Syarif Hidayat pergi ke Pulau Jawa . Dalam perjalanannya, singgah di Gujarat. Tinggal di sana lamanya tiga bulan.
Ketika singgah di Gujarat, Syarif Hidayat bertemu dengan Dipati Keling, bersama 98 anak buahnya, kemudian masuk agama Islam dan menjadi muridnya. Kemudian, mereka berlayar bersama‑sama, menuju Pulau Jawa . Sebagaimana yang terungkap dalam Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawa dwipa, parwa parwa I sarga 4, antara lain sebagai berikut:
..//ing lampahira dipati kheling sakeng bharatanagara lawan wadzuanya sakweh ira sangang puluh punjul wmalu / sinelamakna de nira syariph hidayat/ dipati kheling lawan wadruanya manut lawan sayid kamil/

Terjemahan:
Dalam perjalanannya (Syarif Hidayat), disertai Dipati Keling dari India serta anak‑buahnya, yang semuanya berjumlah 98 orang, di‑Islam‑kan oleh Syarif Hidayat. Dipati Keling serta anak buahnya setia (mengabdi) kepada Sayid Kamil.

tumuluy ring pasehnagnri / ngke syariph hidayat tamolah ring pondok wuang pasanak ira ya to / sayid ishak dumadi accaryagameslam ing pa‑
hvsnltanan Paknnguati C'irebon
sehnagan i swarnadwapa // ing
pasehnagari lawas ira nuan war‑
sya //

Terjemahan:
Selanjutnya, (singgah) di negeri Pasai. Di sana Syarif Hidayat tinggal di Pesantren saudaranya, yaitu Sayid Ishak yang menjadi guru agama Islam di negeri Pasai, Sumatera. Di negeri Pasai (tinggal) selama dua tahun.

Selanjutnya, Syarif Hidayat alias Sayid Kamil, singgah di Banten (mungkin Banten Pasisir), mengajarkan agama Islam di sana, berjodoh dengan puteri Adipati Banten, Nyai Kawung Anten. Sesungguhnya, Syarif Hidayat singgah di Banten, ingin bertemu dengan Ali Rakhmatullah.

makanimitta sayid kamil lu‑
ngha ring ngampel lawan maha
wan prahwanya wwang Jawa  we
tan/ sakamatyan ika
para wali sakwehnya hana
rikn / sira sowangsowang wi
neh ta swakarya mawarah
marah agama rmul ring janma
padaneng desyadesya kang ma
ngannt syiwabudha //

Terjemahan:
 Itulah sebabnya Sayid Kamil (Syarif Hidayat) pergi ke Ampel, naik perahunya (kapal layar) orang Jawa  timur. Pada waktu itu para Wali semuanya ada di sana. Masing‑masing diberi pekerjaan (berkewajiban) mengajarkan agama Rasul (Islam) kepada penduduk desa-desa yang menganut agama Syiwa‑Budha.

 Syarif Hidayat bersilaturakhmi dan berkenalan dengan para Wali yang berada di Jawa  Timur. Selanjutnya, Syarif Hidayat atau Sayid Kamil, bersama Dipati Keling dan anak‑buahnya, berlayar menuju Cirebon. Kunjungannya ke Cirebon, untuk menemui uwanya (kakak ibunya), Sang Tumenggung Sri Mangana Pangeran Cakrabuana Haji Abdullah Iman, penguasa Kerajaan Islam Pakungwati Cirebon.

 Di Kerajaan Islam Pakungwati Cirebon, Syarif Hidayat atau Sayid Kamil, menemui uwanya, Sang Tumenggung Sri Mangana Pangeran Cakrabuana Haji Abdullah Iman. Alangkah sukacitanya Sri Mangana, ketika ditemui oleh anak adiknya (suwannya) itu.

Begitu pula Syarif Hidayat, sangat gembira, dapat bertemu dengan uwanya, yang telah berhasil mendirikan Kerajaan Islam pertama, di Kerajaan Sunda. Akhirnya, Syarif Hidayat bersama Dipati Keling serta 98 anak‑buahnya, menetap di Pakungwati Cirebon.

Syarif Hidayat, Dipati Keling serta 98 anak buahnya, ditempatkan di Giri Sembung Amparan Jati (Gunung Jati). Syarif Hidayat diberi jabatan sebagai Guru Agama Islam di Pondok Quro Amparan Jati, sebagai pengganti Syekh Datuk Kahfi. Syarif Hidayat berjodoh dengan kakak sepupunya, Nyai Mas Pakungwati.

sembung syariph hidayat si nebut maulana jati / syeh jati ngaran ira waneh // tumuluy magawe pondok riknng// datan lawas pantara ning janmapada akweh ikang maguru ring sayid kamil / hana pwa syariph hidayat ya to sayid al kamil kang tumuli makanama susuhunan jati / sunan carbon ngaran ira waneh // sangang warsa ri huwusnya sira tamolah ing Jawa dwipa //

Terjemahan:
Di Giri Sembung, Syarif Hidayat disebut Maulana Jati atau Syekh Jati sebutan lainnya. Selanjutnya mengelola (magawe) pesantren itu. Setelah beberapa lama kemudian, semua penduduk berguru kepada Sayid Kamil. Adapun Syarif Hidayat, yaitu Sayid Al Kamil, kemudian lebih dikenal dengan sebutan Susuhunan Jati atau Sunan Cirebon nama lainnya. Sembilan tahun sudah ia berada di Pulau Jawa .

Sang Tumenggung Sri Mangana Pangeran Cakrabuana Haji Abdullah Iman, mempunyai penilaian tersendiri kepada Syarif Hidayat. Demi untuk kepentingan penyebaran Islam, Sang Tumenggung mewariskan tahtanya, kepada suwan yang sekaligus menantunya, Syarif Hidayat.

.......//sya_
riph hidayat rinatwaken to
sira dumadi ratu carbon de
ning uwa nira pangeran cakrc
bhuana pinaka tumenggung
tunggaling rajya carbon lawan na
masyidam susuhunan jati //

Terjemahan:
Syarif Hidayat dilantik menjadi Raja Cirebon oleh uwanya Pangeran Cakrabuana, sebagai Tumenggung Kerajaan Cirebon, dengan gelar Susuhunan Jati.

.......// rasi‑
ka dumadi ratu mahardhika
hanging pajajaran aisyanya
ri sunda i bhumi Jawa  kulwan /
sakamatyan ika para kama
stwing ikang sangan manungsung sukha
mwang mangastungkara ring Pabhiseka
n ira ika / yadyapi maka
behan ira / sang pinakadi
slam hanging Jawa dwipa /

Terjemahannya:
Dia menjadi raja mahardika (memerdekakan diri) dari naungan Sunda Pajajaran di bumi Jawa  Barat. Pada waktu itu, para Wali Sanga (di Jawa Timur) menyambut gembira, menyerukan pujian atas penobatannya, dan semua memberikan dukungan, untuk meng Islanrkan (penghuni) Pulau Jawa.

Semua pemimpin masyarakat desa di Cirebon sangatlah suka-cita. Pejabat penguasa daerah, pesta meriah, mengadakan syukuran di Paseban Keraton Pakungwati.

Untuk mengukuhkan penobatan Susuhunan Jati, dilakukan oleh para Wali dari Jawa  Timur, yang dihadiri pula oleh Raden Patah sebagai Sultan Demak. Mereka hadir di Keraton Pakungwati Cirebon, disertai armada laut dan balatentara Kesultanan Demak, yang dipimpin oleh Panglima Fadhillah Khan.

ateher kamasturing ikang sangan manganugrahani ring susuhunan jati kakawasan dumadi panetep panatagama rat sunda i bhumi Jawa  kulwan ikang tamalah ing kitha carbon.

Terjemahannya:
Kemudian Wali Sanga menganugerahi gelar kekuasaan kepada Susuhunan Jati menjadi Panetep Panatagarna rat Sunda i Bhurni Jawa  Kulwan (Panetep Panatagama kawasan Sunda di Bumi Jawa  Barat) berkedudukan di negeri Cirebon.

Karena tanpa persetujuan pemerintahan pusat (Pakuan Pajajaran), Sri Baduga Maharaja mengutus Tumenggung Jagabaya bersama pasukan pengawalnya, untuk menertibkan dan mengatasi keadaan di Cirebon. Ketika Tumenggung Jagabaya beserta pasukan pengawalnya tiba di Cirebon, mereka disergap di Gunung Sembung oleh pasukan gabungan Cirebon‑Demak yang dipimpin oleh Senapati Demak Fadhillah Khan. Tumenggung Jagabaya dan pasukan pengawalnya, akhirnya masuk agama Islam.

Karena Tumenggung Jagabaya serta pasukan pengawalnya, lama tidak kembali ke Pakuan, Sri Baduga Maharaja segera mempersiapkan angkatan perang besar Kerajaan Sunda Pajajaran. Akan tetapi, niatnya untuk menyerang Pakungwati Cirebon, dapat dicegah oleh penasihatnya Ki Purwagalih.

Ki Purwagalih mengingatkan kepada Prabu Siliwangi, bahwa:
1.    Syarif Hidayat, adalah cucunya sendiri dari Larasantang;
2.    Syarif Hidayat, adalah menantu Walangsungsang, atas pernikahannya dengan Pakungwati; dan
3.    Penobatan awal Syarif Hidayat, atas kehendak Pangeran Cakrabuana, puteranya sendiri.

"Betapa tidak terpujinya, Sang Kakek memerangi cucunya," itulah yang dinasihatkan oleh Ki Purwagalih kepada Sri Baduga Maharaja.

http://www.zonawin.com
Taruhan Bola

No comments:

Post a Comment