Sunday 16 August 2015

Sejarah Kerajaan Sunda | Part 1

SEJARAH KERAJAAN-KERAJAAN DI TATAR SUNDA
Kumpulan Tulisan Pengeran Wangsakerta



BAGIAN 1: PENDAHULUAN

I.            SEJARAH DAN SASTRA
         
Sesungguhnya, sebagian besar isi dari kitab suci Al Qur'an, dapat ditafsirkan sebagai Mahasejarah. Pengetahuan tentang riwayat kehidupan manusia, hayat para Nabi dan Rasul, semua itu dapat diketahui berdasarkan informasi dari kitab suci Al Qur'an.

Kadzalika nuaqushu `alaika min ambaa‑i maa qod sabaqo. Waqod a'tainaka minladunna dzikron. (Surat Thahaa, Ayat 99).

Terjemahan:
Demikianlah Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) sebagian kisah umat yang telah lalu, dan sesunguhnya telah Kami berikan kepadamu dari sisi Kami suatu peringatan (Al‑Quran).

          Pengertian tentang Sejarah menurut G.R. Elton dan Henri Pirenne, kurang lebih sebagai berikut:
Sejarah adalah suatu hasil studi tentang perbuatan dan hasil‑hasil kehidupan manusia dalam masyarakatnya di masa silam.

Sejarah, diungkapkan melalui studi disiplin ilmu:
1.    Filologi, ilmu yang mempelajari tulisan dan bahasa pada naskah‑naskah kuno pada lontar, daluwang, kertas;
2.    Epigrafi, ilmu yang mempelajari tulisan dan bahasa kuno pada batu, kayu, logam, yang dikenal sebagai prasasti;
3.    Arkeologi, ilmu yang mempelajari benda‑benda peninggalan sejarah (artefak).

          Ilmu pengusung lainnya, adalah geografi sejarah (ilmu yang mempelajari peta sejarah), linguistik (ilmu yang mempelajari kebahasaan) dan antropologi (ilmu yang mempelajari kebudayaan).

Sedangkan di pihak lain, pengertian tentang "sejarah", umumnya berupa dongeng, cerita, tambo, legenda, mitos, dan lain sebagainya. Seperti halnya yang dipahami oleh umumnya masyarakat Sunda, yang dianggap "sejarah" tersebut, adalah: dongeng, sasakala, pantun, wawacan, babad dan lain-lain. Padahal, ragam tersebut, berada di wilayah disiplin ilmu Sastra.

          Tidak dapat dipungkir, di dalam pemahaman kehidupan sehari‑hari, antara Sejarah dengan Sastra, memiliki pemisah yang sangat tipis. Masyarakat sulit untuk bisa membedakan, yang mana Sejarah dan yang mana Sastra. Oleh karena itu, sejarah yang akan diungkapkan dalam buku ini, pembahasannya sedapat mungkin sudah dikaji terlebih dahulu berdasarkan disiplin ilmu Sejarah. Sedangkan sumber‑sumber Sastra (sasakala, pantun, wawacan dan babad), sampai taraf tertentu, hanya dijadikan sebagai sumber pembanding.

          Untuk memudahkan pembaca umum (masyarakat luas), pembahasan dalam buku ini, beberapa ketentuan yang bertalian dengan sistematika, metodologi dan penulisan ilmiah sejarah yang ketat, sedapat mungkin disederhanakan. Hal tersebut sangat disadari, agar sejarah yang dianggap wilayah kering, akan menjadi lahan yang subur, mudah dipahami dan tersosialisasi dengan baik.
  


II.         SUMBER PUSTAKA WANGSAKERTA

         Kehadiran naskah‑naskah kuno (pustaka) Pangeran Wangsakerta Cirebon abad ke‑17 Masehi, setelah diuji secara filologi oleh para akhli, Tim Penggarap Naskah Pangeran Wangsakerta (dipimpin oleh Prof Dr. H. Edi S. Ekadjati, Program Kerja Yayasan Pembangunan Jawa Barat, 1989‑1991), telah menjadi sumber yang berharga bagi ilmu pengetahuan sejarah.

      Nama Pangeran Wangsakerta mulal menarik minat kalangan sejarah, setelah diterbitkan naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, yang ditulis oleh Pangeran Arya Cirebon dalam tahun 1720. Pangeran Arya Cirebon alias Pangeran Adiwijaya, adalah putera bungsu Sultan Kasepuhan pertama. la kemenakan Pangeran Wangsakerta.

          Dalam percaturan Sejarah Tatar Sunda, Priangan khususnya, nama Pangeran Arya Cirebon cukup dikenal, karena sejak tahun 1706 ia ditunjuk oleh Kompeni Belanda menjadi opzichter para bupati di Priangan. la dinilail amat berhasil dan amat pandai, sehingga, setelah wafat dalam tahun 1723, Kompeni Belanda tidak sanggup mencari penggantinya, karena dianggap tidak ada tokoh yang mampu menyamainya.

          Naskah Purwaka Caruban Nagari, memiliki kadar kesejarahan yang jauh lebih tinggi (jika dibandingkan dengan naskah babad atau sejenisnya), karena menyebutkan sumber penulisnya. Kalimat terakhir naskah tersebut memberitakan, bahwa cerita itu disusun oleh Pangeran Arya Cirebon, berdasarkan naskah Pustaka Nagara  Kretabhumi karya Pangeran Wangsa kerta.

Sebenarnya masih ada sebuah naskah lain, yang menyebutkan Pustaka Nagara Kretabhumi sebagai sumber, yaitu Pustaka Pakungwati Cirebon (1779 M) yang disusun oleh Wangsamanggala (Demang Cirebon) bersama Tirtamanggala (Demang Cirebon Girang). Dalam naskah ini, hanya pada halaman akhir disebutkan sebagai kutipan dari Pustaka Nagara Kretabhumi, yaitu mengenai pernah adanya Kerajaan Tarumanagara, dengan raja-rajanya yang memakal nama Warman sebagal pendahulu Kerajaan Pajajaran. Bagian selebihnya, tampil dalam gaya sastra babad biasa, yang penuh dengan hal-hal sensasional dan dibumbui supranatural.

Sejak naskah Purwaka Caruban Nagari diterbitkan tahun 1972, mulallah nama Pangeran Wangsakerta dikenal umum, sebagai pujangga penyusun naskah Pustaka Nagara Kretabhumi. Namun tak seorangpun mengetahui, naskah tersebut benar‑benar pernah ada atau tidak, dan kalau ada, tak seorangpun yang mengetahui tempatnya.

Setelah pelacakan yang intensif, namun dilakukan secara diam-diam selama 5 tahun oleh Drs. Atja, akhirnya naskah Pustaka Nagara Kretabhumi mulai ditemukan dan dibeli oleh Museum Negeri Sri Baduga (Jawa Barat) dalam pertengahan tahun 1977. Setelah itu, secara berturut‑turut, naskah-naskah lain karya Pangeran Wangsakerta, disampaikan kepada Museum Negeri Sri Baduga Jawa Barat dari para pemiliknya, yang kebanyakan berdomisili di luar Jawa.

          Pakar sejarah Edi S. Ekadjati, dalam buku Naskah Sunda (1988), meriwayatkan tentang penemuan 47 buah naskah Pustaka Wangsakerta. Empat buah naskah di antaranya, ditemukan di Banten, antara lain:

1.    Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara (Parwa II, Sarga 2), dikumpulkan antara tahun 1967‑1969 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan (69 lembar) dari seorang pedagang, dan di Serang (Banten) sebanyak 33 lembar. Pada tahun 1977 naskah ini dijilid dan sudah lengkap. (Pemberi keterangan Siradjudin, tanggal 5‑2‑1978);

2.    Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara (Parwa II, Sarga 3). Sebagian naskah ditemukan pada tahun 1949 di Palembang dan sebagian lainnya di Banten, dari seorang dukun keliling penjual jamu. Beberapa naskah yang ditemukan di Palembang pada tahun 1964, sebagian terendam lumpur, akibat banjir Sungai Musi. Baru tahun 1979, naskah ini terkumpul lengkap, setelah digabungkan dengan naskah yang ditemukan di Banten;

3.    Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara (Parwa III, Sarga 5), dari Banten tanggal 4 September 1983;

4.    Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa (Panyangkep), sebagian dari Palembang (Atmo Darmodjo), sebagian dari Serang (Yusuf, dan sebagian lagi dari Jambi (Hassan). Dikumpulkan tahun 1926‑1931 dan dijilid tahun 1978;

          Dari 47 naskah Pangeran Wangsakerta, dapat diketahui, bahwa tebal tiap jilid bervariasi antara 100 sampal 250 halaman, dengan isi antara 21 sampal 23 baris tiap halaman. Berdasarkan laporan pengujian secara kimiawi di laboratorium Arsip Nasional (1988), kertas daluang yang digunakan dalam naskah‑naskah Pangeran Wangsakerta, sudah berusia lebih dari 100 tahun. Penelitian usia naskah‑naskah tersebut, kini sedang dilakukan di sebuah laboratorium di Jepang. Walaupun demikian, naskah‑naskah Pangeran Wangsakerta, sudah dapat dikategorikan ke dalam Naskah Kuno. Naskah‑naskah tersebut ditulis dengan tinta japaron, menggunakan aksara dan bahasa Kawi Jawa Kuno, gaya Cirebon.

Edi S. Ekadjati dalam Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 5A, Jawa Barat Koleksi Lima Lernbaga (1999), memperinci kondisi naskah‑naskah Pustaka Wangsakerta, di antaranya sebagal berikut:

Judul Naskah, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara.

Bahasa: Jawa Cirebon; aksara: Cacarakan; bentuk: Prosa; bahan naskah: Dluwang; Sampul: kertas tebal terbungkus kaln blacu; tebal: 214 halaman, halaman yang ditulis: 213 halaman, 1 halaman kosong; tinta hitam, tulisan umumnya masih terbaca.
Ukuran; sampul: 35,5 x 27,5 cm; halaman: 35,5 x 27,5 cm; tulisan: 32 x 22 cm.

Penomoran halaman ada dengan angka Cacarakan 1‑212 dan dua halaman tanpa nomor, yaitu halaman awal dan akhir. Penulisan nomor halaman pada margin atas tengah.

Keadaan fisik umumnya masih baik dan terpelihara. Kertas sangat kusam kehitam‑hitaman. Setiap lembar halaman dibingkal garis ganda, dan penjilidan ketat sehingga apabila dibuka salah satu permukaan halamannya melenting (Ekadjati,1999:187).

          Dari naskah‑naskah yang terkumpul di Museum Negeri Sri Baduga (Jawa Barat), ternyata ada empat macam seri sejarah yang telah disusun oleh Pangeran Wangsakerta dan kawan‑kawan, yaitu:
 1.   Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara;
 2.   Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa;
 3.   Pustaka Nagara Kretabhumi;
 4.   Pustaka Carita Parahiyangan.

Berkat ditemukannya Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa V sarga 5, yang berupa katalog mengenal pustaka‑pustaka, dapat diketahui judul-judul seluruh naskah yang pernah disusun Pangeran Wangsakerta. Baik dalam jaman pemerintahan Panembahan Girilaya, maupun dalarn masa dirinya ketika menjadi Panembahan Cirebon.

Selain itu, dapat diketahui pula judul-judul naskah yang pernah ditulis oleh Panembahan Losari (jaman Susuhunan Jati) dan Pangeran Manis (jaman Panembahan Ratu). Katalog tersebut menampilkan 1703 judul naskah yang pernah ditulis di Keraton Cirebon, di antaranya 1218 judul berupa karya Pangeran Wangsakerta dan kawan‑kawan.

Naskah‑naskah tersebut mencakup berbagal bidang pengetahuan, seperti misalnya sejarah, hukum, dan kesehatan. Bahasa naskah pun sekurang-kurangnya mencakup bahasa‑bahasa Jawakuna, Melayukuna, Balikuna, dan Sundakuna. Khazanah perpustakaan itu umumnya terdiri dan naskah lontar dan prasasti (Ayatrohaedi,1985: 537).

          Menurut Pangeran Wangsakerta, di antara pustaka milik keraton Kasepuhan itu, ada juga milik para Duta atau Mahakawi (Pujangga Besar; dari daerah lain, yang datang bermusyawarah (mapulung rahi) di Cirebon dalam tahun 1599 Saka (1677 M). Di antara mereka itu, banyak yang menghadiahkan naskah yang dibawanya, kepada Sultan Cirebon. Tapi ada juga yang meminjamkannya untuk sementara, dan setelah usai disalin atau dipelajari isinya, dibawa kembali ke negaranya. Hal yang menarik misalnya naskah‑naskah karya Prapanca dibawa oleh Mahakawi utusan dari Bali bukan oleh utusan dari Jawa Timur.

          Ayatrohaedi menjelaskan dalam tulisan Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, pada buku Pertemuan Ilmiah Arkeologi ke III, bahwa setiap jilid Pustaka Wangsakerta, terdiri dari tiga bagian, yaitu:
 1.   Purwaka
 2.   Uraian kisah sejarah dalam jilid yang bersangkutan
 3.   Kolofon

Bagian purwaka, secara terperinci memberikan keterangan yang berkaitan dengan; nama naskah, parwa dan sarga, penyusun, sumber, alasan penyusunan, tujuan penyusunan, dan cara kerja yang lebih jauh menguraikan tentang hal‑hal yang berkaitan dengan; pembentukan panitia, pencarian sumber dan bahan, pengundangan nara sumber, penyelenggaraan sawala dan penugasan sangga, dan penyelesaian masalah yang muncul dalam sawala. Bagian inilah yang bersangkut paut dengan pertanggungjawaban ilmiah para penyusun.

          Bagian kedua, merupakan uraian yang lebih banyak menyita bagian terbesar dalam tiap jilid, karena berisi keterangan kesejarahan yang sesuai dengan jilid yang bersangkutan.

Sedangkan kolofon berisi keterangan mengenai akhir penulisan jilid tersebut (Ayatrohaedi,1985: 530‑557).

http://www.zonawin.com
Taruhan Bola


III.            Gotrasawala

Dari semua naskah yang telah terkumpul, dapatlah diketahui bahwa untuk tiap-tiap Jilid, Pangeran Wangsakerta selalu menyajikan kata pengantar yang berisi keterangan, tentang asal usul penulisnya dan kadang‑kadang tentang siapa‑siapa yang ikut serta menyusunnya.

 Kata pengantar itu kadang-kadang lebar, kadang‑kadang amat ringkas.

Dari kata pengantarnya itulah diketahui, bahwa dalam tahun 1677 M, di Keraton Kasepuhan pernah diadakan mapulung rahi (silaturahmi kekeluargaan) dan gotrauawala  (musyawarah) Para Akhli Sejarah dari Seluruh Nusantara. Musyawarah tersebut diadakan, atas permintaan Sultan Kasepuhan dan Sultan Kanoman, untuk melaksanakan amanat Panembahan Girilaya kepada Pangeran Wangsakerta, agar ia menyusun Sejarah Kerajaan‑kerajaan di Nusantara (Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara). Pelaksanaannya, mendapat restu dari Susuhunan Banten (Sultan Ageng Tirtayasa) dan Susuhunan Mataram (Amangkurat I).

          Susunan lengkap kepanitiaan gotrasawala (musyawarah) itu tertera dalam kata pengantarnya, adalah sebagai berikut:
a.    Penanggungjawab (tuan rumah): Sultan Sepuh dan Sultan Anom
b.    Ketua musyawarah (penulis): Pangeran Wangsakerta
c.    Penasehat:
1.    Dharmadyaksa Karasulan (Ulama Islam) dari Arab
2.    Dharmadyaksa Kasewan (Ulama Hindu Siwa) dari India
3.   Dharmadyaksa Kawesnawan (Ulama Hindu Wisnu) dari Jawa Timur
4.    Dharmadyaksa Kasogatan (Ulama Budha) dari Jawa Tengah
5.    Dharmadyaksa Kong Pu Ce (Ulama Konghutsu) dari Semarang.
d.    Panitia Pelaksana, Jaksa Pepitu Cirebon, yang terdiri dari:
1.    Raksanagara: penulis naskah dan pengatur pertemuan
2.    Anggadiraksa: wakil penulis naskah dan bendahara
3.    Purbanagara: pengumpul dan penyeleksi bahan naskah
4.    Singanagara: penanggungjawab keamanan
5.    Anggadipraja: duta keliling, undangan dan juru bahasa
6.    Anggaraksa penanggung jawab konsumsi
7.    Nayapati; penanggung jawab akomodasi dan angkutan
e.    Para Peserta, utusan dari berbagai daerah yang dibentuk menjadi 5 sangga (kelompok), yaitu:

Sangga I: Surabaya, Pasuruan, Panarukan, Balambangan, Bali, Madura, Makasar, Banggawi, Maluku, Galiyao, Seran, Lwah Gajah, Ambon, Gurun, Taliwang, Bantayan, Banten dan Palembang.

Sangga II: Mataram, Lasem, Tuban, Wirasaba, Kediri, Semarang, Mojoagung, Bagelan, Dermayu, Losari, Brebes, Tegal, Jepara, Mantingan dan Bonang

Sangga III: Jayakarta, Demak, Kudus, Cirebon, Pasai, Geresik, Tanjungpura Karawang, Cangkuang, Kuningan, Lamongan, Tembayat, Sedayu, Malaka, Barus, Tumasik, dan Trengganu.

Sangga IV: Sumedang, Sukapura, Parakan Muncang, Galunggung, Rancamaya, Ukur, Talaga, Sindangkasih, Galuh, Kertabumi, Rajagaluh, Luragung, Imbanagara, Giri dan Sendang Duwur.

Sangga V: Jambi, Bangka, Perelak, Berunai, Lamuri, Kuta Lingga, Tanjung Kutai, Tanjung Puri, Tanjung Nagara, Minangkabau, Kamperharwa (Mandailing) dan Siak.

f.     Pendengar (pangreungeu), dari negara tetangga yaitu: Mesir, Arab, India, Sri Langka, Benggala, Campa, Cina, dan Ujung Mendini (Semenanjung Malaka).

Para pendengar ini hanya menyaksikan musyawarah dan tidak mempunyai hak suara. Namun di antaranya, ada yang memberikan naskah-naskah berupa piagam perjanjian negara mereka dengan Kompeni Belanda. Tahap‑tahap pembahasan dan penulisan diatur sebagai berikut:

a.    tiap anggota sangga harus menyusun (menyajikan) sejarah daerahnya masingy‑masing yang isinya harus disepakati oleh sidang sangga;
b.    hasil musyawarah dalam sangga harus dikemukakan dalam sidang lengkap oleh seseorang paujar (juru bicara);
c.    dinilai kebenarannya oleh para penasihat;
d.    dinilai kecocokannya dengan isi pustaka yang telah diakui keabsahannya;
e.    setelah disepakati bersama, dibuat risalah resmi;
f.     dimintakan persetujuan (restu dari keempat sultan sponsor);
g.    dibukukan (pinustaka) oleh penyurat dengan tanggungjawab Pangeran Wangsakerta (pekerjaan inilah yang memakan waktu 22 tahun lamanya). Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ayatrohaedi (1985), bahwa naskah-naskah Pustaka Wangsakerta, digarap berdasarkan sistematika dan organisasi, yang secara taat asas dipegang oleh para penyusunnya.


IV.            CARA KERJA PANGERAN WANGSAKERTA

 Gambaran umum tentang bagaimana cara Pangeran Wangsakerta bekerja, dalam upaya menyusun naskah sejarah, dapat dilihat dengan baik dalam kata pendahuluan yang disajikan dalam naskahnya Sebagai contoh, dapat dikemukakan terjemahan kata pendahuluan dalam Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa IV sarga 1, yang terjemahannya antara lain sebagai berikut:

          Pada saat menyusun naskah ini, demikian pula pada waktu menyusun pustaka‑pustaka lainnya, aku senantiasa menemui kesulitan‑kesulitan yang menimbulkan beberapa kesukaran. Sebabnya ialah ada beberapa mahakawi dan menteri‑menteri utusan yang berbeda pendapat dalam mengutarakan sejarah negaranya masing‑masing mengenai: kejayaannya, tahun pemerintahan raja‑rajanya, tahun berdirinya sesuatu kerajaan, keturunan raja-rajanya, istri raja, meletusnya suatu pemberontakan, tahun wafat raja dan banyak hal lagi.

Demikianlah misalnya mahakawi dari Jawa dan mahakawi dari Sunda, lalu mahakawi dari Banten dan mahakawi dari Mataram dan Cirebon saling berbeda dan saling bertentangan dalam pembicaraan mengenai negaranya masing-masing. Demikian pula mahakawi dan Kudus dan Sumedang dengan mahakawi dari Cirebon dan Pasai. Lalu mahakawi dari Sumatra dengan mahakawi dari Jawa Timur. Terjadilah kericuhan yang nyaris mencetuskan pertentangan. Hampir‑hampir tak ditemukan kisah sejarah yang sesungguhnya (kathekang tatwa).

Pertentangan timbul pula antara mahakawi dari Jayakarta, Cirebon dan Banten dengan mahakawi dari Mataram. Demikian pula mahakawi dari Makasar berselisih paham dengan mahakawi dari Mataram, Madura dan Banten. Timbul pula pertentangan pendapat antara mahakawi dari Kutai dengan utusan Palembang dan Ukur.

Namun lebih parah lagi keadaan dalam sidang kelima kelompok para mahakawi dan menteri. Para peserta musyawarah saling memarahi sehingga akhirnya timbul kericuhan. Hampir mereka itu berperang‑tanding (madwanda yudha) dalam ruang sidang, terutama dalam saat-saat awal penulisan naskah.

          Adapun para mahakawi utusan dari negeri seberang dan negeri asing hanyalah hadir sebagai saksi. Tetapi mereka memberikan catatan, termasuk beberapa surat dari Belanda yang ada di negaranya.

          Juru bicara (paujar) hanya ada lima orang yang harus mengutarakan kisah sejarah yang sesungguhnya. Tetapi di antara mereka itu ada yang menyampaikan pandangannya secara berlebih‑lebihan (wakrokti). Ada cerita yang sesungguhnya tak pernah terjadi (niskarana), melainkan hanya hasil pikiran khayal (cittanung maya) dan keliru (wiparita). Kisah bualan seperti itu tidak diambil dan tidak dijadikan catatan.

          Ada yang melontarkan kata‑kata menghina dan tidak layak sampai hampir menimbulkan kericuhan. Hanyalah karena aku telah cukup banyak mempelajari bermacam‑macam pustaka tentang sejarah kerajaan‑kerajaan di Nusantara dan memiliki aneka macam pustaka tentang kerajaan‑kerajaan akhirnya aku berhasil mengatasi mereka, dan juga karena aku menjadi ketua mereka dalam musyawarah ini.

Karena itu aku menempuh jalan tengah. Walaupun begitu aku senantiasa  bermusyawarah dan berunding lebih dahulu dengan mereka terus menerus, lebih‑lebih dengan para sesepuh, mahakawi dan para duta kerajaan yang tinggi pengetahuannya (widyanipuna).

 Dengan cara ini akhirnya mereka bersedia mengutarakan kisah sejarah yang sebenarnya, tidak lagi dibuat‑buat. Tugas yang aku hadapi tidak sulit lagi. Lagi pula mereka telah sepakat akan mengikuti amanat Sultan Sepuh Cirebon. Mereka bersepakat sama‑sama mengharapkan hasil sempurna dari karya besar ini yaitu: menyusun pustaka yang akan menjadi tuntunan pengetahuan sejarah (panghulu widya ning katha), terutama bagi semua penduduk dari segala lapisan (kanistamadyau mottama) dan lebih‑lebih lagi untuk pustaka pegangan raja yang memerintah negara atau daerah.

 Dalam beberapa hari aku berupaya sekuat tenaga sampai akhirnya semua kesulitan dapat diatasi dan naskah yang kami susun dapat disetujui seutuhnya. Walaupun demikian, maafkanlah seandainya terdapat kekeliruan dalam penyusunan pustaka ini.

Lebih,dahulu aku berdoa kepada Hyang Tunggal Yang Maha Kuasa: semoga selamat sentosa. Hindarkanlah kami dari perbuatan dosa dan malapetaka. Hilangkanlah segala perbuatan jahat dan bahaya perbuatan khianat yang akan merusak negara kami semua, dan semoga berikanlah kesejahteraan kepada kami peserta musyawarah yang menyusun pustaka ini sebagai bahan pengetahuan bagi masa yang akan datang dan masa kini (natgata wartanana), terutama sebagai pengetahuan tentang raja‑raja beserta kerajaannya, agamanya, tanahnya dan masyarakatnya dalam kehidupan di bumi Nusantara ini.

Pustaka ini hendaknya dijadikan tonggak segala kisah, dan kami sama sekali tidak menyimpang dari kisah yang sebenarnya karena hal itu telah merupakan hasil penelitian yang seksama mengenai kebenarannya serta senantiasa akan berguna sebagai penuntun bagi masyarakat dan segala lapisan sejak saat ini sampai masa yang akan datang.

Dalam jilid yang lain, kadang kadang ia mempertaruhkan integritasnya sebagai keturunan Susuhunan Jati (Sunan Gunung Jati) yang tidak boleh berbohong dalam membela keabsahan isi naskahnya. la pun biasa menunjuk sumber‑sumber tertulis atau lisan, sebagai referensi dalam penyusunan naskahnya, baik secara khusus maupun sambil lalu.

Patut disayangkan, bahwa Pangeran Wangsakerta tidak menyebutkan tanggal dan bulan pelaksanaan silaturahmi dan musyawarah para akhli sejarah se‑Nusantara di Cirebon itu. la hanya menyebutkan tahun 1599 Saka yang bertepatan dengan tahun 1677 Masehi. Dalam naskah‑naskahnya Pangeran Wangsakerta, selalu menggunakan sistem penanggalan Saka Hindu.

Dapat diketahui, bahwa Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parvva I sarga 1, selesai dibukukan pada tanggal 1 bagian terang bulan Srawana tahun 1599 Saka (dengan sangkala: nawa gapura marga raja). Tanggal tersebut,jatuh pada minggu pertama bulan Juli tahun 1677 Masehi. Karena itu, maka Gotrasawala (musyawarah) tersebut, diduga terjadi sebelum bulan Juli pada tahun itu juga.

Melihat hasil musyawarah sebanyak yang termuat dalam naskah‑naskah Pangeran Wangsakerta, ditambah dengan permasalahan yang terjadi selama penyusunan, mungkin sekali musyawarah itu sendiri dilangsungkan dalam kuartal pertama tahun 1677 Masehi. Penulisan naskah menjadi pustaka, memang baru dilakukan kemudian, oleh Jaksa Pepitu, mungkin oleh Raksanagara dan Anggadiraksa, yang menjadi penulis dan wakil penulis dalam musyawarah. Dilihat dari gaya tulisannya, naskah‑naskah itu harus dikerjakan oleh lebih dari satu orang.

Bila demikian halnya, musyawarah itu telah berlangsung, sebelum Pangeran Mertawijaya dan Pangeran Kertawijaya dikukuhkan menjadi pengganti ayahandanya, sebagai para penguasa Cirebon. Kedudukan sebagai Panembahan Sepuh, dan Panembahan Anom, sebenarnya telah diperoleh sejak Panembahan Girilaya wafat tahun 1662. Namun mereka tetap tidak diijinkan pulang oleh Sunan Amangkurat I. Kemudian, terjadi penyerbuan Trunojoyo, sehingga Karta ibukota Mataram, dapat direbutnya pada tanggal 12 Juli 1677.

Mereka kemudian dibebaskan di Kediri alas desakan Sultan Ageng Tirtayasa. Pelantikan ketiga Penguasa Cirebon (Sultan Kasepuhan, Sultan Kanoman, dan Panembahan Kacirebonan), berlangsung di Keraton Surasowan Banten. Setelah itu, barulah mereka diantarkan pulang ke Cirebon.

Permasalahannya, adalah keterangan Wangsakerta, yang pienyebutkan bahwa Sultan Sepuh memberikan amanat dalam musyawarah tersebut, walaupun tidak dijelaskan, apakah amanat itu diberikan secara lisan atau tertulis. Dalam kenyataannya, Pangeran Wangsakerta telah 17 tahun menjadi pemegang pemerintahan sehari‑hari, mewakili ayahnya 12 tahun (1650-1662), ditambah 5 tahun masa vakum (kekosongan kekuasaan), karena kedua kakaknya tetap berada di ibukota Mataram. Dengan demikian, ia tidak canggung melaksanakan musyawarah tersebut, bahkan rumah tinggalnyapun berdekatan dengan Keraton Kasepuhan. Sesungguhnya dialah yang menjadi tonggak musyawarah itu.

Di antara amanat Sultan Sepuh itu, adalah pesan: supaya para peserta musyawarah berada dalam suasana persaudaraan dan melupakan pertikaian di antara negara‑negara yang mewakilinya demi kesempurnaan karya besar (karyagheng) yang mereka hadapi.

          Dalam kaitannya dengan alasan penyusunan, ada dua hal yang menarik. Alasan pertama, ialah karena melihat kenyataan, bahwa pengetahuan yang dimiliki orang pada masa itu masih lepas‑lepas (fragmen). Alasan kedua ialah, karena para penyusun memperoleh tugas, dari orang yang sangat mereka hormati, yaitu:

1.    Pangeran Rasmi yang bergelar Panembahan Adiningratkusuma atau yang lebih dikenal sebagal Panembahan Girilaya, yaitu ayah Pangeran Wangsakerta;
2.    Pangeran Abulfath Abdulfatah, yang lebih dikenal sebagai Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten; dan
3.    Pangeran Arya Prabhu Adi Mataram, yaitu Susuhunan Amangkurat I dari Mataram.

Bagi Pangeran Wangsakerta dan para jaksa Pepitu, musyawarah tersebut merupakan kelanjutan dari kegiatan mereka, yang telah lama menekuni masalah sejarah Nusantara. Tahun 1676, Pangeran Wangsakerta telah menyelesaikan terjemahan naskah Dharmakirti, hasil salinan Pangeran Losari (1518 M) yang telah suram huruf‑hurufnya. Naskah inilah yang disajikan sebagai sumber utama tentang riwayat pembentukan bumi serta isinya termasuk kemunculan mahluk manusia setengah hewan sampai kepada kehadiran manusia sempurna (manusapurna).

Ambahan atau luas jelajah kisah sejarah yang ditampilkan oleh Pangeran Wangsakerta, meliputi karun waktu yang disebutnya Purwayuga, yaitu sejak Nusantara dihuni oleh mahluk manusia hewan (satwaprurusa). Secara runtut berlangsung, kira-kira sejuta tahun sebelum tarikh Saka, sampai peristiwa perjanjian antara Cirebon dengan VOC tahun 1681. Bahkan, waktu itu ia menyebutkan tokot-tokoh yang dipusarakan di Giri Saptarengga, yaitu Gunung Sembung yang oleh umum disebut makam Gunung Jati. Disana, pada salah sebuah nisan, tertulis Sultan Sepuh I yang wafat tahun 1697.

          Dari naskah‑naskah yang terkumpul, baru dapat diketahui peristiwa-peristiwa dun urutan pemerintahan raja‑raja, lengkap dengan tahun pemerintahamrya di beberapa daerah yaitu: Perelak, Samudera Pasai, Sriwijaya, Tatar Sunda, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banjarmasin dun Nusa Bali. Kita pun dapat menemukan kisah patriotik Sultan Ageng Tirtayasa dari Kerajaan Islam Surasowan Banten, juga tokoh Laksamana wanita Malahayati dari Kerajaan Aceh Darussalam, dun Patih Lambung Mangkurat dari Kerajaan Banjar.

Penyebaran agama Islam di Pulau Jawa, dipaparkannya sejak masa pemerintahan Darmawangsa. lengkap dengan mazhab yang dianut oleh para penyiarnya. Juga ia menguraikan siapa sesungguhnya tokoh Fatimah binti Maimun, yang kehadiran makamnya di Desa Leran, masih merupakan salah satu misteri sejarah di Indonesia. Menurut pendapat Saleh Danasasmita (1984), dalam beberapa hal, uraiannya tepat sejalan dengan isi prasasti yang telah dikenal. Sedangkan beberapa hal lainnya, dapat dikatagorikan logis, dalam arti tidak bertentangan dengan prasasti yang ada.

Ciri gaya penulisan umum dalam jamannya, hanya tampak bila ia melukiskan kecantikan seorang wanita, atau melukiskan peran dengan ungkapan yang hampir selalu sama. la menyisipkan kata "meriam" sebagal peralatan perang pasukan Demak, saat mereka membantu Cirebon berperang dengan Kerajaan Galuh di Palimanan, dekat Bukit Gempol tahun 1528.

Dalam ambahan sumber, Pangeran Wangsakerta pun sering tertumbuk kepada perbedaan keterangan. Dalam hal yang demikian, ia berusaha mengambil jalan tengah (kalap langkah tengah), dengan cara mengkompromikannya. Bila hal itu tidak mungkin, maka ia menyajikan semua keterangan menurut versinya musing-masing, dengan menyebutkan siapa yang menjadi sumbernya.

I.            PANGERAN WANGSAKERTA

          Saleh Danasasmita, pada tahun 1986 telah berhasil mengidentifikasi Pangeran Wangsakerta, melalui tulisan ilmiah Pangeran Wangsakerta. Sebagai Sejarawan Abad XVII. Tulisan tersebut berupa makalah, pernah disampaikan dalam Seminar Kebudayaan Sunda Proyek Sundanologi Depdikbud di Bandung, pada tanggal 9‑11 Maret 1986.

          Menurut Saleh Danasasmita, tokoh Pangeran Wangsakerta, nyaris tidak dikenal oleh umum. Bahkan di lingkungan kerabat keraton Cirebon, ia hanya dikenal sebagai Panembahan Cirebon I, tanpa nilai khusus, kecuali sebagai Asisten Sultan Sepuh.

Di gedung Arsip Nasional, tersimpan sebuah dokumen, berupa naskah perjanjian antara Cirebon dengan Kompeni Belanda tanggal 7 Januari 1681. Dokumen tersebut ditulis dalam dua bahasa. Pada bagian kiri berbahasa Melayu Arab, pada bagian kanan berbahasa Belanda dengan huruf latin.

Di bagian bawah naskah sebelah kiri, terdapat 9 nama penandatangan perjanjian dari pihak Cirebon. Pada urutan ketiga, tertulis nama Wangsakerta dalam huruf cacarakan. Dalam naskah tersebut, dicantumkan dengan tegas, bahwa pemegang kekuasaan di Cirebon ada tiga orang, termasuk Pangeran Wangsakerta di antaranya. Berdasarkan dokumen tersebut dapat dipastikan, bahwa tokoh Pangeran Wangsakerta, sebagal salah seorang penguasa Cirebon, dalam pertengahan kedua abad ke‑17, ternyata benar-benar ada.

          Dr. F. de Haan dalam buku Priangan II (1912), membicarakan tokoh Pangeran Wangsakerta dengan sebutan Depati Topati. Dalam sumber Kompeni lainnya, ia lebih dikenal sebagai de derde Prins van Cheribon (Pangeran yang ketiga dari Cirebon).

Catatan Harian Kompeni, Daggh Register geharden int Casteel Batavia: 19 November 1677 memuat laporan Caeff (wakil Kompeni di Banten), yang memberitakan: bahwa de derde Prins baru saja kembali ke Cirebon dari kunjungannya ke keraton Banten. Namun dalam Dagh Register 21 Desember 1677 Caeff melaporkan, bahwa berita tersebut "tidak benar". Karena kesal, De Haan mengumpat Caeff; Di mana orang itu menaruh matanya? (War zijne oogen gehad?).

Mengenai hubungan antara Pangeran Wangsakerta dengan kerabat keraton Banten, De Haan (1912, 260 paragraf 425) mengutip laporan B. van der Meer dan Jan Mulder, bahwa Sultan Anom masih terhitung kerabat keraton Banten. Sedangkan Dipati Topati, sama sekali bukan.

Di lingkungan terbatas kerabat keraton, dikenal adanya sebuah naskah wawacan, dikisahkan bahwa Pangeran Kertawijaya (Sultan Anom) berbeda ibu dengan Pangeran Mertawijaya (Sultan Sepuh) dan Pangeran Wangsakerta. Ibunda Pangeran Kertawijaya berasal dari Banten, sedangkan Ibunda kedua orang saudaranya berasal dari Mataram. Kekisruhan tersebut menunjukkan bahwa riwayat hidup Pangeran Wangsakerta, termasuk kedudukannya di Cirebon, masih sangat kabur.

Untuk menjernihkan kekisruhan tersebut, kita perhatikan keterangan dari Pangeran Wangsakerta sendiri, dalam naskah Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 4 (Halaman 86-88) yang terjemahannya sebagai berikut:

Telah dikisahkan terdahulu bahwa Puteri Ratu Ayu Sakluh berjodoh dengan Mas Rangsang yang kemudian bergelar Sultan Agung Mataram. Dari perkawinan tersebut, lahir Sunan Tegalwangi yaitu Amangkurat yang pertama. Sunan Tegalwangi berputera Amangkurat kedua yang kemudian menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Penguasa Mataram. Puteri Sunan Tegalwangi berjodoh dengan Pangeran Putra yaitu Panembahan Girilaya putra Pangeran Seda ing Gayam.

Dari puteri Mataram, Panembahan Girilaya berputra tiga, yaitu: Pangeran Mertawijaya alias Pangeran Samsudin yang menjadi Sultan Kasepuhan pertama, adiknya. Pangeran Kertawijaya alias Pangeran Badridin yang menjadi Sultan Kanoman pertama, dan adiknya yang bungsu yaitu Pangeran Wangsakerta yang menjadi Panembahan Cirebon pertama.

Karena Ratu Ayu Sakluh itu kakak Panembahan Ratu, maka raja Cirebon dengan raja Mataram masih berkerabat. Tapi raja Matararn, Sunan Tegalwangi, senantiasa ingin merebut Cirebon. Sementara itu raja Cirebon juga berkerabat dengan raja Banten padahal Banten dengan Mataram selalu bermusuhan.

 Adapun awal pembentukan Kasepuhan dan Kanoman, pada tahun 1599 Saka (1677 M). Empat tahun kemudian, Cirebon mengadakan perjanjian persahabatan (mitranan) dengan Kompeni Belanda. Yang menandatangani surat perjanjian ink yaitu: Sultan Kasepuhan yang pertama Pangeran Samsudin Mertawijaya, Sultan Kanoman pertama Pangeran Badridin Kertawijaya, kemudian semua pejabat tinggi negeri Cirebon yang disebut jaksa Pepitu, yaitu: Panembahan Ageng Gusti Cirebon yaitu Pangeran Wangsakerta dan para jaksa Pepitu masing-masing: Raksanagara, Purbanagara, Anggadireksa, Anggadiprana, Anggaraksa, Singanagara, dan Nayapati. Sang Panembahan (Pangeran Wangsakerta) adalah ketua dari jaksa Pepitu itu.

          Penandatangan dari pihak Kompeni Belanda adalah: Yakub Bule (Jakob van Dijk) dan Kapitan Misel (Michielsz). Peristiwa itu berlangsung di keraton Kasepuhan.

 Setelah Panembahan Ratu wafat, ia digantikan oleh cucunya yaitu Raden Putra alias Raden Rasmi yang kemudian disebut Pangeran Panembahan Adining Kusuma. la bergelar Panembahan Ratu II putera Pangeran Seda ing Gayam, yang wafat ketika ayahnya yaitu Panembahan Ratu I masih hidup. Panembahan Adining Kusuma menjadi penguasa Cirebon selama 12 tahun. Setelah wafat, Pangeran Raden Putra disebut Pangeran Panembahan Girilaya.

Selama menjadi penguasa Cirebon ia selalu berada di Mataram bersama kedua orang putranya yaitu: Pangeran Samsudin Mertawijaya dan Pangeran Badridin Kertawijaya. Adapun putra Pangeran Panembahan Girilaya yang ketiga tinggal di keraton Cirebon mewakili ayahnya.

Setelah Pangeran Panembahan Girilaya wafat, Pangeran Samsudin Mertawijaya ditunjuk menjadi Panembahan Sepuh kemudian disebut Sultan Kasepuhan pertama, adiknya, Pangeran Badridin Kertawijaya ditunjuk menjadi Panembahan Anom kemudian disebut Sultan Kanoman pertama dan adiknya, Pangeran Wangsakerta ditunjuk menjadi sultan ketiga dengan gelar Panembahan Cirebon.

Pada waktu itu tiga negara ingin menguasai Cirebon yaitu: Banten, Mataram dan Belanda, padahal para sultan menghendaki negaranya merdeka. Sementara itu raja Mataram, Susuhunan Amangkurat pertama sedang bermusuhan dengan Trunojoyo yaitu putra Adipati Madura Pangeran Cakraningrat.

 Tentara Madura yang dipimpin oleh Trunojoyo bergabung dengan tentara Makasar yang dikepalai Kraeng Galesung dan Monte Marano. Dalam pertempuran di berbagai daerah, tentara Mataram selalu menderita kekalahan. Tak lama kemudian tentara Madura dan tentara Makasar berhasil merebut Karta ibukota Mataram. Susuhunan Amangkurat dan putranya, Pangeran Dipati Anom beserta para pengiringnya melarikan diri ke arah barat. Kemudian Sunan Mataram wafat di Tegalwangi. Karena itulah Susuhunan Amangkurat pertama digelari Susuhunan Tegalwangi. Setelah itu putranya, Pangeran Dipati Anom, menggantikan ayahnya menjadi Susuhunan Amangkurat kedua.

Ketika Ibukota Mataram direbut oleh tentara Madura dan Makasar, Panembahan Sepuh Samsudin Mertawijaya dan Panembahan Anom Cirebon berada di sana. Mereka ditawan oleh Trunojoyo lalu dibawa ke Kediri. Juga Ratu Blitar serta beberapa kaulanya tertangkap oleh Trunojoyo dan dibawa ke Kediri. Di sana para pangeran dari Cirebon bersama Ratu Blitar mendapat perlakuan hormat dari Trunojoyo.

Pangeran Wangsakerta Panembahan Cirebon, yaitu aku sendiri, ingin membebaskan kakakku dari bencana tersebut. Karena itu aku beserta rombongan para pejabat tinggi pergi ke Banten. Dengan sungguh-sungguh aku memohon bantuan kepada Sultan Ageng Tirtayasa Banten agar ia berusaha membebaskan kakakku karena Sultan Banten masih kerabatku.

Kemudian anggota rombonganku bersama tentara Banten pergi naik kapal perang Banten menuju Jawa Timur dan selanjutnya ke Kediri. Trunojoyo dikirim surat oleh Sultan Banten yang berisi permintaan agar para pangeran dari Cirebon beserta pengiringnya dibebaskan. Bersamaan dengan itu Sultan Banten memberikan hadiah dan bantuan berupa senjata kepada Trunojoyo karena Sultan Banten bersekutu dengan Trunojoyo dalam permusuhan mereka terhadap Mataram dan Belanda. Penguasa Banten menyampaikan rasa suka citanya karena Trunojoyo berhasil merebut ibukota Mataram.

Pangeran Madura itu bersikap hormat kepada anggota rombongan utusanku dan menjamu dengan bermacam‑macam hidangan yang serba lezat. Akhirnya Panembahan Sepuh, Panembahan Anom beserta pengiringnya demikian juga Ratu Blitar dibebaskan oleh Trunojoyo.

Setelah itu anggota rombonganku membawa kakakku dan Ratu Blitar ke Banten. Di sana Sultan Ageng Banten menerima kedatangan rombonganku bersama Panembahan Sepuh dan Panembahan Anom Cirebon.

          Lalu Sultan Banten mewisuda kami, Pangeran Samsudin Mertawiijaya ditunjuk menjadi Sultan Sepuh yang kemudian disebut Sultan Kasepuhan, Pangeran Badridin Kertawrijaya ditunjuk menjadi Sultan Anom yang kemudian disebut Sultan Kanoman dan Pangeran Wangsakerta ditunjuk menjadi Sultan ketiga dengan sebutan Panembahan Ageng Gusti Cirebon alias Panembahan Tohpati atau Abdul Kamil Mohammad Nasarudin namanya yang lain.

 Setelah itu kami pulang ke Cirebon dan Sultan Banten meminta agar kami memusuhi Mataram dan Belanda.  Sejak saat itulah berdiri Kesultanan Kasepuhan, Kesultanan Kanoman dan Panembahan Cirebon.

           Kutipan di atas, merupakan kisah yang dialami sendiri oleh Pangeran Wangsakerta, sehingga dapat menghapus segala kekisruhan, akibat bermacam‑macam dugaan yang ditulis pada masa kemudian.

http://www.zonawin.com
Taruhan Bola

No comments:

Post a Comment