Sunday 16 August 2015

Sejarah Kerajaan Sunda | Part 7

SULTAN AGENG TIRTAYASA



 PENYELAMAT TAHTA
          Di bawah pemerintahan Panembahan Yusuf, Kesultanan Surasowan Wahanten (Banten), semakin berkembang pesat, terutama dalam hal pembangunan kota, pengembangan areal pertanian, niaga maritim, keamanan dan perluasan daerah kekuasaan.
Sejak direbutnya Pakuan (ibukota Kerajaan Sunda Pajajaran) pada tahun 1579, wilayah tersebut sudah menjadi bagian dari Kesultanan Surasowan Banten. Panembahan Yusuf, berhasil menjadi pewaris sekaligus penerus tahta Kerajaan Sunda Pajajaran.

Dari permaisuri Ratu Hadijah, Maulana Yusuf mempunyai dua orang putera, antara lain:
 1. Rata Winahon; dan
 2. Pangeran Muhammad.

Ketika Maulana Yusuf sakit keras, Pangeran Arya bersama pasukan pengawalnya, di bawah pimpinan Ki Demang Laksamana, sudah berada di Kesultanan Surasowan Banten. Pangeran Arya, adalah putera Maulana Hasanuddin dari isterinya yang kedua, Ratu Ayu Kirana (puteri Raden Patah). Sejak kecil, Pangeran Arya dijadikan anak angkat oleh Ratu Kalinyamat (adik Ratu Ayu Kirana), tinggal di keraton Japara. Oleh karena itu, ia dikenal juga dengan sebutan, Pangeran Japara.

          Pada tahun 1580, Maulana Yusuf meninggal dunia. Ketika itu, putera mahkota Pangeran Muhammad, baru berusia 9 tahun. Melihat kenyataan seperti itu, beberapa pembesar kerajaan (termasuk Mangkubumi Jayanagara), berniat menyerahkan tahta Kesultanan Surasowan, kepada Pangeran Japara. Akan tetapi, Panghulu Negara (Kadhi), melindungi dan mempertahankan Pangeran Muhammad, sebagai penerus tahta Kesultanan Surasowan Banten, sesuai dengan amanat Panembahan Yusuf.

          Alangkah kecewanya Pangeran Japara. Konflik tidak dapat dihindari lagi. Maka terjadilah pertempuran sengit di luar benteng istana Surasowan. Pangeran Japara bersama pasukannya, terdesak oleh pasukan Surasowan Banten. Dalam pertempuran itu, Ki Demang Laksamana tewas di tangan Mangkubumi Jayanagara, yang akhirnya ikut melindungi din mempertahankan Pangeran Muhammad. Ambisi Pangeran Japara untuk merebut tahta Kesultanan Surasowan, tidak tercapai, dan akhirnya diusir dari Banten.

          Setelah persitiwa itu, Maulana Muhammad dinobatkan menjadi Sultan Surasowan Banten yang ketiga. la lebih dikenal dengan sebutan Kanjeng Ratu Banten. Untuk menjalankan pemerintahan sehari‑hari, Mangkubumi Jayanagara, bertindak sebagai walinya.

          Seperti halnya ayah dan kakeknya, Maulana Muhammad pun terkenal sebagai Sultan Banten yang saleh. la banyak menyusun kitab‑kitab hukum Islam dan mendirikan masjid, hingga ke pelosok-pelosok desa. Masjid Agung yang terletak di tepi alun‑alum diperindah, temboknya dilapisi porselen, dan tiangnya dibuat dari kayu cendana (Michrob,1993: 89).
          Pada tanggal 2 April 1595 berlayarlah empat buah armada dagang Belanda milik "Compagnie van Verre'; di bawah pimpinan Cornelis de Houtman dan Pieter de Keyser. Bersama 249 pasukannya, mereka berangkat dari pangkalan Tessel, di bagian utara Kerajaan Belanda. Rupa‑rupanya, mereka telah mencium wangi rempah‑rempah Nusantara, dari berita pedagang Portugis. Melalui Tanjung Harapan, pada tanggal 22 Juni 1596, mereka berlabuh di pesisir Kesultanan Surasowan Banten.
          Dalam pelayarannya, disertai juru tulis Willem Lodewycksz, sebagai pencatat perjalanan. la melukiskan keadaan perdagangan di Kesultanan Surasowan Banten, antara lain sebagai berikut:

Di sebelah timur kota, yaitu daerah Karangantu, terdapat sebuah pasar yang pagi maupun siang terdapat pedagang‑pedagang dari Portugis, Arab, Turki, Cina, Keling, Pegu, Malaya, Bengali, Gujarat, Malabar, dan Abesinia. Juga terdapat pedagang‑pedagang dan Nusantara, seperti dari Bugis, Jawa, dan lain‑lain. Pasar kedua terletak di Paseban, yang memperdagangkan keperluan sehari‑hari. Dan pasar yang ketiga, terletak di Pacinan, yang dibuka sebelum dan sesudah pasar‑pasar lain tutup. Barang‑barang yang diperdagangkan di pasar ketiga ini bermacam ragam, mulai dari kain sutra dari Cina dan Gujarat sampai sisir dan kipas. Diceritakan pula, bahwa barang‑barang tekstil dari Gujarat ini 20 jenis. Transaksi perdagangan di pasar ini berjalan mudah, karena mata uang dan pertukaran mata uang (money changer) sudah dikenal (Michrob,1993: 89).



Sikap Cornelis de Houtman, yang kasar dan tidak bijaksana, membuat kunjungannya di Banten (22 Juni 3 Juli 1596), tidak menghasilkan apa‑apa. Bahkan, karena kecongkakannya, ia sempat ditahan oleh Penguasa Surasowan Banten. Armada dagang yang dipimpinnya, diusir dan pelabuhan Kesultanan Surasowan Banten.

          Setelah terusir dari negeri Surasowan Banten, Cornelis de Houtman bersama pasukannya, melanjutnya perjalanan ke Jayakarta. Mereka tiba di sana, pada tanggal 13 November 1596. Kemudian, ia melanjutkan perjalanan, menuju negeri Aceh Darusalam (1599). Karena sikap congkaknya, di negeri rencong itu, ia tewas terbunuh.

          Sementara itu, penguasa Kesultanan Surasowan Banten Maulana Muhammad, pada tahun 1596 melancarkan aksi penyerangan ke Palembang. Peristiwa ini berawal dari hasutan Pangeran Mas, putera Aria Pangiri, cucu Sunan Prawoto Demak, yang ingin menguasai penguasa di Palembang.

          Menurut catatan Hoesein Djajadiningrat dan Hamka yang dikutip oleh Halwany Michrob, penyerangan Sultan Maulana Muhammad ke Palembang, menggunakan kapal perang Kesultanan Surasowan Banten. la memimpin langsung pasukannya, didampingi Mangkubumi dan Pangeran Mas.

          Pertempuran sengit, berlangsung di sekitar Sungai Musi, hampir memukul mundur pasukan Palembang. Akan tetapi, Sultan Maulana Muhammad tertembak dan gugur di atas kapal Indrajaladri. Akhirnya, armada Kesultanan Surasowan Banten, ditarik mundur. Sultan Maulana Muhammad meninggal dalam usia 25 tahun.

          Dari permaisuri Ratu Wanagiri (puteri Mangkubumi Jayanagara), Sultan Maulana Muhammad, berputera Abdulmafakhir, yang baru berusia 9 bulan. Akhirnya Abdulmafakhir diangkat sebagai pengganti ayahnya, melanjutkan tahta Kesultanan Surasowan Banten. Sultan yang masih bayi itu, didampingi oleh kakeknya, Mangkubumi Jayanagara, sebagai Wali Kesultanan. Akan tetapi, pada tahun 1602, Mangkubumi Jayanagara meninggal dunia.

          Selanjutnya, jabatan Wali Kerajaan, diserahkan kepada adiknya Mangkubumi Jayanagara. Kedudukan Mangkubumi yang baru ini tidak berlangsung lama. Sebab, sikap dan tindakannya tidak sesuai dengan jabatannya. Akhirnya, pada tanggal 17 Nopember 1602, ia diturunkan dari jabatannya.

          Perwalian, terpaksa dipegang langsung oleh ibunda Sultan, Ratu Wanagiri. Akan tetapi Ratu Wanagiri yang berstatus janda, menikah lagi dengan seorang bangsawan keraton. Suaminya diangkat menjadi Mangkubumi.

Sementara itu, pada tahun yang sama (1602), di Belanda terjadi peristiwa penting. Sejak pelabuhan‑pelabuhan di Nusantara ramai oleh kapal‑kapal dagang dari Eropa, terjadi persaingan ketat perdagangan memperebutkan rempah‑rempah dari negeri timur, yang ternyata merugikan perdagangan Belanda. Melihat kondisi seperti ini, Kerajaan Belanda membentuk Vereenigde Oost Indische Campagnie (VOC). Kongsi dagang tersebut, oleh penduduk Nusantara, dikenal sebagai Kompeni atau Kumpeni.

          Sementara itu, di kalangan Keraton Surasowan Banten, sikap Mangkubumi sangat mengecewakan. la terlalu sibuk dengan urusan pribadi, yang mengabaikan kepentingan negara dan rakyat, menimbulkan rasa ketidakpuasan para pembesar kerajaan. Rasa ketidakpuasan itu, mencapai puncaknya, pada tahun 1604. Putera Maulana Yusuf dari isteri kedua, yaitu Pangeran Mandalika, mengadakan huru‑hara di pelabuhan, sebagai unjuk rasa atas kekecewaan terhadap Mangkubumi yang baru itu. Pangeran Mandalika bersama adiknya, Pangeran Arya Ranamanggala, didukung oleh pangeran‑pangeran lainnya, mendirikan benteng pertahanan di luar kota.

          Melihat situasi seperti itu, Mangkubumi merninta bantuan Pangeran Jayakarta untuk menghentikan aksi Pangeran Mandalika. Didukung pula oleh pihak Inggris, akhimya pasukan Pangeran Mandalika tersingkir.

          Huru‑hara untuk sementara dapat diredam. Akan tetapi, situasi di Kesultanan Surasowan Banten tidak semakin membaik. Bahkan, pada bulan juli 1608, terjadi kembali huru‑hara besar. Peristiwa tersebut, terkenal dengan sebutan Peristiwa Pailir. Pada tanggal 23 Oktober 1608, Mangkubumi terbunuh. Akhirnya, tugas perwalian Kesultanan dan jabatan Mangkubumi, dipegang oleh Pangeran Arya Ranamanggala.

          Langkah pertama Pangeran Arya Ranamanggala, menindak tegas pejabat kerajaan yang melakukan penyelewengan. Mangkubumi Ranamanggala berusaha keras, agar Sultan Abdulmafakhir, untuk sementara tidak mencampuri urusan pemerintahan. Demikianlah cara Pangeran Arya Ranamanggala, menyelamatkan Kesultanan Surasowan Banten dari bencana perpecahan dan kehancuran.

          Atas bantuan Kompeni lnggris East India Compagnie (EIC), pada tanggal 30 Mei 1619, Kompeni Belanda (VOC berhasil mengalahkan Jayakarta. Di sana mereka membangun sebuah benteng, yang diberi nama Batavia, sebagai peringatan terhadap nenek moyang bangsa Belanda, yaitu suku Bataav.

          Pada tanggal 13 Mei 1626, Pangeran Arya Ranamanggala meninggal dunia. Kekuasaan sepenuhnya, diserahkan kepada Sultan Abdulmafakhir. Sebagaimana ayah dan kakek buyutnya, Sultan Abdulmafakhir pun seorang ulama yang saleh. Dia banyak menyusun kitab‑kitab ilmu agama Islam, di antaranya Insan Kamil, yang kelak diambil oleh Dr. Snouck Hurgronje (Roesjan, dalam Michrob,1993:127).

          Sultan Abdulmafakhir, adalah penguasa Kesultanan Surasowan Banten pertama yang dikukuhkan oleh Syekh Mekah, dan mendapat gelar Sultan Abdulmufakhir Mahmud Abdulkadir. .Gelar ini diperolehnya, ketika ia mengutus putera mahkota dan beberapa pembesar negara, menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekah. Begitu juga dengan putera mahkotanya, mendapat gelar Sultan Abdulma'ali Ahmad. Oleh masyarakat Kesultanan Surasowan Banten, Sultan Abdulmafakhir mendapat sebutan Sultan Agung Kanari.

          Pemerintahan Sultan Abdulmafakhir, merupakan masa kemakmuran. bagi Kesultanan Surasowan Banten. Tidak hanya perdagangan internasionalnya saja yang semakin meningkat, akan tetapi, sektor pertanian dalam negeri juga mengalami kemajuan yang pesat. la seorang Sultan yang cepat tanggap, sering "terjun ke lapangan", menyaksikan sendiri apa yang diperlukan oleh rakyatnya.

          Dalam melaksanakan perniagaan antarbangsa, Sultan Abdulmafakhir, bersikap bebas. Pada tahun 1645, ia mencapai perjanjian perdagangan, dengan pimpinan Kompeni Belanda di Batavia. Kesepakatan perdagangan, tidak sedikitpun memberikan hak monopoli kepada Kompeni Belanda. Perjanjian itu, sepuluh tahun kemudian (1655) akan "diperbaharui".

          Pada tahun 1640, putera mahkota, Abdulma'ali, diangkat menjadi Sultan Anom. Akan tetapi, pada tahun 1650, ia meninggal dunia dalam usia muda. Dari permaisuri Ratu Martakusuma (puteri Pangeran Jayakarta), Sultan Anom Abdulrna'ali mempunyai anak, antara lain:

1.    Ratu Pembayun;
 2.    Pangeran Surya;
 3.    Pangeran Arya Kulon;
 4.    Pangeran Lor; dan
 5.    Pangeran Raja.
 Selanjutnya, kedudukan Sultan Anom, diserahkan kepada Pangeran Surya.

A.  SULTAN ABULFATH ABDULFATAH

Satu tahun setelah pengangkatan Pangeran Surya menjadi Sultan Anom (tahun 1651), penguasa Kesultanan Surasowan Banten, Sultan Abdulmafakhir Abdulkadir meninggal dunia. Tahta Kesultanan Surasowan Banten, dilanjutkan oleh cucunya, Pangeran Surya alias Pangeran Ratu.

Pangeran Surya, melanjutkan hubungan internasional dengan dunia luar, terutama dengan kekhalifahan Islam yang berpusat di Mekah. Pangeran Surya mengutus beberapa pembesar kerajaan, untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah, sambil memberitakan pergantian pimpinan di Kesultanan Surasowan Banten dan dunia perdagangan di Nusantara. Sepulang dari Tanah Suci Mekah, delegasi Kesultanan Surasowan Banten, membawa gelar dari Syekh Mekah untuk Pangeran Surya atau Pangeran Ratu, dengan sebutan Sultan Abulfath Abdulfatah.

          Dalam menjalankan roda pemerintahan sehari‑hari, Sultan Abdulfatah dibantu oleh saudara‑saudara dan kaum kerabatnya, sebagai pejabat tinggi negara. Antara lain, empat orang saudara kandungnya, yaitu:

1.    Pangeran Kilen;
 2.    Ratu Kulon;
 3.    Pangeran Lor; dan
 4.    Pangeran Raja.

Serta empat orang saudara seayah, yaitu:

1.    Pangeran Wetan;
 2.    Pangeran Kidul;
 3.    Ratu Inten; dan
 4.    Ratu Tinumpuk.

Sebagaimana kakeknya (Sultan Abdulmafakhir), Sultan Abdulfatah sangat besar perhatian terhadap kesejahteraan hidup rakyat, sehingga ia sering berkeliling ke daerah‑laerah, untuk melihat sendiri kehidupan penduduknya. Begitu juga dalam menghadapi pedagang asing, Sultan Abdulfatah bersikap sama dengan para pendahulunya, yang selalu tegas menolak setiap tuntutan monopoli. Meskipun Pelabuhan Banten terbuka bagi semua pedagang, dari manapun asalnya, akan tetapi kegiatan perdagangan harus dilakukan dengan jujur.

          Terhadap Kompeni Belanda, Sultan Abdulfatah bersikap tegas dan keras. Dengan berpegang pada "amanat" kakek dan ayahnya, bahwa "menyerang langsung sarang Kompeni Belanda ke Batavia, seperti yang pernah dilakukan oleh Mataram, merupakan pekerjaan yang sulit, bahkan kemungkinan besar akan gagal". Oleh karena itu, Sultan Abdulfatah menggariskan strategi: Menghancurkan Kompeni Belanda di luar sarangnya, baik orang-orangnya, maupun sandaran ekonominya:

1.    Kompeni Belanda, harus dipancing keluar dari sarangnya;
2.  Perkebunan tebu beserta kilang‑kilang penggilingannya harus dimusnahkan; dan
3.    Jalur angkutan laut, yang membawa keperluan Kompeni dari arah timur, harus dipotong.

Untuk memenuhi strategi itu, Sultan Abdulfatah membentuk kekuatan:
 1.    Di laut, satuan‑satuan armada kecil; dan
 2.  Di darat, satuan-satuan tempur yang terdiri dari berbagai suku bangsa, dilatih bergerak cepat sebagai "satuan mobil", tanpa basis yang tetap (gerilya).

Mengenai satuan tempur di darat, mengingatkan pada strategi yang pernah dilakukan oleh leluhurnya, Panembahan Hasanuddin, ketika merebut Wahanten Pasisir dan menyerang kota Pakuan Pajajaran. Pasukan "gerak cepat" itulah, yang ditakutkan oleh Kompeni Belanda. Pasukan gerak cepat Kesultanan Surasowan Banten, dalam satuan‑satuan kecil, beroperasi di belakang garis pertahanan Belanda, yaitu sebelah Timur Cisadane. Sebagai catatan, menurut perjanjian 1645, antara Kesultanan Surasowan Banten dengan Kompeni Belanda, disepakati bahwa batas wilayah kekuasaan, antara Kesultanan Surasowan Banten dengan Kompeni Belanda, adalah sungai Tangerang atau sungai Cisadane.

          Di wilayah perbatasan, pasukan gerak cepat Kesultanan Surasowan Banten, memusnahkan tanaman tebu, dan menghancurkan kilang penggilingan gula. Hal iru memaksa pihak Kompeni Belanda untuk mengadakan patroli terus menerus. Akan tetapi, setiap ada kesempatan, pasukan patroli Kompeni Belanda, disergap oleh pasukan gerak cepat Kesultanan Surasowan Banten. Demikian pula halnya di perairan Ciasem dan Karawang, kapal‑kapal pengangkut dari arah Timur, dihadang oleh armada kecil pasukan Banten. Tujuannya, supaya kapal‑kapal itu, tidak akan pernah sampai ke Batavia.

          Dari sistem strategi dan aksi‑aksi yang dilakukan, terlihat watak maritim Banten murni, yang dimiliki oleh Sultan Abdulfatah, yaitu: lincah dan tidak senang menunggu. Semua aksi‑aksinya, dilakukan dengan tujuan untuk bisa mencegah "pembaharuan perjanjian", yang tidak diinginkannya. Setidaknya, dapat menekan pihak Kompeni Belanda, agar bersikap "lebih lunak" dalam meja perundingan.

          Kompeni Belanda, yang semula bersikap "tenang" menghadapi Sultan Abdulmafakhir, hingga "berhasil" mengadakan perjanjian 1645, kini "dipusingkan" oleh kelincahan dan ketegasan Sultan Abdulfatah. Padahal Kompeni Belanda berharap, dalam "pembaharuan perjanjian", pihaknya tidak akan mengalami hambatan dan kesulitan.

          Sultan Abdulfatah, telah memusnahkan segala harapan Kompeni Belanda, mengenai "keuntungan" dagangnya dari Kesultanan Surasowan Banten. Kompeni Belanda harus berhadapan dengan seorang penguasa Banten, yang tangguh dan berwibawa.

          Sementara itu, pada tahun 1653, dalam tubuh Kompeni Belanda terjadi pergantian pimpinan. Johan Maetsuycker diangkat menjadi Gubernur Jenderal, menggantikan Carel Reynierszoon. Maetsuycker, adalah tenaga akhli dalam bidang hukum, yang membantu Dewan Hindia Belanda, sejak masa GJ. Anthony Van Diemen (1636 ‑1645). la terkenal cerdas, ulet, dan pandai bergaul.

          Sebagai ahli hukum, Maetsuycker sangat mentaati aturan-aturan, yang telah digariskan oleh atasannya di Netherland. "Statuten Van Batavia", yang memuat peraturan‑peraturan tentang tata tertib kehidupan di Batavia, adalah hasil dari buah tangannya. Para Direktur Kompeni di tanah airnya, sangat puas atas prestasi Maetsuycker, sehingga jabatan Gubernur Jenderal yang hanya berlaku 4 tahun, dipercayakan kepadanya sampai 7 kali (1653 ‑1678).

          Maetsuycker tidak senang bertualang, selama 25 tahun menjadi Gubernur Jenderal, ia belum pernah meninggalkan Pelabuhan Batavia, kecuali untuk berburu di luar tembok kota. Untuk ukuran VOC yang bertugas di Nusantara, sikap Maetsuycker dinilai terlalu "halus" dan "hati‑hati". Akan tetapi, ia mempunyai dua orang kawan, yang sekaligus menjadi penasihatnya, yaitu: Rijcklof Volckertsz van Goens dan Cornelis Speelman. Keduanya adalah orang Kompeni "tulen", yang menjabat sebagai anggota Dewan Hindia. Menurut standar Jan Pieterszoon Coen, kedua penasihat Maetsuycker, telah memenuhi persyaratan, yaitu: mahir menjadi pedagang, merangkap Laksamana dan sekaligus Jenderal.

          Baik van Goens maupun Speelman, telah mengamati nasib "Imperium Portugis" di kawasan Asia, yang tidak bertahan lama, karena bersifat "imperium laut murni" (hanya menguasai pelabuhan‑pelabuhan penting). Menurut pandangan mereka, pelabuhan harus memiliki daerah pedalaman dan pinggiran yang luas, sebagai sumber pangan, sekaligus menjadi pelindung terhadap ancaman serbuan musuh dari darat. Mereka mendorong, agar Maetsuycker bertindak lebih berani dan "lebih keras".

Untuk mencapai tujuannya, Maetsuycker, van Goens, dan Speelman, saling mengisi dalam watak dan pendapat. Trio itulah, yang harus dihadapi oleh Sultan Abdulfatah, selanu 30 tahun.

Kembali ke Kesultanan Surasowan Banten. Gangguan gerilya Kesultanan Banten, baik di darat maupun di laut, dijawab oleh Kompeni Belanda dengan memblokade Pelabuhan Banten. Terhadap tindakan itu, Sultan Abdulf'atah mengadakan tekanan balasan di sektor darat, dengan menarnbah kekuatan pasukan di daerah Angke Tangerang. Ancaman dari darat inilah, yang sangat ditakuti oleh Kompeni Belanda. Sebab di laut, Kompeni Belanda merasa lebih sanggup, mengunggudi armada Kesultanan Surasowan Banten.

          Karena merasa lemah di sektor darat, Kompeni Belanda mencontoh strategi pasukan Kesultanan Surasowan Banten, derigan membentuk pasukan "pribumi", yang berdasarkan kelompok etluk. Untuk memenuhi keperluan tersebut, banyak "budak" yang dibebaskan atau ditebus oleh Kompeni, dengan catatan bersedia menjadi tentara Kompeni Belanda.

          Menjelang akhir masa perjanjian, Kompeni Belanda mengambil prakarsa, mengirim perunding untuk menghadap Sultan Abdulfatah, sambil membawa usul‑usul baru dari mereka. Dua kali Kompeni Belanda mengirimkan utusannya, dua kali pula Sultan Abdulfatah menolaknya. Sebab secara pribadi, Sultan Abdulfatah, tidak pernah mempercayai "niat baik" Kompeni Belanda. Sampai akhir tahun 1656, perundingan itu belum juga dapat dilaksanakan. Akan tetapi, sikap hati-hati yang dimiliki oleh Maetsuycker, membuat Kompeni Belanda "tetap bersabar". Padahal, van Goens dan Speelman, menginginkan Maetsuycker, agar ia bertindak lebih keras.

          Pada tahun 1657, sikap "kehati‑hatian" Maetsuycker, hampir berhasil. Kesultanan Surasowan Banten, bersedia membuka jalur perundingan. Pertukaran nota, dilakukan sampai beberapa kali. Pada tanggal 29 April 1658, utusan Kompeni Belanda, membawa usul "perdamaian", sebanyak 10 pasal:

1.    Kedua belah pihak, harus mengembalikan tawanan perangnya masing‑masing.
 2.    Banten harus membayar kerugian perang, berupa 500 ekor kerbau dan 1500 ekor sapi.
 3.    Blokade Belanda atas Banten akan dihentikan, setelah Sultan Banten menyerahkan pampasan perang.
 4.    Kantor perwakilan Belanda di Banten harus diperbaiki, atas biaya dari Banten.
 5.    Sultan Banten harus menjamin keamanan dan kemerdekaan perwakilan Kompeni di Banten.
 6.    Karena banyaknya barang‑barang Kompeni dicuri dan digelapkan oleh orang Banten, maka kapal‑kapal Kompeni yang datang di Banten dibebaskan dari pemeriksaan.
 7.    Setiap orang Banten yang ada di Batavia, harus dikembalikan ke Banten, demikian juga sebaliknya
 8.    Kapal‑kapal Kompeni yang datang ke Pelabuhan Banten, dibebaskan dari bea masuk dan bea keluar.
 9.    Perbatasan Banten dan Batavia, ialah garis lurus dari Untung Jawa hingga ke pedalaman dan pegunungan.
 10. Untuk menjaga hal‑hal yang tidak diingini, warga kedua belah pihak dilarang melewati batas daerahnya masing‑masing.
 (Michrob,1993:137).

          Dengan tegas, Sultan Abdufatah menolak usulan tersebut, yang dinilai sangat tidak adil. Sultan Abdulfatah menegaskan, bahwa jika Kompeni Belanda menuntut perlakuan istimewa dari Banten, maka sebagal imbalannya, pihak Kompeni Belanda pun harus memberikan perlakuan istimewa terhadap Kesultanan Surasowan Banten. Oleh karena itu, sebagai imbalan, Sultan Abdulfatah menuntut:

1.    Menuntut, agar orang Banten, secara bebas dapat membeli meriam, peluru dan mesiu di pelabuhan Batavia,
2.    Menuntut, agar orang Banten, diijinkan langsung membeli rempah-rempah dan timah dari daerah produsen.

Sultan Abdulfatah sangat faham, bahwa kedua tuntutan itu tidak akan diluluskan oleh Kompeni Belanda, karena:

1.    Tuntutan yang pertama, artinya sama dengan menyuruh Kompeni Belanda, agar "bunuh diri". Sebab, peralatan‑peralatan yang dimaksud, pasti digunakan untuk menghadapi Kompeni Belanda.
2.    Tuntutan yang kedua, merupakan pelanggaran terhadap hak monopoli Kompeni, yang telah diperolehnya, dengan mengorbankan jiwa dan biaya yang cukup banyak.

Seperti yang telah diduga sebelumnya, pihak Kompeni Belanda di Batavia menolak kedua usul Sultan Abdulfatah itu. Sebagai jawabannya, pada tanggal 11 Mei 1658, Sultan Abdulfatah membalasnya melalui surat, yang menyatakan bahwa "perundingan tidak mungkin dilalksanakan". Penolakan tersebut, berarti menyulut sumbu perang terbuka.

Pasukan‑pasukan Kesultanan Surasowan Banten, sebelumnya sudah dipersiapkan dengan matang. Para komandan tempur dari berbagai tingkat, telah ditunjuk untuk menempati pos‑posnya masing masing.

1.    Arya Suryanata, di perairan Tangerang;
2.    Tumenggung Wirajurit, di perairan Karawang;
3.    Ratu Bagus Singandaru, di perairan Tanara;
4.    Ratu Bagus Wiranatapada, di perairan Pontang;
5.  Suranubaya, di perairan Labuhan Ratu; untuk mencegah pendaratan pasukan Kompeni Belanda di pantai Selatan.

Selain itu, sebuah satuan tempur darat, ditempatkan di pantai Caringin, perairan Selat Sunda, di bawah pimpinan Wirasaba dan Purwakarti.

          Pasukan tempur darat dengan kekuatan 5,000 orang, segera dikirimkan ke daerah perbatasan Angke Tangerang, di bawah komando Senapati Ingalaga (nama ini sebenarnya berarti: Panglima Perang). la didampingi oleh Rangga Wirapata sebagal Wakil Panglima, dan Haji Wangsareja sebagal Imam Pasukan. Dengan melalui jalan darat, selama 9 hari, pasukan tempur itu berangkat dari Ibukota Surasowan ke daerah Angke‑Tangerang.

          Sedangkan satuan Artileri Banten, khusus ditugaskan melindungi ibukota Surasowan, dengan kekuatan 60 meriam. Sepuluh di antaranya, jenis canon (meriam besar), yang masing-masing diberi nama. Di antara meriam‑meriam itu: Si Jaka Pekik, Si Muntab dan Si Kalantaka, yang terkenal paling ampuh dan paling banyak mengenai sasaran.

          Pertahanan ibukota, dipusatkan di sekitar pelabuhan, untuk menjaga serangan dari laut. Hal ini dilakukan, karena dalam rangka blokadenya, Kompeni Belanda menempatkan satuan armada, yang terdiri dari 11 kapal di kawasan Teluk Banten. Kapal‑kapal milik Kompeni Belanda itu, selalu "berkeliaran", di sekitar Pulodua dan Pulolima. Oleh karena itu, Sultan Abdulfatah memerintahkan, agar semua moncong meriam diarahkm ke pantai Teluk Banten.

          Ketika Kompeni Belanda menyerang Surasowan dari taut, berhasil digagalkan oleh pasukan tempur Kesultanan Surasowan Banten, setelah melalui pertempuran sengit artileri sehari penuh. Kapal-kapal Kompeni Belanda, mulai memuntahkah tembakan salvo. Akan tetapi, balasan dari pasukan ardleri Banten, yang menyebar di sekitar pelabuhan, tidak memberi peluang kepada kapal‑kapal Kompeni Belanda untuk mendekati garis pantai. Pertempuran sengit itu, berlangsung sampai senja hari.

          Sebelum malam tiba, armada Kompeni Belanda, mundur dari garis pantai pertahanan pasukan Kesultanan Banten, menuju ke laut lepas. Pasukan‑pasukan itu tidak kembali lagi, selama perang antara Kesultanan Surawowan Banten dengan Kompeni Belanda, yang berlangsung hampir satu tahun lamanya.

          Sementara itu, di garis depan Angke‑Tangerang, terjadi stagnasi. Pertempuran yang sudah berlangsung hampir satu tahun, belum ada pihak yang mendahului maju atau mundur. Padahal, dari kedua belah pihak, telah banyak korban yang jatuh. Melihat kenyataan ini, Sultan Abdulfatah mengambil keputusan, untuk mengadakan penyegaran pasukan.

          Pimpinan baru, Arya Mangunjaya dan Arya Wiratmaja, ditunjuk untuk mengganti Senapati Ingalaga dan Rangga Wirapata. Kemudian Sayid Ali, ditunjuk menggantikan kedudukan Haji Wangsareja. Mereka dibekali pasukan baru, untuk menggantikan sebagian pasukan lama, yang sudah memerlukan istirahat.

          Strategi militer Sultan Abdulfatah ini, dipandang sebagai ancaman baru, oleh Kompeni Belanda. Sebab, dengan kekurangan tenaga cadangan dan sulit mengganti maupun menambah pasukan, Kompeni Belanda hanya mampu bertahan. Di Batavia, Gubemur Jenderal bersama 9 orang anggota Dewan Hindia, mengambil keputusan untuk mengajukan usul perdamaian kepada Sultan Banten, melalui jasa baik Sultan Jambi sebagai perantara. Akhirnya, pada tanggal 10 Juli 1659, di bawah pimpinan Kiai Demang Dirade Wangsa dan Kiai Ingali Marta Sidana, bertindak atas nama Sultan Jambi. Perundingan berlangsung di Batavia. Sultan Abdulfatah sendiri hadir, untuk menghadapi Gubernur Jenderal Maetsuycker.

          Sultan Abdulfatah, menyetujui dan menandatangani perjanjian "perdamaian” itu, karena pihak Kompeni Belanda, tidak menuntut hak monopoli. Oleh karena itu, Kesultanan Surasowan Banten pun menarik kembali tuntutannya, tentang hak membeli senjata dari Batavia, dan hak memperoleh rempah‑rempah (pala dan cengkeh) serta timah secara langsung dari produsen. Kompeni Belanda, diperlakukan sama dengan kongsi‑kongsi dagang lainnya, dan Kesultanan Surasowan Banten, tetap harus membeli bahan rempah‑rempah dan timah, dari pasar Batavia.

          Sebetulnya, titik berat dari perjanjian itu, adalah: pengukuhan garis perbatasan, sepanjang sungai Cisadane. Setiap pelanggar batas dari kedua belah pihak, tanpa alasan yang sah, akan ditangkap. Bagi orang Kompeni Belanda, yang membelot ke Kesultanan Surasowan Banten, kemudian memeluk agama Islam, dalam jangka waktu tiga bulan sebelum perjanjian ditandatangani, harus dikembalikan ke Batavia.

Sebagai catatan, Sultan Abdulfatah sangat menghargai orang asing, terutama bagi yang memiliki keterampilan di bidang teknologi. Sultan Abdulfatah akan menawarkan pekerjaan, dengan bayaran tinggi. Kemudian, bila teknisi yang bersangkutan bersedia masuk Islam, Sultan Abdulfatah akan memberi jabatan resmi kepadanya. Bahkan bila dianggap layak, akan diberi gelar kebangsawanan.

          Kemudian, Kesultanan Surasowan Banten harus membayar harga ternak, yang telah dirampas oleh pasukan gerilya Banten, dari para kawula Kompeni Belanda di sekitar Batavia. Kelak terbukti, bahwa para gerilyawan Banten, mengalihkan operasi "penyergapan ternak", ke daerah pedalaman Cileungsi dan Cianjur.

          Sedangkan konsesi bagi Kompeni Belanda, adalah kantor perwakilannya di ibukota Surasowan Banten, tetap diperbolehkan dibuka. Bahkan, biaya pemeliharaan kantor tersebut, menjadi tanggungan pemerintah Kesultanan Banten. Strategi Sultan Abdulfatah ini, bertujuan agar dapat mengawasi kegiatan Kompeni Belanda secara lebih ketat. Sebab, kantor perwakilan Kompeni Belanda di ibukota Surasowan Banten, sekaligus berfungsi sebagai "sarang mata‑mata".

Adapun keringanan lain yang diperoleh oleh Komperri Belanda, antara lain sebagai berikut:

1.    Bila kapal Kompeni yang masuk pelabuhan Banten, atas permintaan kepala perwakilannya, atau terpaksa singgah karena memerlukan air, tidak dikenakan bea pelabuhan.
2.    Bila dalam kapal Kompeni itu, ada barang yang dianggap terlarang, petugas pemeriksa dari pihak Banten, dapat menyitanya. Kemudian barang tersebut dikirimkan ke Jakarta.

Di balik masa jeda "gencatan senjata" itu, sesungguhnya kedua belah pihak "memerlukan istirahat". Perang selama 11 bulan dengan keadaan "seimbang", telah ikut memperlancar tercapainya perdamaian, antara Kompeni Belanda dengan Kesultanan Surasowan Banten.


B.  NEGERI PERDAGANGAN MARITIM

Sultan Abdulfatah tidak pernah lengah akan kelicikan Kompeni Belanda, yang selalu memanfaatkan kesempatan, dengan cara mencari setiap kelemahan, untuk mencapai tujuannya, yaitu menanamkan hak monopoli atas perniagaan di Kesultanan Banten. Dalam masa damai di bawah perjanjian 10 Juli 1659, Sultan Abdulfatah mengisinya dengan memperbaiki keadaan dalam negeri. Sebab selama perang berlangsung, telah banyak hal yang terabaikan.

          Salah satunya, Sultan Abdulfatah memecahkan persoalan di pos pertahanan perbatasan di sebelah timur. Posko pertahanan sebelah timur ini, banyak mernakan biaya yang amat tinggi. Hal ini disebabkan, selain letaknya yang jauh, juga sarana perhubungannya sulit. Sehingga tempat itu baru bisa dicapai dari ibukota Surasowan, dalam tempo 9 hari perjalanan. Pada saat perang berlangsung, sepertiga dari pasukan yang dikirimkan ke perbatasan, ditugaskan untuk mengangkut dan mengelola perbekalan. Kondisi ini mengakibatkan daya guna pasukan relatif rendah, karena beban logistik yang terlalu berat.

          Oleh karena itu, Sultan Abdulfatah mengambil tindakan dengan dua cara, antara lain sebagai berikut:

Pertama. Dibangun saluran secara berantai, dari Pontang ke daetah Angke‑Tangerang. Saluran itu, dibuat sepanjang jalan lama, dan dapat dilalui perahu‑perahu kecil. Dengan demikian, penggunaan tenaga manusia untuk angkutan barang, dapat dikurangi dan angkutan pasukan dapat dipercepat. Jalur itupun aman dan gangguan armada Kompeni Belanda, karena terletak cukup jauh dari pantai. Dari catatan Kompeni Belanda dapat diketahui, bahwa pembuatan saluran tersebut, dimulal tahun 1660 dan memakan waktu kira‑kira 10 tahun.

Kedua. Sultan Abdulfatah memindahkan penduduk sebanyak kira‑kira 6.000 jiwa, untuk dimukimkan di tempat-tempat tertentu, sepanjang saluran yang baru. Di sebelah kiri dan kanan saluran, masyarakat dianjurkan mencetak sawah. Strategi ini, bukan saja memperbanyak penduduk di sekitar wilayah timur, tetapi lebih mendekatkan sumber logistik ke daerah perbatasan.

Persiapan‑persiapan matang yang dilakukan oleh Sultan Abdulfatah, tidak Iuput dari intaian dan penilalan Kompeni Belanda yang semakin cemas dan gemas. Kompeni Belanda menyadari, tujuan Sultan Banten yang tangguh itu. Kecemasan dan kegemasan Kompeni Belanda, tampak dalam laporan Rijcklof Volckertsz van Goens, ketika ia telah menjabat kedudukan Gubemur Jenderal, kepada atasannya di Netherland, pada tanggal 31 Januari 1679, bahwa "Banten harus ditundukan, bahkan dihancur-lumatkan, atau. Kompeni yang akan lenyap".

Kesultanan Surasowan Banten, dianggap sebagai saingan utama oleh Kompeni Belanda. Selain karena letaknya berdampingan dengan pusat kekuasaan Batavia, Banten pun merupakan sebuah negara maritim, dengan tulang punggung ekonominya mengandalkan perdagangan internasional. Terbukti, negara yang terletak di ujung barat Pulau Jawa itu, telah berhasil mengimbangi kekuatan militer Kompeni Belanda.

          Kecemasan pihak Kompeni Belanda, ditambah lagi dengan tindakan Mataram pada tahun 1661, yang mengirimkan koloni petaninya, sebanyak 500 orang ke Muara Beres, sebuah tempat di pinggiran Sungai Ciliwung. Di Muara Beres, yang terletak di antara Jakarta dengan Bogor, koloni Mataram ditugasi mencetak sawah baru. Muara Beres, pernah dijadikan pangkalan "pasukan rakit", ketika Sultan Agung Mataram mengerahkan tentaranya, untuk mengepung benteng Batavia.

          Peristiwa ini pun turut diperhitungkan oleh Sultan Abdulfatah. Sebab, Muara Beres terletak sejauh 4 jam perjalanan, ke sebelah timur dari Wales, pos terdepan pasukan Banten, dengan kekuatan 4.000 orang. Dari Wales, terdapat sebuah jalan darat melalui Pagutan (sebelah barat Ciputat), yang menuju Batavia, atau ke arah tenggara Muara Beres. Mata‑mata Banten mendapatkan, bahwa pemukiman orang Mataram itu, dihuni petani biasa (bukan tentara). Banyak di antaranya, orang Paledang (pembuat alat‑alat tembaga), dan mereka dianggap "tidak berbahaya".

          Selain pembangunan fisik, Sultan Abdulfatah, dengan jiwa "Maritim Banten"‑murninya mempererat hubungan dagang internasional, dengan kongsi‑kongsi dagang Eropa yang bukan Belanda. Dengan demikian, dapat diraih tiga macam keuntungan sekaligus, yaitu:

1.  Peningkatan ekspor;
2.  Hubungan persahabatan dengan saingan‑saingan Kompeni Belanda;
3.  Alih teknologi.

Melalui Kompeni Inggeris EIC (East Indie Compagnie), Sultan Abdulfatah, mengadakan kontak diplomatik dengan kerajaan Inggeris. Dari orang EIC, ia memperoleh informasi rahasia, tentang keadaan organisasi induk VOC di Netherland.

          Ketika pecah perang, antara Belanda dengan Inggeris dan Perancis pada tahun 1672, peristiwa itu segera diketahui oleh Sultan Abdulfatah, dari para pelaut Inggeris dan Perancis yang datang di pelabuhan Banten.

Dalam jalinan persahabatan internasional ini, Sultan Abdulfatah, mengundang para teknisi Eropa. Mereka dilibatkan dalam pembangunan kapal-kapal niaga, yang memiliki daya jangkau jauh, mampu berlayar hingga mencapai Philipina, Macao, Benggala dan Persia (Iran).

          Sebagian besar para teknisi Eropa itu, dilibatkan pula dalam perbaikan komplek keraton Surasowan. Istana yang megah itu, dibuat lebih indah dan lebih tahan dari serangan. Keraton Surasowan, dilengkapi pancuran dan danau buatan. Seluruh komplek, dilindungi tembok terbuat dari bata merah, yang cukup tebal. Pada sudut‑sudut benteng, ditempatkan menara jaga. Jalan masuk menuju komplek Istana, berbentuk busur, diberi dinding bata pada kedua tepinya, untuk menghindari pengintaian dari luar. Di sekitar tembok benteng, dibuat pula saluran yang cukup lebar. Jejak-jejak tangan teknisi Eropa, tampak berbaur dengan arsitektur tradisional.

          Selain Istana Surasowan di pusat ibukota, Sultan Abdulfatah pun membangun keraton baru di sebelah tenggara Pontang, tidak jauh dari pantai. Dalam sumber Belanda yang sejaman, keraton itu dilaporkan bercorak modern. Keraton dibangun untuk tempat tinggal Sultan Abdulfatah, dan berfungsi sebagai benteng cadangan, bila terjadi hal darurat di ibukota Surasowan. Karena keistimewaan sistem saluran airnya, keraton baru itu dinamai Tirtayasa. Dari nama keraton itulah, kelak Sultan Abdulfatah dikenang oleh rakyat Banten, sebagai Sultan Ageng Tirtayasa.

          Salah satu teknisi Eropa itu adalah Henrik Lucaszoon Cardeel, seorang "tukang batu" kelahiran Steenwijk, Negeri Belanda. Setelah Henrik Lucaszoon Cardeel masuk Islam, Sultan Abdulfatah memberikan gelar kebangsawanan, dengan nama Tubagus Wiraguna. Kelak, ia dihadiahi sebidang tanah di Batavia (daerah Ragunan, sekarang). De Haan berpendapat, bahwa nama tempat itu (Ragunan), merupakan singkatan dari Wiraguna (Lombard, 1996: 303).

          Upaya hubungan diplomatik dilakukan pula dengan Denmark. Melalui kongsi dagangnya, perjanjian dagang antara Banten‑Denmark, dapat ditandatangani tahun 1670. Hal tersebut, dapat dilihat dalam surat dinas Sultan Abdulfatah, yang ditulis menggunakan bahasa Melayu beraksara Arab. Surat tersebut ditujukan kepada Raja Christian V Denmark, pada tahun 1671, yang isinya sebagai berikut:

          Ini surat menyatakan tulus dan ikhlas daripada Paduka Seri Sultan Abu'l‑Fath di Banten yang mengempukan tahta pekerjaan (sic) dalam negeri Banten khallada'llahu mulkahu wa‑sayyara a'naka a'adihi milkahu datang kepada raja Danamarka yang bernama Raja Kerristian anak Raja Parraiderrai yang mengempukan tahta pekerjaan dalam negeri Dananarka raja yang termashur gagah berani dalam segala negeri atas angin dan negeri bawah angin ialah raja yang amat bangsawan serta setiawan dan yang bijaksana pada memerintah segala pekerjaan di darat dan di laut serta mengelakukan isti'adat raja‑raja dalam negeri Danamarka.

          Adapun kemudian daripada itu bahwa surat dan bingkis daripada raja Kerristian itu telah sampailah kepada Raja Paduka Serri Sultan di Banten dengan sempurnanya. Maka apabila dibukalah surat itu daripada meterainya semerbaklah bau‑bauwan yang amat harum daripada kasturi dan `anbar akan mengatakan perkataan tulus dan ikhlas dan hendak berkasih‑kasihan. Sahdan barang maksud Raja Kerristian yang tersebut dalam kitabat itu telah diketahuilah oleh Paduka Seri Sultan di Banten, maka Paduka Seri Sultan pun terlalulah sukacita sebab mendengar perkataan Raja Kerristian yang tersebut di dalam kitabat itu.

          Sebermula Paduka Seri Sultan meminta kepada Raja Kerristian jual-jualan obat bedil pada tiap‑tiap masa kapal berlayar ke Banten sekira-kira obat bedil itu seratus pikul dan demikian lagi peluru bedil besar-besar.

          Shahdan Paduka Seri Sultan memberi Ma'lum kepada Raja Kerristian dahulu kala Kapitan Haddelar menitipkan lada kepada angabehi Cakradana banyaknya lada itu seratus bahara dan tujuh puluh enam bahara. Tamat (Naerssen,1977: 159).

          Sementara itu, di lingkungan Istana Kesultanan Surasowan Banten, pada tanggal 16 Februari 1671, Sultan Abdulfatah mengangkat Abdulkahar sebagai Pangeran Gusti atau putera mahkota. Abdulkahar, adalah putera Sultan Abdulfatah dari permaisuri Ratu Adi Kasum. Peristiwa ini, bertepatan dengan datangnya surat dari Syekh Mekah, yang memberi gelar kepada Pangeran Gusti, yaitu Sultan Abu'nasr Abdulkahar, yang kelak lebih dikenal sebagai Sultan Haji.

          Sultan Abu'nasr Abdulkahar, diberikan tugas dan wewenang untuk mengatur urusan dalam negeri Kesultanan Surasowan Banten. Sedangkan kekuasaan dan urusan luar negeri, sepenuhnya masih dipegang oleh Sultan Abdulfatah. Sejak itulah, Sultan Abdulfatah pindah ke kediaman yang baru, di Istana Tirtayasa.

          Selanjutnya, pada tahun 1674, putera mahkota Sultan Haji, diperintahkan oleh ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa, untuk menunaikan ibadah haji, sekaligus melakukan perlawatannya ke Turki, guna menjalin persahabatan dengan pusat kekuatan Islam dunia Petjalanan Sultan Haji dalam perlawatan diplomatik, memerlukan waktu 2 tahun.

          Kesultanan Surasowan Banten memanfaatkan masa yang relatif damai, berdasarkan perjanjian 10 Juli 1659, untuk mengungguli persiapan Kompeni Belanda. Setiap saat, perang antara Kesultanan Surasowan Banten dengan Kompeni Belanda, dapat saja meletus.

Hal yang meredakan ketegangan, di antara kedua belah pihak, adalah sikap Gubernur Jenderal Johan Maetsuycker. Sikapnya yang sangat hati-hati, membuat ia mengambil sikap netral, bila terjadi pertikaian di antara kerabat keraton di Nusantara.

Saran van Goens dan Speeltnan, agar Kompeni bertindak cepat melumpuhkan Banten, tidak dihiraukan oleh Johan Maetsuycker. Kekhawatirannya, Kesultanan Surasowan Banten, bersahabat baik dengan kongsi dagang Inggeris dan Perancis, ketika pecah perang antara Belanda dengan Inggris‑Perancis tahun 1672.

          Sementara itu, untuk mengamankan hak monopoli rempah‑rempah di wilayah timur, Speelinan berhasil menggulung Ternate dan menundukkan Makasar. Dalam perjanjian Bongaya (1667), Makasar harus mengakui keunggulan Kompeni, dan kehilangan kebebasannya. Dalam kejadian ini, Cornelis Speelinan mengutamakan jasa baik Aru Palaka, Raja Bone yang terusir oleh Sultan Hasanuddin, ketika kerajaannya ditundukkan oleh Makasar. Tanpa bantuan Aru Palaka yang hafal keadaan daerah pedalarnan Makasar, belum tentu Kompeni Belanda berhasil menggulung kekuatan Makasar.

          Oleh sebab peristiwa itu, Sultan Ageng Tirtayasa, kehilangan sekutunya di kawasan timur. Sisa‑sisa laskar Makasar, banyak yang menyingkir, kemudian bergabung dengan laskar Banten. Dalam laporan perwakilan Belanda di Banten, diberitakan bahwa selama bulan Agustus dan September 1671, berturut‑turut telah datang ke Banten, 800 dan 300 orang Makasar. Mereka ikut memperkuat angkatan perang Banten.

          Ketika pecah pemberontakan Trunojoyo, bukan saja orang Makasar yang ada di Banten, melainkan juga laskar Banten ikut membantu gerakan bangsawan Madura itu. Bantuan senjata dan perbekalan, diberikan pula oleh Sultan Ageng Tirtayasa.

          Akibat adanya persaingan kekuasaan di Pulau Jawa, terlebih setelah Sultan Agung Mataram menguasai Priangan, hubungan Banten dengan Mataram, tidak pernah mulus, cenderung mengarah kepada permusuhan. Koloni petani Mataram di Karawang, justeru selalu diganggu keamanannya oleh laskar Banten, bukan oleh Kompeni yang menjadi sasarannya.

          Karena persaingan itulah, walaupun secara resmi tidak pernah berperang, akan tetapi Sultan Ageng Tirtasaya tidak mau bekerjasama dengan Mataram, dalam perjuangannya ketika mengusir Kompeni dari Batavia. Kedua belah pihak saling membiarkan, bila salah satu pihak diancam Kompeni. Terbukti, Sultan Ageng Tirtayasa menempatkan Kesultanan Banten sebagai pendukung Trunojoyo, dalam pemberontakan melawan Sunan Amangkurat I Mataram.

Peristiwa pemberontakan Trunojoyo, telah mempererat hubungan antara Pakungwati Cirebon dengan Kesultanan Banten. Sebagaimana telah dikemukakan, menurut penuturan Pangeran Wangsakerta, dalam peristiwa itu, kedua orang kakaknya, yaitu Samsudin Martawijaya dan Badridin Kartawijaya, tertawan oleh Trunojoyo dan dibawa ke Kediri. Mereka bersama ayahnya, Panembahan Girilaya, tidak diperkenankan pulang ke Cirebon oleh Amangkurat I Mataram.

          Pemerintahan Pakungwati Cirebon, diwakili oleh Pangeran Wungsakerta, putera Panembahan Girilaya yang bungsu. Pangeran Wangsakerta segera pergi ke Banten, merninta jasa baik Sultan Ageng 'Tirtayasa, untuk membebaskan kedua kakaknya dari tangan Trunojoyo.

          Melalui sepucuk surat dari Sultan Ageng Tirtayasa, berangkatlah sebuah kupal perang Banten membawa perlengkapan menuju perairan Jaw a Timur. Menggunakan kapal itu pula, kedua pangeran Cirebon itu kembali ke pelabuhan Banten.

          Menurut Pangeran Wangsakerta sendiri, sesungguhnya Sultan Ageng Tirtayasa‑lah, yang melantik resmi (mewisuda) mereka bertiga, menjadi penguasa Pakungwati Cirebon. Masing‑masing, sebagai Sultan Sepuh, Sultan Anom dan Wangsakerta sendiri sebagai Panembahan Cirebon. Menggunakan kapal perang Banten pula, mereka diantarkan ke Pakungwati Cirebon, untuk memulai tugas sebagai akhli waris Panembahan Girilaya. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1677.

          Akibat peristiwa itulah, hubungan kekerabatan antara Pakungwati Cirebon dengan Surasowan Banten, yang telah lama retak, dapat dipererat kembali. Sebagai sesama keturunan Susuhunan Jati Cirebon Syekh Syarif Hidayat, Sultan Ageng Tirtayasa, adalah saudara sepupu jauh ketiga orang penguasa Cirebon itu.

          Hanya saja, Kesultanan Surasowan Banten, tidak menyukai hubungan akrab antara Pakungwati Cirebon dengan Mataram, karena alasan politik. Sedangkan pihak Pakungwati Cirebon, mempunyai jalinan kekerabatan yang lebih dekat, dengan keraton Mataram. Ibunda Amangkurat I, adalah kemenakan Panembahan Ratu, buyut ketiga orang penguasa Cirebon tersebut. Selain itu, ibu dan isteri‑isteri mereka, juga puteri Mataram.

          Oleh sebab itulah, walaupun para penguasa Cirebon sangat berhutang budi kepada Sultan Ageng Tirtayasa, permintaan agar Pakungwati Cirebon memusuhi Mataram, tidak mungkin dipenuhi. Mereka hanya menjanjikan, akan mengambil sikap netral, bila terjadi perselisihan antara Banten dengan Mataram. Hal ini merupakan suatu keberhasilan Sultan Ageng Tirtayasa, bagi kepentingan politik diplomasi Kesultanan Surasowan Banten, yang telah berhasil menetralkan sekutu utama Mataram di kawasan Tatar Sunda.

          Dalam peristiwa Trunojoyo ini, Speelman mengusulkan agar Kompeni Belanda memulihkan kedudukan penguasa Mataram, dengan tujuan mendapatkan wilayah, sebagai tebusan biaya perang. Selain itu, Speelinan pun mengusulkan, supaya Trunojoyo beserta sekutunya, yaitu Kesultanan Surasowan Banten, segera dilumpuhkan. Akan tetapi, Gubemur Jenderal Maetsuycker, yang selalu hati‑hati, tidak menerima usul tersebut.

          Maetsuycker mengijinkan Speelman membawa armada Kompeni ke Japara, untuk mengatasi kekacauan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam hal ini Johan Maetsuycker berpesan, agar Speelman mendesak Amangkurat I dan Trunojoyo untuk berdamai kembali. Anjuran Speelman diterima baik oleh Amangkurat I, namun ditolak oleh Trunojoyo.

          Selanjutnya, Speelman segera bertindak merebut Surabaya, yang telah dikuasai`pasukan Trunojoyo, mengambil alih benteng pasukan Makasar di Gogodog dan perbatasan Balambangan, dan menyerang Arosbaya di Madura. Akan tetapi, Speelman kembali ke Japara, tidak meneruskan gerakannya.

          Trunojoyo yang cerdik segera membuntutinya, menyeberangi Selat Madura. Pada tanggal 2 Juli 1677, langsung menyerbu ibukota Mataram, serta berhasil merebut dan mendudukinya. Pusaka‑pusaka Mataram, termasuk mahkota Majapahit, diboyongnya ke Kediri sebagai tempat kedudukannya.

          Akibat serbuan Trunojoyo, Maetsuycker yang semula bersikap netral, karena menganggap sebagai konflik intern keraton, akhirnya mengambil sikap memihak Susuhunan Matarain. la berkirim pesan kepada Speelman, agar mengambil langkah‑langkah untuk pemulihan kedudukan Sunan Mataram.

          Setelah Amangkurat I meninggal dunia, dalam pengungsian ke benteng Kompeni di Tegal Arum, pada bulan Oktober 1677, Speelman mengadakan pertemuan dan perjanjian dengan Adipati Anom, putera mahkota Mataram. Berdasarkan pertemuan itulah, akhirnya perlawanan menghadapi Trunojoyo tidak dilakukan oleh Mataram, melainkan oleh Kompeni Belanda. Selanjutnya, setelah Trunojoyo tertawan, ia beserta mahkota Majapahit, diserahkan oleh Kompeni kepada Sunan Amangkurat II. Karena peristiwa itulah, Mataram resmi menjadi vazal Kompeni Belanda.

          Akan tetapi, penumpasan gerakan Trunojoyo itu, tidak sempat disaksikan oleh Johan Maetsuycker, yang meninggal dunia pada tanggal 4 Januari 1678. Sebagai penggantinya, Para Direktur Kompeni Belanda di Netherland, mengangkat Rijcklof Volckertsz van Goens, orang yang sepaham dengan Cornelis Speelinan, sama‑sama penganut garis keras.



F. PAHLAWAN KEPRAJURITAN NASIONAL

Rijcklof Volckertsz van Goens dan Cornelis Speelman, yang berambisi ingin menghancurkan Kesultanan Surasowan Banten, namun selalu terhalang oleh kehati‑hatian Maetsuycker, kini bebas merencanakan dan melaksanakan maksudnya. Sebagai langkah awal, Kompeni Belanda menggali terusan antara Kali Angke dengan Cisadane, guna kelancaran angkutan pasukan dan perbekalan ke daerah perbatasan. Terusan ini dapat diselesaikan oleh Kompeni Belanda, pada tahun 1680.

Menurut perjanjian Belanda‑Pakungwati Cirebon pada tahun 1677, daerah jajahan Mataram di Priangan diserahkan kepada Kompeni Belanda, sebagal pembayar hutang biaya perang. Hal ini menimbulkan gejolak politik yang baru di Tatar Sunda. Sumedang melihat kesempatan untuk bangkit, karena Rangga Gempol III, Bupati Sumedang, mendambakan kekuasaan seluruh wilayah yang pernah dikuasai oleh Geusan Ulun.

Selanjutnya, pada bulan September tahun 1678, ketika Kompeni Belanda sibuk menghadapi Trunojoyo di Jawa Timur, Rangga Gempol menggempur Sukapura, Parakanmuncung dan Bandung, sehingga para bupati dari ketiga daerah itu menyingkir ke Kesultanan Banten, memohon perlindungan kepada Sultan Ageng Tirtayasa.

Rangga Gempol adalah Bupati Priangan pertama, yang mengadakan hubungan dagang dengan Kompeni. la mengakui kedaulatan Kompeni Belanda, sehingga memperoleh bantuan meriam, senapan, peluru dan mesiu. Rangga Gempol juga menyapu daerah Ciasem, menyingkirkan para kepala daerah setempat, yang merupakan wilayah bawahan Banten.

Kekosongan kekuasaan di Mataram itu, dimanfaatkan pula oleh Pakungwati Cirebon, dengan mengerahkan 300 orang Talaga, di bawah pimpinan Wiratanu, untuk mengisi kawasan bagian utara Cianjur. Akhir tahun 1678, Wiratanu mendirikan pos baru di Cianjur dan Cimapag, untuk menguasai lalu-lintas perdagangan yang biasa ditempuh para pedagang Sumedang. Hubungan dagang Sumedang - Kompeni, sudah mulai dirintis mulai tahun 1656.

Wiratanu yang berstatus resmi berada di bawah Cirebon, mengadakan hubungan langsung dengan Kompeni, melalui Kapten Hartsinck, penanggung‑jawab keamanan Kompeni untuk daerah pedalaman Batavia dan Karawang. Situasi baru ini, telah memecah konsentrasi Kesultanan Banten, dalam upaya menghadapi Kompeni secara langsung. Sultan Ageng Tirtayasa harus memulihkan kekuasaan Banten di kawasan Ciasem, dan membantu ketiga orang Bupati Priangan yang meminta perlindungan, setelah mereka tersingkir oleh Rangga Gempol. Cakrayuda, salah seorang Bupati Banten di kawasan Ciasem, adalah menantu Bupati Bandung.

Sultan Ageng Tirtayasa memprioritaskan untuk mengatasi Sumedang. Pasukan gerak cepat Kesultanan Banten, yang berkedudukan di Pamanukan, di bawah pimpinan Cili Widara seorang bangsawan Buton, segera diperintahkan untuk menyerang Sumedang. Akhirnya, Sumedang berhasil dikalahkan dan diduduki, sehingga Rangga Gempol harus mengungsi ke daerah Indramayu. Akan tetapi, di daerah Indramayu, pasukan Banten yang mengejar Raga Gempol, dikalahkan oleh bala bantuan Kompeni Belanda.

Pendudukan Banten atas Sumedang, hanya berlangsung kurang dari dua tahun. Rangga Gempol kembali berkuasa, tetapi ia telah kehilangan kekuasannya atas Ciasem dan daerah Priangan Selatan. Secara politis, peristiwa itu telah menghilangkan sisa‑sisa pengaruh kekuasaan Mataram di Tatar Sunda.

Sultan Ageng Tirtayasa, mampu menghadapi tantangan‑tantangan yang timbul di kawasan Priangan, sebagai akibat kekosongan kekuasaan setelah perjanjian Japara 1677. Sebab, Kompeni sendiri tidak dapat segera menguasai wilayah yang diterima‑nya dari Mataram. Kabupaten Cianjur, yang langsung menjadi sekutu Kompeni, justeru muncul dalam kesempatan tersebut. Potensinya masih kecil, sehingga bukan merupakan ancaman berarti, bagi kelancaran jalur hubungan pasukan dan perbekalan Banten di daerah pedalaman.

Sementara itu, di balik keberhasilan Sultan Ageng Tirtayasa, ia lebih dipusingkan oleh keadaan intern Istana Kesultanan Sorasowan Banten sendiri, karena ulah putera mahkota yaitu Pangeran Gusti (Sultan Haji).

Sultan Haji, mempunyai tabiat yang berbeda sekali dengan ayahnya. la labil dalam sikap, mudah terpengaruh bujukan orang, tanpa kajian yang mendalam. la senang meniru perilaku orang Belanda, tetapi rakyat Banten dianjurkannya mengenakan pakaian Arab, yang menyebabkan ia dibenci oleh ulama dan rakyat. Tetapi yang paling membahayakan negara, adalah ambisinya terhadap kekuasaan terlalu besar. la tidak puas dengan kedudukannya sebagai Sultan Anom.

Inilah celah yang dunanfaatkan secara maksimal oleh perwakilan Kompeni Belmda di Surasowan Banten. Sultan Haji bergaul akrab dengan W. Caeff, pimpinan kantor perwailan Kompeni Belanda di ibukota Surasowan Banten, serta orang‑orang Belanda lainnya. Ambisi Sultan Haji yang amat besar, untuk berkuasa penuh dalam waktu secepat mungkin, hanya akan dapat diwujudkan dengan dukungan Kompeni Belanda.

Kompeni Belanda sudah merasa kesal, karena kekuasaan tertinggi Kesultanan Banten, masih tetap dipegang oleh Sultan Abdulfatah. Rijcklof Volckertsz van Goens, yang berambisi menghancurkan Kesultanan Banten, terpaksa menahan diri. la tidak berani, menghadapi "musuh besar Kompeni Belanda" itu, tanpa persiapan yang benar‑benar matang. Keamanan kawasan di sekitar Batavia, tetap rawan, karena gangguan gerilya Banten. la sangat memahami, dalam pertempuran di laut, Kompeni Belanda akan mampu menghadapi Banten. Akan tetapi di darat, pasukan Banten masih terlalu tangguh. Akhirnya, van Goens sama sekali tidak sempat mewujudkan impiannya, karena ia meninggal pada bulan November 1681. Dendamnya terhadap Sultan Ageng Tirtayasa, terbawa mati.

Pengganti van Goens adalah "si Jagoan Tempur" Cornelis Speelinan, ia orang Kompeni Tulen. Ketika diangkat menjadi Gubernur jenderal, Speelman telah 34 tahun mengabdikan dirinya kepada Kompeni. Berkat pengalamannya sebagai pedagang, perunding dan panglima perang. Belanda kelahiran Rotterdam itu, telah akrab dengan iklim tropic, dan mengetahui banyak bahasa‑bahasa daerh dan adat istiadat masyarakat Nusantara. Dialah yang mendiktekan Perjanjian Bongaya untuk Makasar, dan Perjanjian Japara untuk Mataram.

Dalam sehari, Cornelis Speelman tahan bekerja selama 16 jam. la cerdas dan cerdik, tubuhnya kekar, namun lincah dan tak senang diam. Untuk kepentingan Kompeni, ia berani mempertaruhkan nyawanya, bahkan ia pun tidak pernah ragu‑ragu mengorbankan nyawa orang lain. Wajar bila Vlekke dalam bukunya, menyebut: "pedang yang mengubah Kompeni dari penguasa niaga, menjadi penguasa wilayah".

Dari "tiga serangkai Kompeni", selama 30 tahun menghadapi Sultan Ageng Tirtayasa, Cornelis Speelman adalah orang terakhir yang masih hidup. Watak dan keuletan Speehnan, terlihat dalam laporannya mengenai Perang Makasar. Pada saat‑saat perang sedang berlangsung, ia menyusun catatan pertempuran, lengkap dengan keadaan politik, dan tatanan masyarakat Sulawesi Selatan. Banten, menghadapi ancaman lawan yang tangguh dan licin.

Speelman mengetahui, bahwa perselisihan antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan Sultan Haji, semakin meruncing. Oleh karena itu, untuk menghadapi Kesultanan Surasowan Banten, Speelman mematangkan situasi. Sikap licin seorang pedagang ulung, Speelman berpura‑pura tidak percaya dan menolak desakan Sultan Haji, yang ingin memperbaharui perjanjian 1645, antara Kesultanan Surasowan Banten dengan Kompeni Belanda. Oleh karena Sultan Haji ingin segera memegang kekuasaan penuh, terpaksa ia harus menjanjikan konsesi‑konsesi yang lebih besar kepada Kompeni Belanda.

Hasrat menggebu yang dimiliki oleh Sultan Haji itu, terlihat dalam tindakannya pada bulan Mei 1680, yang mengirimkan utusan ke Gubernur Jenderal VOC di Batavia. Sultan Haji menawarkan perdamaian, sambil menegaskan bahwa dialah yang berkuasa di Kesultanan Surasowan Banten. Padahal, saat itu jabatan Sultan Haji hanyalah sebagai Sultan Anom, yang menempati Istana Surasowan.

Selanjutnya, Speelman mengutus Jacob van Dijck, sebagai perunding pihak Kompeni untuk membicarakan "pembaharuan perjanjian" dengan pihak Kesultanan Surasowan Banten. Padahal Jacob van Dijck mengetahui benar, bahwa Sultan Ageng Tirtayasa akan menolak "pembaharuan perjanjian" itu. Akan tetapi, sebagai perunding ulung, van Dijck tidak akan segan melaksanakan tugas tersebut, dengan sikap "tetap manis dan penuh harap". Jacob van Dijck adalah orang Kompeni yang telah berhasil menarik Cirebon ke dalam perjanjian persahabatan, pada tanggal 8 Januari 1681.

Tugas van Dijck yang sesungguhnya, ialah menghasut Sultan Haji, agar lebih berani mengadapi ayahnya, dengan janji dukungan dari Kompeni Belanda. Kepada Sultan Ageng Tirtayasa, Kompeni Belanda menunjukkan sikap ingin "tetap damai", padahal di benteng "Batavia", komandan-komandan tempur yang paling berpengalaman telah bersiap. Mereka adalah: Kapten Hartsinck, Kapten Tack, Van Happel, Sloot, dan Saint Martin. Pertahanan daerah Angke‑Tangerang, disiapkan di bawah pimpinan Anthony Hurdt, anggota Dewan Hindia Belanda penakluk Trunojoyo.

Dengan dalih, Kompeni datang bukan "sebagai penyerang", melainkan sebagai "penolong", Speelman ingin menciptakan "perang saudara" di Kesultanan Surasowan Banten. Sistem politik adu domba, oleh Jacob van Dijck dan Caeff, ditambah dengan sikap Sultan Haji yang ambisius atas kekuasaan, berjalan mulus. Sehingga, pada malam 26 Februari 1682, Sultan Ageng Tirtayasa memerintahkan pasukannya menyerang Istana Keraton Surasowan, yang ditempati oleh Sultan Haji. Ibukota Surasowan diserang dari segala penjuru, dan perkampungan pinggiran daerah kota habis dibakar. Namun dengan bantuan Kompeni Belanda, komplek keraton Surasowan tidak berhasil direbut.

Selanjutnya pada tanggal 6 Maret 1682, pasukan bantuan Kompeni Belanda, di bawah komando Saint Martin, tiba di Pelabuhan Banten. Disusul kemudian oleh pasukan lainnya, di bawah komando Kapten Tack. Pertahanan keraton Surasowan makin kokoh.

Sementara itu, pada tanggal 16 Maret 1682, Kapten Hartsinck dibantu oleh Van Happel, membawa pasukan campuran sebanyak 680 orang, dengan dukungan tenaga logistik sebanyak 400 orang, mulai bergerak menuju perbatasan Angke‑Tangerang.

Tangguhnya pasukan Sultan Ageng Tirtayasa di front Angke‑Tangerang, memaksa Kompeni Belanda untuk tidak melakukan serangan, sehingga terjadi stagnasi. Hingga bulan Agustus 1682, hanya terjadi serangan kecil-kecilan dari kedua belah pihak. Pasukan gerilya Banten, berupaya keras mengganggu garis logistik Kompeni Belanda.

Akhirnya, anggota Dewan Hindia Belanda Anthony Hurdt, turun tangan memimpin pasukannya di garis depan. Pada bulan Oktober 1682, Kompeni Belanda telah selesai membangun perbentengan di sebelah timur Cisadane. Ketika persiapan Kompeni Belanda telah rampung, pada bulan November 1682, mereka mulai melakukan gempuran terhadap pasukan Sultan Ageng Tirtayasa. Tepat pada tanggal 2 Desember 1682, pusat pertahanan pasukan Banten di Kademangan, jatuh ke tangan Kompeni Belanda. Sultan Ageng Tirtayasa bersama pasukannya, mundur menuju Tanara.

Di Tanara, pasukan darat dan laut Banten, mencoba mempertahankan daerah tersebut. Akan tetapi, melalui pertempuran sengit pada tanggal 16 Desember 1682, Tanara pun jatuh ke tangan pasukan Hartsinck. Selanjutnya, pasukan Banten mundur menuju daerah pertahanan terakhir di Tirtayasa.

Sedangkan di Tanara, Hartsinck mempersiapkan serangan baru. Pada tanggal 28 Desember 1682, armada darat dan laut Kompeni Belanda, bergerak menuju Tirtayasa.

Serbuan pasukan Hartsinck ini, diikuti oleh Kapten Saint Martin dan Tack, yang berada di Keraton Surasowan. Dari ibukota Surasowan, mereka bersama‑lama dengan pasukan Sultan Haji, bergerak menuju ke Tirtayasa. Pasukan gabungan ini, berhasil merebut Pontang. Saat itu, meriam tempur Hartsinck, mulai menembus keraton Tirtayasa.

Semakin mendesaknya pasukan Kompeni Belanda menuju benteng Tirtayasa, dengan perhitungan yang matang, Sultan Ageng Tirtayasa memutuskan untuk membumihanguskan keraton Tirtayasa. Bersama dengan para pembesar dan pengikutnya yang setia, Sultan Ageng Tirtayasa menyingkir menuju kawasan hutan Keranggan, di sebelah selatan Tirtayasa.

Pada awal Maret 1683, pasukan Sultan Ageng Tirtayasa telah berada di Sajira, daerah perbatasan Tangerang‑Bogor. Di tempat itulah, ia menerima sepucuk surat dari Sultan Haji, yang berisi bujukan dan permohonan, agar Sultan Ageng Tirtayasa bersedia kembali ke Istana Surasowan. Setelah dirundingkan dengan para pembesar dan pembantunya yang setia, Sultan Ageng Tirtayasa memutuskan untuk kembali ke ibukota Surasowan.

Sementara yang lain menunggu di Sajira, pada tanggal 14 Maret 1683 malam hari, Sultan Ageng Tirtayasa bersama para pengawalnya, memasuki keraton Surasowan. Kedatangan Sultan Ageng Tirtayasa, disambut baik dengan penuh rasa hormat, oleh Sultan Haji. Beberapa hari kemudian, utusan Kompeni Belanda tiba di Keraton Surasowan. Pada saat itulah, Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap oleh Kompeni Belanda dan dibawa ke Batavia.

Kemungkinan besar, bukan maksud Sultan Haji menjebak ayahnya. Karena terbukti, dikemudian hari Sultan Haji tetap menghormatinya. Penangkapan itu, lebih didasari karena Kompeni Belanda khawatir, jika Sultan Ageng Tirtayasa dibiarkan tetap berada dekat puteranya di Surasowan, dapat mempengaruhi dan mengubah sikap Sultan Haji. Akan tetapi, Sultan Haji tidak berdaya. Ambisinya terhadap tahta Kesultanan Banten, terlalu besar untuk dikorbankan bagi kebebasan dan keselamatan ayahnya Bahkan demi kehormatannya sendiri. Karena dialah yang mengundang dan menjamin keamanan ayahnya di Surasowan.

Mungkin saja, Sultan Haji hanya sanggup meminta kepada Kompeni Belanda, agar ayahnya tidak dibunuh atau dibuang. Sultan Ageng Tirtayasa dipenjarakan di dalam benteng Kompeni belanda dengan "terhormat", di bawah pengawasan dan penjagaan yang ketat. Sultan Ageng Tirtayasa wafat dalam penjara pada tahun 1692. Jenasahnya diminta dan dikebumikan di sebelah utara Masjid Agung Banten. Sebutan Sultan Agung atau Sultan Ageng, yang diberikan rakyat Banten kepadanya, menunjukkan kebesaran Sultan Abulfath Abdulfatah.

Sultan Ageng Tirtayasa, ialah musuh besar Kompeni Belanda. Akan tetapi, sumber‑sumber resmi yang ditulis oleh pihak Belanda sendiri, tidak satupun yang mencela watak atau perilaku pribadinya. la dihormati dan disegani oleh lawannya. Walaupun Rijcklof Volckertsz van Goens membencinya, ia tidak pernah mencela sifat‑sifat Sultan Ageng Tirtayasa. Bahkan, Vlekke menyebutnya: de sluwe Abdoelfatah (Abdulfatah yang cerdik).

Di bawah kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa, Banten mencapai masa kejayaan. Tanpa ragu‑ragu, Vlekke (1947: 193) mengutarakan pujiannya kepada Sultan Ageng Tirtayasa, sebagai "yang terbesar di antara para Sultan Banten". Menurut pengamatannya, dalam berbagai sumber, ia menyebutkan, bahwa "Abdulfatah dengan penuh vitalitas, mencoba memodernkan negaranya, serta menjadikannya pusat gerakan Islam di Nusantara".

Selanjutnya dalam catatan Vlekke, dikemukakan pula:

Prestasinya yang terbesar, adalah keberhasilannya membangun dan mengembangkan perdagangan laut. Seperti juga raja Makasar, Sultan Banten, telah berhasil memikat para pedagang Inggris, Denmark, dan Perancis. Sehingga, mereka merasa senang, menjalin hubungan niaga dengan Pelabuhan Banten.

Atas bantuan orang‑orang Eropa, mulailah ia membangun kapal‑kapal sendiri. Dalam tahap permulaan, dipimpin oleh para nakhoda Eropa, melakukan pelayaran ke Philipina, Macao, Benggala dan Persia. Disertai salah satu kapal milik Banten, putera mahkota (Sultan Haji), pergi berlayar ke Mekah melakukan ibadah haji.

Para pedangan India, Cina dan Arab, mengalihkan usaha niaga mereka secara besar‑besaran ke Banten, setelah terdesak dari Malaka dan Makasar. Harga barang niaga yang dijual di pasar Batavia, melonjak naik, akibat persaingan dari Pelabuhan Banten, disebabkan tindakan keniagaan Sultan Abdulfatah. la pun menuntut hak, atas perniagaan pala di Ambon dan perniagaan timah di Semenanjung Malaka, yang ditolak secara congkak oleh pimpinan Kompeni Belanda di Batavia.

Orang berkata, "Tidak pernah terjadi sebelumnya”. Juga dalam zaman puncak kebesaran pelayaran Nusantara, sebelum kedatangan orang Portugis, ada kegiatan perdagangan yang demikian besar dan melimpah di pelabuhan-pelabuhan Nusantara, seperti yang dapat disaksikan di Pelabuhan Banten dalam tahun‑tahun pemerintahan Sultan Abdulfatah. Hal itu justeru tetjadi, dalam saat‑saat kekuatan Komperli Hindia Timur, berada pada titik puncaknya.

          Sultan Ageng Tirtayasa, adalah penguasa terakhir Kesultanan Surasowan Banten yang merdeka. la menolak berbagai saham kekuasaan dengan orang luar, dari manapun asalnya. Kesadaran politik inilah, yang tidak dimiliki oleh Sultan Abdulkahar (Sultan Haji). Sultan Haji mengira, Gubernur Jenderal Kompeni Belanda sebagai "bangsawan keraton" bermoral kesatria, bukan sebagai "bangsawan niaga", yang sopan‑santunnya ditetapkan oleh norma‑norma perdagangan.

Tentang tahun kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa, terdapat kesimpang-siuran, dari sumber-sumber yang ada. Muhammad Ismail, dalam buku Petunjuk Jalan dan Keterangan Bekas Kerajaan Kesultanan Banten (1983), penerbit Saudara, Serang, sebagaimana yang dikutip oleh Halwany Michrob, menyebut angka tahun 1651 sampai dengan 1672, untuk tahun kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa. Padahal, pada tahun 1677, Sultan Ageng Tirtayasa masih melakukan penobatan (wisuda) para Pangeran Cirebon, dengan kapasitasnya sebagai Sultan Banten. Mungkin penunjukkan tahun 1672, berdasarkan pelantikan Sultan Haji sebagai Sultan Anom pada tahun 1671, dan penyerahan kekuasaan dalam negeri kepadanya. Oleh sebab itu, kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa, berakhir pada tahun 1683, ketika terjadi penangkapan terhadap dirinya, oleh pasukan Kompeni Belanda di Istana Surasowan.

Akibat peristiwa penangkapan tersebut, para pengikut Sultan Ageng Tirtayasa, melanjutkan perjuangannya secara gerilya. Satu tahun lamanya, Kompeni Belanda direpotkan oleh pasukan tempur gerilya di bawah pimpinan Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf. Adik Sultan Haji, yaitu Pangeran Sake, juga berpihak kepada Pangeran Purbaya.

Perjuangan terus dilakukan oleh generasi selanjutnya. Salah satunya, yang sempat memusingkan Kompeni Belanda pada abad ke‑18, ialah cucu Sultan Ageng Tirtayasa, putera Pangeran Sake, yaitu Tubagus Mustafa, atau lebih dikenal umum dengan sebutan Ki Tapa.




http://www.zonawin.com
Taruhan Bola

No comments:

Post a Comment