RUMAH joglo
berkapur putih, dengan kusen biru, itu tampak berdebu tak terawat. Beberapa pot
bunga
berserakan di bagian depan, sarang laba-laba bergelayutan di sudut
tembok. Rumah itu memang tak lagi dihuni, cuma dijadikan gudang.
Di depannya,
agak ke kanan, tegak rumah kayu model serupa yang lebih besar, bercat putih
dengan kusen kuning. Menurut Ruslan-bukan nama sebenarnya-rumah kayu yang
ditempatinya ini sudah berumur sekitar 125 tahun. "Sudah ditempati empat
generasi," kata menantu Sjam Kamaruzaman itu.
Ruslan, 67
tahun, beristrikan Laksmi-sebut saja begitu-putri bungsu Sjam dari lima
bersaudara, yang 23 tahun lebih muda. Pasangan ini beranak satu, setelah
menikah cukup lama.
Di rumah
inilah Sjam Kamaruzaman, Kepala Biro Chusus Partai Komunis Indonesia,
dilahirkan pada 30 April 1924. Rumah berlingkung tembok 1,5 meter dengan lahan
1.450 meter persegi itu terletak di Kampung Kutorejo, Kecamatan Kota, Kabupaten
Tuban, Jawa Timur.
Untuk ukuran
kampung padat penduduk itu, rumah ini terbilang besar. Ayah Sjam, R Achmad
Moebaedah, memang terbilang orang berada. Pada masa hidupnya, orang tua itu
penghulu-semacam kepala pengadilan agama. Adapun ibunya, Siti Chasanah, asal
Blitar, Jawa Timur, bergelar Raden Roro.
Sjam anak
kelima dari sepuluh bersaudara-dua di antaranya meninggal pada masa kanak.
Menurut Laksmi, berdasarkan cerita Latifah, adik Sjam yang telah wafat, Sjam
dikenal sebagai anak yang sulit diatur orang tua. Ia gemar menyendiri, misalnya
ke kuburan. Sebagai anak penghulu, Sjam belajar mengaji sejak kecil.
Sejak kecil
Sjam mengagumi embahnya, R Prawiroredjo, yang konon punya ilmu kanuragan.
Saking kagumnya, Sjam mencantumkan nama sang kakekdi belakang foto dirinya
seukuran kartu pos, yang diambil pada 1950-an. Karena keuangan orang tuanya
yang memadai, Sjam dan para saudaranya bisa menikmati sekolah formal waktu itu.
Di Tuban,
Sjam masuk Sekolah Rakyat, lalu melanjutkan pendidikan ke Land & Tuinbouw
School dan Suikerschool di Surabaya, yang terputus karena Jepang datang, pada
1942. Setahun kemudian, ia masuk Sekolah Menengah Dagang di Yogyakarta, hingga
kelas dua, dan putus lagi karena pecahnya perang kemerdekaan.
Menurut
berita acara pemeriksaannya, Sjam aktif mengikuti kegiatan Hizbul Wathan,
organisasi kepanduan Muhammadiyah. Setelah di Surabaya, ia lebih banyak
menghabiskan waktu bermain bola dan atletik. Belakangan, di Yogyakarta, ia juga
main musik dan menyanyi.
Sjam mulai
bersentuhan dengan dunia politik ketika bersekolah di Yogyakarta, dengan ikut
perkumpulan pemuda Pathuk. Di sini ia menumpang hidup bersama kerabatnya.
Menurut Suryoputro-bukan nama sebenarnya-yang saat itu bersekolah di Taman
Siswa, Sjam sering ikut pertemuan gelap yang digelar gerakan perlawanan.
Biasanya,
lelaki berambut keriting dan bertubuh gempal itu lebih banyak diam
memperhatikan. "Dia itu tipenya ngoho (preman), jadi tidak banyak
ngomong," kata Suryoputro. Seperti pemuda lain pada masa itu, Sjam ikut
bergerilya melawan Belanda.
Menurut
Suryoputro, Sjam ikut pertempuran di Mranggen, Ambarawa, dan Magelang,
1946-1947, dan sempat memimpin Laskar Tani di Yogyakarta. Pada 31 Desember
1947, bersama Sjam dan seorang rekan lain, Suryoputro berangkat ke Jakarta
untuk melanjutkan studi. Kelompok Pathuk bubar, dan banyak anggotanya masuk
partai politik.
Di Karawang,
mereka bertiga sempat ditahan Kemal Idris-ketika itu komandan batalion di
Cikampek. Setelah menunggu sehari, mereka melanjutkan perjalanan. "Sengaja
menunggu karena Belanda pesta tahun baru sehingga penjagaan di Jakarta lebih
kendur," kata Suryoputro.
Di Jakarta,
mereka tinggal di Jalan Bonang, tak jauh dari Tugu Proklamasi sekarang. Setelah
itu, mereka pindah rumah berkali-kali. Sjam jadi pegawai Kantor Penerangan Jawa
Barat, meski kantornya di Jakarta. "Tapi tidak ada kerjanya, cuma
duduk-duduk."
Sjam bersama
beberapa kawan kemudian ikut aksi gerilya malam, melempari pasukan Sekutu yang
berjaga di kawasan Senen, Jakarta Pusat, dengan granat. "Wilayah kerja
malam" Sjam di seputar Jalan Kramat Raya. Entah bagaimana, Sjam juga
bersentuhan dengan organisasi buruh kereta api.
Bersama
rekan-rekannya, Sjam mengatur perjalanan desersi orang-orang Indonesia yang
bergabung dengan tentara Belanda, Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL),
dan ingin "menyeberang" ke pedalaman. Ia kemudian ikut mendirikan
Serikat Buruh Mobil dan Serikat Buruh Kendaraan Bermotor.
Pada 1949,
Sjam juga ikut mendirikan Serikat Buruh Kapal dan Pelabuhan, yang kemudian
berubah nama menjadi Serikat Buruh Pelabuhan dan Pelayaran. "Jumlah
anggotanya pernah mencapai 13 ribu orang di Tanjung Priok saja," kata
Suryoputro, yang pernah memimpin organisasi itu.
Ketika
terbentuk Badan Pusat Sementara Sarekat-Sarekat Buruh, yakni gabungan serikat
buruh pada masa itu, Sjam dipercaya sebagai wakil ketua. Organisasi ini
kemudian bubar, digantikan oleh Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia
(SOBSI), yang berafiliasi ke PKI.
Sjam menjadi
pengurus SOBSI hingga 1957. Pada masa itulah ia menikah dengan Enok Jutianah,
perempuan Sunda aktivis buruh pelabuhan, yang meninggal setelah melahirkan anak
kelima.
Menurut
berita acara pemeriksaan, Sjam bertemu dengan Aidit pertama kali pada 1949.
Aidit, ketika itu, dalam persembunyian di Jakarta setelah Peristiwa Madiun,
1948. Aidit kemudian menawari Sjam masuk PKI. "Saya terima dengan
baik," kata Sjam, seperti tercantum dalam berita acara. Sejak 1957, Sjam
menjadi pembantu pribadi Aidit, dan mundur dari serikat buruh. Aidit menugasinya
mengurus dokumentasi yang berhubungan dengan ideologi Marxisme-Leninisme. Tiga
tahun kemudian, ia menjadi anggota Departemen Organisasi PKI, yang khusus
menangani anggota dari unsur militer. Selang empat tahun, dibentuklah Biro
Chusus, dengan Sjam sebagai ketua.
Menurut
Suryoputro, sekitar 1949, Sjam sempat membuat skenario "penjemputan
Aidit" sepulang dari Vietnam di Pelabuhan Tanjung Priok. Ia diajak Sjam
berboncengan sepeda. Di pelabuhan, Suryoputro kebagian tugas menjaga sepeda,
sedangkan Sjam berpura-pura menjemput Aidit yang baru turun dari kapal.
Skenario
penjemputan ini dibuat untuk memberikan kesan Aidit menyingkir ke Vietnam dan
mempelajari Marxisme di sana, setelah Peristiwa Madiun. Selama di Tanjung Priok
itu, menurut Suryoputro, dia tinggal bersama Sjam. "Kami makan dan minum
dari piring dan gelas yang sama."
Sjam gemar
mengenakan baju kaus berkerah. Pembawaannya sederhana dan dia mudah akrab
dengan orang yang baru dikenalnya. Tapi, seingat Suryoputro, Sjam paling takut
sama cecak. "Kalau saya jengkel sama dia, saya kasih cecak saja. Dia akan
lari menjauh."
Pada mata
kiri atas Sjam ada bekas luka, begitu juga di belakang pahanya. "Itu bekas
luka akibat pantulan peluru ketika berlatih menembak di Yogya dulu," kata
Suryoputro.
Di mata anak-anaknya,
Sjam tetap ayah yang baik. "Kami kerap diajak makan enak di rumah
makan," kata Shinta-bukan nama sebenarnya-anak kedua Sjam, kini 53 tahun.
Bagi Maksum-bukan nama asli-anak sulungnya, Sjam bahkan rada melankolis.
"Bapak pernah menangis ketika saya berkelahi dengan adik saya,"
katanya. "Waktu itu, Ibu baru saja meninggal."
No comments:
Post a Comment