KERAJAAN SUMEDANG LARANG
Kerajaan Sumedang Larang adalah salah satu kerajaan Islam yang
diperkirakan berdiri sejak abad ke-15 Masehi di Jawa Barat, Indonesia.
Popularitas kerajaan ini tidak sebesar popularitas kerajaan Demak, Mataram,
Banten dan Cirebon dalam literatur sejarah kerajaan-kerajaan Islam di
Indonesia. Tapi, keberadaan kerajaan ini merupakan bukti sejarah yang sangat
kuat pengaruhnya dalam penyebaran Islam di Jawa Barat, sebagaimana yang
dilakukan oleh Kerajaan Cirebon dan Kerajaan Banten.
Sejarah
Kerajaan Sumedang Larang (kini Kabupaten Sumedang) adalah salah satu
dari berbagai kerajaan Sunda yang ada di provinsi Jawa Barat, Indonesia.
Terdapat kerajaan Sunda lainnya seperti Kerajaan Pajajaran yang juga masih
berkaitan erat dengan kerajaan sebelumnya yaitu (Kerajaan Sunda-Galuh), namun
keberadaan Kerajaan Pajajaran berakhir di wilayah Pakuan, Bogor, karena
serangan aliansi kerajaan-kerajaan Cirebon, Banten dan Demak (Jawa Tengah).
Sejak itu, Sumedang Larang dianggap menjadi penerus Pajajaran dan menjadi
kerajaan yang memiliki otonomi luas untuk menentukan nasibnya sendiri.
Asal-mula nama
Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang
beragama Hindu, yang didirikan oleh Prabu Geusan Ulun Aji Putih atas perintah
Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor.
Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami
beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya
nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke
XII. Kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana,
yang berarti menerangi alam, dan kemudian diganti lagi menjadi Sumedang Larang
(Sumedang berasal dari Insun Medal/Insun Medangan yang berarti aku dilahirkan,
dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya).
Pemerintahan berdaulat
Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri
Pada pertengahan abad ke-16, mulailah corak agama Islam mewarnai
perkembangan Sumedang Larang. Ratu Pucuk Umun, seorang wanita keturunan
raja-raja Sumedang kuno yang merupakan seorang Sunda muslimah; menikahi
Pangeran Santri (1505-1579 M) yang bergelar Ki Gedeng Sumedang dan memerintah
Sumedang Larang bersama-sama serta menyebarkan ajaran Islam di wilayah
tersebut. Pangeran Santri adalah cucu dari Syekh Maulana Abdurahman (Sunan
Panjunan) dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Arab
Hadramaut yang berasal dari Mekkah dan menyebarkan agama Islam di berbagai
penjuru daerah di kerajaan Sunda. Pernikahan Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun
ini melahirkan Prabu Geusan Ulun atau dikenal dengan Prabu Angkawijaya.
Prabu Geusan Ulun
Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) dinobatkan untuk menggantikan kekuasaan
ayahnya, Pangeran Santri. Beliau menetapkan Kutamaya sebagai ibukota kerajaan
Sumedang Larang, yang letaknya di bagian Barat kota. Wilayah kekuasaannya
meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh
(Ciamis). Kerajaan Sumedang pada masa Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan yang
pesat di bidang sosial, budaya, agama, militer dan politik pemerintahan.
Setelah wafat pada tahun 1608, putera angkatnya, Pangeran Rangga Gempol
Kusumadinata/Rangga Gempol I atau yang dikenal dengan Raden Aria Suradiwangsa
menggantikan kepemimpinannya.
Pemerintahan di bawah Mataram
Dipati Rangga Gempol
Pada saat Rangga Gempol memegang kepemimpinan, pada tahun 1620 M
Sumedang Larang dijadikannya wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram di bawah Sultan
Agung, dan statusnya sebagai 'kerajaan' dirubahnya menjadi 'kabupaten'. Hal ini
dilakukannya sebagai upaya menjadikan wilayah Sumedang sebagai wilayah
pertahanan Mataram dari serangan Kerajaan Banten dan Belanda, yang sedang
mengalami konflik dengan Mataram. Sultan Agung kemudian memberikan perintah
kepada Rangga Gempol beserta pasukannya untuk memimpin penyerangan ke Sampang,
Madura. Sedangkan pemerintahan untuk sementara diserahkan kepada adiknya,
Dipati Rangga Gede.
Dipati Rangga Gede
Ketika setengah kekuatan militer kabupaten Sumedang Larang dipergikan ke
Madura atas titah Sultan Agung, datanglah dari pasukan Kerajan Banten untuk
menyerbu. Karena Rangga Gede tidak mampu menahan serangan pasukan Banten, ia
akhirnya melarikan diri. Kekalahan ini membuat marah Sultan Agung sehingga ia
menahan Dipati Rangga Gede, dan pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada
Dipati Ukur.
Dipati Ukur
Sekali lagi, Dipati Ukur diperintahkan oleh Sultan Agung untuk
bersama-sama pasukan Mataram untuk menyerang dan merebut pertahanan Belanda di
Batavia (Jakarta) yang pada akhirnya menemui kegagalan. Kekalahan pasukan
Dipati Ukur ini tidak dilaporkan segera kepada Sultan Agung, diberitakan bahwa
ia kabur dari pertanggung jawabannya dan akhirnya tertangkap dari
persembunyiannya atas informasi mata-mata Sultan Agung yang berkuasa di wilayah
Priangan.
Pembagian wilayah kerajaan
Setelah habis masa hukumannya, Dipati Rangga Gede diberikan kekuasaan
kembali untuk memerintah di Sumedang. Sedangkan wilayah Priangan di luar
Sumedang dan Galuh (Ciamis), oleh Mataram dibagi menjadi tiga bagian :
1) Kabupaten Sukapura,
dipimpin oleh Ki Wirawangsa Umbul Sukakerta, gelar Tumenggung Wiradegdaha/R.
Wirawangsa,
2) Kabupaten Bandung, dipimpin
oleh Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti, gelar Tumenggung Wirangun-angun,
3) Kabupaten Parakanmuncang,
dipimpin oleh Ki Somahita Umbul Sindangkasih, gelar Tumenggung Tanubaya.
Kesemua wilayah tersebut berada dibawah pengawasan Rangga Gede (atau
Rangga Gempol II), yang sekaligus ditunjuk Mataram sebagai Wadana Bupati
(kepala para bupati) Priangan.
Peninggalan budaya
Hingga kini, Sumedang masih berstatus kabupaten, sebagai sisa
peninggalan konflik politik yang banyak diintervensi oleh Kerajaan Mataram pada
masa itu. Adapun artefak sejarah berupa pusaka perang, atribut kerajaan,
perlengkapan raja-raja dan naskah kuno peninggalan Kerajaan Sumedang Larang
masih dapat dilihat secara umum di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang letaknya
tepat di selatan alun-alun kota Sumedang, bersatu dengan Gedung Srimanganti dan
bangunan pemerintah daerah setempat.
Taruhan Bola |
No comments:
Post a Comment