Sebagai Pembunuhan Terencana
Prof Teuku
Jacob mendaftar ulah kekejaman manusia dengan kata-kata lugas yang cukup
mencengangkan.
Penyiksaan dan penganiayaan tahanan dan tawanan menunjukkan
kebengisan yang tak terbayangkan, mulai dari mencambuk, mencabut kuku, menjepit
ibu jari, melilit tubuh, membakar bagian badan, menyiram cairan panas, menjepit
daging dengan jepitan membara, memotong urat, membuang, memperbudak, memenggal
kepala, menggantung, melempar dari tempat tinggi, mencekik, membenamkan,
mengubur hidup-hidup, mencincang, sampai membunuh atau memperkosa anggota
keluarganya di depan mata, menjemur, tidak memberi makan, menyeret dengan kuda,
membakar dalam unggun api, dan sebagainya... sebagian besar dilakukan oleh
pemerintah terhadap rakyatnya sendiri.
Begitu sulit
dipercaya bahwa ulah kekejaman semacam itu dilakukan juga oleh rezim militer
Orde Baru terhadap musuh politik mereka atas nama suatu gagasan yang begitu
tinggi dan mulia, yakni Pancasila! Malahan rezim ini masih menggenapi khasanah
penyiksaan dan pembunuhan dengan penemuan baru mereka: memasukkan tahanan
politik hidup-hidup ke dalam luweng atau sumur alam yang amat dalam, memasukkan
ke dalam kapal bobrok dan menenggelamkannya, meneggelamkan hidup-hidup tahanan
dengan beban besi atau batu, menyiram gua dan ruba tempat persembunyian dengan
bensin dan membakarnya serta melemparkan alat peledak, menyetrom kemaluan laki
perempuan ketika mereka dipaksa bersetubuh, menancapkan bambu runcing ke dalam
vagina, dan tindakan keji lain yang sulit diterima akal sehat dan akal normal
dan sulit dipercaya oleh masyarakat beradab. Dan hebatnya rezim ini berusaha
keras untuk menghapusnya dari memori orang banyak dengan segala macam cara
termasuk memalsu sejarah dan menggantinya dengan memori rekayasa, Pancasila
sakti.
Perburuan
dan pembantaian orang-orang PKI dan yang disangka PKI serta seluruh gerakan
kiri sering dimulai dengan apa yang disebut sebagai "penemuan"
dokumen-dokumen di kantor atau tokoh PKI atau organisasi yang lain tentang
daftar hitam tokoh-tokoh lawan PKI yang hendak dibunuh. Di samping itu juga
adanya dokumen yang berisi rencana-rencana gelap dan jahat yang lain. Setelah 1
Oktober 1965 dan sepanjang tahun 1966, koran dan penerbitan di Indonesia penuh
dengan berita segala macam kekejian dan kekotoran PKI beserta ormasnya sampai
dengan yang paling ganjil dan tidak masuk akal, telah menimbulkan histeria
nasional dan histeria bangsa sebagai landasan subur untuk melakukan pembasmian
terhadap mereka. Tidak selembar pun dokumen semacam itu pernah diajukan di
suatu pengadilan.
Dalam
telegram No. 868 kepada Kemlu AS pada tanggal 5 Oktober 1965, sore hari setelah
menghadiri pemakaman para jenderal di Kalibata, Dubes AS Marshall Green
memaparkan tentang petunjuk dasar dalam membantu rezim militer di Indonesia
agar benar-benar dijaga kerahasiaannya. Pentingnya disebarkan dongeng kesalahan
dan pengkhianatan PKI serta kebiadabannya, sesuatu yang bersifat amat mendesak.
Kedubes
Inggris di Jakarta menghubungi kantor besar dinas rahasia mereka di Singapura
tentang langkah-langkah yang perlu segera diambil menghadapi perkembangan
situasi di Indonesia. Perang urat syaraf alias perang penyesatan terhadap lawan
untuk merongrong dan melemahkan PKI. Tema propaganda berupa kisah kebiadaban
PKI dalam pembunuhan para jenderal dan puteri Jenderal Nasution, bahwa PKI agen
asing. Hal-hal itu harus dilaksanakan dengan halus, seolah sama sekali tidak
melibatkan Inggris, bahan semacam itu sebaiknya dikirim dari Pakistan atau
Filipina sebagai tercantum dalam telegram rahasia kedubes Inggris No.1835 6
Oktober 1965.
Sebagai
spesialis propaganda Norman Reddaway dipilih oleh Dubes Inggris Gilchrist
sebagai orang terbaik untuk pekerjaan kotor itu. Selanjutnya sang spesialis
antara lain memanfaatkan jalur koresponden BBC Asia Tenggara, Roland Challis.
Ia meminta sang koresponden melakukan apa saja untuk merusak dan menghancurkan
Sukarno, di samping PKI serta mendukung Jenderal Suharto dengan menyiapkan
dokumen-dokumen untuk dimanfaatkan olehnya. Karena sang koresponden tak bisa
masuk ke Indonesia sampai pertengahan 1966, maka ia menggunakan sumber-sumber
MI6 yang agen-agennya mondar mandir keluar masuk Indonesia. Dalam berita-berita
yang ditulisnya tak satu pun menyinggung adanya pembantaian ribuan orang di
Indonesia, yang ada perang saudara dan gerombolan komunis bersenjata. Berita
itulah yang muncul dalam koran-koran Inggris The Times, Daily Telegraph,
Observer, dan Daily Mail.
Robert J
Martens, seorang agen CIA dengan jabatan Perwira Politik pada Kedubes Amerika
di Jakarta telah berhasil menyusun daftar terpilih terdiri atas 5.000 orang
kader PKI dari tingkat pusat sampai pedesaan beserta organisasi massanya dengan
rincian jabatannya. Daftar itu dibuat selama dua tahun (1963-1965) dengan
bantuan para pegawai CIA sebagaimana yang dibenarkan oleh Joseph Lazarsky,
Deputi Kepala CIA di Jakarta. Selanjutnya diadakan kesepakatan dengan perwira
intelijen Kostrad Ali Murtopo, secara berkala yang bersangkutan melaporkan
siapa-siapa dari daftar itu telah ditangkap dan siapa-siapa telah dibunuh.
Kostrad menjadi pusat pemantauan terhadap laporan pihak militer dari seluruh
penjuru tentang penangkapan dan pembunuhan terhadap kaum komunis dan golongan
kiri lain. Demikian tulis Cathy Kadane dalam San Fransisco Exeminer, 20 Mei
1990.
Penghancuran
terhadap PKI dan seluruh gerakan kiri pertama-tama adalah membasmi secara fisik
para anggota dan pendukungnya. Basmi sampai akar-akarnya, itulah yang
terus-menerus diserukan baik oleh Jenderal Suharto maupun Jenderal Nasution
serta para pengikutnya. Kekuasaan, dan segalanya ada di bawah laras senapan.
Pertama-tama
perlu diingatkan bahwa segala macam aksi terhadap gerakan kiri dan pendukung BK
yang lain yang antara lain dimotori oleh KAP (Komite Aksi Pengganyangan)
Gestapu, mendapatkan dana dari kekuatan asing yang selalu disebut oleh BK
dengan Nekolim. Resminya badan ini didirikan oleh tokoh NU Subchan ZE bersama
Harry Tjan, tapi di baliknya beberapa perwira Kostrad dengan Brigjen Sucipto
sebagai pemrakarsa. Pemerintah Amerika dengan CIA nya mendukung dana sebesar
Rp50 juta [ketika itu setara dengan US1,2 juta] yang diberikan lewat tangan
Adam Malik sebagaimana yang dimintanya. Meskipun jumlah bantuan itu menurut CIA
relatif kecil, tetapi cukup berarti untuk kegiatan badan ini. Di pihak lain
bantuan ini akan dapat meningkatkan pamor Adam Malik (CIA 2001:379-380), ini
berarti pamor sang kancil telah dibeli dengan dollar.
Pada 17
Oktober 1965, pasukan elite RPKAD di bawah Kolonel Sarwo Edhi, lulusan sekolah
staf AD Australia, berada di basis PKI segi tiga Boyolali-Klaten-Sala dengan
tugas dengan cara apa pun juga untuk menghancurkan basis itu. Ketika disadari
bahwa jumlah pasukan tidak mencukupi untuk tugas, maka "Kami memutuskan
untuk menggalang barisan anti komunis untuk membantu tugas tersebut. Di Sala
kami mengumpulkan para pemuda kelompok nasionalis dan Islam. Kami memberikan
latihan selama dua tiga hari, kemudian mengirimkan mereka untuk membantai kaum
komunis", demikian kata Sarwo Edhi. Hal ini berlanjut pada akhir Oktober
dan permulaan November 1965 di Jawa Timur dan pada Desember 1965 dan permulaan
1966 di Bali.
Dalam
penyelidikannya tentang pembantaian di Jawa Timur, terutama di daerah Kediri,
sejarawan Hermawan Sulistyo menemukan bahwa para perwira tertinggi [AD]
setempat (Korem, Kodim), perwira intelijen, dalam derajat tertentu memulai pembantaian.
Kemudian juga pimpinan partai politik dan tokoh setempat termasuk beberapa
ulama berpengaruh. Lapis selanjutnya adalah organisasi seperti Ansor dengan
Banser-nya. Dalam beberapa kasus, si pembunuh menjilati darah korban, meskipun
hal itu dilarang oleh para kiai, tetapi jalan terus. Dan dengan rasa kesetanan
mereka membantai korban-korban berikutnya. Algojo kadang memotong alat kelamin
korban, kuping, jari, untuk menyebarkan teror.
Di Sumatra
Utara, pembunuhan-pembunuhan telah dimulai sejak 1 Oktober 1965. Brigjen Kemal
Idris yang sedang bertugas di daerah itu mengambil inisiatif membersihkan
wilayahnya dari orang-orang komunis dalam radius 5 km dari pengkalan mereka di
Tebing Tinggi. Ketika perintah datang dari Jakarta, ia telah membunuh 20% buruh
perkebunan karet di Medan area.
Dalam banyak
kasus para kader dan aktivis komunis dibunuh beserta seluruh keluarganya, agar
di belakang hari tidak akan timbul pembalasan dendam atau retaliasi (Cribb
2000:13). Pendeknya pembunuhan menumpas sampai cindil abange, sampai bayi yang
baru lahir. Ini rupanya versi pelaksanaan perintah Jenderal Suharto dan seruan
Jenderal Nasution 'menumpas sampai ke akar-akarnya'. Di banyak tempat terutama
di Jawa Timur, setelah dibantai beramai-ramai mayat mereka ditinggalkan begitu
saja berserak di berbagai tempat sampai berhari-hari tak seorang pun berani
mengurusnya. Atau mayat-mayat itu beramai-ramai diseret dilempar ke sungai.
Mendapatkan laporan keadaan itu Presiden Sukarno dalam pidatonya pada 18
Desember 1965 mengutuk pembunuhan-pembunuhan dan mengingatkan akan perintah
agama tentang soal merawat jenasah.
Di Bali
ribuan orang komunis atau yang disebut komunis diburu dan dibantai. Ribuan
anak-anak dan perempuan diusir dari desa mereka, lalu desa itu diluluhlantakkan
dengan api. Dari malam yang satu ke malam yang lain, api menyala di banyak desa
di Bali, menghancurkan pemukiman beserta penghuninya dalam kuburan massal.
Adakah desa-desa yang hancur itu kemudian diresaikel. Seseorang bercerita bahwa
di bawah hotel Oberoi yang mewah itu sampai ke pantai terkubur 2000 mayat
mereka yang dibantai. Mungkin berbeda dengan di Jawa, di Bali tempat-tempat
kuburan massal semacam itu dijadikan sasaran pemerintah Orba untuk mendirikan
proyek-proyek sebagai cara untuk menghilangkan jejak secara permanen. Konon
sejumlah tengkorak manusia sering ditemukan dalam proyek semacam itu, sesuatu
yang biasa bagi orang Bali, dan mereka tahu tengkorak macam apa itu. Hal ini
tidak pernah diberitakan media massa [selama rezim Orba, hs]
Penjagalan TerhadapTapol
Ratusan ribu
orang ditahan dalam ratusan rumah tahanan dan penjara serta tahanan darurat di
seluruh Jawa, Sumatra, dan pulau-pulau lain. Kata-kata Jenderal Suharto,
"Siapa yang akan memberi makan mereka?" dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya di banyak tempat. Umumnya pada malam hari puluhan atau ratusan
tahanan, tergantung pada kapasitas tahanan atau pun pada besarnya logistik yang
dapat mereka siapkan berupa truk dan tenaga pembantai. Mereka dinaikkan
truk-truk untuk dipindah, tetapi tangan mereka dalam keadaan terikat. Sesampai
di suatu tempat yang telah ditentukan, maka lubang-lubang besar sudah siap
untuk menelan mereka selama-lamanya, setelah para pembantai beraksi serentak
baik dengan senjata api mau pun senjata tajam.
Sebuah
kuburan massal. Mereka berasal dari penjara-penjara Kalisosok Surabaya,
Lowokwaru Malang, Banyuwangi, Madiun, Kediri, Tulungagung, Blitar, Sala,
Sragen, Yogya, Wonosobo, Semarang, Ambarawa, Nusakambangan dan dari banyak
tempat tahanan lain termasuk Jakarta dan Bandung. Pulau Kemarau terletak di
tengah Sunga Musi. Di situ terdapat bangunan bekas tempat usaha penimbunan besi
tua yang diubah sebagai tempat tahanan. Pada permulaan Maret 1966 para tahanan
mendapat jatah makan sekali sehari sebanyak tiga sendok. Kemudian makanan ini
diganti jagung sebanyak 25 butir tiap kepala.
Pada 1 Juni
1966 semua sel dikunci, selama tiga hari tiga malam para tahanan tidak diberi
makan maupun minum. Maka satu per satu mereka menjadi tengkorak dan mayat.
Mayat ditumpuk jadi satu disusun selang seling kepala dan kaki, lalu dibungkus
karung dan diikat. Dengan diganduli besi, karung-karung tersebut dibuang ke
Sungai Musi. Kejadian ini berlangsung hampir sebulan lamanya. Dari seluruh
penjuru Jawa Tengah dan Timur, ribuan tapol diangkut ke penjara-penjara
Nusakambangan, mencapai 30.000 orang. Di samping yang mati kelaparan dan
penyakit, maka tiap malam berpuluh tapol dibawa ke Pasir Putih di bagian barat
pulau untuk dibantai dan dikubur secara massal. Selama 1966-1969 jatah makanan
begitu buruknya, tiap orang menunggu kematian.
Yang sangat
umum terjadi selama 1965 sampai 1969 adalah sangat buruknya jatah makanan dan
kesehatan di seluruh tahanan dan penjara, di banyak tempat hampir tanpa layanan
medis apa pun. Satu-satunya pengecualian adalah rumah tahanan Nirbaya, tempat
sejumlah menteri ditahan. Tak aneh apabila segala macam penyakit dari
hongerudim, tifus, tbc dsb melanda para tapol. Ribuan orang dibunuh secara
perlahan-lahan dengan cara ini. Selama tahun 1967/68 di penjara Kalisosok
Surabaya, puluhan orang meninggal setiap harinya, sedang di Nusakambangan
rata-rata 20 orang tiap harinya. Kembali ribuan orang ditangkap setelah operasi
Trisula di Blitar Selatan. Pendeknya pembunuhan massal telah terjadi di banyak
tahanan dan penjara. Inilah praktek dari perikemanusiaan yang adil dan beradab
model Orde Baru.
Para tapol
yang selama bertahun-tahun dibuat lapar serta menderita busung lapar serta
berbagai penyakit lain itu secara ironis pada setiap tahunnya menjelang puasa
diajari oleh ulama yang didatangkan dari dunia bebas, tentang pentingnya
berpuasa, menahan lapar, menahan nafsu..." Demikian Pramoedya mencatat
pengalamannya.
Sasaran Pembunuhan
Sasaran
pembunuhan yang telah direncanakan di samping tokoh-tokoh PKI dari puncak
sampai ke akar rumput, juga termasuk kader dan aktivis semua lapisan organisasi
massanya. Di samping itu terdapat target khusus yang lain berupa kaum
intelektual dan tokoh yang duduk di pemerintahan seperti walikota, bupati, juga
guru, seniman, kepala desa dsb. yang dianggap komunis atau simpatisan komunis.
Nampaknya target tertentu ini benar-benar telah direncanakan dengan matang
setelah analisis mendalam tentang kemungkinan hari depan komunisme di
Indonesia. Mungkin sekali hal ini ada kaitannya dengan daftar maut CIA seperti
tersebut di atas yang dimasak oleh dapur intelijen Jenderal Suharto.
Pemilihan
target ini dilakukan baik dengan pembunuhan secara langsung maupun ditujukan
bagi mereka yang telah mendekam di ratusan kamp tahanan dan penjara. Dengan
demikian rezim militer Orba hendak memastikan bahwa tidak ada peluang lagi bagi
kemungkinan kebangkitan mereka. Sebagaimana tak henti-hentinya dicanangkan oleh
Jenderal Suharto dan Jenderal Nasution yang diikuti oleh media massa,
'pembasmian kaum komunis dan komunisme sampai ke akar-akarnya'. Dan yang mereka
maksud dan mereka laksanakan pertama-tama adalah pembasmian fisik. Selanjutnya
diikuti oleh penghapusan dan rekayasa memori sosial dengan penghancuran segala
macam dokumentasi, buku, perpustakaan, dan karya budaya dan intelektual yang
lain sebagai bagian dari vandalisme. Karena itu betapa tidak masuk akalnya jika
pembunuhan itu terjadi secara spontan tanpa perencanaan matang.
Standar Ganda dan Terorisme
Negara
Biarlah
pembantaian itu berjalan terus, toh yang dibunuh orang komunis! Begitulah
standar ganda perikemanusiaan dan hak asasi manusia yang dianut rezim Barat
yang mereka terapkan sebagai yang telah dianut jurnalisme majalah Time dalam
artikel 'Vengeance in Smile' pada 15 Juli 1966 yang melukiskan pembantaian
massal itu sebagai "Kabar paling bagus bagi Barat selama bertahun-tahun di
Asia", "The West's best news for years in Asia."
Celakanya
standar ganda semacam ini pun masih terus hidup di Indonesia sebagai hasil
gelombang fitnah tak berkesudahan termasuk lewat buku pelajaran sejarah dan
upaya cuci otak yang terus-menerus dilakukan rezim Orba selama 32 tahun, dalam
beberapa hal bahkan sampai saat ini, sering tanpa sadar dianut oleh jutaan
rakyat Indonesia termasuk sejumlah kecil intelektualnya. Untuk meletakkan
nilai-nilai perikemanusiaan yang adil dan beradab sesuai dengan Pancasila dan
ajaran semua agama, diperlukan daya upaya yang terus menerus tiada kenal lelah
dari semua yang memiliki kesadaran dan kemauan baik dengan memerangi standar
ganda tersebut di atas. Untuk itu diperlukan waktu, barangkali setidaknya
setara dengan waktu bercokolnya rezim militer Orba Suharto atau lebih.
Menyebarkan nilai luhur sekaligus memerangi kejahatan memerlukan waktu dan daya
upaya jauh lebih besar daripada kebalikannya.
Apabila
terorisme didefinisikan sebagai ancaman, penistaan dan pembantaian terhadap
penduduk sipil dalam jumlah amat besar dalam waktu pendek, terhadap mereka yang
tidak tahu-menahu urusannya, tidak memiliki kemampuan melawan atau membela diri
sendiri beserta keluarganya serta tanpa peluang menyelamatkan diri, maka ini
merupakan terorisme paling hebat dan mengerikan di jaman modern, terorisme yang
dilakukan oleh negara. (Dipetik dari Harsutejo, "Sejarah Gelap G30S"
- revisi).
Upaya Mengelak Tanggungjawab
Sejumlah
petinggi militer, sebagai yang pernah ditulis Jnderal Yasir Hadibroto yang
membanggakan diri sebagai eksekutor DN Aidit, ketika itu (1965-1966) merupakan
keadaan perang. Selanjutnya sejumlah pelaku dan penulis pendukung Orba seperti
Sulastomo, Fadly Zon, Mayjen Samsudin, menggambarkan seolah-olah ketika itu
dalam keadaan "membunuh atau dibunuh". Itu semua bohong dan tidak ada
buktinya, sekedar upaya mengelakkan tanggungjawab, agar pembantaian itu sah
adanya. Apa ada situasi "membunuh atau dibunuh" di kamp tahanan dan
penjara sebagai yang dipropagandakan untuk penyesatan oleh pendukung rezim
Orba, agar pembunuhan massal itu dapat diterima sebagai kewajaran.
Meski
keadaan politik tegang tetapi situasi relatif aman sebagai yang direkam buku
yang populer disebut Cornell Paper yang disusun berdasarkan berita koran Orba
sampai dengan Desember 1965, karenanya laporan Benedict Anderson dan Ruth McVey
ini dinamainya A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia,
1971. Fakta-fakta yang terhimpun dalam buku ini didukung dan dilengkapi dengan
fakta-fakta berupa sejarah lisan dari berpuluh-puluh narasumber mereka yang
mengalami langsung pada 1965/1966 yang antara lain terekam dalam buku John
Roosa cs (ed), Tahun yang Tak Pernah Berakhir, , 2004 dan HD Haryo Sasongko,
Korupsi Sejarah dan Kisah Derita Akar Rumput, 2005. Pembunuhan itu dilakukan
dengan senjata bedil oleh pasukan militer, juga dengan menggunakan golongan
anti-komunis yang termakan propaganda hitam dan rakyat yang dipaksa dan
melakukannya baik dengan senjata api maupun senjata tajam, termasuk dengan
bambu runcing.
Apa pun
celoteh mereka, termasuk mencoretnya dari buku-buku sejarah yang diajarkan di
sekolah, pembunuhan massal terhadap satu sampai tiga juta rakyat tak berdosa
itu merupakan kejahatan berat terhadap kemanusiaan yang tidak akan dapat
dilupakan dengan Jenderal Besar (Purn) Suharto sebagai pelaku tertingginya.
No comments:
Post a Comment