Sunday 23 August 2015

Sejarah Aidit



AKU mau ke Batavia, kata Achmad Aidit kepada ayahnya, Abdullah. Waktu itu awal 1936. Achmad berusia 13 tahun, baru lulus Hollandsch Inlandsche School, setingkat
sekolah dasar masa itu. Di Belitung, tempat tinggal keluarga Aidit, sekolah "paling tinggi" memang hanya itu. Untuk masuk sekolah menengah dikenal dengan nama Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) pemuda-pemuda pulau itu harus merantau ke Medan atau Jakarta.

Meninggalkan Belitung bukan pilihan yang lazim pada masa itu. Pemuda yang merantau sampai tanah Jawa bisa dihitung dengan jari. Tapi Aidit bisa meyakinkan ayahnya. Abang saya paling jarang meminta sesuatu kepada Bapak, kata Murad Aidit, adik kandung Achmad, kepada Tempo, dua pekan lalu. Kalau sudah sampai meminta sesuatu, kata Murad, itu artinya tekad Aidit sudah benar-benar bulat. Adik Aidit yang lain, Sobron, dalam bukunya Aidit: Abang, Sahabat, dan Guru di Masa Pergolakan, menjelaskan bahwa untuk diizinkan merantau, seorang remaja harus memenuhi empat syarat: bisa memasak sendiri, bisa mencuci pakaian sendiri, sudah disunat, dan sudah khatam mengaji.

Keempat syarat itu sudah dipenuhi Aidit. Setibanya di Batavia, Achmad Aidit ditampung di rumah kawan ayahnya, Marto, seorang mantri polisi, di kawasan Cempaka Putih. Sayangnya, pendaftaran MULO sudah ditutup ketika Aidit tiba di Jakarta. Dia harus puas bersekolah di Middestand Handel School (MHS), sebuah sekolah dagang di Jalan Sabang, Jakarta Pusat. Bakat kepemimpinan Aidit dan idealismenya yang berkobar-kobar langsung menonjol di antara kawan sebayanya. Di sekolahnya yang baru, Aidit mengorganisasi kawannya melakukan bolos massal untuk mengantar jenazah pejuang kemerdekaan Muhammad Husni Thamrin, yang ketika itu akan dimakamkan.

Karena terlalu aktif di luar sekolah, Aidit tidak pernah menyelesaikan pendidikan formalnya di MHS. Tiga tahun di Cempaka Putih, Aidit pindah ke sebuah rumah di Tanah Tinggi 48, kawasan Senen, Jakarta Pusat. Ketika indekos di sini, Murad datang menyusul dari Belitung, juga untuk bersekolah di Jakarta. Menyekolahkan dua anak jauh dari rumah tentu tak mudah untuk keuangan Abdullah Aidit. Gajinya sebagai mantri kehutanan hanya sekitar 60 gulden sebulan. Dari jumlah itu, 15-25 gulden dikirimnya ke Batavia. Tentu saja jumlah itu juga pas-pasan untuk dua bersaudara Aidit.

Apalagi ketika masa pendudukan Jepang tiba, pada 1942. Hubungan komunikasi antara Jakarta dan kota sekitarnya terputus total. Saat itu, dari rumah tumpangannya di Tanah Tinggi, Aidit menyaksikan ribuan orang berduyun-duyun menjarah gudang-gudang perkapalan di Pelabuhan Tanjung Priok. Dari pagi sampai sore, aneka jenis barang diangkut massa ke Pasar Senen, mulai dari ban mobil, mesin ketik, sampai gulungan kain bahan baju. Kiriman uang dari Belitung macet. Untuk bertahan hidup, Achmad dan Murad mau tak mau harus mulai bekerja. Aidit lalu membuat biro pemasaran iklan dan langganan surat kabar bernama Antara.

Lama-kelamaan, selain biro iklan, Antara juga berjualan buku dan majalah. Tatkala abangnya sibuk melayani pelanggan, Murad biasanya berjualan pin dan lencana bergambar wajah pahlawan seperti Kartini, Dr Soetomo, dan Diponegoro, di dekatnya. Berdagang memang bukan pekerjaan baru untuk Aidit. Ketika masih tinggal di Belitung, setiap kali ada pertandingan sepak bola di Kampung Parit, Aidit selalu berjualan kerupuk dan nanas. Untuk ditabung, Sobron berkisah dalam bukunya. Tak puas dengan perkembangan usahanya, Aidit kemudian mengajak seorang kawan yang tinggal satu indekos dengannya, Mochtar, untuk berkongsi. Mochtar ini seorang penjahit yang punya toko lumayan besar di Pasar Baru.

Karena lokasi usahanya yang strategis, toko Mochtar segera menjadi tempat mangkal para aktivis masa itu, seperti Adam Malik dan Chaerul Saleh. Otomatis, jaringan relasi Aidit meluas. Ketika Mochtar menikah dan menyewa rumah sendiri di kawasan Kramat Pulo, Aidit dan Murad ikut pindah ke sana. Kondisi ini menguntungkan Aidit, karena Mochtar sering membiarkan kakak-beradik itu tidak membayar sewa. Pakai saja untuk keperluan lain, katanya seperti ditirukan Murad. Tapi, kalau Mochtar sedang butuh duit, setoran uang sewa Murad akan dimasukkan ke kantong. Biasanya, kalau begitu, Aidit akan menggerutu. Kamu sih, terlalu menyodor-nyodorkan uangnya, makanya dia terima, katanya memarahi Murad. Namun situasi ekonomi yang terus memburuk membuat Aidit akhirnya angkat tangan. Murad diminta tinggal di sebuah asrama korban perang, sebelum dikirim pulang ke Belitung.

SITUASI politik Ibu Kota yang gegap-gempita sudah menarik minat Aidit sejak awal. Dia pertama-tama bergabung dengan Persatuan Timur Muda atau Pertimu. Pekumpulan ini dimotori Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), di bawah pimpinan Amir Syariffudin dan Dr Ahmad Kapau Gani. Dalam organisasi inilah persinggungan Aidit dengan politik makin menjadi-jadi. Hanya dalam waktu singkat, Aidit diangkat menjadi Ketua Umum Pertimu. Di balik karier politiknya yang mulai menjulang, Aidit seperti mencoba mengibaskan bayang-bayang keluarga dan masa lalunya di Belitung.

Ketika Murad berkali-kali meminta bantuan finansial, misalnya, Aidit selalu menolak. Suatu kali Aidit bahkan berujar bahwa persamaan di antara mereka hanyalah faktor kebetulan, karena dilahirkan dari ibu dan bapak yang sama. Selebihnya, tak ada hubungan apa pun di antara kita, katanya. Sekitar masa-masa itulah Achmad Aidit memutuskan berganti nama. Dia memilih memakai nama Dipa Nusantara biasa disingkat DN. Menurut adik-adiknya, pergantian nama itu lebih dipicu perhitungan politik Aidit. Dia mulai membaca risiko, kata Murad. Sejak namanya berubah itu memang tak banyak orang yang tahu asal-usul Aidit. Dia sering disebut-sebut berdarah Minangkabau, dan DN di depan namanya adalah singkatan Djafar Nawawi.


Proses perubahan nama itu juga tak mudah. Abdullah, ayah Aidit, tak bisa dengan segera menerima gagasan anaknya. Di depan anak-anaknya, Abdullah mengaku tidak bisa menerima rencana pergantian nama itu karena nama Achmad Aidit sudah kadung tercetak di slip gajinya sebagai putra sulung keluarga itu. Akan muncul banyak persoalan jika nama itu mendadak lenyap dari daftar keluarga. Abdullah dan Aidit bersurat-suratan beberapa kali, sebelum akhirnya Abdullah menyerah. Ayah dan anak itu sepakat, nama D.N. Aidit baru akan dipakai jika sudah ada pengesahan dari notaris dan kantor Burgelijske Stand atau catatan sipil.

Aidit lahir di kampung Pagaralang, Tanjungpandan, pulau Belitung, dengan nama lengkap Ahmad Aidit. Informasi yang didapat dari biografi Aidit di majalah bulanan PKI berbahasa Inggris, Review of Indonesia vol 7, dan dari memoir Sobron, adik kandung Aidit, diketahui Aidit lahir pada 30 Juli 1923. Tetapi informasi ini sukar dikonfirmasi akurasinya. Itulah sebabnya Jacques Leclerc, dalam esai panjangnya di majalah Prisma edisi Juli 1982, lebih memilih jalan aman dengan menulis: Aidit lahir di awal tahun duapuluhan.

Nama Aidit diambil dari nama belakang ayahnya, Abdullah Aidit. Abdullah adalah seorang bekas kuli pelabuhan yang kemudian diangkat menjadi mantri kehutanan, pegawai menengah pada Jawatan Kehutanan pemerintah Hindia Belanda. Ia dikenal sebagai seorang muslim yang taat. Ketaatannya itu tercermin pada dua hal: (1) ia menamai semua anaknya dengan nama yang ke-Arab-arab-an dan (2) keterlibatannya secara aktif sebagai pendiri Perguruan Nurul Islam, sebuah organisasi kemasyarakatan Islam yang kecenderungannya dekat dengan Muhammadiyah.

Jabatan Abdullah plus ketaatannya sebagai seorang muslim berikut aktivitas sosialnya yang kencang membikin Abdullah punya posisi sosial yang terpandang di Tanjungpandan, ibu kota Belitung. Itu pulalah yang membawa Abdullah mampir di parlemen (baik pada masa DPR-RIS atau DPRS-RI) sebagai utusan daerah Belitung sekaligus mewakili angkatan ‘45. karirnya di parlemen berhenti ketika Abdullah memutuskan untuk mengundurkan diri pada 16 Juni 1954. Aidit adalah anak pertama dari tujuh bersaudara. Adiknya yang pertama bernama Rosiah. Dialah perempuan satu-satunya dari tujuh bersaudara. Rosiah sudah lama meninggal. Ia meninggal di Mekkah ketika sedang menunaikan ibadah haji. Dua anak lelaki lainnya sudah meninggal sewaktu mereka masih kecil. Jadi, hanya lima lelaki anak Abdullah yang sempat merasakan umur panjang. Berturut-berturut setelah Aidit mereka adalah Ahmad, Basri, Murad, Sobron dan, terakhir, Asahan Sulaiman.

Aidit dididik langsung kedua orangtuanya. Seperti teman-teman sebayanya yang lain, Aidit juga belajar mengaji. Seturut pengakuan Sobron, Aidit khatam mengaji sebanyak tiga kali. Ini bukan angka sepele. Dibutuhkan ketekunan yang tak main-main. Pertama kali Aidit khatam, sebuah pesta syukuran pun diadakan. Semua tetangga tak lupa dikirimi makanan dan penganan. Ia diarak keliling kampung. Meriah.

Aidit punya banyak kelebihan. Secara fisik ia tak terlampau kekar. Di banding adik-adiknya, Aidit yang terkecil dan tependek badannya. Tapi itu semua ditutupi dengan kebiasaannya berlatih tinju. Seorang anak yang terbiasa mengejeknya pernah merasakan bogem mentah Aidit. Hingga kini, Murad, salah seorang adiknya, masih menyimpan sejumlah potret Aidit yang sedang berlatih tinju. Lengkap dengan atributnya.

Sebagai anak, Aidit tahu betul apa artinya menjadi anak sulung. Ayahnya memang bukan orang miskin. Tapi untuk disebut kaya jelas jauh panggang dari api. Itulah pasal yang membikin Aidit kerap memutar otak bagaimana caranya agar bisa membantu keuangan orang tuanya, minimal tidak merepotkan mereka. Pilihannya adalah berjualan, berjualan apa saja. Dari mulai kerupuk hingga buah nanas yang telah dikerat-kerat. Setiap ada pertandingan sepakbola di kampungnya Aidit dipastikan ada di lapangan. Bukan untuk menonton. Tapi untuk berjualan.

Aidit dikenal juga sebagai anak yang pintar. Semua tahu ia adalah kutu buku. Jika menemani ayahnya berjaga di tepi hutan, Aidit memilih berdiam di sebuah rumah jaga. Di sanalah ia bersemayam. Tenggelam dengan bacaan-bacaan kelas berat. Literatur-literatur Marxis seringkali dibacanya di sana.

Asahan, adik Aidit yang terkecil, punya kesaksian ihwal minat belajar abangnya yang luar biasa. Ketika pada 1952 pakansi ke rumahnya di Belitung, Asahan menemukan segumpal tumpukan kertas tebal yang diikat. Ikatan karton seberat dua kilogram itu dibukanya. Isinya beragam diploma, macam-macam piagam yang diperoleh Aidit dari kursus-kursus yang ditempuhnya hingga tamat dari berbagai ragam ilmu pengetahuan. Dalam ingatan Asahan, dalam ikatan kertas itu terdapat piagam kursus bahasa Inggris, Prancis, Spanyol, Jerman, Ilmu Hitung Dagang, Mengetik Cepat hingga Stenografi.

Di Tanjungpandan Aidit menyelesaikan sekolah di HIS dan Sekolah Dagang Menengah Pertama. Karena di Belitung sama sekali belum ada sekolah lanjutan, Aidit memohon kepada ayahnya untuk diijinkan bersekolah ke Batavia. Permohonan dikabulkan. Pada 1936, Aidit berangkat ke Batavia dengan ditemani salah seorang pamannya, A. Rachman.

Di Batavia, Aidit langsung tertarik dengan dunia pergerakan. 1939 Aidit bergabung dengan Gerindo, sebuah organisasai kepemudaan berhaluan kiri pimpinan Amir Syarifuddin. Selama pendudukan Jepang, Aidit terlibat dalam sejumlah aktivitas berbahaya dengan bekerja pada organisasi perlawanan bawah tanah. Pada periode itulah ia berkenalan dengan pemuda-pemuda radikal lainnya macam Chairul Saleh, Wikana, A.M. Hanafi. Markas mereka ada di sebuah gedung yang beralamat di Menteng 31. Dengan segera, tempat itu menjadi salah satu pusat perlawanan para pemuda radikal yang paling massif di Batavia. Sejumlah kursus-kursus politik diadakan. Mentornya adalah pentolan-pentolan pergerakan. Dari mulai Soekarno, Hatta hingga Syahrir.

Di awal-awal kemerdekaan, Aidit tertangkap oleh tentara Jepang. Bersama sejumlah tahanan politik lainnya, Aidit dibuang ke pulau Onrust yang merupakan salah satu pulau dalam gugusan Kepulauan Seribu. Lewat negosiasi yang alot, Aidit bersama tananan lainnnya akhirnya dibebaskan.

Aidit menghabiskan sebagian besar waktunya pada periode 1946-1948 dengan berkutat dalam berbagai aktivitas Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada kongres PKI ke-IV, Aidit terpilih menjadi anggota Central Comitee (CC) PKI. Dalam sidang-sidang KNIP, Aidit dipilih sebagai ketua Fraksi Komunis. Menjelang Madiun Affair 1948, Aidit diserahi tugas untuk membidangi bidang Agitasi dan Propaganda (Agitprop). Di bawah bimbingan Alimin, Aidit bahu membahu bersama Lukman menerbitkan Bintang Merah, berkala terbitan PKI yang punya arti strategis.

Aidit sempat pula singgah beberapa lama di Yogyakarta. Di sana ia bisa leluasa menjumpai kedua orangtuanya yang beberapa tahun sebelumnya memang telah menetap di Yogyakarta. Selama di Yogya, Abdullah, ayah Aidit, terlibat dalam sejumlah front pertempuran dengan tentara pendudukan Belanda. Aidit sendiri sibuk dengan kegiatannya di masrkas kelompok sayap kiri di bilangan Gondolayu, Yogyakarta. Di sanalah para pemuda radikal memusatkann aktivitasnya.

Salah satu sumber informasi ihwal kegiatan Aidit di Gondolayu bisa dilihat dalam salah satu paragraf dalam memoir penyair Sitor Situmorang berjudul Sitor Situmorang, Seorang Sastrawan 45, Penyair Danau Toba. Di sana, Sitor mengisahkan betapa nama Aidit demikian menonjol dalam kegiatan-kegiatan pemuda radikal di Gondolayu.

Pada waktu terjadi pembersihan yang dilakukan Kabinet Hatta pada semua tokoh-tokoh penting PKI akibat persitiwa Madiun Affair 1948, 9 orang dari total 21 orang anggota CC PKI 9 terbunuh. Aidit bersama Lukman, Nyoto dan Sudisman berhasil lolos dari pembunuhan. Aidit melarikan diri ke Vietnam Utara. Kabar yang dihembuskan PKI menyebutkan, Aidit sempat terlibat dalam peperangan gerilya di Vietnam dan membantu perjuangan Ho Chi Minh di sana.

Pada pertengahan 1950 Aidit kembali ke Indonesia. Pada saat itu PKI sedang menata kembali roda organisasi yang nyaris mati akibat pembersihan pasca Madiun Affair. Tak berselang lama ia terpilih menjadi Sekretariat Jenderal CC PKI. Bersama kawan-kawan seangkataannya, Aidit berhasil menyingkirkan generasi tua PKI yang dianggap terlalu lembek, elitis dan pragmatis. Angkatan tua macam Tan Ling Djie dan Alimin disingkirkan. Ketika PKI mengadakan kongresnya pada 1954, PKI betul-betul jatuh ke tangan kader dari generasi muda. Pada kongres itulah, Aidit terpilih menjadi Sekretaris Jenderal (Sekjen) PKI. Ia terus menduduki jabatan tertinggi partai itu hingga saat kehancuran PKI pada 1965 terjadi. Aidit adalah Sekjen PKI yang termuda. Sekaligus juga yang terakhir. Pengaruh dan jasa Aidit terpampang selebar-lebarnya. Di tangan Aidit, PKI menjelma menjadi sebuah partai yang disegani. PKI menjadi partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah Russia dan Cina. Itu artinya, di tangan Aidit, PKI menjadi partai komunis terbesar di negara non-komunis.

Melebihi tokoh-tokoh partai lainnya, Aidit muncul sebagai seseorang yang paling bertanggungjawab dalam mengarahkan penerapan ideologi Marxisme-Leninisme dalam konteks kehidupan di Indonesia. Ia juga bertanggungjawab sepenuhnya atas pelbagai tindakan yang ditempuh PKI dalam rangka mengarahkan partai untuk mengambil cara-cara yang dipandang relevan untuk diambil, tentu saja dengan memerhitungkan ragam rintangan yang melintang.

Ia memiliki kelebihan-kelebihan tertentu yang tak dimiliki oleh tokoh-tokoh penting lain, misalnya Tan Malaka yang terpaksa harus menghabiskan banyak waktu dalam pelarian di luar negeri atau juga Musso yang lama tinggal di Sovyet. Kenyataan betapa Aidit di masa-masa akhir penjajahan Belanda, penjajahan Jepang dan awal-awal revolusi tetap berada di Indonesia, persisnya di Jawa, membikin ia punya pembacaan dan pengetahuan yang cukup memadai terhadap situasi dan kondisi tanah air. Aidit juga berhasil membangun sebuah jaringan kerja yang solid dan sistematis dengan sejumlah kolega, sesuatu yang tentu saja kurang dimiliki oleh Musso dan Tan Malaka.

Tetapi tak sedikit orang yang menilai Aidit punya sejumlah cacat dalam menakhodai PKI. Sebuah kritik bersifat antropologis datang dari Peter Edman, penulis buku Communism A La Aidit: The Indonesian Communist Party Under D.N. Aidit 1950-1965. Kritik Edman berporos pada kegagalan Aidit untuk memahami kebudayaan Jawa. Statusnya sebagai orang yang dilahirkan di Sumatera bukan hanya menghalang-halangi Aidit untuk menerima cara-cara Soekarno yang merupakan seorang Jawa, melainkan juga menyebabkan dirinya gagal memahami persoalan-persoalan politik, sosial dan budaya yang dihadapi PKI di tanah Jawa, tempat di mana partai yang dipimpinnya memiliki massa terbesar sekaligus juga tempat di mana gagasan-gagasan dirinya diujicobakan.

Kegagalannya untuk mempraksiskan secara sempurna ide landreform dimulai ketika Aidit gagal memahami kenapa muncul respon yang beragam atas kampanye landreform yang diusungnya. Reaksi berlebihan dan tidak cerdas dari kader-kader PKI terhadap aksi perlawanan orang-orang Jawa (yang dikomandoi oleh para tuan tanah dan para kyai pemilik kpesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur), sebut Peter Edman, …memberikan gambaran betapa atau naifnya para pemimpin partai dalam memeluk keyakinan bahwa kesadaran kelas sudah cukup memadai untuk menyatukan para petani agar bersama-sama melakukan perlawanan terhadap para tuan tanah.

Aidit juga dituding bertanggungjawab atas terjerumusnya PKI ke dalam avonturisme politik yang berbahaya. Dukungan Aidit terhadap kudeta yang dilakukan Kolonel Untung pada pengujung September 1965 jelas-jelas menjadi blunder yang membikin PKI mengalami kehancuran untuk selama-lamanya. Padahal jelas, partai belum siap melakukan sebuah pertarungan bersenjata. Lain hal jika, misalnya, ide Angkatan ke-V yang berisi tuntutan agar para buruh tani dipersenjatai telah terealisir.

Di kalangan internal PKI sendiri ada suara yang menyalahkan Aidit sebagai orang yang lemah hati. Inti dakwaan ini terletak pada ketidakberanian Aidit untuk menyerukan kepada segenap kader dan simpatisan partai untuk melakukan perlawanan total terhadap siapapun yang hendak menghancurkan partai. Aidit dituding sebagai pemimpin salon. Kenyataan bahwa Aidit adalah seorang kutu buku dan pecinta musik-musik klasik yang lembut dijadikan salah satu dasar untuk membenarkan dakwaan ini.


Semua kekurangan-kekurangan itulah yang menjadi sebab kenapa Jacques Leclerc pernah menyindir betapa PKI di bawah kepemimpinan Aidit memang berhasil menjadi raksasa, tetapi raksasa yang berkaki lempung!

No comments:

Post a Comment