Keterlibatan Aidit
PERISTIWA 50 tahun lalu itu tetap saja
masih menjadi tanda tanya keluarga besar Aidit: apa sebenarnya peran Aidit
dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 itu? Peran Aidit dalam "kup"
30 September 1965 memang masih misteri.
Sejumlah
sejarawan, juga sejumlah kalangan militer, yakin PKI dalang penculikan dan
pembunuhan tujuh jendral Angkatan Darat. Karena PKI terlibat, maka Aidit pun,
sebagai Ketua Committee Central, dituding sebagai otaknya. Murad Aidit, adik
kandung Aidit, berkisah. Pada "malam berdarah" itu tak ada
tanda-tanda atau kesibukan khusus di rumah Aidit. "Malah saya dipesan
mematikan lampu," kata Murad.
Menjelang
"peristiwa Gerakan 30 September" itu, Murad memang menginap di rumah
Aidit di Pegangsaan Barat, Jakarta Pusat. Rumah Aidit sepi, "Sampai
sekarang saya lebih bisa menerima tragedi itu karena ada pengkhianat dalam
tubuh PKI," katanya. Dia tidak yakin abangnya yang memerintahkan
pembunuhan para jendral. Aidit mengawali "karier politiknya" dari
Asrama Menteng 31, asrama yang dikenal sebagai "sarang pemuda garis
keras" pada awal kemerdekaan.
Di tempat
ini berdiam, antara lain, Anak Marhaen Hanafi (pernah menjadi Duta Besar
Republik Indonesia untuk Kuba), Adam Malik, Sayuti Melik (pengetik naskah
Proklamasi). Para penghuni Menteng 31 sempat menculik Soekarno dan memaksa si
Bung memproklamasikan kemerdekaan Indonesia--sesuatu yang kemudian ditolak Bung
Karno. Di kelompok Menteng 31, Aidit sangat dekat dengan Wikana, seorang pemuda
sosialis.
Aidit
disebut-sebut juga berperan dalam pemberontakan PKI di Madiun pada 1948. Pasca
pemberontakan yang gagal itu, ia sempat dijebloskan ke penjara Wirogunan,
Yogya. Ketika terjadi agresi Belanda, ia kabur dari penjara dan tinggal di Vietnam
Utara. Tentang kepergiannya ke Vietnam ada pendapat lain.
Ada yang
menyebut bahwa sebenarnya ia hanya mondar-mandir Jakarta-Medan. Yang pasti,
pada pertengahan 1950, Aidit, yang saat itu berusia 27 tahun "muncul"
lagi. Bersama M.H. Lukman, 30 tahun, Sudisman, 30 tahun, dan Njoto, 23 tahun, ia memindahkan
kantor PKI dari Yogyakarta ke Jakarta. Bisa dibilang, dalam kurun waktu inilah
karier politik Aidit sesungguhnya dimulai. Momentum konsolidasi partai terjadi
ketika meletus kerusuhan petani di Tanjung Morawa, Sumatera Utara, 6 Juni 1953.
Kerusuhan
yang digerakkan kader PKI itu menjatuhkan kabinet Wilopo. Kesuksesan ini
memompa semangat baru ke tubuh partai tersebut. Bersama "kelompok
muda" partai, Aidit menyingkirkan tokoh-tokoh lama partai. Pada Kongres
PKI 1954, pengurus PKI beralih ke generasi muda. Tokoh partai semacam Tan Ling
Djie dan Alimin disingkirkan. Pada kongres itu, Aidit dikukuhkan menjadi
Sekretaris Jenderal PKI.
Aidit lantas
meluncurkan dokumen perjuangan partai berjudul "Jalan Baru Yang Harus
Ditempuh Untuk Memenangkan Revolusi." Aidit juga membangun aliansi
kekuatan dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) untuk memperkuat PKI. PNI
dipilih karena, selain sama-sama anti-Barat, juga ada figur Soekarno yang bisa
dipakai mengatasi tekanan lawan-lawan politik mereka.
Puncak
kerjasama terjadi pada masa Sidik Djojosukarto memimpin PNI. Saat itu
disepakati bahwa PNI tidak akan mengganggu PKI dalam rangka membangun partai.
Menurut Ganis Harsono, seorang diplomat senior Indonesia dalam otobiografinya,
Cakrawala Politik Era Soekarno, strategi ini berhasil "menyandera"
Bung Karno. Ada kesan bahwa Bung Karno berdiri di depan PKI, sekaligus memberi
citra PKI pendukung revolusi Bung Karno dan Pancasila. Kerja keras Aidit
membuahkan hasil. Pada Pemilu 1955, PKI masuk "empat besar" setelah
PNI, Masyumi, dan Nahdlatul Ulama. Di masa ini PKI menjadi partai komunis
terbesar di negara non-komunis dan partai komunis terbesar ketiga di dunia
setelah Rusia dan Cina.
PKI terus
maju. Pada tahun itu juga partai ini menerbitkan dokumen perjuangan
"Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan." Bentuk pertama, perjuangan
gerilya di desa-desa oleh kaum buruh dan petani. Kedua, perjuangan revolusioner
oleh kaum buruh di kota-kota, terutama kaum buruh di bidang transportasi.
Ketiga, pembinaan intensif di kalangan kekuatan bersenjata, yakni TNI.
Pada 1964,
PKI membentuk Biro Khusus yang langsung dibawahi Aidit sebagai Ketua Committee
Central PKI. Tugas biro ini mematangkan situasi untuk merebut kekuasaan dan infiltrasi
ke tubuh TNI. Biro Chusus Central (demikian namanya) dipimpin Sjam
Kamaruzzaman. Tak sampai setahun, Biro Chusus berhasil menyelusup ke dalam TNI,
khususnya Angkatan Darat.
Pada Juli
1965, seiring dengan merebaknya kabar kesehatan Bung Karno memburuk, suhu
politik Tanah Air makin panas pula. Sebuah berita dari dokter RRC yang merawat
Presiden datang: Bung Karno akan lumpuh atau meninggal dunia. Di Jakarta
bertiup rumor menyengat, muncul Dewan Jenderal yang hendak menggulingkan Bung
Karno. Dalam Buku Putih G-30-S/PKI yang diterbitkan Sekretariat Negara pada
1994, disebutkan bahwa Aidit kemudian menyatakan, gerakan merebut kekuasaan
harus dimulai jika tak ingin didahului Dewan Jenderal. Gerakan itu dipimpinnya
sendiri.
Ada pun Sjam
ditunjuk sebagai pimpinan pelaksana gerakan. Saat diadili Mahkamah militer,
Sjam mengaku dipanggil Aidit pada 12 Agustus 1965. Dalam pertemuan itu, ia
diberi tahu bahwa Presiden sakit dan adanya kemungkinan Dewan Jenderal
mengambil tindakan bila Bung Karno mangkat. Menurut Sjam, Aidit memerintahkan
dia meninjau "kekuatan kita." Sejak 6 September 1965, Sjam lantas
menggelar rapat-rapat di rumahnya dan di rumah Kolonel A. Latief (Komandan
Brigade Infanteri I Kodam Jaya).
Di rapat ini
hadir Letnan Kolonel Untung (Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Resimen
Cakrabirawa) dan Mayor Udara Sudjono (Komandan Pasukan Pengawal Pangkalan Halim
Perdanakusumah). Rapat terakhir, 29 September 1965, menyepakati gerakan dimulai
30 September 1965 dengan Untung sebagai pemimpinnya. Dalam wawancara dengan
majalah D&R, 5 April 1999, A. Latief menyatakan, Gerakan 30 September
dirancang untuk menggagalkan upaya kup Dewan Jenderal. "Kami dengar ada
pasukan di luar Jakarta yang didatangkan dalam rangka defile Hari Angkatan
Bersenjata dengan senjata lengkap. Ini apa? Mau defile saja, kok, membawa
peralatan berat," kata Latief. Karena merasa bakal terjadi sesuatu, para
perwira tersebut, yang mengaku terlibat karena loyal pada Soekarno, memilih
menjemput "anggota" Dewan Jenderal untuk dihadapkan ke Soekarno.
Menurut
Latief gerakan itu diselewengkan oleh Sjam. "Rencananya akan dihadapkan
hidup-hidup untuk men-clear-kan masalah, apakah memang benar ada Dewan
Jenderal," katanya. Tapi, malam hari, saat pasukan Cakrabirawa pimpinan
Letnan Dul Arief, anak buah Untung, akan berangkat menuju rumah para jenderal,
tiba-tiba, ujar Latief, Sjam datang. "Bagaimana kalau para jenderal ini
membangkang, menolak diajak menghadap Presiden," kata Dul Arief. Sjam
menjawab, para jenderal ditangkap. Hidup atau mati.
Keesokan
harinya, Dul Arief melaporkan kepada Latief dan Jenderal Soepardjo bahwa semua
telah selesai. "Mula-mula mereka saya salami semua, tapi kemudian Dul
Arief bilang semua jenderal mati. Saya betul-betul kaget, tidak begitu
rencananya," kata Latief yang mengaku tidak kenal dengan Aidit. Aidit
sendiri belum pernah memberi pernyataan tentang hal ini. Ia ditangkap di Desa
Sambeng, dekat Solo, Jawa Tengah, pada 22 November 1965 malam, dan esok paginya
ditembak mati. Sebelum ditangkap pasukan pimpinan Kolonel Yasir Hadibroto,
Aidit dikabarkan sempat membuat pengakuan sebanyak 50 lembar.
Pengakuan
itu jatuh ke Risuke Hayashi, koresponden koran berbahasa Inggris yang terbit di
Tokyo, Asahi Evening News. Menurut Asahi, Aidit mengaku sebagai penanggung
jawab tertinggi peristiwa "30 September." Rencana pemberontakan itu
sudah mendapat sokongan pejabat PKI lainnya serta pengurus organisasi rakyat di
bawah PKI. Alasan pemberontakan, mereka tak puas dengan sistem yang ada.
Rencana kup semula disepakati 1 Mei 1965, tetapi Lukman, Njoto, Sakirman dan
Nyono--semuanya anggota Committee Central--menentang. Alasannya, persiapan
belum selesai. Akhirnya, setelah berdiskusi dengan Letkol Untung dan sejumlah
pengurus lain pada Juni 1965, disepakati mulai Juli 1965 pasukan Pemuda Rakyat
dan Gerwani dikumpulkan di Pangkalan Halim Perdanakusumah.
Pertengahan
Agustus, sekembalinya dari perjalanan ke Aljazair dan Peking, Aidit kembali
melakukan pertemuan rahasia dengan Lukman, Njoto, Brigjen Soepardjo, dan Letkol
Untung. PKI mendapat info bahwa tentara, atas perintah Menteri Panglima
Angkatan Darat Jenderal Achmad Yani, akan memeriksa PKI karena dicurigai
mempunyai senjata secara tidak sah. "Kami terpaksa mempercepat pelaksanaan
coup d'etat," kata Aidit. Akhirnya, dipilih tanggal 30 September. Dalam
buku Bayang-Bayang PKI yang disusun tim Institut Studi Arus Informasi (1999),
diduga Aidit tahu adanya peristiwa G-30-S karena ia membentuk dua organisasi:
PKI legal dan PKI ilegal. Biro Chusus adalah badan PKI tidak resmi. Sjam
bertugas mendekati tentara dan melaporkan hasilnya, khusus hanya kepada Aidit.
Hanya,
ternyata, tak semua "hasil" itu dilaporkan Sjam. Tentang besarnya
peran Aidit dalam peristiwa 30 September ditampik Soebandrio. Menurut bekas
Wakil Perdana Menteri era Soekarno ini, G-30-S didalangi tentara dan PKI
terseret lewat tangan Sjam. Alasan Soebandrio, sejak isu sakitnya Bung Karno
merebak, Aidit termasuk yang tahu kabar tentang kesehatan Bung Karno itu
bohong. Waktu itu, kata Soebandrio, Aidit membawa seorang dokter Cina yang tinggal
di Kebayoran Baru.
Soebandrio
dan Leimena, yang juga dokter, ikut memeriksa Soekarno. Kesimpulan mereka sama:
Bung Karno cuma masuk angin. Soebandrio dalam memoarnya, Kesaksianku Tentang
G-30-S, menyesalkan pengadilan yang tidak mengecek ulang kesaksian Sjam.
Menurut Soebandrio, ada lima orang yang bisa ditanya: Bung Karno, Aidit, dokter
Cina yang ia lupa namanya tersebut, Leimena, dan dirinya sendiri. Menurut
Soebandrio, pada Agustus 1965 kelompok "bayangan Soeharto" (Ali
Moertopo cs) sudah ingin secepatnya memukul PKI. Caranya, mereka melontarkan
provokasi-provokasi untuk mendorong PKI mendahului memukul Angkatan Darat.
Njoto
membantah pernyataan Aidit. Menurut Njoto, "Hubungan PKI dengan Gerakan 30
September dan pembunuhan Jenderal Angkatan Darat tidak ada. Saya tidak tahu apa
pun, sampai-sampai sesudah terjadinya," katanya dalam wawancara dengan
Asahi Evening News. Keterangan Njoto sama dengan komentar Oei Hai Djoen, mantan
anggota Comite Central. "Kami semua tidak tahu apa yang terjadi,"
kata dia. Presiden Soekarno sendiri menyatakan Gestok (Gerakan Satu
Oktober)--demikian istilah Bung Karno--terjadi karena keblingernya pimpinan
PKI, lihainya kekuatan Barat atau kekuatan Nekolim (Neo-Kolonialisme dan
Imperialisme), serta adanya "oknum yang tidak benar." Misteri memang
masih melingkupi peristiwa ini. "Menurut kami, PKI memang terlibat, tapi
terlibat seperti apa?" kata Murad. Setelah puluhan tahun tragedi itu
berlalu, pertanyaan itu belum menemukan jawabannya. Setidaknya bagi Murad dan
anggota keluarga Aidit yang lain. Dari Tempo 1-7 Oktober 2007, yang ditulis
kembali di Sini.
No comments:
Post a Comment