Selama lebih dari 50 tahun sejak
peristiwa G30S/PKI, opini publik yang terbentuk oleh pernyataan elit pimpinan
militer dan pemerintahan Orde Baru,
telah menyudutkan Angkatan Udara Republik
Indonesia (AURI). Pernyataan-pernyataan tersebut bagai memvonis seakan-akan
Pangkalan Angkatan Udara (PAU) Halim Perdanakusuma menjadi markas pusat
G30S/PKI dan seolah-olah AURI terlibat.
Tanggal 9
November 1999 diluncurkan buku Menyingkap Kabut Halim 1965 (Sinar
Harapan, 1999). Ini merupakan upaya Perhimpunan Purnawirawan AURI untuk
menceritakan apa yang terjadi di PAU Halim Perdanakusuma pada hari-hari sekitar
1 Oktober 1965. Tiupan angin segar reformasi telah menggugah sebagian
purnawirawan AURI, pelaku sejarah sekitar 1 Oktober 1965 untuk menguak kabut di
pangkalan angkatan udara tersebut, sehingga memberi informasi baru kepada
publik yang selama ini didominasi oleh versi tertentu peristiwa pahit tersebut
yang cenderung memojokkan angkatan udara kita.
Berikut
adalah beberapa kisah yang diungkap Menyingkap Kabut Halim 1965, seperti
dituturkan para purnawirawan AURI pelaku sejarah.
Rivalitas angkatan
Membicarakan
peristiwa G30S/PKI, menurut buku ini tidaklah terlepas dari situasi dan kondisi
politik sebelum pecahnya peristiwa tersebut, yang diwarnai konflik berbagai
pihak termasuk rivalitas dan friksi antar-angkatan.
Dalam
konfrontasi menghadapi Malaysia, Presiden Soekarno memperoleh pelajaran penting
dari keberhasilan Operasi Trikora yang telah mengembalikan Irian Barat ke
pangkuan Ibu Pertiwi. Dalam operasi semacam ini terlihat pentingnya keunggulan
angkatan laut dan angkatan udara. Bung Karno kemudian menunjuk Menteri/Panglima
Angkatan Udara Laksamana Madya Udara Omar Dani menjadi Panglima Komando Mandala
Siaga (Kolaga). Penunjukan ini mendapat reaksi dari angkatan darat. Sebagai
Wakil Panglima ditetapkan Brigadir Jenderal Achmad Wiranatakoesoemah yang juga
Kepala Staf Kostrad.
Operasi
Kolaga kemudian tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena ada keengganan dari
pimpinan Angkatan Darat untuk memberikan dukungan sepenuhnya, terutama
pengiriman pasukan ke daerah perbatasan. Dalihnya, antara lain belum siapnya
pasukan, belum tersedianya sarana akomodasi, atau adanya kendala transportasi.
Tidak
berjalannya organisasi Kolaga itu, menurut Laksdya Udara Omar Dani, disebabkan
tiadanya dukungan penuh dari angkatan darat terhadap Letnan Jenderal Ahmad
Yani, Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi (Koti) yang memberi supervisi pada
Kolaga.
Kemudian
Brigjen Wiranatakoesoemah, yang menurut Omar Dani juga tidak memperoleh
dukungan memadai dari Departemen Angkatan Darat, diganti oleh Mayor Jenderal
Soeharto yang merangkap Panglima Kostrad. Ketika Soeharto menjadi wakil
panglima, tidak ada yang berani menolak permintaannya, sehingga dukungan
angkatan darat menjadi lebih baik dari sebelumnya. Akan tetapi, Soeharto
kemudian bertindak lebih jauh. Ia menyatakan penilaiannya bahwa Omar Dani tidak
cocok menjabat sebagai Panglima Kolaga.
Ketidak
ikhlasan menerima Omar Dani sebagai Panglima Kolaga, menurut buku ini,
tampaknya dilatarbelakangi oleh pengalaman Men/Pangau tersebut yang dinilai
masih terlalu yunior, tetapi sudah harus membawahi senior angkatan darat yang
merasa kaya pengalaman perang kemerdekaan.
Keengganan
Angkatan Darat untuk sepenuhnya mendukung operasi konfrontasi Malaysia, sudah
tentu menjadi pertanyaan bagi Omar Dani. Padahal Angkatan Laut dalam waktu satu
bulan sudah menempatkan satu brigade KKO di sekitar Singapura, juga di Pulau
Sebatik, Kalimantan Timur. Angkatan Kepolisian telah mengirimkan Brimob ke
beberapa daerah di Semenanjung Malaya. AURI dengan PGT-nya sudah pula
diterjunkan di wilayah Malaysia.
Pendek kata,
tulis buku ini, berbagai friksi yang muncul dalam Kolaga, sedikit banyak ikut
mewarnai iklim politik selama prolog G30S, sehingga hal tersebut dimanfaatkan
PKI untuk semakin mempertentangkan elit politik di sekitar Presiden Soekarno,
termasuk pimpinan angkatan bersenjata.
Namun
demikian, buku ini juga mengingatkan bahwa sebagai perwira yang terbilang muda
ketika dilantik menjadi Men/Pangau, maka Omar Dani merasa patut memberi
komitmen kepada Bung Karno. Lagi pula Presiden Soekarno juga memberi kesempatan
kepada AURI untuk ikut mengambil peranan politik, yang selama ini hanya
dijalankan angkatan darat. Laksamana Madya Omar Dani kemudian, seperti halnya
tokoh-tokoh lain pada masa itu, berada di jajaran terdepan dalam melaksanakan
ajaran-ajaran Bung Karno.
Kehadiran
Presiden Soekarno di PAU Halim Perdanakusuma pada 1 Oktober 1965, meskipun atas
kehendak sendiri dan sesuai dengan standard operating procedure Resimen
Tjakrabirawa, memperkuat dugaan adanya keterlibatan AURI, karena dikait-kaitkan
dengan apa yang disebut Lubang Buaya. Padahal Desa Lubang Buaya yang dijadikan
tempat latihan sukarelawan dan menjadi lokasi pembunuhan para perwira angkatan
darat, letaknya di luar wilayah PAU Halim Perdanakusuma. Sedangkan nama Lubang
Buaya lainnya adalah sebuah lapangan yang biasanya dijadikan dropping zone untuk
latihan penerjunan. Lapangan ini ada dalam wilayah PAU Halim Perdanakusuma. Di
sekitar dropping zone inilah terjadi tembak-menembak antara RPKAD dengan
Batalyon 454/Para. Kedua pasukan itu rupanya hadir di alamat yang salah, karena
mereka seharusnya menuju Desa Lubang Buaya.
Kehadiran
Bung Karno di Halim Perdanakusuma, memang menjadikan posisi pangkalan itu
seperti menjadi bagian dari skenario gerakan militer G30S. Pendapat publik pun
terbentuk, karena ada kegiatan lain di Desa Lubang Buaya, yang dikacaukan
dengan lapangan Lubang Buaya tempat latihan terjun di Halim.
Omar Dani
sendiri menjelang pagi 1 Oktober itu memang sudah berada di Markas Komando
Operasi, PAU Halim, karena sebelumnya sudah mendengar (dari Letnan Kolonel
Udara Heroe Atmodjo, Asisten Direktur Intelejen) akan adanya gerakan internal
dalam tubuh angkatan darat. Sebagai pimpinan Angkatan Udara, ia memutuskan
untuk tidak turut campur dalam persoalan itu, tetapi sebaliknya meminta AURI
untuk mengambil tindakan berjaga-jaga, terutama mengamankan semua instalasi
angkatan udara. Pagi hari itu juga Omar Dani kemudianbersama Panglima Komando
Operasi Komodor Udara Leo Wattimenamenyambut kedatangan Presiden Soekarno di
Halim yang diputuskan atas pertimbangan keamanan di sekitar Istana Merdeka.
Selain itu,
kehadiran Ketua CC PKI D.N. Aidit yang disembunyikan Mayor Udara Soejono
(komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan dan yang memang kemudian
terbukti dipengaruhi PKI) di rumah Sersan Soewardi di kompleks perumahan PPP di
kawasan PAU Halim, kian memperkuat pembentukan opini publik adanya keterlibatan
pangkalan ini dalam G30S.
Omar Dani
sendiri menyangkal bahwa ia mengetahui kehadiran Aidit di Halim. "Saya
mengetahuinya di kemudian hari dari persidangan Soejono", katanya.
"Soejono tidak pernah melaporkan keberadaan Aidit itu pada saya, pada
Komodor Udara Susanto maupun pada Komandan Halim Kolonel Udara Wisnu
Djajengminardo."
Omar Dani
kemudian pada 1 Oktober 1965 tengah malam memberi izin penggunaan pesawat Dakota
untuk membawa Aidit ke Yogyakarta, namun ia tidak tahu bahwa Aidit hari itu
berada dalam lingkungan Halim. Omar Dani mengizinkan penggunaan Dakota untuk
Aidit karena Aidit ketika itu menjabat Menteri Koordinator/Ketua MPRS.
Akhirnya, sekitar
pukul 23.00 (1 Oktober), setelah ada berita bahwa Halim akan diserang pasukan
Kostrad, diputuskan Bung Karno harus keluar dari sana. Omar Dani menawarkan:
"Terserah Bapak ingin ke mana, Hercules, Jetstar dari Skadron 17
beserta crew-nya sudah siap semua. Bapak bisa ke Yogya, Madiun, Malang,
atau luar negeri, terserah Bapak." Bung Karno akhirnya berangkat dengan
mobil ke Istana Bogor.
Setelah
Presiden Soekarno keluar dari Halim, Omar Dani dan Leo Wattimena kemudian naik
ke pesawat Hercules dan terbang holding selama enam jam di atas
Jawa Barat dan Jawa Tengah. Tujuannya tidak lain adalah untuk menghindari
konflik terbuka dengan pasukan yang akan menyerang Halim. Di samping itu, Omar
Dani juga paham akan temperamen Leo yang cepat panas, sehingga akan lebih baik
jika Pangkoops diajak menemaninya. Pesawat tersebut akhirnya mendarat di PAU
Iswahyudi, Madiun.
Selama holding
dengan Hercules, buku ini mengungkap beberapa kejadian yang makin
mempersulit posisi Omar Dani pada khususnya dan AURI pada umumnya.
Rupanya
tanpa sepengetahuan Omar Dani, Komodor Udara Leo Wattimena mengirim perintah
kepada Kolonel Sudarman, Komandan Wing Ops 002 PAU Abdurachman Saleh. Isi
perintahnya adalah untuk mengirimkan dua P-51 Mustang, dua pembom B-25 Mitchel
dan sebuah Catalina. Maksudnya untuk menghadapi RPKAD dan Kostrad
yang akan masuk ke Halim. Omar Dani mengaku tidak mengetahui hal itu. Yang
jelas, perintah itu tidak datang dari dia.
"Hal
semacam itu hanya Leo yang bisa mengaturnya. Perintah itu bukan datang dari
saya", tuturnya di kemudian hari.
Pesawat-pesawat
tersebut kemudian diminta Kolonel Ashadi Tjahjadi Komandan PAU Husein
Sastranegara mendarat di Husein. Namun satu B-25 terlanjur masuk Halim dan
akhirnya bannya digembosi RPKAD agar tidak bisa mengudara.
Kejadian
lainnya adalah radiogram Men/Pangau kepada Mayjen Soeharto agar tidak masuk ke
Halim dalam mengejar pasukan-pasukan G30S. Karena pasukan tersebut sudah
dihalau keluar Halim oleh PGT. Leo Wattimena lalu melaksanakan perintah Omar
Dani. Belakangan radiogram itu dinilai sangat keras dan bisa dianggap sebagai
ultimatum kepada Mayjen Soeharto.
Ketika sudah
ditahan, Omar Dani kemudian meminta arsip radiogram tersebut. "Setelah saya baca
terbukti kata-katanya memang kort en bondig atau "cekak aos".
Bahkan dapat dikatakan agak keras: Jangan masuk Halim, kalau masuk Halim akan
dihadapi," katanya mengenang kejadian tersebut. Akan tetapi Omar Dani
menyatakan bahwa dia tetap bertanggung jawab akan radiogram itu.
Omar Juga
mengakui bahwa Perintah Harian Men/Pangau tertanggal 1 Oktober 1965 kemudian
menjadi suatu kekeliruan, karena bisa ditafsirkan bahwa AURI ada di "pihak
sana". Padahal maksudnya tidak lain adalah untuk mengamankan jalannya
revolusi dari anasir-anasir subversi asing. Lagi pula tampaknya Omar Dani tidak
menyangka bahwa gerakan pembersihan dalam angkatan darat itu berpuncak dengan
dibunuhnya para jenderal pimpinan Angkatan Darat.
Ketika Hercules
yang membawa Omar Dani dan Leo Wattimena baru mengudara, diperoleh hubungan
komunikasi dengan Laksamana Muda Udara Sri Moeljono Herlambang, waktu itu menjabat
Menteri Negara diperbantukan pada Presiden, yang tengah dalam perjalanan
kembali dari Medan dengan Jetstar. Men/Pangau meminta Herlambang
membantu mengamankan Halim. Mendekati Halim, Jetstar itu bahkan
ditembaki beberapa kali oleh artileri pertahanan udara Angkatan Darat. Namun
pesawat akhirnya lolos dan selamat mendarat di Halim.
Setelah
mendapat laporan dari Deputi Operasi Men/Pangau Komodor Udara Dewanto bahwa
RPKAD akan menyerang Halim, Laksda Herlambang memerintahkan agar pasukan yang
mempertahankan pangkalan menyandang senjatanya sebagai isyarat bahwa mereka
tidak menghendaki konflik.
Tanggal 2
Oktober tengah malam, Pangkostrad memerintahkan RPKAD untuk menguasai Halim.
Tujuannya antara lain mencari para jenderal yang diculik. Maka diaturlah
manuver untuk mengepung pangkalan udara tersebut. Selain RPKAD juga dilibatkan
Batalyon 328/Para dan beberapa kompi kavaleri dari Kostrad.
Perkembangan
ini membuat Komodor Udara Dewanto memutuskan untuk mengetahui situasi yang ada
di sekitar Halim dan di Jakarta. Dengan ditemani ajudan Kapten Udara Willy
Kundimang, Dewanto menerbangkan Cessna L-180. Di lapangan parkir timur Senayan
mereka melihat konsentrasi truk dan armoured personnel carrier.
Ketika
Dewanto kembali ke Halim, ternyata RPKAD sudah masuk. Mereka menduduki hanggar
Skadron 31, Skadron 2, Skadron 17, menara lalu lintas udara dan fasilitas
pangkalan lainnya. Diluar dugaan pasukan penyerang, ternyata pasukan AURI sama
sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda siap tempur. Suasananya biasa-biasa
saja. Ketika itu Halim hanya dijaga satu kompi PGT, satu kompi PPP dan satu
peleton Polisi AU, yang sudah diperintahkan untuk tidak memberikan perlawanan.
Begitu
pesawat diparkir, Komodor Udara Dewanto disambut anggota RPKAD yang siap dengan
AK-47. Pistol Kapten Willy Kundimang dilucuti dengan sopan, namun Dewanto
diizinkan tetap menyandang pistolnya.
Selama
berada di Halim, RPKAD diterima dengan baik oleh AURI. Hubungan antar prajurit
kedua angkatan tidak diwarnai dengan ketegangan. Bersama-sama mereka menyantap
ransum makan prajurit-prajurit AURI.
Perkembangan
selanjutnya, dalam upaya mendekati Halim, RPKAD akhirnya terlibat
tembak-menembak dengan Batalyon 454/Para yang sudah pindah dari Lapangan Monas
ke daerah sekitar Halim. Pertempuran kedua pasukan itu merisaukan Komodor
Dewanto yang mengkhawatirkan keselamatan aset negara yang tidak sedikit di
pangkalan udara. Dewanto kemudian mengambil inisiatif untuk menengahi konflik
senjata tersebut.
Bersama
Kapten Willy Kundimang, Dewanto mencoba mendekati daerah pertempuran dan
akhirnya berhasil kontak dengan Wadanyon 454 Kapten Koentjoro. Koentjoro lalu
menemui Dewanto.
"Lapor
Jenderal. Kapten Koentjoro, Raiders. Kami melaksanakan perintah melindungi
pangkalan udara Halim agar tidak dimasuki pasukan lain, kecuali AURI."
Dewanto menjawab:"Bagus. Kapten adalah tentara yang baik, tetapi AURI
tidak mau terjadi pertempuran di Halim, bisa merusak pesawat terbang."
Kapten
Koentjoro akhirnya berhasil menahan pasukannya. Setelah itu, Komodor Dewanto
menugaskan Kapten Udara Kundimang membawa sepucuk surat untuk Komandan RPKAD
Kolonel Sarwo Edhie. Surat tersebut akhirnya sampai di tangan Sarwo Edhie.
Setelah Willy Kundimang dua kali mondar-mandir daerah pertempuran antara RPKAD
dan Yon 454, akhirnya disepakati bahwa Komodor Dewanto akan menemui Kolonel
Sarwo Edhie.
Tetapi
sebelum itu Dewanto berhasil membujuk Kapten Koentjoro untuk menyingkirkan
pasukannya menjauh dari RPKAD. Mulanya Koentjoro berkeras. "Pasukan
Raiders tidak mengenal menyerah", katanya. "Saya tidak minta Kapten
menyerah. Saya minta agar pasukan Kolonel Sarwo Edhie diberi jalan masuk ke
Halim", jawab Dewanto. Dewanto lalu mengundang Sarwo Edhie datang ke
Markas Komando Operasi PAU Halim.
"Siap
Jenderal. Kami akan datang ke sana, setelah kami ketahui pasukan kami yang
masuk melalui Jatiwaringin sudah masuk Halim", kata Sarwo Ehie. Dewanto
akhirnya berangkat lebih dulu bersama Mayor Goenawan, perwira yang mendampingi
Komandan RPKAD. Kolonel Sarwo Edhie menyusul kemudian. Di Halim Sarwo Edhie
disambut Laksda Sri Moeljono Herlambang, Komodor Udara Dewanto, Komodor Udara
Soesanto, Direktur Operasi AURI, dan Kolonel Udara Wisnu Djajengminardo,
Komandan Wing Ops 001/Halim. Setelah melihat sendiri keadaan Halim, Sarwo Edhie
mengatakan, ia akan melaporkan hal ini kepada Mayjen Soeharto. Laksda
Herlambang lalu menawarkan Sarwo Edhie ikut dengan helikopter ke Bogor, karena
hari itu Presiden Soekarno akan memberikan briefing kepada para
panglima. Kemungkinan Soeharto juga akan ada di sana.
Laksda
Herlambang juga berhasil meyakinkan Danyon RPKAD Mayor C.I. Santoso agar
menarik pasukannya dari Halim. Herlambang bertanya, "Apa misi mayor di
sini?". Santoso menjawab:"Misi kami menguasai pangkalan untuk
memastikan agar pesawat tidak digunakan untuk pemboman."
Lalu
Herlambang melanjutkan, "Kalau demikian misi mayor sudah selesai, karena
di sini tidak ada perintah pemboman." Rupanya santer desas-desus bahwa
AURI akan membom markas Kostrad.
Setelah
kembali dari Bogor, Sarwo Edhie lalu melapor Mayjen Soeharto yang juga dalam
perjalanan pulang dari Bogor. Soeharto lalu memerintahkan penarikan RPKAD dari
Halim. Tanggal 2 Oktober pukul 22.00 pasukan berkekuatan sekitar 600 orang itu
keluar dari Halim kembali ke Cijantung.
Buku ini
mengetengahkan beberapa informasi di sekitar 1 Oktober 1965, khususnya apa yang
terjadi di PAU Halim Perdanakusuma menurut kesaksian beberapa purnawirawan AURI
saksi sejarah.
Dalam upaya
menyajikan fakta sejarah yang selama ini belum diungkapkan pada publik, buku
ini, seperti tertera dalam Prakata, tidak bermaksud menyalahkan pihak lain.
Harus pula dicatat bahwa buku ini tidaklah berpretensi mengungkap apa
sebetulnya peristiwa 34 tahun yang lalu itu. G30S adalah peristiwa yang sangat
kompleks dan mungkin akan tetap mengandung sisi-sisi gelap yang tidak
terungkap.
Tetapi buku
ini diharapkan mengimbangi tulisan-tulisan yang dianggap cenderung menyudutkan
AURI. Menyingkap Kabut Halim 1965 lebih merupakan wujud dorongan rasa
kewajiban dan tanggung jawab para saksi dan pelaku untuk mengembalikan nama
baik AURI yang mereka cintai sekaligus sebagai pertanggungjawaban kepada
generasi penerus Angkatan Udara kita.
Sudah tentu
buku ini tidak mengingkari bahwa ada anggota AURI yang terlibat dalam G30S,
karena dalam setiap angkatan ada oknum-oknum yang memang ambil bagian. Tetapi
buku ini mengingatkan bahwa tuduhan terhadap AURI tidaklah proporsional.
Kisah-kisah yang terangkai dalam Menyingkap Kabut Halim 1965 ingin menyampaikan
pesan bahwa secara institusional AURI tidak pernah memberi dukungan pada G30S.
Nama
lengkapnya ialah Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma, atau biasa
disingkat PAU Halim atau Halim saja. Sejak meletusnya peristiwa G30S, nama
Halim selalu disebut. Pada 4 Oktober 1965 Mayjen Suharto, Panglima Kostrad
telah menuduh bahwa Lubang Buaya, tempat ditemukannya jenazah para jenderal
yang dibunuh pasukan G30S dan dimasukkan ke dalam sebuah sumur tua, merupakan
wilayah PAU Halim. Dalam kenyataannya kawasan itu masuk wilayah milik Kodam
Jaya, kira-kira 3,5 km di luar kawasan PAU Halim. Penyesatan yang dilakukan
oleh Suharto sejak dini tersebut berdampak amat luas.
Perlu kita
ketahui bahwa terdapat dua nama Lubang Buaya yang berbeda tempatnya. Pertama
dalam lingkungan PAU Halim, tempat latihan terjun atau dropping zone, kini
menjadi lapangan golf. Sedang yang kedua berada di luar pangkalan sejauh 3,5
km, dipisahkan jalan setapak yang dewasa ini menjadi Jl Pondokgede. Hal ini
tercantum dalam peta tahun 1936 sebagai yang digambar kembali dalam buku Letkol
(Pnb) Heru Atmodjo.
Kaum awam,
bahkan para pakar Barat yang menulis tentang G30S (seperti Ulf Sundhaussen,
John D Legge, Coen Holtzappel dsb) mencampuradukkan nama tempat Lubang Buaya,
tempat pembuangan jenazah para jenderal, dengan PAU Halim. Demikian halnya
dengan gedung Penas yang terletak di Jl Baipas (sekarang Jl DI Panjahitan)
sebagai Cenko I G30S, juga disebut Halim, padahal gedung itu berada di luar
wilayah PAU Halim. Dengan kekeliruan semacam itu, mencapuradukkan nama 3 tempat
sebagai Halim, akan berdampak pada gambaran yang salah dan menyesatkan yang
dapat menuju pada analisis dan kesimpulan yang meleset.
Jika dua
tempat di luar Halim itu disebut sebagai Halim, maka terdapat gambaran
seolah-olah PAU Halim Perdanakusuma itu suatu tempat terbuka, hingga dengan
mudah pasukan G30S dapat masuk keluar begitu saja, bahkan membawa para jenderal
AD untuk dibunuh di sana. Sebagai yang disebutkan oleh Letkol (Pnb) Heru
Atmodjo, ketika itu (1965) PAU Halim merupakan pangkalan utama AU dengan Markas
Komando Operasi AU yang mengendalikan seluruh penerbangan pesawat AU.
Kemampuan
pesawat pembomnya menjangkau jarak Bangkok dan Manila di utara (markas SEATO
dan Armada ke-7 AS) serta Perth di Australia yang dapat dicapai dari pangkalan
Iswahyudi, Madiun. Terdapat juga Markas Komando Pertahanan Udara Nasional yang
bertugas melindungi wilayah udara RI dari kemungkinan penyusupan pesawat musuh Terdapat
sebuah skuadron pesawat VIP untuk Kepresidenan dan pejabat tinggi serta
batalion PGT. Dengan demikian kedatangan Presiden Sukarno ke Halim pada pagi
hari 1 Oktober 1965, merupakan bagian dari pengamanan presiden dalam keadaan
tidak menentu, sesuai dengan prosedur baku yang ada.
Kenyataan
keberadaan Presiden Sukarno di Halim pada 1 Oktober 1965 ini oleh pakar sejarah
Brigjen Prof Dr Nugroho Notosusanto disebut sebagai salah satu dari tiga
kelompok pmberontak, dua kelompok yang lain ialah Letkol Untung cs dan DN Aidit
cs. Kelompok Presiden Sukarno ini disertai oleh sejumlah pejabat negara. Logika
pakar Orba ini akan kita bicarakan lebih lanjut dalam seri lain.
Halim juga
merupakan Markas Wing 001 di bawah Kolonel (Pnb) Wisnu Djajengminardo. Dengan
demikian PAU Halim merupakan tempat tertutup dengan penjagaan cukup ketat.
Adapun Mayor Udara Suyono, salah seorang tokoh G30S, menjabat komandan Resimen
PPP (Pasukan Pertahanan Pangkalan) yang markasnya ada di Kramatjati, di luar
wilayah Halim. Dalam banyak buku tentang G30S yang ditulis oleh para ahli
Indonesia maupun asing (bahkan sampai saat ini), digambarkan seolah Mayor Udara
Suyono ini penguasa PAU Halim, lalu seolah seluruh wilayah Halim menjadi sarang
G30S. Hal ini sama sekali tidak benar dan meleset dari kenyataan.
Demikianlah
penyesatan itu agaknya sudah menjadi bagian dari skenario yang telah digodok
matang, di antaranya untuk menjatuhkan para petinggi AURI ketika itu, di
antaranya Men/Pangau Omar Dani guna menghancurkan para pengikut setia Bung
Karno untuk digantikan para pembebek Suharto. Di sepanjang kekuasaan rezim
militer Suharto, hal-hal itu tak pernah mendapatkan koreksi, justru dipelihara
terus.
No comments:
Post a Comment