Sunday 23 August 2015

Menyingkap Kabut Halim Perdanakusuma




Selama lebih dari 50 tahun sejak peristiwa G30S/PKI, opini publik yang terbentuk oleh pernyataan elit pimpinan militer dan pemerintahan Orde Baru,
telah menyudutkan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Pernyataan-pernyataan tersebut bagai memvonis seakan-akan Pangkalan Angkatan Udara (PAU) Halim Perdanakusuma menjadi markas pusat G30S/PKI dan seolah-olah AURI terlibat.

Tanggal 9 November 1999 diluncurkan buku Menyingkap Kabut Halim 1965 (Sinar Harapan, 1999). Ini merupakan upaya Perhimpunan Purnawirawan AURI untuk menceritakan apa yang terjadi di PAU Halim Perdanakusuma pada hari-hari sekitar 1 Oktober 1965. Tiupan angin segar reformasi telah menggugah sebagian purnawirawan AURI, pelaku sejarah sekitar 1 Oktober 1965 untuk menguak kabut di pangkalan angkatan udara tersebut, sehingga memberi informasi baru kepada publik yang selama ini didominasi oleh versi tertentu peristiwa pahit tersebut yang cenderung memojokkan angkatan udara kita.

Berikut adalah beberapa kisah yang diungkap Menyingkap Kabut Halim 1965, seperti dituturkan para purnawirawan AURI pelaku sejarah.


Rivalitas angkatan
Membicarakan peristiwa G30S/PKI, menurut buku ini tidaklah terlepas dari situasi dan kondisi politik sebelum pecahnya peristiwa tersebut, yang diwarnai konflik berbagai pihak termasuk rivalitas dan friksi antar-angkatan.

Dalam konfrontasi menghadapi Malaysia, Presiden Soekarno memperoleh pelajaran penting dari keberhasilan Operasi Trikora yang telah mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi. Dalam operasi semacam ini terlihat pentingnya keunggulan angkatan laut dan angkatan udara. Bung Karno kemudian menunjuk Menteri/Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya Udara Omar Dani menjadi Panglima Komando Mandala Siaga (Kolaga). Penunjukan ini mendapat reaksi dari angkatan darat. Sebagai Wakil Panglima ditetapkan Brigadir Jenderal Achmad Wiranatakoesoemah yang juga Kepala Staf Kostrad.

Operasi Kolaga kemudian tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena ada keengganan dari pimpinan Angkatan Darat untuk memberikan dukungan sepenuhnya, terutama pengiriman pasukan ke daerah perbatasan. Dalihnya, antara lain belum siapnya pasukan, belum tersedianya sarana akomodasi, atau adanya kendala transportasi.

Tidak berjalannya organisasi Kolaga itu, menurut Laksdya Udara Omar Dani, disebabkan tiadanya dukungan penuh dari angkatan darat terhadap Letnan Jenderal Ahmad Yani, Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi (Koti) yang memberi supervisi pada Kolaga.

Kemudian Brigjen Wiranatakoesoemah, yang menurut Omar Dani juga tidak memperoleh dukungan memadai dari Departemen Angkatan Darat, diganti oleh Mayor Jenderal Soeharto yang merangkap Panglima Kostrad. Ketika Soeharto menjadi wakil panglima, tidak ada yang berani menolak permintaannya, sehingga dukungan angkatan darat menjadi lebih baik dari sebelumnya. Akan tetapi, Soeharto kemudian bertindak lebih jauh. Ia menyatakan penilaiannya bahwa Omar Dani tidak cocok menjabat sebagai Panglima Kolaga.

Ketidak ikhlasan menerima Omar Dani sebagai Panglima Kolaga, menurut buku ini, tampaknya dilatarbelakangi oleh pengalaman Men/Pangau tersebut yang dinilai masih terlalu yunior, tetapi sudah harus membawahi senior angkatan darat yang merasa kaya pengalaman perang kemerdekaan.

Keengganan Angkatan Darat untuk sepenuhnya mendukung operasi konfrontasi Malaysia, sudah tentu menjadi pertanyaan bagi Omar Dani. Padahal Angkatan Laut dalam waktu satu bulan sudah menempatkan satu brigade KKO di sekitar Singapura, juga di Pulau Sebatik, Kalimantan Timur. Angkatan Kepolisian telah mengirimkan Brimob ke beberapa daerah di Semenanjung Malaya. AURI dengan PGT-nya sudah pula diterjunkan di wilayah Malaysia.

Pendek kata, tulis buku ini, berbagai friksi yang muncul dalam Kolaga, sedikit banyak ikut mewarnai iklim politik selama prolog G30S, sehingga hal tersebut dimanfaatkan PKI untuk semakin mempertentangkan elit politik di sekitar Presiden Soekarno, termasuk pimpinan angkatan bersenjata.

Namun demikian, buku ini juga mengingatkan bahwa sebagai perwira yang terbilang muda ketika dilantik menjadi Men/Pangau, maka Omar Dani merasa patut memberi komitmen kepada Bung Karno. Lagi pula Presiden Soekarno juga memberi kesempatan kepada AURI untuk ikut mengambil peranan politik, yang selama ini hanya dijalankan angkatan darat. Laksamana Madya Omar Dani kemudian, seperti halnya tokoh-tokoh lain pada masa itu, berada di jajaran terdepan dalam melaksanakan ajaran-ajaran Bung Karno.

Kehadiran Presiden Soekarno di PAU Halim Perdanakusuma pada 1 Oktober 1965, meskipun atas kehendak sendiri dan sesuai dengan standard operating procedure Resimen Tjakrabirawa, memperkuat dugaan adanya keterlibatan AURI, karena dikait-kaitkan dengan apa yang disebut Lubang Buaya. Padahal Desa Lubang Buaya yang dijadikan tempat latihan sukarelawan dan menjadi lokasi pembunuhan para perwira angkatan darat, letaknya di luar wilayah PAU Halim Perdanakusuma. Sedangkan nama Lubang Buaya lainnya adalah sebuah lapangan yang biasanya dijadikan dropping zone untuk latihan penerjunan. Lapangan ini ada dalam wilayah PAU Halim Perdanakusuma. Di sekitar dropping zone inilah terjadi tembak-menembak antara RPKAD dengan Batalyon 454/Para. Kedua pasukan itu rupanya hadir di alamat yang salah, karena mereka seharusnya menuju Desa Lubang Buaya.

Kehadiran Bung Karno di Halim Perdanakusuma, memang menjadikan posisi pangkalan itu seperti menjadi bagian dari skenario gerakan militer G30S. Pendapat publik pun terbentuk, karena ada kegiatan lain di Desa Lubang Buaya, yang dikacaukan dengan lapangan Lubang Buaya tempat latihan terjun di Halim.

Omar Dani sendiri menjelang pagi 1 Oktober itu memang sudah berada di Markas Komando Operasi, PAU Halim, karena sebelumnya sudah mendengar (dari Letnan Kolonel Udara Heroe Atmodjo, Asisten Direktur Intelejen) akan adanya gerakan internal dalam tubuh angkatan darat. Sebagai pimpinan Angkatan Udara, ia memutuskan untuk tidak turut campur dalam persoalan itu, tetapi sebaliknya meminta AURI untuk mengambil tindakan berjaga-jaga, terutama mengamankan semua instalasi angkatan udara. Pagi hari itu juga Omar Dani kemudianbersama Panglima Komando Operasi Komodor Udara Leo Wattimenamenyambut kedatangan Presiden Soekarno di Halim yang diputuskan atas pertimbangan keamanan di sekitar Istana Merdeka.

Selain itu, kehadiran Ketua CC PKI D.N. Aidit yang disembunyikan Mayor Udara Soejono (komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan dan yang memang kemudian terbukti dipengaruhi PKI) di rumah Sersan Soewardi di kompleks perumahan PPP di kawasan PAU Halim, kian memperkuat pembentukan opini publik adanya keterlibatan pangkalan ini dalam G30S.

Omar Dani sendiri menyangkal bahwa ia mengetahui kehadiran Aidit di Halim. "Saya mengetahuinya di kemudian hari dari persidangan Soejono", katanya. "Soejono tidak pernah melaporkan keberadaan Aidit itu pada saya, pada Komodor Udara Susanto maupun pada Komandan Halim Kolonel Udara Wisnu Djajengminardo."

Omar Dani kemudian pada 1 Oktober 1965 tengah malam memberi izin penggunaan pesawat Dakota untuk membawa Aidit ke Yogyakarta, namun ia tidak tahu bahwa Aidit hari itu berada dalam lingkungan Halim. Omar Dani mengizinkan penggunaan Dakota untuk Aidit karena Aidit ketika itu menjabat Menteri Koordinator/Ketua MPRS.

Akhirnya, sekitar pukul 23.00 (1 Oktober), setelah ada berita bahwa Halim akan diserang pasukan Kostrad, diputuskan Bung Karno harus keluar dari sana. Omar Dani menawarkan: "Terserah Bapak ingin ke mana, Hercules, Jetstar dari Skadron 17 beserta crew-nya sudah siap semua. Bapak bisa ke Yogya, Madiun, Malang, atau luar negeri, terserah Bapak." Bung Karno akhirnya berangkat dengan mobil ke Istana Bogor.

Setelah Presiden Soekarno keluar dari Halim, Omar Dani dan Leo Wattimena kemudian naik ke pesawat Hercules dan terbang holding selama enam jam di atas Jawa Barat dan Jawa Tengah. Tujuannya tidak lain adalah untuk menghindari konflik terbuka dengan pasukan yang akan menyerang Halim. Di samping itu, Omar Dani juga paham akan temperamen Leo yang cepat panas, sehingga akan lebih baik jika Pangkoops diajak menemaninya. Pesawat tersebut akhirnya mendarat di PAU Iswahyudi, Madiun.

Selama holding dengan Hercules, buku ini mengungkap beberapa kejadian yang makin mempersulit posisi Omar Dani pada khususnya dan AURI pada umumnya.

Rupanya tanpa sepengetahuan Omar Dani, Komodor Udara Leo Wattimena mengirim perintah kepada Kolonel Sudarman, Komandan Wing Ops 002 PAU Abdurachman Saleh. Isi perintahnya adalah untuk mengirimkan dua P-51 Mustang, dua pembom B-25 Mitchel dan sebuah Catalina. Maksudnya untuk menghadapi RPKAD dan Kostrad yang akan masuk ke Halim. Omar Dani mengaku tidak mengetahui hal itu. Yang jelas, perintah itu tidak datang dari dia.

"Hal semacam itu hanya Leo yang bisa mengaturnya. Perintah itu bukan datang dari saya", tuturnya di kemudian hari.

Pesawat-pesawat tersebut kemudian diminta Kolonel Ashadi Tjahjadi Komandan PAU Husein Sastranegara mendarat di Husein. Namun satu B-25 terlanjur masuk Halim dan akhirnya bannya digembosi RPKAD agar tidak bisa mengudara.

Kejadian lainnya adalah radiogram Men/Pangau kepada Mayjen Soeharto agar tidak masuk ke Halim dalam mengejar pasukan-pasukan G30S. Karena pasukan tersebut sudah dihalau keluar Halim oleh PGT. Leo Wattimena lalu melaksanakan perintah Omar Dani. Belakangan radiogram itu dinilai sangat keras dan bisa dianggap sebagai ultimatum kepada Mayjen Soeharto.

Ketika sudah ditahan, Omar Dani kemudian meminta arsip radiogram tersebut. "Setelah saya baca terbukti kata-katanya memang kort en bondig atau "cekak aos". Bahkan dapat dikatakan agak keras: Jangan masuk Halim, kalau masuk Halim akan dihadapi," katanya mengenang kejadian tersebut. Akan tetapi Omar Dani menyatakan bahwa dia tetap bertanggung jawab akan radiogram itu.

Omar Juga mengakui bahwa Perintah Harian Men/Pangau tertanggal 1 Oktober 1965 kemudian menjadi suatu kekeliruan, karena bisa ditafsirkan bahwa AURI ada di "pihak sana". Padahal maksudnya tidak lain adalah untuk mengamankan jalannya revolusi dari anasir-anasir subversi asing. Lagi pula tampaknya Omar Dani tidak menyangka bahwa gerakan pembersihan dalam angkatan darat itu berpuncak dengan dibunuhnya para jenderal pimpinan Angkatan Darat.

Ketika Hercules yang membawa Omar Dani dan Leo Wattimena baru mengudara, diperoleh hubungan komunikasi dengan Laksamana Muda Udara Sri Moeljono Herlambang, waktu itu menjabat Menteri Negara diperbantukan pada Presiden, yang tengah dalam perjalanan kembali dari Medan dengan Jetstar. Men/Pangau meminta Herlambang membantu mengamankan Halim. Mendekati Halim, Jetstar itu bahkan ditembaki beberapa kali oleh artileri pertahanan udara Angkatan Darat. Namun pesawat akhirnya lolos dan selamat mendarat di Halim.

Setelah mendapat laporan dari Deputi Operasi Men/Pangau Komodor Udara Dewanto bahwa RPKAD akan menyerang Halim, Laksda Herlambang memerintahkan agar pasukan yang mempertahankan pangkalan menyandang senjatanya sebagai isyarat bahwa mereka tidak menghendaki konflik.

Tanggal 2 Oktober tengah malam, Pangkostrad memerintahkan RPKAD untuk menguasai Halim. Tujuannya antara lain mencari para jenderal yang diculik. Maka diaturlah manuver untuk mengepung pangkalan udara tersebut. Selain RPKAD juga dilibatkan Batalyon 328/Para dan beberapa kompi kavaleri dari Kostrad.

Perkembangan ini membuat Komodor Udara Dewanto memutuskan untuk mengetahui situasi yang ada di sekitar Halim dan di Jakarta. Dengan ditemani ajudan Kapten Udara Willy Kundimang, Dewanto menerbangkan Cessna L-180. Di lapangan parkir timur Senayan mereka melihat konsentrasi truk dan armoured personnel carrier.
Ketika Dewanto kembali ke Halim, ternyata RPKAD sudah masuk. Mereka menduduki hanggar Skadron 31, Skadron 2, Skadron 17, menara lalu lintas udara dan fasilitas pangkalan lainnya. Diluar dugaan pasukan penyerang, ternyata pasukan AURI sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda siap tempur. Suasananya biasa-biasa saja. Ketika itu Halim hanya dijaga satu kompi PGT, satu kompi PPP dan satu peleton Polisi AU, yang sudah diperintahkan untuk tidak memberikan perlawanan.

Begitu pesawat diparkir, Komodor Udara Dewanto disambut anggota RPKAD yang siap dengan AK-47. Pistol Kapten Willy Kundimang dilucuti dengan sopan, namun Dewanto diizinkan tetap menyandang pistolnya.

Selama berada di Halim, RPKAD diterima dengan baik oleh AURI. Hubungan antar prajurit kedua angkatan tidak diwarnai dengan ketegangan. Bersama-sama mereka menyantap ransum makan prajurit-prajurit AURI.

Perkembangan selanjutnya, dalam upaya mendekati Halim, RPKAD akhirnya terlibat tembak-menembak dengan Batalyon 454/Para yang sudah pindah dari Lapangan Monas ke daerah sekitar Halim. Pertempuran kedua pasukan itu merisaukan Komodor Dewanto yang mengkhawatirkan keselamatan aset negara yang tidak sedikit di pangkalan udara. Dewanto kemudian mengambil inisiatif untuk menengahi konflik senjata tersebut.

Bersama Kapten Willy Kundimang, Dewanto mencoba mendekati daerah pertempuran dan akhirnya berhasil kontak dengan Wadanyon 454 Kapten Koentjoro. Koentjoro lalu menemui Dewanto.

"Lapor Jenderal. Kapten Koentjoro, Raiders. Kami melaksanakan perintah melindungi pangkalan udara Halim agar tidak dimasuki pasukan lain, kecuali AURI." Dewanto menjawab:"Bagus. Kapten adalah tentara yang baik, tetapi AURI tidak mau terjadi pertempuran di Halim, bisa merusak pesawat terbang."

Kapten Koentjoro akhirnya berhasil menahan pasukannya. Setelah itu, Komodor Dewanto menugaskan Kapten Udara Kundimang membawa sepucuk surat untuk Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhie. Surat tersebut akhirnya sampai di tangan Sarwo Edhie. Setelah Willy Kundimang dua kali mondar-mandir daerah pertempuran antara RPKAD dan Yon 454, akhirnya disepakati bahwa Komodor Dewanto akan menemui Kolonel Sarwo Edhie.

Tetapi sebelum itu Dewanto berhasil membujuk Kapten Koentjoro untuk menyingkirkan pasukannya menjauh dari RPKAD. Mulanya Koentjoro berkeras. "Pasukan Raiders tidak mengenal menyerah", katanya. "Saya tidak minta Kapten menyerah. Saya minta agar pasukan Kolonel Sarwo Edhie diberi jalan masuk ke Halim", jawab Dewanto. Dewanto lalu mengundang Sarwo Edhie datang ke Markas Komando Operasi PAU Halim.

"Siap Jenderal. Kami akan datang ke sana, setelah kami ketahui pasukan kami yang masuk melalui Jatiwaringin sudah masuk Halim", kata Sarwo Ehie. Dewanto akhirnya berangkat lebih dulu bersama Mayor Goenawan, perwira yang mendampingi Komandan RPKAD. Kolonel Sarwo Edhie menyusul kemudian. Di Halim Sarwo Edhie disambut Laksda Sri Moeljono Herlambang, Komodor Udara Dewanto, Komodor Udara Soesanto, Direktur Operasi AURI, dan Kolonel Udara Wisnu Djajengminardo, Komandan Wing Ops 001/Halim. Setelah melihat sendiri keadaan Halim, Sarwo Edhie mengatakan, ia akan melaporkan hal ini kepada Mayjen Soeharto. Laksda Herlambang lalu menawarkan Sarwo Edhie ikut dengan helikopter ke Bogor, karena hari itu Presiden Soekarno akan memberikan briefing kepada para panglima. Kemungkinan Soeharto juga akan ada di sana.

Laksda Herlambang juga berhasil meyakinkan Danyon RPKAD Mayor C.I. Santoso agar menarik pasukannya dari Halim. Herlambang bertanya, "Apa misi mayor di sini?". Santoso menjawab:"Misi kami menguasai pangkalan untuk memastikan agar pesawat tidak digunakan untuk pemboman."

Lalu Herlambang melanjutkan, "Kalau demikian misi mayor sudah selesai, karena di sini tidak ada perintah pemboman." Rupanya santer desas-desus bahwa AURI akan membom markas Kostrad.

Setelah kembali dari Bogor, Sarwo Edhie lalu melapor Mayjen Soeharto yang juga dalam perjalanan pulang dari Bogor. Soeharto lalu memerintahkan penarikan RPKAD dari Halim. Tanggal 2 Oktober pukul 22.00 pasukan berkekuatan sekitar 600 orang itu keluar dari Halim kembali ke Cijantung.

Buku ini mengetengahkan beberapa informasi di sekitar 1 Oktober 1965, khususnya apa yang terjadi di PAU Halim Perdanakusuma menurut kesaksian beberapa purnawirawan AURI saksi sejarah.

Dalam upaya menyajikan fakta sejarah yang selama ini belum diungkapkan pada publik, buku ini, seperti tertera dalam Prakata, tidak bermaksud menyalahkan pihak lain. Harus pula dicatat bahwa buku ini tidaklah berpretensi mengungkap apa sebetulnya peristiwa 34 tahun yang lalu itu. G30S adalah peristiwa yang sangat kompleks dan mungkin akan tetap mengandung sisi-sisi gelap yang tidak terungkap.

Tetapi buku ini diharapkan mengimbangi tulisan-tulisan yang dianggap cenderung menyudutkan AURI. Menyingkap Kabut Halim 1965 lebih merupakan wujud dorongan rasa kewajiban dan tanggung jawab para saksi dan pelaku untuk mengembalikan nama baik AURI yang mereka cintai sekaligus sebagai pertanggungjawaban kepada generasi penerus Angkatan Udara kita.

Sudah tentu buku ini tidak mengingkari bahwa ada anggota AURI yang terlibat dalam G30S, karena dalam setiap angkatan ada oknum-oknum yang memang ambil bagian. Tetapi buku ini mengingatkan bahwa tuduhan terhadap AURI tidaklah proporsional. Kisah-kisah yang terangkai dalam Menyingkap Kabut Halim 1965 ingin menyampaikan pesan bahwa secara institusional AURI tidak pernah memberi dukungan pada G30S.

Nama lengkapnya ialah Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma, atau biasa disingkat PAU Halim atau Halim saja. Sejak meletusnya peristiwa G30S, nama Halim selalu disebut. Pada 4 Oktober 1965 Mayjen Suharto, Panglima Kostrad telah menuduh bahwa Lubang Buaya, tempat ditemukannya jenazah para jenderal yang dibunuh pasukan G30S dan dimasukkan ke dalam sebuah sumur tua, merupakan wilayah PAU Halim. Dalam kenyataannya kawasan itu masuk wilayah milik Kodam Jaya, kira-kira 3,5 km di luar kawasan PAU Halim. Penyesatan yang dilakukan oleh Suharto sejak dini tersebut berdampak amat luas.

Perlu kita ketahui bahwa terdapat dua nama Lubang Buaya yang berbeda tempatnya. Pertama dalam lingkungan PAU Halim, tempat latihan terjun atau dropping zone, kini menjadi lapangan golf. Sedang yang kedua berada di luar pangkalan sejauh 3,5 km, dipisahkan jalan setapak yang dewasa ini menjadi Jl Pondokgede. Hal ini tercantum dalam peta tahun 1936 sebagai yang digambar kembali dalam buku Letkol (Pnb) Heru Atmodjo.

Kaum awam, bahkan para pakar Barat yang menulis tentang G30S (seperti Ulf Sundhaussen, John D Legge, Coen Holtzappel dsb) mencampuradukkan nama tempat Lubang Buaya, tempat pembuangan jenazah para jenderal, dengan PAU Halim. Demikian halnya dengan gedung Penas yang terletak di Jl Baipas (sekarang Jl DI Panjahitan) sebagai Cenko I G30S, juga disebut Halim, padahal gedung itu berada di luar wilayah PAU Halim. Dengan kekeliruan semacam itu, mencapuradukkan nama 3 tempat sebagai Halim, akan berdampak pada gambaran yang salah dan menyesatkan yang dapat menuju pada analisis dan kesimpulan yang meleset.

Jika dua tempat di luar Halim itu disebut sebagai Halim, maka terdapat gambaran seolah-olah PAU Halim Perdanakusuma itu suatu tempat terbuka, hingga dengan mudah pasukan G30S dapat masuk keluar begitu saja, bahkan membawa para jenderal AD untuk dibunuh di sana. Sebagai yang disebutkan oleh Letkol (Pnb) Heru Atmodjo, ketika itu (1965) PAU Halim merupakan pangkalan utama AU dengan Markas Komando Operasi AU yang mengendalikan seluruh penerbangan pesawat AU.

Kemampuan pesawat pembomnya menjangkau jarak Bangkok dan Manila di utara (markas SEATO dan Armada ke-7 AS) serta Perth di Australia yang dapat dicapai dari pangkalan Iswahyudi, Madiun. Terdapat juga Markas Komando Pertahanan Udara Nasional yang bertugas melindungi wilayah udara RI dari kemungkinan penyusupan pesawat musuh Terdapat sebuah skuadron pesawat VIP untuk Kepresidenan dan pejabat tinggi serta batalion PGT. Dengan demikian kedatangan Presiden Sukarno ke Halim pada pagi hari 1 Oktober 1965, merupakan bagian dari pengamanan presiden dalam keadaan tidak menentu, sesuai dengan prosedur baku yang ada.

Kenyataan keberadaan Presiden Sukarno di Halim pada 1 Oktober 1965 ini oleh pakar sejarah Brigjen Prof Dr Nugroho Notosusanto disebut sebagai salah satu dari tiga kelompok pmberontak, dua kelompok yang lain ialah Letkol Untung cs dan DN Aidit cs. Kelompok Presiden Sukarno ini disertai oleh sejumlah pejabat negara. Logika pakar Orba ini akan kita bicarakan lebih lanjut dalam seri lain.

Halim juga merupakan Markas Wing 001 di bawah Kolonel (Pnb) Wisnu Djajengminardo. Dengan demikian PAU Halim merupakan tempat tertutup dengan penjagaan cukup ketat. Adapun Mayor Udara Suyono, salah seorang tokoh G30S, menjabat komandan Resimen PPP (Pasukan Pertahanan Pangkalan) yang markasnya ada di Kramatjati, di luar wilayah Halim. Dalam banyak buku tentang G30S yang ditulis oleh para ahli Indonesia maupun asing (bahkan sampai saat ini), digambarkan seolah Mayor Udara Suyono ini penguasa PAU Halim, lalu seolah seluruh wilayah Halim menjadi sarang G30S. Hal ini sama sekali tidak benar dan meleset dari kenyataan.


Demikianlah penyesatan itu agaknya sudah menjadi bagian dari skenario yang telah digodok matang, di antaranya untuk menjatuhkan para petinggi AURI ketika itu, di antaranya Men/Pangau Omar Dani guna menghancurkan para pengikut setia Bung Karno untuk digantikan para pembebek Suharto. Di sepanjang kekuasaan rezim militer Suharto, hal-hal itu tak pernah mendapatkan koreksi, justru dipelihara terus.

No comments:

Post a Comment