”10 Januari 1966, demonstrasi mahasiswa meletus di Jakarta, sebagai
reaksi terhadap kenaikan harga-harga.
Demonstrasi ini melahirkan Tri Tuntutan
Rakyat yang kemudian dikenal sebagai Tritura. Tiga tuntutan itu meliputi:
Bubarkan PKI, ritul Kabinet Dwikora dan Turunkan harga-harga. Keadaan ekonomi
rakyat sebelum 10 Januari demikian terhimpitnya oleh harga-harga yang makin
membubung tinggi. Pemerintah menunjukkan sikap yang ambivalen”.
Antara konsolidasi dan akrobat politik
DALAM
bulan Oktober 1965, hanya selang beberapa hari setelah Peristiwa Gerakan 30
September, beberapa organisasi mahasiswa antara lain HMI (Himpunan Mahasiswa
Islam), PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), Somal
(Sekretariat Organisasi Mahasiswa Lokal), dan PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia) mendesak agar PPMI (Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia)
yang merupakan wadah yang menghimpun organisasi mahasiswa ekstra universiter di
masa Orde Lama Soekarno yang didominasi oleh organisasi-organisasi seperti CGMI
(Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia), GMNI Asu (Gerakan Mahasiswa Nasional
Indonesia, yang pro PNI Ali Surachman), Perhimi (Perhimpunan Mahasiswa Indonesia)
dan Germindo (Gerakan Mahasiswa Indonesia)– untuk segera mengadakan kongres.
Desakan para mahasiswa ‗garis seberang‘ itu ditolak oleh GMNI yang dipimpin
oleh Bambang Kusnohadi dan organisasi mahasiswa ideologi kiri lainnya, dengan
alasan masih menunggu solusi politik dari Presiden Soekarno pasca Peristiwa 30
September 1965.
Beberapa
organisasi pengusul kongres akhirnya mengultimatum akan menyelenggarakan
sendiri kongres bilamana pimpinan PPMI tidak mau melaksanakan kongres tersebut.
Mendapat ultimatum, pimpinan PPMI melaporkan hal tersebut kepada Menteri PTIP
(Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan) Dr Sjarif Thajeb, dengan menambahkan
bumbu insinuasi bahwa Somal merencanakan membuat huru-hara dalam kongres pada
saat kongres itu berlangsung. Pada awalnya Sjarif Thajeb percaya kepada
insinuasi ini, lalu memanggil pimpinan Somal dan meminta mereka jangan dulu
memaksakan kongres.
Setelah
menerima penjelasan dari Somal, Sjarif Thajeb lalu menyarankan pertemuan antara
seluruh organisasi mahasiswa, pada 25 Oktober 1965 di kediamannya. Namun,
pertemuan itu ternyata berlangsung tanpa kehadiran CGMI, Germindo dan Perhimi
yang adalah organisasi mahasiswa onderbouw PKI dan partai serta organisasi
ideologi kiri lainnya. Hanya GMNI yang hadir berhadapan dengan organisasi-organisasi
pengusul Kongres.
Pertemuan
di rumah kediaman Sjarif Thajeb ini berlangsung alot. Para pemimpin organisasi
mahasiswa menyepakati membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia disingkat
KAMI, dengan program utama ‗mengganyang‘ Gerakan 30 September dan PKI. Dalam
pertemuan itu, Sjarif Thajeb memperlihatkan kebimbangan-kebimbangan, antara
lain terkait dengan kedekatannya saat itu dengan Soekarno karena bagaimanapun
ia adalah menteri Soekarno. Namun di sisi lain terjadi arus perkembangan baru
yang sebenarnya memiliki perspektif perubahan yang menggoda sebagai investasi‘
masa depan namun pada tahap itu mengarah kepada penentangan terhadap Soekarno
sebagaimana yang ditunjukkan oleh para mahasiswa. Maka, agaknya seakan satu
jalan tengah, Sjarif Thajeb lalu bersikeras‘ agar GMNI duduk sebagai pimpinan
dalam wadah baru kemahasiswaan, KAMI, yang akan dibentuk itu dan memadukannya
dengan organisasi-organisasi lainnya.
Saat
itu, seperti diungkapkan Marsillam Simanjuntak, Sjarif Thajeb mempunyai jalan
pikiran atau patron yang menilai satu organisasi berdasarkan ranking urutan
partai yang menjadi induk organisasi tersebut. Karena PNI formal adalah partai
yang terbesar, maka GMNI pun ditempatkannya di urutan teratas. Sebaliknya, HMI
yang sebenarnya justru adalah organisasi mahasiswa yang terbesar massanya,
diabaikan Sjarif Thajeb, karena HMI memang tidak punya induk politik.
PMII
yang anggotanya amat sedikit, apalagi dibandingkan HMI, mendapat posisi karena anak‘
Partai NU. Somal yang merupakan federasi‘ nasional dengan anggota-anggota
berbagai organisasi mahasiswa lokal, dianggap memenuhi syarat, seperti PMKRI
yang adalah anak Partai Katolik dan Mapantjas karena adalah organisasi sayap
IPKI. Kelima organisasi mahasiswa itu ditunjuk untuk duduk dalam Presidium
KAMI, yakni GMNI, PMKRI, Somal, PMII dan Mapantjas. Tetapi GMNI sendiri
akhirnya menyatakan tidak bersedia ikut duduk dalam Presidium KAMI dan bahkan
tidak ikut bergabung sama sekali dengan KAMI, karena berpendapat PPMI masih
harus dipertahankan. Pilihan Bambang Kusnohadi ini, akan tercatat kemudian
sebagai awal tersisih dan rontoknya GMNI sebagai suatu organisasi mahasiswa
dengan massa terbesar saat itu.
Belakangan,
ketidaksertaan GMNI Asu di bawah Bambang Kusnohadi digantikan oleh GMNI
pimpinan Surjadi yang berseberangan dengan PNI pimpinan Ali Sastroamidjojo SH
dan Ir Surachman. Dr Sjarif Thajeb yang awalnya bimbang, karena tak punya
pendirian yang jelas, akhirnya ikut arus dan menyetujui lahirnya KAMI dan
namanya pun lalu tercatat sebagai tokoh yang ikut membidani lahirnya KAMI.
Posisinya terhadap Soekarno pada mulanya tentu saja menjadi dilematis dan
sulit, ketika ternyata KAMI kemudian menjadi penentang kuat yang akhirnya ikut
menjatuhkan Soekarno dari kekuasaannya. Sampai-sampai ia pernah membekukan organisasi‘
yang kelahirannya dibidani olehnya itu.
Namun
tatkala pada akhirnya kejatuhan Soekarno terjadi, hal itu mengakhiri pula
dilema Sjarif Thajeb dan dilema pun berubah menjadi semacam berkah bagi tokoh
ini serta menjadi tiket baginya turut dalam kekuasaan baru pada masa
berikutnya. Masalahnya, walau Sjarif Thajeb memang dianggap berjasa dalam
berdirinya KAMI, tetapi sekaligus juga kerap tidak disukai mahasiswa karena
sejumlah tindakannya merugikan mahasiswa. Pada masa awal pemerintahan Soeharto,
sebagai Menteri PTIP, beberapa kali ia melakukan tindakan represif di
kampus-kampus.
KAMI
terbentuk di Bandung tanggal 1 Nopember 1965, hanya selang beberapa hari dengan
terbentuknya KAMI di Jakarta. Rapat pembentukannya mengambil tempat di
Margasiswa PMKRI Jalan Merdeka 9 Bandung. Mengikuti pola KAMI Pusat, organisasi
ini juga dipimpin oleh satu Presidium. Pertama kali, Presidium terdiri dari
Majedi Sjah (PMII), RAF Mully (PMKRI), Rohali Sani (Somal), Daim A. Rachim
(Mapantjas), yang didampingi para sekertaris Ta‘lam Tachja (HMI) dan Mansur
Tuakia (IMM). Pembentukan KAMI Bandung diikuti oleh pembentukan KAMI di ITB.
Tetapi dalam perjalanan kegiatannya, seperti yang digambarkan Hasjrul Moechtar,
aksi-aksi KAMI Bandung sampai Desember 1965 tidak mampu menggambarkan potensi
yang sebenarnya dari mahasiswa Bandung.
Para
pimpinan KAMI Bandung, sejalan dengan pikiran Menteri PTIP Sjarif Thajeb,
berpikir terlalu formal organisatoris, bahwa hanya mahasiswa-mahasiswa
organisasi ekstra, terutama yang punya induk politik, yang mampu menggerakkan
mahasiswa sesuai kepentingan politik faktual saat itu
untuk menghadapi PKI. Padahal pada beberapa perguruan tinggi terkemuka di
Bandung, khususnya di ITB, merupakan fakta bahwa organisasi intra lebih populer
dan lebih mewakili keseluruhan mahasiswa dibandingkan dengan organisasi ekstra
universiter.
Faktanya,
walaupun sama-sama anti PKI, Dewan-dewan Mahasiswa tidak merasa perlu untuk
menggerakkan mahasiswa di kampusnya mengikuti aksi-aksi KAMI. Di mata
Dewan-dewan Mahasiswa, kehadiran KAMI tak lebih dari sekedar perubahan wajah
saja dari PPMI minus CGMI, GMNI-Asu, Perhimi dan Germindo.
Dengan
penilaian atas KAMI seperti itu, maka 24 Nopember 1965, Dewan-dewan Mahasiswa
maupun Senat-senat Mahasiswa dari 20 perguruan tinggi se-Bandung sepakat membentuk
Kesatuan Organisasi Mahasiswa Intra Universiter Indonesia (KOMII), yang
sekaligus juga menjadi pengganti MMI yang mereka tak percayai lagi. Ketua Umum
pertama KOMII adalah Rachmat Witoelar dari ITB. Rachmat yang saat itu adalah
Ketua Umum DM-ITB dianggap mewakili wajah kampus ITB yang betul-betul politis.
Ketua-ketua
KOMII yang lain adalah Soegeng Sarjadi dari Universitas Padjadjaran yang waktu
itu belum bergabung sebagai anggota HMI, Asmawi Zainul dari IKIP dan AP
Sugiarto dari Universitas Parahyangan. Sekertaris Umum Hermanto Hs dari ITB
dengan Sekertaris-sekertaris Anis Afif (Akademi Tekstil) dan Sadan Sapari dari
Universitas Pasundan. Tiga bendahara adalah R. Hasoni dari AKMI, I Gede Artika
(APN) dan Tatang Haris dari Universitas Pantjasila.
Untuk
beberapa bulan, hingga Pebruari 1996, aksi-aksi kedua organisasi ini berjalan
terpisah. Tapi tatkala aksi-aksi mahasiswa makin meningkat, 24 Pebruari,
terjadi kesepakatan untuk berintegrasi dalam artian unsur-unsur KOMII masuk ke
dalam Presidium. Dalam Presidium duduk 4 unsur ekstra universiter dan 4 unsur
intra universiter. Terjadi perubahan signifikan. Masuknya unsur intra membuat
gerakan-gerakan KAMI Bandung lebih impresif dan selalu diikuti dengan massa
yang jauh lebih besar. Sebenarnya, sebelum terjadi penggabungan, sejumlah
aktifis mahasiswa yang menjadi penggerak Pernyataan 1 Oktober menolak Dewan
Revolusi berinisiatif mengkoordinasi suatu gerakan bersama antara KAMI dan
KOMII pada 13 Januari 1966 di Bandung, tiga hari setelah aksi Tritura di
Jakarta.
Hasilnya
menakjubkan, sehingga membuka mata semua aktivis mahasiswa untuk memikirkan
suatu kebersamaan yang lebih baik. Pola memasukkan unsur intra ke dalam
Presidium ini akhirnya diikuti pula oleh KAMI konsulat Jakarta, dan juga
menghasilkan peningkatan efektifitas gerakan. Tetapi KAMI Pusat dan KAMI daerah-daerah
lainnya, tidak mengikuti pola itu. Masalahnya memang, di kampus-kampus
perguruan tinggi kota lainnya, adalah merupakan fakta bahwa organisasi ekstra
universiter memang lebih dominan dalam kehidupan kampus. Pasca Peristiwa 30
September 1965 organisasi ekstra yang paling dominan di kampus-kampus berbagai
kota selain Bandung, adalah HMI, terutama di luar Jawa.
Tanggal
10 Januari 1966, demonstrasi mahasiswa meletus di Jakarta, sebagai reaksi
terhadap kenaikan harga-harga. Demonstrasi ini melahirkan Tri Tuntutan Rakyat
yang kemudian dikenal sebagai Tritura. Tiga tuntutan itu meliputi: Bubarkan
PKI, ritul Kabinet Dwikora dan Turunkan harga-harga. Keadaan ekonomi rakyat
sebelum 10 Januari demikian terhimpitnya oleh harga-harga yang makin membubung
tinggi. Pemerintah menunjukkan sikap yang ambivalen.
Di
satu pihak mereka menganjurkan dan bahkan melarang kenaikan harga-harga, tetapi
pada pihak lain pemerintah sendiri menaikkan tarif dan menaikkan harga sejumlah
kebutuhan pokok. Pada tanggal 3 Januari 1966, pemerintah menaikkan harga bensin
menjadi Rp. 1000 per liter. Padahal harga bensin itu baru saja dinaikan
harganya pada 26 Nopember menjadi Rp. 250 per liter. Harga beras sementara itu
tak terkendali. Di Jakarta, harga beras yang semula Rp. 1000 per kilogram
mendadak melonjak menjadi Rp. 3500 per kilogram.
Waperdam III Chairul Saleh yang sebenarnya
cukup dihormati masyarakat, dengan nada arogan mengatakan bahwa pemerintah
takkan meninjau kembali kenaikan tarif dan harga-harga. Ini katanya untuk
mencegah jangan sampai terjadi defisit anggaran belanja negara, sehingga
pemerintah terpaksa untuk mencetak uang. Alasan yang tampaknya rasional ini
dibantah oleh mahasiswa sebagai alasan yang dicari-cari, karena mahasiswa
melihat bahwa penyebab utama defisit adalah ketidakbecusan para menteri dan
tidak memahami tanggungjawabnya. Mereka mengatasi keadaan dengan bertindak
asal-asalan tanpa memperhatikan dampaknya terhadap kehidupan rakyat banyak.
Dalam pada itu, menteri-menteri lainnya, terutama Waperdam I Soebandrio lebih
menyibukkan diri melontarkan provokasi-provokasi politik.
No comments:
Post a Comment