TATAR SUNDA MASA SILAM
I.
MASA TARUMANAGARA
Halwany Michrob, dalam buku Catatan Masa Lalu Banten, mengemukakan pendapatnya, antara
lain sebagai berikut:
Dengan
ditemukannya Prasasti Munjul, yang terletak di tengah Sungai Cidangiang, Lebak
Munjul, Pandeglang, berita tentang Banten dapat lebih diperjelas lagi. Prasasti
ini, yang diperkirakan berasal dari abad V, bertuliskan huruf Pallawa dengan
bahasa Sanskerta menyatakan bahwa raja yang berkuasa di daerah ini adalah
Purnawarman. Ini berarti bahwa daerah kuasa Tarumanagara sampai juga ke Banten,
dan diceritakan pula bahwa negara pada masa itu dalam kemakmuran dan kejayaan
(Michrob,1993: 37).
Untuk melengkapi Tarumanagara yang dikemukakan oleh Halwany
Michrob, riwayat dapat diikuti melalui naskah Pustaka Pararatwan i Bhumi
Jawadwipa parwa I sarga 1, halaman 771, antara lain sebagai berikut:
..
// ri bharatanagari rruang wamca athawa nuang rajya / calankayanawanica mwaug
pallowamca / zoos inalahaken ri yuddhakala de nira samudraghupta maharaja
maurya //sang ghuptaneher mahakawaca sx ra i bhumi bharata // makaswabhawa nira
tan kenah / nist7snagalak ring eatru nira yeku sang alah // matangyan
sekopayanya kulawandha mwang pirang sikyamutya mwang janapa sakeng kanwa
wamcanung kasoran fi yuddkakala akweh pantaranya manigit angluru cesa ning
pejah //..
Terjemahannya:
Di
negeri India dua keluarga atau dua kerajaan yaitu keluarga Calankayana dan
Pallawa telah dikalahkan dalam perang oleh Samudragupta Maharaja Maurya. Sang
Gupta lalu menjadi yang paling berkuasa di India. Perangai tidak layak, kejam
tidak mengenal belas kasihan terhadap musuh yang telah dikalahkannya. Oleh
karena itu keluarga, para pembesar dan penduduk dari kedua kerajaan yang kalah
perang itu berupaya melarikan diri mencari keselamatan.
Perang
itu terjadi tahun 267 Saka (345 Masehi). Sementara itu, rajanya telah kalah,
tetapi kerajaannya tidak hilang dari muka bumi. Hanya saja, yang kalah, menjadi
bawahan sang pemenang. Semua penduduk Pallawa dan Calankayana, sangat menderita
dan banyak yang tewas, karena sang penguasa, yaitu raja Gupta, telah banyak
membunuh orang‑orang yang tak berdosa. Telah banyak, tentara dan pemuka negara
yang kalah, tewas di medan perang. Oleh karena itu, di kota‑kota negara yang
kalah perang, merajalela kaum perampok. Sedangkan raja yang menderita
kekalahan, beserta keluarga, pengiring dan para pembesar lainnya, bersembunyi
masuk ke dalam hutan.
Adapun
maharaja Maurya itu, bernama nobat Samudragupta Mahaprabawa Raja Magada, yang
besar kotanya. Sedangkan raja Calankayana, bernama nobat Maharaja Hastiwarman
dan raja Pallawa, bernama nobat Maharaja Wisnugopa. Kedua raja ini bersahabat
akrab dan bersatu, lalu bersama‑sama menyerang musuhnya (Samudragupta). Perang
itu, berlangsung beberapa bulan lamanya. Akhirnya, kerajaan Pallawa dan
Calankayana kalah. Kerajaan Maurya, memperoleh kemenangan. Yang berhasil
menyelamatkan diri, dari pihak yang kalah, bersembunyi di gunung. Ada juga yang
bersama keluarga dan pengiringnya, pergi ke seberang laut, yaitu ke
Semenanjung, Pulau Jawa, Pulau Sumatera, Negeri Yawana, dan sebagainya.
Salah
satu kelompok keluarga Pallawa, yang mengungsi ke Pulau Jawa, dipimpin oleh
Darmawirya, kelak setelah menikah dengan Rani Sphatikarnawa Warmandewi, menjadi
Dewawarman Vlll (raja terakhir Salakanagara). Keluarga Hastiwarman dan
Wisnugopa, tersebar ke berbagai negara, terutama yang dahulu menjadi sahabat
keluarga mereka. Dinasti Warman (warmanwamca), akhirnya banyak yang menjadi raja di
Nusantara, dan negara-negara lainnya.
Dalam tahun 270 Saka (348 Masehi), ada seorang Maharesi
(bernama Jayasingawarman) dari Calankayana. Bersama pengikutnya (sebagai
pengiring), tentara, penduduk pria dan wanita, ikut melarikan diri. Mengungsi
ke pulau‑pulau di sebelah selatan, karena pihak musuh, selalu berusaha
menangkap mereka. Sang Maharesi Jayasingawarman bersama para pengikutnya, tiba
di Pulau Jawa dan menetap di Jawa Kulwan (barat). Di sebelah barat Citarum,
Sang Maharesi mendirikan perdukuhan, yang kemudian diberi nama Tarumadesya.
Wilayah ini (Taruma‑desya), termasuk daerah kekuasaan Sang Prabu Dewawarman
VIII. Kelak, Sang Maharesi Jayasingawarman menjadi menantu Sang Prabu
Dewawarman VIII.
Kira
kira sepuluh tahun kemudian, desa itu menjadi besar, karena banyak penduduk
dari desa-desa lain, datang dan menetap di situ. Beberapa tahun kemudian, desa
Taruma itu, telah menjadi nagara. Jayasingawarman terus berusaha, memperbesar
negaranya, sampai menjadi sebuah kerajaan, lalu diberi nama: Tarumanagara. la
lalu menjadi Rajadirajaguru yang memerintah kerajaannya, bergelar
Jayasingawarman Gurudarmapurusa
Sang
Maharesi Rajadirajaguru menjadi raja Taumanagara selama 24 tahun, yaitu dari
tahun 280 sampai 304 Saka (358‑382 Masehi). la wafat dalam usia 60 tahun, dan
dipusarakan di tepi kali Gomati. la digantikan putera sulungnya yang bernama
Rajaresi Darmayawarmanguru. Ia bergelar demikian, karena selain memegang
pemerintahan Tarumanagara, ia pun menjadi pemimpin semua guru agama (Hindu) di situ.
Tetapi
penduduk di desa‑desa kerajaan Taruma, banyak yang tetap menganut pemujaan roh,
yaitu memuja roh leluhur (pitampuja) menurut adat yang diwarisi dari nenek moyangnya.
Sang Rajaresi, selalu berusaha mengajarkan agamanya kepada penghulu desa‑desa
dan penduduk Tarumanagara. Oleh karena itu, Sang Rajaresi mendatangkan
brahmana-brahmana dari India. Walaupun demikian, tidak semua penduduk mau
mengikuti agamanya.
Waktu
itu, kehidupan penduduk dijadikan empat kasta, yaitu: yang pertama kasta
Brahmana, yang kedua kasta Ksatriya, yang ketiga kasta Waisya, dan yang keempat
kasta Sudra Dengan demikian, penduduk itu dibeda‑bedakan antara golongan Nista‑Madya
‑ Utama. Penduduk golongan nista, sangat takut terhadap agama Sang Rajaresi.
la
menjadi raja Tarumanagara hanya 13 tahun, dari tahun 304 sampai tahun 317 Saka
(382 ‑ 395 Masehi). la disebut juga Sang Lumahing Candrabaga (yang mendiang di
Candrabaga), karena ia dipusarakan di tepi kali Candrabaga (Cibagasasi atau
kali Bekasi). Sedangkan ayahnya, dipusarakan di tepi kali Gomati. Rajaresi
Darmayawarmanguru, digantikan oleh puteranya, yang bernama Purnawarman, yang
memerintah dari tahun 317 sampai tahun 356 Saka (395‑434 Masehi).
Purnawarman,
dilahirkan tanggal 8 bagian gelap bulan Palguna tahun 294 Saka (16 Maret 372
Masehi). Dua tahun sebelum ayahnya wafat, ia diwisuda sebagai raja Tarumanagara
ketiga, pada tanggal 13 bagian terang bulan Caitra tahun 317 Saka (12 Maret 395
Masehi). Ayahnya, Rajaresi Darmayawarman, mengundurkan diri dari tahta
kerajaan, untuk hidup di pertapaan menempuh manurajasunya (bertapa setelah
turun tahta sampai ajal tiba).
Tindakannya
yang pertama, ialah memindahkan ibukota kerajaan, ke sebelah utara ibukota
lama, yang disebut Jayasingapura yang didirikan oleh kakeknya, Jayasingawarman.
Ibukota yang baru itu, diberi nama Sundapura (kola Sunda), dibangun di tepi
kali Gomati.
Kira‑kira
tiga tahun setelah ia dinobatkan, Purnawarman membuat pelabuhan di tepi pantai.
Pembuatannya, dimulai tanggal 7 bagian terang bulan Margasira (15 Desember 398
Masehi) dan selesai pada tanggal 14 bagian terang bulan Posya (11 November 399
Masehi). Pelabuhan ini, segera menjadi ramai, oleh kapal-kapal perang kerajaan
Taruma.
Selama
masa pemerintahannya, Purnawarman telah menaklukan kerajaat-kerajaan lain di
Jawa Barat, yang belum tunduk kepada kekuasaan Tarumanagara. Semua musuh yang
diserangnya, selalu dapat dikalahkan. la seorang pemberani, menguasai berbagai
ilmu dan siasat berperang, yang menjadikan dirinya, sebagai seorang raja yang
perkasa dan dahsyat (bhimaparakramoraja).
Tidak ada satupun senjata musuh yang dapat melukainya, karena dalam perang, ia
selalu mengenakan baju pelindung dari besi yang dipasangnya mulai dari kepala
sampai ke kaki. la perkasa dan tangkas di medan perang, sehingga oleh lawan‑lawannya,
digelari Harimau Tarumanagara (wyaghra ring tarumanagara).
Akhirnya, Purnawarman, menjadi
seorang raja yang sangat besar kekuasaannya di Jawa Barat. Sri Maharaja
Purnawarman, ibarat raja matahari yang bersinar bagi raja‑raja sesamanya (panji
segala raja). Tarurnanagara menjadi sebuah kerajaan yang sangat besar
kekuasannya di Pulau Jawa. Tiap tahun, semua raja bawahannya selalu datang di Purasaba Sundapura, untuk berbakti dan
mempersembahkan upeti kepada Sri Maharaja Purnawarman. Raja‑raja bawahan itu,
datang ke ibukota (Sundapura), tiap tanggal 11 bagian terang bulan Caitra
(Maret-April). Kemudian, dari tanggal 13 sampai tanggal 15, mereka berkumpul
bersama‑sama keluarga kerajaan Tarumanagara, sambil menghadiri pesta yang
dimeriahkan oleh tarian gadis‑gadis cantik, dengan iringan suara gamelan yang
merdu. Sang Maha raja menjamu tamu-tamunya dengan makanan dan minuman yang
serba lezat (wesalehyamadhupanadi).
Untuk
kesejahteraan hidup rakyatnya, ia sangat memperhatikan pemeliharaan aliran sungai.
Tahun 410 Masehi, ia memperbaiki alur kali Gangga di daerah Cirebon, yang waktu
itu termasuk kawasan kerajaan Indraprahasta. Sungai yang bagian hilirnya,
disebut Cisuba, ini mulai diperbaiki (diperdalam) dan diperindah tanggulnya,
pada tanggal 12 bagian gelap bulan Margasira. Selesai pada tanggal 15 bagian
terang bulan Posya tahun 332 Saka. Sebagai tanda penyelesaian karyanya, Sang
Purnawarrnan, mengadakan selamatan dengan pemberian hadiah harta (sangaskararthadaksina)
kepada para Brahmana dan semua pihak yang ikut serta menggarap pekerjaan itu
sampai selesai. Hadiah ini berupa: sapi 500 ekor, pakaian, kuda 20 ekor, gajah
seekor, yang diberikan kepada raja Indraprahasta, serta jamuan rnakanan dan
minuman yang lezat. Ribuan orang laki-laki dan perempuan, dari desa sekitarnya,
ikut serta berkarya bakti di situ. Semua mereka itu, mendapat hadiah dari Sang
Purnawarman.
Dua
tahun kemudian, Sang Purnawarman, memperteguh dan memperindah alur kali Cupu
yang terletak di (kerajaan) Cupunagara Sungai tersebut, mengalir sampai di
istana kerajaan. Pengerjaan, dimulai tanggal 4 bagian terang bulan Srawana
(Juli/Agustus) sampai tanggal 13 bagian gelap bulan Srawana itu juga (14 hari)
tahun 334 Saka (412 Masehi). Hadiah yang dianugerahkan Sang Purnawarman pada
upacara selamatannya, ialah: sapi 400 ekor, pakaian, dan makanan lezat. Setiap
orang, yang ikut serta mengerjakan saluran ini, mendapat hadiah dari raja. Baik
di tepi kali Gangga di Indraprahasta maupun di tepi kali Cupu, Sang Maharaja
Purnawarman membuat prasasti, yang ditulis pada batu, sebagai ciri telah
selesainya pekerjaan itu dengan kata‑kata berbunga (sarwa bhasana). Mengenai kebesarannya
dan sifat‑sifatnya, yang diibaratkan Dewa Wisnu, melindungi segenap mahluk di
burni dan di akhir kelak. Prasati itu, ditandai lukisan telapak tangan. Para
petani merasa senang hatinya. Demikian pula para pedagang, yang biasa membawa
perahu, dari muara ke desa-desa di sepanjang tepian sungai.
Pada
tanggal 11 bagian gelap bulan Kartika (Oktober/November) sampai tanggal 14 bagian
terang bulan Margasira (Desember/Januari) tahun 335 Saka (413 Masehi), Sang
Purnawarman, memperindah dan memperteguh alur kali Sarasah atau kali Manukrawa.
Waktu dilangsungkan upacara selamatan, Sang Purnawarman sedang sakit, sehingga
terpaksa ia mengutus Mahamantri Cakrawarman untuk mewakilinya. Sang Mahamantri,
disertai beberapa orang Menteri Kerajaan, Panglima Angkatan Laut, Sang Tanda,
Sang Juru, Sang Adyaksa, beserta pengiring lengkap, datang di ternpat upacara
dengan menaiki perahu besar. Hadiah yang dianugerahkan adalah: sapi 400 ekor,
kerbau (mahisa) 80 ekor, pakaian bagi para Brahmana, kuda 10 ekor, sebuah
bendera Tarumaragara, sebuah patung Wisnu, dan bahan makanan. Setiap orang,
yang ikut serta dalam pekerjaan ini, memperoleh hadian dari Sang Maharaja
Purnawarman.
Para
petani menjadi senang hatinya, karena ladang milik mereka menjadi subur
tanahnya, dengan mendapat pengairan (kaunuayan) dari sungai tersebut. Dengan
demikian, tidak akan menderita kekeringan dalarn musim kemarau.
Kemudian,
Sang Purnawarman, memperbaiki, memperindah serta memperteguh alur kali Gomati
dan Candrabaga. Ada pun kali Candrabaga itu, beberapa puluh tahun sebelumnya,
telah diperbaiki, diperindah serta diperteguh alurnya oleh Sang Rajadirajaguru,
kakek Sang Purnawarman. Jadi, Sang Maharaja Purnawarman, mengerjakan hal itu
untuk kedua kalinya.
Pengerjaan
kali Gomati dan Candrabaga ini, berlangsung sejak tanggal 8 bagian gelap bulan
Palguna, sampai tanggal 13 bagian terang bulan Caitra tahun 339 Saka (417
Masehi). Ribuan penduduk, laki‑laki dan perempuan, dari desa‑desa sekitarnya,
berkarya‑bakti siang‑malam, dengan membawa berbagai perkakas. Mereka itu,
berjajar memanjang di tepi sungai, sambung menyambung tidak terputus, tanpa
saling mengganggu pekerjaan masing-masing.
Selanjutnya,
Sang Purnawarman mengadakan selamatan dan memberi hadiah harta, kepada para
Brahmana. Perinciannya: sapi (ghoh) 1.000 ekor, pakaian serta makanan lezat.
Sedangkan para pemuka dari daerah, ada yang diberi hadiah kerbau (mahisa), ada
yang diberi hadiah perhiasan emas dan perak, ada yang diberi hadiah kuda dan
bermacam‑macam hadiah lainnya lagi. Di situ, Sang Maharaja, membuat prasasti
yang ditulis pada batu.
Demikian
pula di tempat‑tempat lain, Sang Purnawarman, banyak membuat prasasti batu,
yang dilengkapi dengan patung pribadinya, lukisan telapak kakinya, lukisan
telapak kaki tunggangannya, yaitu gajah yang bernama Sang Erawata. Demikian
pula ada yang ditandai dengan lukisan brahmara (kumbang atau lebah), sanghyang tapak,
bunga teratai, harimau dan sebagainya, dengan tulisan pada batunya.
Di
tempat‑tempat pemujaan (pretakaryam) yang telah selesai dibangun, dilukiskan
bendera Tarumanagara dan jasa-jasa Sang Maharaja. Sernua itu, ditulis pada
prasasti batu, di sepanjang tepi sungai di beberapa daerah.
Pada
tangal 3 bagian gelap bulan Jesta (Mei/Juni), sampai tanggal 12 bagian terang
bulan Asada (Juni/Juli) tahun 341 Saka (419 Masehi), Sang Purnawarman,
memperbaiki, memperteguh alur dan memperdalam Citarum, sungai terbesar di
kerajaan Taruma (di Jawa Barat). Selamatan dan hadiah harta, dilaksanakan
setelah pekerjaan itu selesai. Hadiah berupa sapi 800 ekor, pakaian, makanan
lezat, kerbau 20 ekor dan hadiah‑hadiah lainnya. Kemudian, para Brahmana
memberkati Maharaja Tarumuragara.
Dahulu,
ketika Tarumanagara diperintah oleh Sang Rajadirajaguru dan Rajaresi
Darmayawarmanguru, kerajaan ini tidak seberapa. Tetapi, setelah Purnawarman
menjadi raja Tarumanagara, angkatan perangnya diperbesar serta lengkap
persenjataannya. Demikian pula halnya Angkatan Laut, diperbesar dan diperkuat.
Karena itu, pasukan Tarumanagara, selalu memenangkan pertempuran.
Setelah
kerajaan Taruma menjadi besar dan kuat, Sang Purnawarman dinobatkan menjadi
Maharaja, dengan gelar Sri Maharaja Purnawarman Sang Iswara Digwijaya
Bhimaparakrama Suryamahapurusa Jagatpati, la pun seorang pemuja Batara Indra,
apabila hendak pergi menyerang musuhnya. Karena itulah, ia disebut Sang
Purandara Saktipurusa (manusia sakti penghancur benteng).
Sejak
tanggal 3 bagian gelap bulan Maga (Januari/Februari) tahun 321 Saka (399
Masehi) sampai tahun 325 Saka (403 Masehi), Sang Purnawarman melancarkan perang
terhadap bajak laut, yang merajalela di perairan barat dan utara. Pembersihan
terhadap kaum perompak ini, dimulai ketika seorang menteri kerajaan Taruma
bersama 7 orang pengiringnya, ditawan kemudian dibunuh oleh perompak. Perang
pertama dengan kaum perompak ini, terjadi di perairan Ujung Kulon. Angkatan
Laut Tarumanagara, dipimpin langsung oleh Sang Purnawarman:
Puluhan
kapal perang (armada laut) Tarumanagara, mengepung dua buah kapal perompak, di
tengah laut. Dari 80 orang perompak, sebahagian terbunuh dalam perang. Sisanya,
sebanyak 52 orang dapat ditawan. Seorang demi seorang; perompak yang ditawan
itu, dibunuh dengan berbagai cara, dan semua mayatnya dibuang ke tengah laut.
Demikian marahnya Sang Purnawarman terhadap kaum perompak. Sehingga, ia tidak
pernah mengampurri seorang pun, di antara mereka.
Telah
lama, perairan Pulau Jawa sebelah utara, barat dan timur, dikuasai kaum
perompak. Jumlah mereka tidak terhitung dan tersebar di lautan. Semua kapal
diganggu. Semua barang yang ada di dalamnya, dipinta atau dirampas. Banyak
kapal perompak berkeliaran di perairan Jawa Barat. Tak ada yang berani mamasuki
atau melewati perairan ini, karena sepenuhnya telah dikuasai kaum perompak yang
ganas dan kejam. Setelah Sang Purnawarman berhasil membasmi semua perompak,
barulah keadaan menjadi aman, dan penduduk Tarumanagara merasa senang. Perairan
utara Pulau Jawa telah bersih dari gangguan perompak. Tak terhitung junrlah
perompak yang ditangkap dan dijatuhi hukuman.
Pada
bagian ini, kemungkinan besar ada hubungannya dengan temuan prasasti
Cidangiang, di Desa Lebak Kecamatan Munjul Kabupaten Pandeglang, yang tertulis
dalam aksara Pallawa bahasa Sanskerta, antara lain sebagai berikut:
vikrantayam vanipateh
prabbhuh satyaparakramah
narendraddhvajabutena crimatah
pumnavarmmanah
Terjemahannya:
(Ini tanda) penguasa dunia yang
perkasa, prabu yang setia serta penuh kepahlawanan, yang menjadi panji segala
raja, yang termashur Purnawarman (Danasasrrrita, 1984: 3‑1).
Prasasti
ini terletak di aliran Sungai Cidangiang yang bermuara ke Teluk Lada perairan
Selat Sunda. Kemungkinan besar, kawanan perompak di wilayah Ujung Kulon yang
ditumpas habis oleh Sang Purnawarman, bercokol di perairan Teluk Lada ini.
Prasasti tersebut merupakan tanda penghargaan kemenangan kepada masyarakat
setempat atas kepatriotan masyarakat sekitar sungai Cidangiang, sebagaimana
yang sering dilakukan oleh Sang Purnawarman.
Dipilihnya
tepi Sungai Cidangiang, sebagai lokasi ditempatkannya prasasti, karena sebutan
Cidangiang sendiri menunjukkan adanya indikasi masa silam, bahwa Ci‑Dang‑Hiyang memiliki nilai spiritual dalarn sistem
religi Sunda.
Adik
Sang Purnawarman, bernama Cakrawarman, menjadi Panglima Perang. Sedangkan
pamannya dari pihak ayah, bernama Nagawarman, menjadi Panglima Angkatan Laut
(Senapati Sarwajala). Sang Nagawarman, sering pergi sebagai duta Sang
Purnawarman ke negeri seberang, untuk mempererat persahabatan. la pernah
mengunjungi Semenanjung, negeri Syangka, Yawana, Cambay (di India), Sopala,
Bakulapura, Cina, Sumatera dan lain‑lain.
Adapun
bendera kerajaan Taruma, berupa bunga teratai di atas kepala (gajah) Erawata.
Sedangkan rnaterai raja (rajatanda), adalah lempengan (daun) emas berbentuk brahmara (lebah
atau kumbang). Bendera Angkatan Lautnya, berlukiskan naga (nagadhuajarupa),
yang dikibarkan pada tiap kapal perang Tarumanagara. Ada lagi bendera‑bendera
yang berlukiskan senjata milik satuan‑satuan tempur. Kerajaan‑kerajaan bawahan
Taruma, mempunyai bendera, berlukiskan berbagai macam binatang.
Salah
seorang isteri Sang Purnawarman, berasal dari Bakulapura. Negeri ini, ada di
Tanjung Nagara (Kalimantan). Kisahnya berawal dari Sang Kudungga.
Sang
Kudungga putera Sang Atwangga. Sang Atwangga putera Sang Mitrongga. Keluarga
itu, telah beberapa puluh keturunan, berada di situ dan menjadi penguasa.
Beberapa ratus tahun sebelumnya, keluarga itu, datang dari India. Pangkal
silsilah mereka, dimulai dari Sang Pusyamitra, yang menurunkan wangsa Sungga di
Magada. Ketika wangsa Sungga dikalahkan dan dikuasai oleh wangsa Kusan
(Kucanawamsa), banyak di antara anggota keluarga ini, laki‑laki dan perempuan,
yang mengungsi ke berbagai negara. Salah seorang anggota keluarga Sungga,
bersama keluarga dan pengiringnya, tiba di salah satu pulau di Nusantara Mereka
mendirikan desa, yang diberi nama Kuta (Kutai). Setelah berkembang menjadi
kerajaan kecil, kemudian diubah namanya, menjadi Bakulapura.
Puteri
Sang Kudungga, diperistri oleh Sang Aswawarman, putera kedua dari Prabu
Darmawirya Dewawarman dengan Rani Sphatikarnawa Warmandewi. Kakak perempuan
Sang Aswawarman, yang bernarna Dewi Minawati alias Iswan Tunggal Pretiwi,
menjadi permaisuri Jayasingawarman Rajadirajaguru, raja Tarumanagara pertama.
Prabu
Darmawirya alias Dewawarman VIII (raja Salakanagara terakhir), telah lama
bersahabat dengan penguasa Bakulapura Sebab, Sang Kudungga, adalah saudara
sepupu permaisurinya dari pihak ibu. Karena itulah, Sang Aswawarman diangkat
anak oleh Sang Kudungga, dan sejak kecil tinggal di Bakulapura.
Jadi, Aswawarman dengan isterinya,
masih saudara satu‑buyut. Setelah Sang Kudungga wafat, Sang Aswawarman
menggantikannya, sebagai penguasa Bakulapura. Dalam masa pemerintahannya, Bakulapura
menjadi kerajaan besar dan kuat, sehingga dialah yang dianggap sebagai pendiri
dinasti (wamcakerta).
Aswawarman
berputera tiga orang. Yang sulung bernama Mulawarman, kelak menggantikan
ayahnya, menjadi penguasa Bakulapura. Di bawah pemerintahan Sang Mulawarman,
Bakulapura menjadi makin kuat dan besar. la adalah raja yang sangat berwibawa
dan membawahi kerajaan-kerajaan lain di sekitarnya Persahabatan antara
Bakulapura dengan Tarumanagara, menjadi semakin erat. Duta Bakulapura
ditempatkan di ibukota Tarumanagara dan dernikian pula sebaliknya.
Permaisuri
Sang Purnawarman, adalah puteri salah seorang raja bawahannya. Dari permaisuri
ini, ia memperoleh beberapa orang putera dan puteri. Putera sulungnya, bernama
Wisnuwarman, kelak akan menggantikan kedudukannya sebagai penguasa Tarumanagara
keempat. Adik Wisnuwarman yang perempuan, diperistri oleh seorang raja di
Sumatera. Kelak, Sri Jayanasa, seorang raja besar di pulau itu, adalah
keturunannya. Isteri‑isteri Purnawarman yang lainnya, berasal dari: Sumatera,
Bakulapura, Jawa Timur dan beberapa daerah lainnya.
Sang
Purnawarman adalah pemuja Wisnu. Akan tetapi, penduduk, ada juga yang memuja
Batara Sangkara (Siwa) dan Brahma. Penganut Budha, tidak seberapa banyak.
Kecuali di Pulau Sumatera. Penduduk pribumi, kebanyakan tetap memuja roh
leluhur (pitarapuja),
menurut adat yang diwarisi nenek moyangnya. Sang Purnawarman, menyusun
bermacam-macam pustaka yang berisi: Undang undang kerajaan; Peraturan
Ketentaraan; Siasat Perang; Keadaan Daerah‑Daerah di Jawa Barat; Silsilah
Dinasti Warman; Kumpulan Maklumat Kerajaan dan lain‑lain.
Sri
Maharaja Purnawarman, wafat pada tanggal 15 bagian terang bulan Posya tahun 356
Saka (24 November 434 Masehi) dalam usia 62 tahun. Ia dipusarakan di tepi
Citarum, sehingga mendapat sebutan Sang Lurnah Ing Tarumanadi (yang dipusarakan
di Citarum).
Pada
saat Sri Maharaja Purnawarman wafat, kerajaan‑kerajaan yang menjadi bawahannya,
adalah sebagai berikut: Salakanagara (Pandeglang), Cupunagara (Subang), Nusa
Sabay, Purwanagara, Ujung Kulon (Pandeglang), Gunung Kidul, Purwalingga
(Purbalingga), Agrabinta (Cianjur), Sabara, Bumi Sagandu, Paladu, Kosala
(Lebak), Legon (Cilegon), Indraprahasta (Cirebon), Manukrawa (Cimanuk), Malabar
(Bandung), Sindang Jero, Purwakerta (Purwakarta), Wanagiri, Galuh Wetan
(Ciamis), Cangkuang (Garut), Sagara Kidul, Gunung Cupu, Alengka, Gunung Manik
(Manikprawata), Gunung Kubang (Garut), Karang Sindulang, Gunung Bitung
(Majalengka), Tanjung Kalapa (Jakarta Utara), Pakuan Sumurwangi, Kalapa Girang
(Jakarta Selatan), Sagara Pasir, Rangkas (Lebak), Pura Dalem (Karawang),
Linggadewata, Tanjung Camara (Pandeglang), Wanadatar, Setyaraja, Jati Ageung,
Wanajati, Dua Kalapa, Pasir Muhara, Pasir Sanggarung (Cisanggarung), Indihiyang
(Tasikmalaya).
Sebagai pengganti Sri Maharaja Purnawannan, putera sulungnya,
Sang Wisnuwarman, dengan nama nobat: Sri Maharaja Wisnuwarman Digwijaya Tunggal
Jagatpati Sang Purandarasutah. la dinobatkan menjadi raja Tarumanagara keempat,
pada tanggal 14 bagian terang bulan Posya tahun 365 Saka (3 Desember 434
Masehi). Memegang pemerintahan di Tarumanagara hingga tahun 377 Saka (455
Masehi).
Digantikan oleh puteranya, Sang
Indrawarman, sebagai raja Tarumanagara kelima, dengan nama nobat: Sri Maharaja
Indrawarman Sang Paramarta Sakti Mahaprabawa Lingga Triwikrama Buanatala. la
memerintah di Tarumanagara hingga tahun 437 Saka (515 Masehi).
Digantikan
oleh puteranya, Sang Candrawarman, sebagai raja Tarumanagara keenam, dengan
nama nobat: Sri Maharaja Candrawarman Sang Hariwangsa Purusakti Suralagawageng
Paramarta. la memerintah di Tarumanagara hingga tahun 457 Saka (535 Masehi).
Digantikan
oleh puterannya, Sang Suryawarman, sebagai raja Tarumanagara ketujuh, dengan
nama nobat: Sri Maharaja Suryawarman Sang Mahapurusa Bimaparakrama Hariwangsa
Digwijaya. la memerintah di Tarumanagara hingga tahun 483 Saka (561 Masehi).
Digantikan
oleh puteranya, Sang Kretawarman, sebagai raja Tarumanagara kedelapan, dengan
nama nobat: Sri Maharaja Kretawarman Mahapurusa Hariwangsa Digwijaya
Salakabumandala. la, memerintah di Tarumanagara hingga tahun 550 Saka (628
Masehi).
Karena
tidak punya keturunan, digantikan oleh adiknya, Sang Sudawarman, sebagai raja
Tarumanagara kesembilan, dengan nama nobat: Sri Maharaja Sudawarman Mahapurusa
Sang Paramartaresi Hariwangsa. Ia memerintah di Tarumanagara hingga tahun 561
Saka (639 Masehi).
Digantikan
oleh puteranya, Sang Dewamurti, sebagai raja Tanunanagana kesepuluh, dengan
nama nobat: Sri Maharaja Dewamurtyatma Hariwangsawarman Digwijaya
Bimaparakrama. la memerintah di Tarumanagara hingga tahun 562 Saka (640
Masehi).
Digantikan oleh puteranya, Sang
Nagajaya, sebagai raja Tarumanagara kesebelas, dengan nama nobat: Sri Maharaja
Nagajayawarman Darmasatya Cupujayasatru. la memerintah di Tarumanagara hingga
tahun 588 Saka (666 Masehi).
Digantikan
oleh puteranya, Sang Linggawarman, sebagai raja Taruma nagara keduabelas,
dengan nama nobat: Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan
Tirtabumi. la memerintah di Tarumanagara hingga tahun 591 Saka (669 Masehi).
la
digantikan oleh menantunya, Sang Tarusbawa, sebagai penerus tahta Tarumanagara,
dengan nama nobat; Sri Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manumanggalajaya
Sundasembawa. Sang Tarusbawa dinobatkan pada tanggal 9 bagian terang bulan
Jesta tahun 591 Saka (18 Mei 669 Masehi). Dalam tahun yang sama, menantu Sang
Linggawarman lainnya, Dapunta Hiyang Sri Jayanasa, dinobatkan sebagai raja
Kerajaan Sriwijaya di Surnatera.
Sang
Tarusbawa bukan keturunan dinasti Warman. Ia dilahirkan di Sunda Sembawa
(Sundapura), sebagai raja keturunan pribumi di kerajaan daerah Sunda Sembawa.
Ketika ia naik tahta, mengganti nama Tarumanagara, menjadi Kerajaan Sunda.
Peristiwa tersebut berakibat fatal. Wilayah timur Tarumanagara, dengan Batas
sungai Citarum, memerdekakan diri, menjadi Kerajaan Galuh, di bawah
pemerintahan Sang Prabu Wretikandayun.
Mengingat
kejayaan Sang Purnawarman, tentu kerajaan bawahannya yang ada di wilayah Banten
(Salakanagara, Ujung Kulon, Kosala, dan Rangkas), memegang peranan penting bagi
Tarumanagara.
II.
MASA KERAJAAN SUNDA
Sebagaimana yang telah
diungkapkan pada bagian terdahulu, masa akhir Tarumanagara (tahun 669 Masehi),
ditandai dengan adanya pewarisan tahta, dari Sang Linggawarman kepada
menantunya, Sang Tarusbawa. Dengan berbagai akibatnya, Sang Tarusbawa merubah
sebutan Tarumanagaia menjadi Kerajaan Sunda. Dari sejak itulah, Kerajaan Sunda,
seharusnya tampil dalam panggung sejarah.
Walaupun
kerajaannya sudah berbagi kekuasaan dengan Sang Wretikandayun, Sang Tarusbawa
masih sempat memberitakan penobatannya sebagai penerus tahta Tarumanagara, ke
berbagai negara sahabat. Oleh sebab itulah, dalam sumber Cina yang terakhir,
menyebutkan "tentang adanya utusan dan Tarumanagara pada tahun 669
Masehi".
Sang
Tarusbawa memiliki pribadi yang cinta damai. la tidak ingin bersengketa dengan
Sang Wretikandayun, walaupun Kerajaan Sunda belum tentu kalah berperang melawan
Kerajaan Galuh. Prinsipnya, "lebih baik memerintah separuh kerajaan yang
tangguh, daripada dipaksakan memerintah keseluruhan dalam keadaan goyah".
Langkah
Sang Tarusbawa berikutnya, memindahkan ibukota kerajaan, dari Sundapura
(Bekasi) ke Pakuan (Bogor). Di sebuah lemah duwur (ketinggian tanah), Sang Tarusbawa
mendirikan lima buah keraton, yang bentuk maupun besarnya sama dalam posisi
berjajar. Keraton tersebut masing-masing diberi nama: Sri Bima, Punta,
Narayana, Madura, dan Suradipati. Sedangkan dalam naskah Carita Parahiyangan menyebutnya:
Sri Kadatwan Bima‑Punta –Narayana- Madura- Suradipati. Setelah keraton selesai
dibangun, kemudian diberkati (diprebokta) oleh Bujangga Sedamanah, di hadapan Sang
Maharaja Tarusbawa. Jumlah 5 keraton tersebut, dalam sastra klasik, sering
disebut Panca Persada.
Sang
Tarusbawa wafat pada tahun 723 Masehi, dalam usia 91 tahun. Sebagai
penggantinya, Sang Sanjaya, sebagai raja Kerajaan Sunda yang kedua, dengan nama
nobat: Maharaja Harisdarma Bimaparakrama Prabu Maheswara Sarwajitasatru
Yudapurnajaya. Setelah 9 tahun berkuasa, pada tahun 654 Saka (732 Masehi),
tahta Kerajaan Sunda dikuasakan kepada puteranya: Sang Tamperan Barmawijaya.
Pelimpahan
kekuasaan kepada puteranya, disebabkan ia menjadi penguasa di tiga kerajaan di
Pulau Jawa (Taraju Jawadwipa):
1. di Kerajaan Galuh, ia
pewaris tahta dari ayahnya Sang Sena, yang terusir oleh Sang Purbasora;
2. di Kerajaan Medang bumi
Mataram (Kalingga Utara) Jawa Tengah, ia pewaris tahta dari ibunya: Sanaha.
Dalam Prasasti Canggal, Sanjaya adalah putera sulung dari perkawinan manu, Sena‑Sanaha;
3. di Kerajaan Sunda, ia
"cucu menantu" Sang Tarusbawa. Sebab, Sang Sanjaya menikah dengan
Sekar Kancana atau Teja Kancana Ayupurnawangi, cucu Sang Tarusbawa. Seharusnya,
yang menjadi pewaris tahta Kerajaan Sunda, adalah ayahnya Teja Kancana, tetapi
ia wafat dalam usia muda.
Setelah peristiwa kudeta berdarah tahta
di Kerajaan Galuh, antara Sang Manarah dengan Sang Sanjaya, akhirnya ditempuh
cara dengan jalan damai. Berdasarkan "Perjanjian Galuh", yang
dipimpin oleh Sang Resiguru Demunawan dari Kerajaan Saunggalah (Kuningan),
akhirnya tahta Kerajaan Sunda, diwariskan kepada Sang Arya Banga. la diwisuda
pada tahun 739 Masehi, sebagai raja ketiga di Kerajaan Sunda, dengan nama
nobat: Prabu Kretabuana Yasawiguna Ajimulya.
Dari
pernikahannya dengan Kancana Sari, Sang Banga mempunyai putera, bernama Rakeyan
Medang. Disebut demikian, karena putera Sang Banga tersebut, pernah berguru di
Medang Bumi Mataram (bekas Kalingga), selama 8 tahun. Raja Medang pada waktu
itu adalah Rakeyan Panangkaran (putera Sang Sanjaya). Rakeyan Medang, menjadi
menteri muda di Kerajaan Sunda selama 3 tahun.
Sang
Banga menjadi raja di Kerajaan Sunda sampai tahun 776 Masehi, kemudian
digantikan oleh Rakeyan Medang, dengan nama nobat Prabhu Hulukujang. Dari
permaisurinya, Prabu Hulukujang mempunyai seorang puteri, kemudian diberi nama
Dewi Samatha. Puteri tersebut diperisteri oleh Rakeyan Hujungkulon. Setelah
Prabu Hulukujang wafat, digantikan oleh menantunya, Rakeyan Hujungkulon, dengan
nama nobat Prabu Gilingwesi.
Adik
Rakeyan Hujungkulon (Prabu Gilingwesi) adalah Sang Tariwulan, yang menggantikan
kedudukan ayahnya sebagai raja Kerajaan Galuh, dengan nama nobat Prabu
Kretayasa Dewakusaleswara. Raja Galuh tersebut, memperisteri Dewi Saraswati,
puteri Saung Galah keturunan Resiguru Demunawan.
Setelah
prabu Gilingwesi wafat, digantikan oleh menantunya, Rakeyan Diwus, dengan nama
nobat Prabu Pucuk Bumi Darmeswara, pada tahun 795 Masehi.
Setelah
Prabu Pucuk Bumi Darmaweswara wafat, digantikan oleh puteranya, Rakeyan Wuwus,
yang bernama nobat Prabu Gajah Kulon pada tahun 819 Masehi.
Karena
Prabu Linggabumi (raja Galuh) tidak mempunyai keturunan, ketika ia wafat, tahta
Kerajaan Galuh dipercayakan kepada Prabu Gajah Kulon (raja Kerajaan Sunda).
Dengan demikian, kekuasaan di wilayah Jawa Barat dipegang oleh Prabu Gajah
Kulon keturunan Sang Banga, pada tahun 825 Masehi.
Dari Dewi Kirana, Prabu Gajah Kulon
memperoleh dua orang putera, ialah:
1. Batara Danghiyang
Guruwisuda; dan
2. Dewi Sawitri.
Sebagai
putera laki‑laki, Batara Danghiyang Guruwisuda, pada tahun 852 Masehi,
dipercaya memegang tahta Kerajaan Galuh. Sedangkan Dewi Sawitri, diperisteri
oleh Rakeyan Windusakti, putera Sang Arya Kedaton dan Dewi Widyasari (adiknya
Prabu Gajah Kulon).
Setelah
Prabu Gajah Kulon wafat, tahta Kerajaan Sunda dan Galuh berhasil direbut dan
dikuasai oleh Sang Arya Kedaton, dengan nama nobat Prabu Datmaraksa
Salakabuana. Baru empat tahun memerintah, Prabu Darmaraksa Salakabuana dibunuh,
oleh seorang menteri Kerajaan Sunda. Selanjutnya, tahta kerajaan digantikan
oleh puteranya, Rakeyan Windusakti, dengan nama nobat Prabu Dewageung Jayeng
Buana, yang terpaksa naik tahta pada tahun 895 Masehi.
Dari perkawinannya dengan Dewi
Sawitri, Rakeyan Windusakti (Prabu Dewageung Jayeng Buana), memperoleh dua
orang putera, antara lain:
1. Rakeyan Kamuning Galling;
dan
2. Rakeyan Jayagiri.
3. Prabu Dewageung
Jayeng Buana wafat pada tahun 913 Masehi, kemudian digantikan oleh Rakeyan
Kamuning Galling, dengan nama nobat Prabu Pucukwesi.
Prabu
Pucukwesi memerintah di Kerajaan Sunda-Galuh hanya 3 tahun, sebab pada tahun
916, tahtanya direbut oleh adiknya sendiri, Rakeyan Jayagiri, Rakeyan Jayagiri
naik tahta, dengan nama nobat Prabu Wanayasa Jayabuana.
Di
pihak lain, ketika peristiwa perebutan tahta terjadi, tahta Kerajaan Galuh
sudah diwariskan kepada Rakeyan Jayadrata, cucu Batara Danghiyang Guruwisuda
dari puteri Dewi Sundara.
Pasukan
Kerajaan Sunda, yang ditempatkan di Kerajaan Galuh oleh Prabu Wanayasa
Jayabuana, diperintahkan untuk merebut keraton Galuh. Akan tetapi, berhasil
dikalahkan oleh Rakeyan Jayadrata bersama pasukan Kerajaan Galuh.
Serangan
kedua pasukan Kerajaan Sunda, yang besar dan lengkap, dikerahkan kemudian,
untuk menyerbu Kerajaan Galuh. Serbuan inipun, dapat ditangkis dan dihancurkan
oleh pasukan Kerajaan Galuh, yang dipimpin langsung oleh Prabu Jayadrata.
Kerajaan
Galuh, membebaskan diri sebagal kerajaan yang merdeka, di bawah naungan Prabu
Jayadrata. la adalah kakak ipar Rakeyan Limbur Kancana. Rakeyan Limbur Kancana,
putera Rakeyan Kamuning Gading (Prabu Pucukwesi), yang dibunuh oleh adiknya,
Rakeyan Jayagiri.
Karena
Kerajaan Galuh sudah membebaskan diri (merdeka), Rakeyan Jayagiri atau Prabu
Wanayasa Jayabuana, hanya memerintah di wilayah Kerajaan Sunda, sebelah barat
Citarum. Prabu Wanayasa Jayabuana, berkuasa di kerajaan Sunda sampal tahun 920
Masehi, karena dibunuh dan digulingkan, oleh Rakeyan Umbur Kancana, atas
perintah Prabu Jayadrata.
Di
Kerajaan Galuh, kekuasaan telah diwariskan kepada Rakeyan Harimurti, putera
Prabu Jayadrata yang berkuasa tahun 949 Masehi. Karena Rakeyan Limbur Kancana
terhitung pamannya Rakeyan Harimurti, akhirnya Kerajaan Galuh dan Kerajaan
Sunda, damai kembali.
Sebagai
tindakan balas dendam, Ketika Prabu Limbur Kancana sedang bertamu di Kerajaan
Galuh, dibunuh oleh seseorang, atas perintah Dewi Ambawati, puteri Rakeyan
Jayagiri (Prabu Wanayasa Jayabuana). Tahta Kerajaan Sunda, beralih ke Rakeyan
Watuageng, suanii Dewi Ambawati, bernama nobat Praburesi Atmayadarma
Hariwangsa, naik tahta pada tahun 930 Masehi.
Prabu
Limbur Kancana, berputera dua orang, di antaranya:
1. Rakeyan Sunda Sembawa; dan
2. Dewi Somya.
Rakeyan
Sunda Sembawa, berhasil merebut tahta Kerajaan Sunda dari Praburesi Atmayadarma
Hariwangsa, kemudian ia naik tahta, dengan nama nobat: Prabu Munding Ganawirya
Tapakmanggala atau Prabu Medang Gana. Karena semua puteranya meninggal
mendahuluinya, ketika Prabu Munding Ganawirya wafat, ia digantikan oleh Rakeyan
Wulung Gadung.
Rakeyan
Wulung Gadung adalah suami Dewi Somya. Dewi Somya, adik ipar Rakeyan Sunda Sembawa,
menantu Prabu Limbur Kancana. Rakeyan Wulung Gadung bertahta di Kerajaan Sunda,
dari tahun 973 sampai 989 Masehi.
Prabu
Wulung Gadung, ketika wafat, digantikan oleh puteranya dari Dewi Somya, Rakeyan
Gendang, dengan nama nobat Prabu Brajawisesa.
Putera
Prabu Brajawisesa ada dua orang, di antaranya:
1. Prabu Dewa Sanghiyang,
calon pengganti ayahnya; dan
2. Dewi Rukmawati, yang
dijadikan permaisuri oleh Prabu Linggasakti Jayawiguna, yang bertahta di
Kerajaan Galuh, dari tahun 988 sampal 1012 Masehi.
Pada tahun 1012 Masehi, Prabu
Brajawisesa wafat, digantikan oleh Prabu Dewa Sanghiyang. Prabu Dewa
Sanghiyang, bekuasa atas Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda, bergelar Maharaja.
Sebagai wakil dirinya di Kerajaan Galuh, mengangkat keponakannya, Prabu
Resiguru Darmasatyadewa, yang berkuasa sampai tahun 1027 Masehi.
Setelah Maharaja Dewa Sanghiyang
wafat, digantikan oleh puteranya, Prabu Sanghiyang Ageung. la berkuasa atas
tahta Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh, dan menyandang gelar Maharaja. Sebagai
penguasa di wilayah Kerajaan Galuh, dipercayakan kepada adik isterinya, yaitu
Dewi Sumbadra. Bersama‑lama, keduanya memerintah, dimulal pada tahun 1019
Masehi.
Sang
Maharaja Sanghiyang Ageung wafat pada tahun 1030 Masehi. Sedangkan Dewi
Sumbadra, memerintah di Kerajaan Galuh, sampai tahun 1065 Masehi.
Setelah
Sang Maharaja Sanghiyang Ageung wafat, penggantinya adalah Sri Jayabhupati,
dengan nama lain Prabu Ditya Maharaja. Gelar panjang Sri Jayabhupati Maharaja:
Jayabhupati Jaya Manahen Wisnumurti Samarawijaya-calakabhuana-mandalecwaranindita
Harogowardhana wikramottunggadewa. Gelar corak Keraton Jawa Timur itu, adalah
hadiah perkawinan dari mertuanya, Sri Dharmawangsa Teguh. Hadiah nama gelar
semacam itu, diterima pula oleh Prabu Airlangga, menantu Sri Darmawangsa Teguh
lainnya, dan digunakan sebagai gelar resmi, setelah Prabu Airlangga menjadi
raja.
Sebagai
pengganti Sri Jayabhupati, adalah Sang Darmaraja, dengan nama nobat: Prabu
Darmaraja Jayamanahen Wisnumurtti Sakalasundabuana. Ketika mengawali masa
pemerintahannya, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Sang Wikramajaya,
Panglima Angkatan Laut Kerajaan Sunda.
Sang
Wikramajaya, berusaha merebut kekuasaan, dari tangan saudara seayahnya. Akan
tetapi, pemberontakannya dapat ditumpas, kemudian ia meloloskan diri ke
Kerajaan Sriwijaya. Untuk jabatan Panglima Angkatan Laut, ditunjuk Sang
Wirakusuma, atas jasa kesetiaannya kepada Maharaja Darmaraja.
Dari
pernikahannya dengan Dewi Surastri, Sang Maharaja Darmaraja beputera beberapa
orang, tiga di antaranya ialah:
1. Prabu Langlangbumi, putera
mahkota calon pengganti ayahnya;
2. Darmanagara, menjadi
Mangkubumi kerajaan; dan
3. Wirayuda, menjadi
Panglima Angkatan Perang.
Salah seorang putera Sri Jayabhupati
dari Dewi Pertiwi, adalah Sang Resiguru Batara Hiyang Purnawijaya. la berputera
beberapa orang, dua di anataranya ialah:
1. Dewi Puspawati; dan
2. Dewi Citrawati.
Dewi Puspawati dipersiteri oleh
Prabu Langlangbumi, sedangkan Dewi Citrawati juga mengharapkan menjadi isteri Prabu
Langlangbumi. Oleh karena itu, timbal hasrat Dewi Citrawati untuk membunuh
kakaknya.
Melihat
adanya perselisihan di antara kedua puterinya Sang Purnawijaya segera
bertindak, mengawinkan Dewi Citrawati kepada Resiguru Sudakarenawisesa,
penguasa Kerajaan Galunggung. Akan tetapi, setelah perkawinannya dengan Dewi
Citrawati, Sang Resiguru Sudakarenawisesa menyerahkan tahtanya kepada
isterinya. Sang Resiguru Sudakarenawisesa memilih jalan hidupnya mertdalami
keagamaan.
Di
pedesaan antara wilayah Galuh, Sunda, dan Galunggung, tingkat keamanannya
menjadi rawan, akibat ulah kawanan perampok. Kerawanan tersebut menyebabkan
perselisihan, antara Prabu Langlangbumi dengan penguasa Galunggung, yaitu Dewi
Citrawati, yang nama nobatnya Batari Hiyang Janapati.
Selama
memegang kekuasaan di Galunggung, Sang Ratu Batari Hiyang merasa cemas, akan
kemungkinan serangan dari Kerajaan Sunda, karena dendam dirinya kepada Prabu
Langlangbumi tak pernah padam. Untuk mencegah kemungkinan tersebut, Ratu Batari
Hiyang, membentuk angkatan perang, membangun parit pertahanan yang kuat
(nyusuk). Kemudian, Galunggung, dijadikan sebagal ibukota Kerajaan Galuh.
Selesai membangun ibukota yang baru, Sang Ratu Batari Hiyang membuat prasasti,
yang kemudian dikenal sebagai Prasasti Geger Hanjuang.
Sebenarnya,
Sang Maharaja Langlangbumi, tidak ada niat untuk menyerang Kerajaan Galunggung.
Akan tetapi, kalau tidak segera diatasi, akan jadi duri dalam daging. la pun
tidak menghendaki, timbulnya perpecahan, di antara keturunan Sri Jayabhupati.
Tindakan
Sang Maharaja Langlangbumi untuk "menjinakan" Batari Hiyang, dengan
cara mengadakan pendekatan, melalui Batara Hiyang Purnawijaya (ayahnya Batari
Hiyang), bersama Panglima Suryanagara (pamannya Sang Maharaja Langlangbumi).
Kemudian ditempuh jalan damai, yang dihadiri oleh kedua belah pihak.
Perundingan jalan damai tersebut dihadiri oleh: Batara Guru Hiyang Purnawijaya,
Senapati Suryanagara, Resiguru Sudakarena, Dahiyang Guru Darmayasa, Senapati
Kusumajaya, Maharaja Langlangbumi, Mangkubumi Darmanagara, Senapati Wirayuda,
Yuwaraja Menak Luhur, Permaisuri Puspawati, Batari Hiyang Janapati Ratu
Galunggung (Dewi Citrawati), dan beberapa raja dari daerah bawahan Sunda dan
Galuh.
Hasil
perundingan jalan damai akhirnya membuahkan kesepakatan, dengan membagi wilayah
kekuasaan:
1. Sebelah barat sebagal
Kerajaan Sunda, di bawah kekuasaan Prabu Langlangbumi.
2. Sebelah timur sebagal
Kerajaan Galuh, di bawah kekuasaan Ratu Batari Hiyang Janapati, dengan
ibukotanya di Galunggung.
Dari pernikahannya Dewi Puspawati,
Prabu Langlangbumi berputera beberapa orang, dua di antaranya:
1. Rakeyan Jayagiri atau Prabu
Menakluhur; dan
2. Sang Cakranagara,
menjadi Mangkubumi.
Prabu
Langlangbumi lahir tahun 1038 Masehi, wafat tahun 1155 Masehi. la memerintah di
Kerajaan Sunda selama 90 tahun. Sebagal penggantinya, puteranya, Prabu
Menakluhur.
Prabu
Menakluhur, memperisteri Ratna Satya, dan dijadikan permaisuri. Dari
perkawinannya, mempunyai seorang puteri, Ratna Wisesa.
Ratna
Wisesa diperisteri oleh Prabu Darmakusuma, cucu Batari Hiyang Janapati, Ratu
Galunggung. Dari pernikahannya dengan Ratna Wisesa, Prabu Darmakusuma
memperoleh putera, Darmasiksa.
Karena
Prabu Menakluhur dan Mangkubumi Cakranagara wafat pada tahun yang sama, maka
kedudukan Raja Sunda, dipercayakan kepada Prabu Darmakusuma. la bergelar
Maharaja, karena berkuasa atas tiga kerajaan: Galunggung, Galuh dan Sunda.
Sang
Darmasiksa, tahun 1175 Masehi, menggantikan tahta ayahnya, dengan nama nobat:
Prabu Guru Darmasiksa Paramarta Sang Mahapurusa atau Sang Prabu Sanghyang
Wisnu. la memerintah Kerajaan Sunda (termasuk Galuh dan Galunggung), beribukota
di Saunggalah (Kuningan). Kemudian, kedudukan pusat pemerintahan, tahun 1187
Masehi, pindah ke Pakuan (Bogor).
Prabu
Darmasiksa mempunyai 3 orang isteri, yaitu:
1. Puteri Saungggalah,
memperoleh putera: Rajapurana, lahir tahun 1168 Masehi;
2. Puteri Darmageng,
memperoleh putera, di antaranya Ragasuci yang bergelar Rahiyang Saunggalah;
3. Puteri Swarnabumi
(Sumatera) turunan penguasa Sriwijaya, memperoleh putera, Rahiyang Jayagiri
atau Rahiyang Jayadarma.
Rahiyang Jayadarma berjodoh dengan
Dewi Naramurti, yang bergelar Dyah Lembu Tal, puterinya Mahisa Campaka,
penguasa dari kerajaan di Jawa Timur. Dari perkawinanrrya dengan Dyah Lembu
Tal, Rakeyan Jayadarma memperoleh putera, Rakeyan Wijaya atau Sang Nararya
Sanggramawijaya (Dalam Sejarah Jawa Timur, Rakeyan Wijaya lebih dikenal dengan
sebutan Raden Wijaya).
Rahiyang
Jayadarma, tidak sempat menjadi Raja, disebabkan wafat muda, dalam usia 44
tahun. Oleh karena itu, Dyah Lembu Tal bersama puteranya (Raden Wijaya), pulang
ke Tumapel Jawa Timur.
Setelah
dewasa, Rakeyan Wijaya alias Raden Wijaya, diangkat menjadi Senapati Kerajaan
Singhasari. Kelak, ia dikenal sebagai pendiri Kerajaan Wilwatikta atau Kerajaan
Majapahit.
Sang
Ragasuci atau Rahiyang Saunggalah, berjodoh dengan Dara Puspa, adiknya Dara
Kencana (isteri Prabu Kretanagara raja Singhasari).
Dari
perkawinannya dengan Dara Puspa, Rahiyang Saunggalah berputera: Citraganda.
Rahiyang Saunggalah, menjadi Raja Sunda hanya 9 tahun (1297‑1303 Masehi).
Karena sebelumnya, Prabu Darmasiksa, dikaruniai umur panjang, menjadi raja di
Kerajaan Sunda, satu seperempat abad lamanya (1175‑1297 Masehi).
Pengganti
Prabu Ragasuci, puteranya, Prabu Citraganda. Permaisuri Prabu Citraganda, Dewi
Antini, adalah puterinya Prabu Rajapurana. Sedangkan Prabu Rajapurana, adalah
putera Prabu Guru Darmasiksa, dari Puteri Saunggalah.
Prabu
Citraganda memerintah di Kerajaan Sunda (termasuk Galuh dan Galunggung) sampai
tahun 1311 Masehi. Pengganti Prabu Citraganda, puteranya, Prabu Linggadewata.
la memegang kekuasaan di Kerajaan Sunda, sampai tahun 1333 Masehi.
Sebagai
pengganti Prabu Citraganda, adik iparnya, Prabu Ajiguna Linggawisesa. Karena, Prabu
Ajiguna Linggawisesa, menikah dengan adiknya Prabu Citraganda: Ratna
Umalestari. Pada masa pemerintahannya, ibukota Kerajaan Sunda beralih, dari
Pakuan (Bogor) ke Kawali (Ciamis). Dari pernikahannya dengan Uma Lestari, Prabu
Ajiguna Linggawisesa memperoleh putera, di antaranya:
1. Ragamulya Luhur Prabawa,
atau Aki Kolot;
2. Dewi Kiranasari,
diperisteri oleh Prabu Arya Kulon;
3. Suryadewata, leluhur
Kerajaan Talaga (Majalengka).
Prabu Ajiguna Linggawisesa wafat
tahun 1340 Masehi. Kemudian digantikan oleh puteranya, Prabu Ragamulya Luhur
Prabawa, yang memerintah di Kerajaan Sunda sampai tahun 1350 Masehi.
Prabu Ragamulya Luhur Prabawa,
digantikan oleh puteranya, Prabu Linggabuana, dengan nama nobat: Prabu Maharaja
Linggabuana. la dinobatkan pada tanggal 14 bagian terang bulan Palguna tahun
1272 Saka (22 Pebruari 1350 Masehi). Dalam melaksanakan pemerintahan
sehari-hari, didampingi oleh adiknya, Sang Bunisora, yang bergelar Mangkubumi
Saradipati.
Dari
Sang Permaisuri Dewi Lara Linsing, Prabu Maharaja Linggabuana memperoleh
putera:
1. Dyah Pitaloka, lahir tahun
1339 Masehi, oleh kakeknya diberi nama Citraresmi;
2. Putera kedua laki‑laki,
meninggal dalam usia 1 tahun;
3. Putera ketiga laki‑laki,
meninggal dalam usia 1 tahun;
4. Wastu Kancana, lahir
tahun 1348 Masehi.
Tibalah saat yang bahagia, karena
Sang Puteri Dyah Pitaloka, menginjak usia 18 tahun, dan dilamar oleh Bhre
Wilwatikta: Prabu Hayam Wuruk.
Sang
Prabu Linggabuana Maharaja Sunda, akan mengadakan pesta perkawinan puterinya di
Majapahit. Demikianlah, menurut keinginan sang Maharaja Majapahit Prabu Hayam
Wuruk.
Setiba
di sana, puteri mahkota Sunda itu, ternyata harus diserahkan kepada Bre Prabu
Majapahit, sebagai isteri persembahan (upeti). Sesungguhnya, hal itu amat
bertentangan, dengan janji Bre Majapahit sendiri. Karena itu, Prabu Maharaja
Sunda, tidak bersedia menyerahkan puterinya.
Sesungguhnya,
sebelumnya, Bre Prabu Majapahit sudah menjanjikan, bahwa sang puteri
Citraresmi, akan diperisteri (resmi), dan dijadikan permaisuri. Akan tetapi,
janji tersebut tidak ditepatinya. Bahkan ia, sepertinya ingin menguasai negeri
Sunda di Jawa Barat.
Sesungguhnya, hal itu, hanya ulah dan
kehendak Sang Patih Mada. Sang Prabu Hayam Wuruk, selalu menyetujui keinginan
Patihnya. Semua orang mengetahui, bahwa yang menyakiti hati orang Sunda itu,
adalah Sang Patih Mada.
Utusan
Sang Prabu Maharaja Sunda, dengan Sang Patih Gajah Mada, sama‑sama mengeluarkan
perkataan yang tidak layak. Akhirnya, meluaplah hati Sang Patih Mada. la
menjadi berang, lalu memerintahkan laskar Majapahit, siap untuk bertempur.
Semua
pasukan Majapahit, mengenakan pakaian perang dan membawa berbagai macam
senjata. Di antara mereka, ada yang menunggang gajah, ada yang berkuda, ada
yang naik kereta, dan beberapa ratus orang berjalan kaki, dengan persenjataan
lengkap.
Sang
Prabu Maharaja termenung sejenak, lalu menundukkan kepala. Hatinya cemas dan
ragu‑ragu. Betapapun, tidak mungkin para kesatria Sunda memenangkan
pertempuran, melawan angkatan perang Majapahit yang sedemikian besar jumlahnya.
Namun seandainya mereka kalah dan gugur, kehormatanlah yang harus
dipertaruhkan.
Lalu
berkumpullah orang-orang Sunda, semuanya hanya 98 orang, di Panaggrahan (kemah)
tempat Sang Prabu Maharaja. Mereka bermusyawarah dan sepakat untuk menyongsong
musuh. Sang Prabu Maharaja dan para pengiringnya, tidak sudi dihinakan dan
diperintah oleh Raja Majapahit.
Kemudian
Sang Prabu Maharaja Linggabuana berseru kepada semua pengiringnya. Beginilah
ujarnya "Walaupun darah akan mengalir bagaikan sungai di palagan Bubat
ini, namun, kehormatanku dan semua kesatria Sunda, tidak akan membiarkan
pengkhianatan terhadap negara dan rakyatku. Karena itu, janganlah kalian
bimbang!"
Kemudian,
tibalah pasukan besar Majapahit, yang dipimpin langsung oleh Sang Patih Mada,
sebagai panglima perang. Pengecut perbuatannya, menyerang raja Sunda bersama
pengiringnya, yang hanya beberapa puluh orang jumlahnya.
Orang Sunda serempak menyongsong lawan.
Pertempuran berlangsung sengit. Namun akhirnya, semua orang Sunda yang ada di
sana gugur, oleh Sang Patih Gajah Mada bersama pasukannya. Kemudian, Sang Ratna
Citraresmi, melakukan mati‑bela (bunuh diri).
Adapun para pembesar dan pengiring kerajaan
Sunda yang gugur di palagan Bubat, masing‑masing ialah: Rakeyan Tumenggung Larang Ageng; Rakeyan Mantri Sohan; Yuwamantri
(menteri muda) Gempong Lotong; Sang Panji Melong Sakti; Ki Panghulu Sura;
Rakeyan Mantri Saya; Rakeyan Rangga Kaweni; Sang Mantri Usus (Bayangkara Sang
Prabu); Rakeyan Senapatiyuda Sutrajali; Rakeyan Juru Siring; Ki Jagat Saya
(Patih Mandala Kidul); Sang Mantri Patih Wirayuda; Rakeyan Nakoda Braja
(Panglima Angkatan Laut Sunda); Ki Nakoda Bule (pemimpin jurumudi kapal perang
kerajaan); Ki Juru Wastra; Ki Mantri Sebrang Keling; Ki Mantri Supit
Kelingking. Kemudian Sang Prabu Maharaja Linggabuana Ratu Sunda, Rajaputri Dyah
Pitaloka, bersama semua pengiringnya.
Tetapi bumi Sunda tidak dikuasai oleh
kerajaan Majapahit (tathapyan mangkana sundhabhumi tan kalindih dening rajya
wilwatikta). Mereka tidak menyerang Kerajaan Sunda. Hasrat mereka menyerang
Tatar Sunda tidak kesampaian.
Peristiwa orang Sunda di Bubat itu
(pasunda bubat), usai terjadi sebelum tengah hari. Semua orang Sunda, yang
datang di Bubat, binasa, tidak seorangpun yang tersisa.
Ketika perang di palagan Bubat berlangsung,
yaitu pada hari Selasa Wage tanggal 4 September 1357 Masehi, putra mahkota Sang
Niskala Wastu Kancana, baru berusia 9 tahun. Oleh karena itu, pemerintahan
Kerajaan Sunda, untuk sementara dipegang oleh Mangkubumi (Sang Bunisora),
dengan nama nobat: Prabu Guru Pangadiparamarta Jayadewabrata.
Dalam
menjalankan pemerintahan, Sang Bunisora, cenderung sebagai raja pendeta, yang
diwarnai suasana religius. Dalam naskah Carita
Parahiyangan, Sang Bunisora, disebut sebagai Satmata. la dikenal
pula dengan gelar Sang Bataraguru di Jampang.
Menurut
naskah Kropak 630, tingkat batin manusia dalam keagamaan (Sunda) adalah: acara,
adigama, gurugama, tuhagama, satmata, suraloka, dan nirawerah. Satmata adalah
tingkatan ke‑5, merupakan tahap tertinggi, bagi seseorang yang masih ingin
mencampuri urusan duniawi. Setelah mencapai tingkat ke-6 (Suraloka), orang
sudah sinis terhadap kehidupan umum. Pada tingkatan ke‑7 (Nirawerah), padamlah
segala hasrat dan nafsu, seluruh hidupnya pasrah kepada Hiyang Batara Tunggal
(Tuhan Yang Esa).
Dari
permaisuri Laksmiwati, Sang Bunisora mempunyai putera, di antaranya;
1. Giridewata atau Ki Gedeng
Kasmaya, kelak menjadi raja daerah di wilayah Cirebon Girang;
2. Bratalegawa, kelak
memeluk agama Islam dan menjadi haji pertama di Jawa Barat, sehingga ia
terkenal dengan julukan Haji Purwa Galuh;
3. Banawati, kelak
menjadi Ratu di wilayah Galuh; dan
4. Mayangsari, kelak
berjodoh dengan Sang Niskala Wastu Kancana.
Sang Niskala Wastu Kancana, ketika
usianya sudah 20 tahun, memperisteri gadis pilihannya, Ratna Sarkati yang
berusia 19 tahun, puteri Resi Susuk Lampung dari Sumatera Selatan. Setelah satu
tahun, ia memperoleh putera, Sang Haliwungan, yang lahir pada tahun 1369
Masehi.
Pada tahun 1371 Masehi, Sang Niskala
Wastu Kancana memperisteri Dewi Mayangsari (usia 17 tahm), puteri bungsu Sang
Mangkubumi Bunisora. pada tahun yang sama, Sang Bunisora wafat, setelah
memerintah di Kerajaan Sunda, selama 13 tahun 5 bulan lebih 15 hari.
Sang
Niskala Wastu Kancana menggantikannya, naik tahta pada usia 23 tahun, dengan
nama nobat: Mahaprabu Niskala Wastu Kancana atau Praburesi Buanatunggaldewata.
Tentang
masa pemerintahan Mahaprabu Niskala Wastu Kancana, penulis Carita Parahiyangan memberikan
gambaran: "Jangankan manusia. Apah (air), teja (cahaya), bayu (angin),
akasa (langit), serta bu (eter), merasa betah berada di bawah
pemerintahannya".
Sang
Mahaprabu Niskala Wastu Kancana, memerintah di Kerajaan Sunda, selama 103 tahun
6 bulan lebih 15 hari (1371‑1475 Masehi). la wafat dalam usia kurang lebih 126
tahun. la masih sempat mendengar, Majapahit dilanda Perang Paregreg, akibat
perebutan tahta di antara keturunan Prabu Hayam Wuruk, yang terjadi pada tahun
1453 ‑ 1456 Masehi. Akibatnya, selama 3 tahun, Majapahit tidak mempunyai raja.
Di saat Majapahit sedang dilanda kerusuhan, ia sedang menikmati ketenangan dan
kedamaian pemerintahannya, sambil tak henti‑hentinya bertirakat dan beribadah (brata siya puja
tan palum). Setelah wafat, Sang Mahaprabu Niskala Wastu Kancana,
dipusarakan di Nusalarang.
Selama masa pemerintahannya, ada dua
kejadian penting yang patut dicatat, yaitu kedatangan angkatan laut Cina, di
bawah pimpinan Laksamana Ma Cheng Ho, dan kedatangan seorang ulama Islam yang
kemudian mendirikan pesantren pertama di Jawa Barat (Danasasmita, 1984:
42).
Penulis
Carita Parahiyangan menganjurkan: "Sugan aya
nu dek nurutan inya twah nu surup ka Nusalarang. Pakeun heubeul jaya dina
buana, pakeun nanjeur na juritan" (Barangkali ada yang akan mengikuti
perilaku dia yang dipusarakan di Nusalarang. Untuk hidup lama berjaya di dunia,
untuk unggul dalam perang).
Ikhwal Kerajaan Sunda lainnya, tercatat
dalam kaol Cina, antara lain sebagai berikut:
Chu‑fan‑chi adalah buku pertama yang
menyebut (negeri) Sunda dan pelabuhannya. Menurut Chau ju‑kua, Sunda pada waktu
itu takluk pada Sriwijaya atau San-fo‑tsi (Heuken,1999: 24).
Berita tentang Sunda yang dicatat
Chau ju‑kua (1225 Masehi), sesungguhnya kutipan dari catatan Chou Ku‑fei (1178
Masehi), dalarn naskah berita Ling wai‑tai‑ta. Ketika Chou Ku‑fei mencatatnva,
ataupun ketika Chau-Ju‑kua mengutipnya, yang menjadi penguasa di Kerajaan Sunda
adalah: Prabu Guru Darmasiksa Paramarta Sang Mahapurusa atau Sang Prabu
Sanghyang Wisnu (1175‑1297 Masehi). Hanya saja, ketika Chou Ku‑fei mencatat
tentang Sunda, pusat pemerintahan Kerajaan Sunda masih di Saunggalah
(Kuningan). Sedangkan ketika Chau ju‑kua mengutipnya, pusat pemerintahan
Kerajaan Sunda sudah beralih ke Pakuan (Bogor).
Chau
Ju‑kua membubuhkan komentar dalam beritanya, bahwa "Sunda pada waktu itu
takluk pada Sriwijaya atau San‑fo‑tsi". Rupa‑rupanya, catatan Chau ju‑kua
itulah, yang sering menjadi sumber dugaan, "bahwa Sunda pernah ditaklukan
Sriwijaya", sebagaimana yang dikemukakan Bosch ketika membahas Prasasti
Kebonkopi II.
Lain
halnya dengan catatan Pangeran Wangsakerta, dalam pustakanya mengemukakan
adanya kekerabatan Kerajaan Sunda dengan Kerajaan Sriwijaya. Salahsatu
catatannya mengemukakan, bahwa salah seorang isteri Prabu Guru Darmasiksa
Maharaja Sunda, yaitu Dewi Suprabha Wijayatunggadewi, merupakan keturunan Raja
Sriwijaya Sanggaramawijayatunggawarman (1018‑1027 Masehi).
Catatan
Pangeran Wangsakerta lainnya, mengemukakan terjadinya peristiwa pertempuran
armada laut Kerajaan Kadiri dengan armada laut Kerajaan Sriwijaya, yang
berlangsung seru di perairan Kerajaan Sunda sebelah barat (perairan Banten).
Pertempuran tersebut, diakhiri oleh kedua belah pihak, setelah masing masing
mengundurkan diri. Kedua-duanya menderita kerusakan berat, tanpa diketahui,
siapa yang menang dan siapa yang kalah.
Dalam masa "gencatan senjata",
Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Kadiri, masing‑masing mengirimkan utusan ke
negeri Cina, meminta bantuan dan perlindungan.
Kaisar
(Raja) Cina membalas kedua surat tersebut, dengan isi yang sama, antara lain:
1. Kedua pihak harus
mengakhiri permusuhan dan menempuh jalan damai;
2. Tempat perdamaian
ditentukan di Sundapura (Sunda Sembawa, bekas ibukota Tarumanagara); dan
3. Perdamaian dipimpin oleh
Duta Cina, serta disaksikan utusan negara sahabat dari kedua pihak yang
bersengketa, termasuk saksi tuan rumah: Prabu Guru Darmasiksa Maharaja Sunda.
Upaya penyelesaian jalan damai,
berlangsung di Sundapura (Bekasi) pada tahun 1182 Masehi, dengan hasil persetujuan
yang disepakati bersama, bahwa "Sriwijaya dan Kadiri, masing-masing hanya
boleh bergerak di kawasan sebelah barat dan timur wilayah Nitsantara".
Kemudian
Kerajaan Sunda serta kaitannya dengan Banten, dibahas pula oleh para akhli,
antara lain sebagai berikut:
Banten
dinamakan Sunda selama empat abad berturut‑turut, baik oleh orang Cina
(misalnya dalam teks Chan Ju‑kua dan dalam Sunfeng xiansong, yang menyebut
Banten sebagai "wan‑tan" dan "shun‑t'a") maupun oleh orang
Arab pada awal abad ke‑16 (misalnya Ibn Majid dan Sulaiman) (Guillot,1996:119).
"Banten dinamakan Sunda",
demikian ungkap Guillot, Kalau diberi makna yang lebih jembar (luas), Banten
adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Sunda. Dalam catatan kaki,
Guillot memberikan petunjuk: Hendaknya
digarisbawahi bahwa dalam naskah inilah nama tempat "Banten" (wan‑tan),
muncul untuk pertama kali dalam sumber tulisan, apapun bahasanya(Guillot,1996:119).
Catatan
Cina lainnya memberitakan tentang Kerajaan Sunda dan Bantennya, antara lain sebagai
berikut:
Dalam perjalanan ini dari Shun‑t'a ke
timur sepanjang pantai utara Jawa, kapal‑kapal menuju arah 97,5 derajat selama
tiga penjagaan untuk sampai ke gunung Chia‑lie‑pa (= kalapa); lalu mereka
menyusuri pantai (lewat Tanjung Indramayu), dan menuju arah 187,5 derajat
selama empat penjagaan sampal tiba di Che‑li‑wen (Cirebon).
Kapal‑kapal dari Wan‑tan (Banten)
menuju arah timur sepanjang pantai utara Jawa, melalui Chia‑liu‑pa (Kelapa),
Tanjung Chiao‑ch'iang‑wan (Tanjung Indramayu) dan Che‑li‑wen (Cirebon)
(Heuken,1999: 107).
Cina mencatat pelabuhan‑pelabuhan
besar dan penting yang ada di Kerajaan Sunda: Wan‑tan (Banten); Chia‑lie‑pa
(Kalapa, Jakarta), Tanjung Chio‑ch'iang‑wan (Tanjung Indramayu) dan Che‑li‑wen
(Cirebon). Pelabuhan Banten dimaksud, dibahas pula oleh Heuken, antara lain
sebagal berikut:
Chu‑fan-chi adalah buku perlama yang
menyebut (negeri) Sunda dan pelabuhannya. Menurut Chau Ju‑kua, Sunda pada waktu
itu takluk pada Sriwijaya atau San‑fo‑tsi. Pelabuhan yang dimaksud oleh Chau Ju‑kua
itu menurut Rouffaer (1921) mungkin merupakan kampung Kapalembangan di Banten
(Heuken,1999: 24).
Kapalembangan diinaksud, boleh,jadi
sama dengan catatan Portugis, yang tercantum dalam peta tahun ± 1540 Masehi
(kini tersimpan dalam herzog August Bibliothek di Wolfenbuttel, Jerman), atas
dua nama Palambam dan Palibam di wilayah pesisir barat Banten.
CATALAN PARA AKHLI
Kajian para akhli tentang Banten Girang,
telah sering dilakukan, terutama melalui penelitian arkeologi. Akan tetapi,
jalan untuk menuju ke Banten Girang, belum menemui titik terang, masih dilanda
kegelapan. Claude Guillot, Lukman Nurhakim, dan Sonny Wibisono, telah berupaya
mengungkapkan hasil penelitiannya melalui buku Banten Sebelurn Zarnan Islam; Kajian Arkeologi di Banten Girang 932? ‑
1526 (Penerbit
Bentang, 1996). Sangat menarik, penampilan angka tahun dalam judul buku
tersebut, yaitu 932 yang dibubuhi tanda tanya (?). Artinya, angka tahun
tersebut, oleh Claude Guillot dan kawan‑kawan, masih diragukan atau perlu
diteliti lebih lanjut"
Claude Guillot dan kawan‑kawan menampilkan
angka tahun 932?, berdasarkan hasil kajian epigrafi Bosch, antara lain sebagal
berikut:
Sebuah prasasti berbahasa Melayu Kuno yang
ditemukan di Kebonkopi, yaitu prasasti II (dinamakan demikian untuk membedakannya
dengan prasasti dari tempat yang sama yang berasal dari masa Kerjaan Taruma)
memberitahukan "pemulihan kembali Raja Sunda" (barpulihkan haji
Sunda). Prasasti tersebut telah dipelajari dan diterbitkan oleh Bosch, yang
menafsirkan tahunnya berdasarkan sebuah candrasangkala, yaitu 932 M (854 S)
(Guillot,1996:111).
Dari prasasti Kebonkopi II hasil kajian
Bosch itulah, angka tahun (titimangsa) Banten Girang dijadikan patokan.
Pembuktian arkeologi ditampilkan, sekaligus merupakan daya dukung, untuk memperkuat
suatu anggapan.
Di satu pihak tampak dari analisis
benda‑benda temuan, bahwa Banten Girang didirikan pada abad ke‑10, sedangkan
candi yang terletak di G. Pulasari, melihat arca‑arcanya, dapat ditentukan masa
pembangunannya pada paro pertama abad yang sama. Artinya kedua peristiwa
tersebut sezaman dengan prasasti Kebonkopi II yang memberitahukan berdirinya
sebuah kerajaan di daerah itu (Guillot,1996: 111).
Untuk lebih jelasnya, mengenai prasasti
Kebonkopi II, pernah dibahas oleh Atja dan Edi S. Ekadjati dalam Carita Parahiyangan, Karya Tim
Pimpinan Pangeran Wangsakerta (1989),
antara lain sebagai berikut:
Batutulis ini berbahasa Melayu Kuno,
ditemukan di tepi sawah di desa Kebon Kopi, distrik Leuwiliang, Bogor.
Batutulis ini kini telah hilang. Bosch (1941) mempelajarinya melalui sebuah
foto, yang dimuat dalam Iaporan Kepurbakalaan (O.V 1923, halaman 18, no. 6888).
Prasasti itu dipahatkan pada
permukaan sebongkah batu, yang bentuknya tidak beraturan, terdiri atas 4 baris
huruf, bunyinya demikian:
// ini sabdakalanda rakryan juru panga
mbat i kawihaji panca pasagi marsa
ndeca barpulihkan haji sun‑
nda//
Sebelum memberi tetjemahan, terlebih
dahulu Bosch mengemukakan catatan, antara lain sebagai berikut: sabdakalanda,
adalah kata majemuk tatpurusa; sabda, bunyi, kata, perintah; kala untuk
cakakala atau sakakala, saat yang pantas diperingati, sesuatu untuk
diperingati; akhiran nda menunjukkan prefix honorifix orang ketiga yang
demikian ditemukan pula pada prasasti Talang Tuwo: pranidhananda dan pada
prasasti Gandasuli: namanda dan aya‑nda; pangambat, dengan didahului gelar
rakryan juru menunjukkan, bahwa ia seorang pembesar istana.
Candrasangkala: kawiraja, sepadan
dengan bujangga, bernilai angka 8; panca = 5, dan pasagi, bujur sangkar,
bernilai angka 4. Tetapi berlainan dengan candrasangkala yang lazim, Bosch
menetapkan tidak dibaca dari belakang ke muka (458), karena mengingat bentuk
hurufnya terlalu muda, maka Bosch menetapkan dengan tidak ragu‑ragu, bacaan
yang benar adalah 854 Saka, tetapi biarpun demikian Bosch membuat kekeliruan,
ia menuliskan tahun 942 Masehi, padahal seharusnya 932 Masehi, sebagaimana juga
dikemukakan oleh Satyawati Suleiman (1985).
Setelah memperhatikan terjemahan yang
dikerjakan oleh Bosch, maka terjemahan dalam bahasa Indonesia demikian:
Ini tanda peringatan dari Rakyran Juru
Pengambat, pada tahun 854 Saka (932 Masehi) menetapkan, bahwa Raja Sunda
dikembalikan kepada kedudukannya yang dahulu.
Bunyi prasasti, dianggap oleh Bosch berisi
surat perintah dalam bahasa Melayu‑Kuna, karena itu ia mengajukan dugaan, bahwa
Sunda pada awal abad ke‑10 Masehi, secara kultural dan juga rupa‑rupanya dari
segi politik tunduk kepada kekuasaan kerajaan Sumatera, Sriwijaya (Atja &
Ekadjati,1989:186‑187).
Timbulnya perbedaan anggapan,
diakibatkan oleh kekisruhan dalam menafsirkan Candrasangkala, "Kawihaji
Panca Pasagi" pada Prasasti Kebonkopi II.
1. Bosch menampilkan angka
tahun 854 Saka atau 942 Masehi;
2. Satyawati Suleiman,
menampilkan angka tahun 932 Masehi; dan
3. Guillot menampilkan angka
tahun 932?. Menurut pengakuannya, angka tahun tersebut didapat dari tafsiran
Bosch.
Sebagaimana lajimnya pembacaan
candrasangkala, seharusnya dibaca dan diterjemahkan dari belakang. Sehingga
kawihaji panca pasagi (854), menjadi tahun 458 Saka atau 536 Masehi. Tradisi
tersebut masih digunakan dalam naskah‑naskah Sunda Kuna, yang usianya lebih
muda dari prasasti Kebon Kopi II. Sebagaimana yang terdapat dalam naskah Sanghyang Siksakandang Karesian, Carita Parahiyangan amanit dari
Galunggung, Sewaka Darma.
Peristiwa sejarah, yang ada
hubungannya dengan angka tahun 458 Saka atau 536 Masehi, dapat diteliti melalui
naskah Pustaka
Pararatwan i Bhumi Jawadvripa, parwa I sarga 3, halaman 13‑14,
antara lain sebagai berikut:
.. // hang pnua sang maharaja candraxuarman
makaruck pirang silo / patang silo pantura ring/ prathama sang suryaxuarman
ngaran nira/ ikang uehersatu‑luynrc sang candrawarman angenwsi / sira
gumantyaken ayayah nira dumadi raja tarumanagara / laumsnya nemlikur umrca /
tambaya ning madeg raja yatiku / ing patangatus limang puluh situ / ikang
cakakala / tka ring patangatus unualung puluh telu / ikang cakaka!a / rasika
lawan namacidam sang mahaburusa bhimaparakrama hariwangca digufijayeng 6huuxcna
// putm ping sang candrawarman ikang duritya ya to sang mahisawarnucn nganzn
nira dumadi rajyamatya tarumanagrtara / mruang tritiya sang matsyawarman ngaran
nira / dumadi senapati saruxcjala muxcng caturduc stri ya to deuri bayusari
ngamn ira / pinakstri den ing sang yuunuaraja sakeng rajya pali//
Terjemahannya:
Adapun Sang Maharaja Candrawarman mempunyai
anak beberapa orang. Empat orang di antaranya: pertama Sang Suryawarman
namanya, yang kelak menggantikan ayahanda Sang Candrawarman sebagai Raja
Tarumanagara. la memerintah lamanya 26 tahun, yaitu dari 457 Saka sampai 483
Saka (535 ‑ 561 Masehi), dengan gelar abiseka Sang Mahapurusa Bhimaparakrama
Hariwangsa Digwijayeng Bhuwana.
Putera yang kedua, Mahisawarman namanya,
yang menjadi Menteri Tarumanagara. Yang ketiga, Sang Matsyawarman namanya, yang
menjadi Panglima pasukan laut (senapati sarwajala). Yang keempat perempuan,
yaitu Dewi Bayusari namanya la diperisteri oleh putera mahkota (yuwaraja)
Kerajaan Pali.
Pada prasasti Kebonkopi II, tertulis
pula kalimat "barpulihkan
haji sunda", yang
terjemahan lainnya antara lain: "pengembalian kekuasaan kepada Raja
Sunda". Dalam naskah Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwtpa parwa I sarga 3
halaman 79, ikhwal "Sunda" dijelaskan, antara lain sebagai berikut:
.... / telus karuhun uncs hang ngaran desya
sunda / tatha pi ri sawaka ping rajya taruma// tekwan ringusana kangken ngaran
kithcc sundapara//
Terjemahannya:
Sesungguhnya dahulu telah ada nama daerah
Sunda tetapi menjadi bawahan kerajaan Taruma. Pada masa lalu diberi nama
Sundapura (Kota Sunda).
Dalam prarasti tembaga dari
Kabantenan (abad 15 Masehi), daerah Sunda dimaksud adalah Sunda Sembawa (=
Sunda asal atau Sunda wiwitan), tempat lahir Sang Tarusbawa.
Dengan
demikian, "Barpulihkan Haji Sunda" atau "Pengembalian kekuasaan
kepada Raja Sunda", tentunya dilakukan oleh Sri Maharaja Suryawarman,
setahun setelah dinobatkan (535 Masehi) menjadi penguasa ketujuh Tarumanagara.
Upacara
"barpulihkan" dilakukan di Pasir Muara (Cibungbulang), tidak jauh
dari Prasasti Kebonkopi I "telapak kaki gajah" tunggangan Sri
Maharaja Purnawarman. Dipilihnya lokasi Pasir Muara, tentu ada nilai‑nilai
sakral, sebagai kelanjutan spiritual raja pendahulunya.
Kemudian, digunakannya bahasa Melayu‑Kuna
pada Prasasti Kebonkopi II, tidak berarti Sunda "pernah tunduk"
kepada Sriwijaya, seperti dugaan Bosch, "bahwa Sunda pada awal abad ke‑10
Masehi, secara kultural dan juga rupa‑rupanya dari segi politik, tunduk kepada
kekuasaan kerajaan Sumatera, Sriwijaya". Akan tetapi, lebih disebabkan
oleh adanya kekerabatan, antara Raja Tarumanagara dengan Raja Kerajaan Pali.
Mengingat "Putra Mahkota Raja Pali" (yang mungkin sudah menjadi
"Raja Kerajaan Pali") adalah adik ipar Sri Maharaja Suryawarman,
menghadiri upacara "Barpulihkan", dalam posisi terhormat sebagai
"Rakryan Juru Pangambat".
catatan, menurut Pustaka
Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa
I sarga 3, dalam tahun 422 Saka atau tahun 500 Masehi, Kerajaan Pali terletak
di pulau Sumatera bagian tengah dan utara. Sedangkan Sriwijaya, pada tahun 536
Masehi, masih merupakan kerajaan kecil di Palembang, di bawah kekuasaan
kerajaan Melayu Sribuja. Barulah pada tahun 598 Saka (676 Masehi), Kerajaan
Sriwijaya menaklukkan Kerajaan Pali, dan keluarga keraton Kerajaan Pali
mengungsi ke pulau Bali. Kerajaan Sriwijaya, berhasil menguasai seluruh wilayah
Pulau Sumatera dan Mahasin (Singapura), menjadi kerajaan besar pada tahun 669
Masehi, di bawah pemerintahan Dapunta Hiyang Sri Jayanasa.
Sebagai bukti tidak pernah
"tunduknya Kerajaan Sunda kepada Kerajaan Sriwijaya", ada baiknya
kembali kepada naskah Pustaka
Rajyarajya i Bhumi Nusantana, parwa 11 sarga 3, halaman 176, yang
meriwayatkan kekerabatan Kerajaan Sunda dengan Sriwijaya, antara lain sebagai
berikut:
.... // lawan rajya sunda / rajya criwijaya
wus magaway samaya karwanya tan silih anduni nagara nira sawang sawang/ mwang
atuntunan tangan ing pamitra nira//matangyan duta criwijaya haneng rajya sunda
/ mruang duta sunda haneng rajya criwija‑ya// ....
Terjemahannya:
Dengan kerajaan Sunda, kerajaan Sriwijaya,
telah melakukan perjanjian bersama, untuk tidak saling menyerang negara masing‑masing,
dengan menjalin persahabatan, menempatkan Duta Sriwijaya di kerajaan Sunda,
juga Duta Sunda di kerajaan Sriwijaya.
Pada tahun 669 Masehi, Sri Maharaja
Linggawarman, raja keduabelas Tarumanagara, mengakhiri kekuasaannya. Sebagai
pengganti, Sang Tarusbawa, menantu Sri Maharaja Linggawarman, yang menikah
dengan Dewi Manasih. Adik Dewi Manasih, yaitu Dewi Sobakancana, diperisteri
oleh Dapunta Hiyang Sri Jayanasa, raja Sriwijaya.
Berakhirnya pemerintahan Sri
Maharaja Linggawarman, menandai pula berakhirnya kekuasaan Dinasti Warman di
Tarumanagara, karena nama kerajaan tersebut, oleh Sri Maharaja Tarusbawa,
diganti sebutannya menjadi Kerajaan Sunda. Pergantian nama kerajaan,
disebabkan, Sang Tarusbawa merasa perlu mengabadikan tempat kelahirannya, Sunda
Sembawa (Bekasi). Guillot berupaya mencari jejak kebesaran Hinduisme di Banten
Girang, tapi yang ditemukannya Sanghiyang Dengdek, yang tidak dapat dijadikan
tiang penyangga hasil penelitiannya. Kekecewaan Guillot, terungkap dalam tulisannya:
Sulit dibayangkan bahwa negeri yang
terbuka ke dunia luar, seperti Banten Girang, dapat puas dengan gaya primitif
dan "kampungan" dari area menhir itu (Guillot, 1996:100).
Dengan demikian Banten Girang yang ditelusuri
oleh Claude Guilot, semakin samar untuk ditemukan. Kehadiran Salakanagara,
Tarumanagara, Kerajaan Sunda, dan Kerajaan Sunda Pajajaran di atas pentas
sejarah, tidak ia hiraukan.
Taruhan Bola |
No comments:
Post a Comment