Sunday 16 August 2015

Sejarah Kerajaan Sunda | Part 3

TATAR SUNDA MASA SILAM



I.            MASA TARUMANAGARA 

Halwany Michrob, dalam buku Catatan Masa Lalu Banten, mengemukakan pendapatnya, antara lain sebagai berikut:

          Dengan ditemukannya Prasasti Munjul, yang terletak di tengah Sungai Cidangiang, Lebak Munjul, Pandeglang, berita tentang Banten dapat lebih diperjelas lagi. Prasasti ini, yang diperkirakan berasal dari abad V, bertuliskan huruf Pallawa dengan bahasa Sanskerta menyatakan bahwa raja yang berkuasa di daerah ini adalah Purnawarman. Ini berarti bahwa daerah kuasa Tarumanagara sampai juga ke Banten, dan diceritakan pula bahwa negara pada masa itu dalam kemakmuran dan kejayaan (Michrob,1993: 37).

          Untuk melengkapi Tarumanagara yang dikemukakan oleh Halwany Michrob, riwayat dapat diikuti melalui naskah Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I sarga 1, halaman 771, antara lain sebagai berikut:

.. // ri bharatanagari rruang wamca athawa nuang rajya / calankayanawanica mwaug pallowamca / zoos inalahaken ri yuddhakala de nira samudraghupta maharaja maurya //sang ghuptaneher mahakawaca sx ra i bhumi bharata // makaswabhawa nira tan kenah / nist7snagalak ring eatru nira yeku sang alah // matangyan sekopayanya kulawandha mwang pirang sikyamutya mwang janapa sakeng kanwa wamcanung kasoran fi yuddkakala akweh pantaranya manigit angluru cesa ning pejah //..

Terjemahannya:

Di negeri India dua keluarga atau dua kerajaan yaitu keluarga Calankayana dan Pallawa telah dikalahkan dalam perang oleh Samudragupta Maharaja Maurya. Sang Gupta lalu menjadi yang paling berkuasa di India. Perangai tidak layak, kejam tidak mengenal belas kasihan terhadap musuh yang telah dikalahkannya. Oleh karena itu keluarga, para pembesar dan penduduk dari kedua kerajaan yang kalah perang itu berupaya melarikan diri mencari keselamatan.

          Perang itu terjadi tahun 267 Saka (345 Masehi). Sementara itu, rajanya telah kalah, tetapi kerajaannya tidak hilang dari muka bumi. Hanya saja, yang kalah, menjadi bawahan sang pemenang. Semua penduduk Pallawa dan Calankayana, sangat menderita dan banyak yang tewas, karena sang penguasa, yaitu raja Gupta, telah banyak membunuh orang‑orang yang tak berdosa. Telah banyak, tentara dan pemuka negara yang kalah, tewas di medan perang. Oleh karena itu, di kota‑kota negara yang kalah perang, merajalela kaum perampok. Sedangkan raja yang menderita kekalahan, beserta keluarga, pengiring dan para pembesar lainnya, bersembunyi masuk ke dalam hutan.

          Adapun maharaja Maurya itu, bernama nobat Samudragupta Mahaprabawa Raja Magada, yang besar kotanya. Sedangkan raja Calankayana, bernama nobat Maharaja Hastiwarman dan raja Pallawa, bernama nobat Maharaja Wisnugopa. Kedua raja ini bersahabat akrab dan bersatu, lalu bersama‑sama menyerang musuhnya (Samudragupta). Perang itu, berlangsung beberapa bulan lamanya. Akhirnya, kerajaan Pallawa dan Calankayana kalah. Kerajaan Maurya, memperoleh kemenangan. Yang berhasil menyelamatkan diri, dari pihak yang kalah, bersembunyi di gunung. Ada juga yang bersama keluarga dan pengiringnya, pergi ke seberang laut, yaitu ke Semenanjung, Pulau Jawa, Pulau Sumatera, Negeri Yawana, dan sebagainya.

          Salah satu kelompok keluarga Pallawa, yang mengungsi ke Pulau Jawa, dipimpin oleh Darmawirya, kelak setelah menikah dengan Rani Sphatikarnawa Warmandewi, menjadi Dewawarman Vlll (raja terakhir Salakanagara). Keluarga Hastiwarman dan Wisnugopa, tersebar ke berbagai negara, terutama yang dahulu menjadi sahabat keluarga mereka. Dinasti Warman (warmanwamca), akhirnya banyak yang menjadi raja di Nusantara, dan negara-negara lainnya.

          Dalam tahun 270 Saka (348 Masehi), ada seorang Maharesi (bernama Jayasingawarman) dari Calankayana. Bersama pengikutnya (sebagai pengiring), tentara, penduduk pria dan wanita, ikut melarikan diri. Mengungsi ke pulau‑pulau di sebelah selatan, karena pihak musuh, selalu berusaha menangkap mereka. Sang Maharesi Jayasingawarman bersama para pengikutnya, tiba di Pulau Jawa dan menetap di Jawa Kulwan (barat). Di sebelah barat Citarum, Sang Maharesi mendirikan perdukuhan, yang kemudian diberi nama Tarumadesya. Wilayah ini (Taruma‑desya), termasuk daerah kekuasaan Sang Prabu Dewawarman VIII. Kelak, Sang Maharesi Jayasingawarman menjadi menantu Sang Prabu Dewawarman VIII.

          Kira kira sepuluh tahun kemudian, desa itu menjadi besar, karena banyak penduduk dari desa-desa lain, datang dan menetap di situ. Beberapa tahun kemudian, desa Taruma itu, telah menjadi nagara. Jayasingawarman terus berusaha, memperbesar negaranya, sampai menjadi sebuah kerajaan, lalu diberi nama: Tarumanagara. la lalu menjadi Rajadirajaguru yang memerintah kerajaannya, bergelar Jayasingawarman Gurudarmapurusa

          Sang Maharesi Rajadirajaguru menjadi raja Taumanagara selama 24 tahun, yaitu dari tahun 280 sampai 304 Saka (358‑382 Masehi). la wafat dalam usia 60 tahun, dan dipusarakan di tepi kali Gomati. la digantikan putera sulungnya yang bernama Rajaresi Darmayawarmanguru. Ia bergelar demikian, karena selain memegang pemerintahan Tarumanagara, ia pun menjadi pemimpin semua guru agama (Hindu) di situ.

          Tetapi penduduk di desa‑desa kerajaan Taruma, banyak yang tetap menganut pemujaan roh, yaitu memuja roh leluhur (pitampuja) menurut adat yang diwarisi dari nenek moyangnya. Sang Rajaresi, selalu berusaha mengajarkan agamanya kepada penghulu desa‑desa dan penduduk Tarumanagara. Oleh karena itu, Sang Rajaresi mendatangkan brahmana-brahmana dari India. Walaupun demikian, tidak semua penduduk mau mengikuti agamanya.

          Waktu itu, kehidupan penduduk dijadikan empat kasta, yaitu: yang pertama kasta Brahmana, yang kedua kasta Ksatriya, yang ketiga kasta Waisya, dan yang keempat kasta Sudra Dengan demikian, penduduk itu dibeda‑bedakan antara golongan Nista‑Madya ‑ Utama. Penduduk golongan nista, sangat takut terhadap agama Sang Rajaresi.

          la menjadi raja Tarumanagara hanya 13 tahun, dari tahun 304 sampai tahun 317 Saka (382 ‑ 395 Masehi). la disebut juga Sang Lumahing Candrabaga (yang mendiang di Candrabaga), karena ia dipusarakan di tepi kali Candrabaga (Cibagasasi atau kali Bekasi). Sedangkan ayahnya, dipusarakan di tepi kali Gomati. Rajaresi Darmayawarmanguru, digantikan oleh puteranya, yang bernama Purnawarman, yang memerintah dari tahun 317 sampai tahun 356 Saka (395‑434 Masehi).

          Purnawarman, dilahirkan tanggal 8 bagian gelap bulan Palguna tahun 294 Saka (16 Maret 372 Masehi). Dua tahun sebelum ayahnya wafat, ia diwisuda sebagai raja Tarumanagara ketiga, pada tanggal 13 bagian terang bulan Caitra tahun 317 Saka (12 Maret 395 Masehi). Ayahnya, Rajaresi Darmayawarman, mengundurkan diri dari tahta kerajaan, untuk hidup di pertapaan menempuh manurajasunya (bertapa setelah turun tahta sampai ajal tiba).

          Tindakannya yang pertama, ialah memindahkan ibukota kerajaan, ke sebelah utara ibukota lama, yang disebut Jayasingapura yang didirikan oleh kakeknya, Jayasingawarman. Ibukota yang baru itu, diberi nama Sundapura (kola Sunda), dibangun di tepi kali Gomati.

          Kira‑kira tiga tahun setelah ia dinobatkan, Purnawarman membuat pelabuhan di tepi pantai. Pembuatannya, dimulai tanggal 7 bagian terang bulan Margasira (15 Desember 398 Masehi) dan selesai pada tanggal 14 bagian terang bulan Posya (11 November 399 Masehi). Pelabuhan ini, segera menjadi ramai, oleh kapal-kapal perang kerajaan Taruma.

          Selama masa pemerintahannya, Purnawarman telah menaklukan kerajaat-kerajaan lain di Jawa Barat, yang belum tunduk kepada kekuasaan Tarumanagara. Semua musuh yang diserangnya, selalu dapat dikalahkan. la seorang pemberani, menguasai berbagai ilmu dan siasat berperang, yang menjadikan dirinya, sebagai seorang raja yang perkasa dan dahsyat (bhimaparakramoraja). Tidak ada satupun senjata musuh yang dapat melukainya, karena dalam perang, ia selalu mengenakan baju pelindung dari besi yang dipasangnya mulai dari kepala sampai ke kaki. la perkasa dan tangkas di medan perang, sehingga oleh lawan‑lawannya, digelari Harimau Tarumanagara (wyaghra ring tarumanagara).

Akhirnya, Purnawarman, menjadi seorang raja yang sangat besar kekuasaannya di Jawa Barat. Sri Maharaja Purnawarman, ibarat raja matahari yang bersinar bagi raja‑raja sesamanya (panji segala raja). Tarurnanagara menjadi sebuah kerajaan yang sangat besar kekuasannya di Pulau Jawa. Tiap tahun, semua raja bawahannya selalu datang di Purasaba Sundapura, untuk berbakti dan mempersembahkan upeti kepada Sri Maharaja Purnawarman. Raja‑raja bawahan itu, datang ke ibukota (Sundapura), tiap tanggal 11 bagian terang bulan Caitra (Maret-April). Kemudian, dari tanggal 13 sampai tanggal 15, mereka berkumpul bersama‑sama keluarga kerajaan Tarumanagara, sambil menghadiri pesta yang dimeriahkan oleh tarian gadis‑gadis cantik, dengan iringan suara gamelan yang merdu. Sang Maha raja menjamu tamu-tamunya dengan makanan dan minuman yang serba lezat (wesalehyamadhupanadi).

          Untuk kesejahteraan hidup rakyatnya, ia sangat memperhatikan pemeliharaan aliran sungai. Tahun 410 Masehi, ia memperbaiki alur kali Gangga di daerah Cirebon, yang waktu itu termasuk kawasan kerajaan Indraprahasta. Sungai yang bagian hilirnya, disebut Cisuba, ini mulai diperbaiki (diperdalam) dan diperindah tanggulnya, pada tanggal 12 bagian gelap bulan Margasira. Selesai pada tanggal 15 bagian terang bulan Posya tahun 332 Saka. Sebagai tanda penyelesaian karyanya, Sang Purnawarrnan, mengadakan selamatan dengan pemberian hadiah harta (sangaskararthadaksina) kepada para Brahmana dan semua pihak yang ikut serta menggarap pekerjaan itu sampai selesai. Hadiah ini berupa: sapi 500 ekor, pakaian, kuda 20 ekor, gajah seekor, yang diberikan kepada raja Indraprahasta, serta jamuan rnakanan dan minuman yang lezat. Ribuan orang laki-laki dan perempuan, dari desa sekitarnya, ikut serta berkarya bakti di situ. Semua mereka itu, mendapat hadiah dari Sang Purnawarman.

          Dua tahun kemudian, Sang Purnawarman, memperteguh dan memperindah alur kali Cupu yang terletak di (kerajaan) Cupunagara Sungai tersebut, mengalir sampai di istana kerajaan. Pengerjaan, dimulai tanggal 4 bagian terang bulan Srawana (Juli/Agustus) sampai tanggal 13 bagian gelap bulan Srawana itu juga (14 hari) tahun 334 Saka (412 Masehi). Hadiah yang dianugerahkan Sang Purnawarman pada upacara selamatannya, ialah: sapi 400 ekor, pakaian, dan makanan lezat. Setiap orang, yang ikut serta mengerjakan saluran ini, mendapat hadiah dari raja. Baik di tepi kali Gangga di Indraprahasta maupun di tepi kali Cupu, Sang Maharaja Purnawarman membuat prasasti, yang ditulis pada batu, sebagai ciri telah selesainya pekerjaan itu dengan kata‑kata berbunga (sarwa bhasana). Mengenai kebesarannya dan sifat‑sifatnya, yang diibaratkan Dewa Wisnu, melindungi segenap mahluk di burni dan di akhir kelak. Prasati itu, ditandai lukisan telapak tangan. Para petani merasa senang hatinya. Demikian pula para pedagang, yang biasa membawa perahu, dari muara ke desa-desa di sepanjang tepian sungai.

          Pada tanggal 11 bagian gelap bulan Kartika (Oktober/November) sampai tanggal 14 bagian terang bulan Margasira (Desember/Januari) tahun 335 Saka (413 Masehi), Sang Purnawarman, memperindah dan memperteguh alur kali Sarasah atau kali Manukrawa. Waktu dilangsungkan upacara selamatan, Sang Purnawarman sedang sakit, sehingga terpaksa ia mengutus Mahamantri Cakrawarman untuk mewakilinya. Sang Mahamantri, disertai beberapa orang Menteri Kerajaan, Panglima Angkatan Laut, Sang Tanda, Sang Juru, Sang Adyaksa, beserta pengiring lengkap, datang di ternpat upacara dengan menaiki perahu besar. Hadiah yang dianugerahkan adalah: sapi 400 ekor, kerbau (mahisa) 80 ekor, pakaian bagi para Brahmana, kuda 10 ekor, sebuah bendera Tarumaragara, sebuah patung Wisnu, dan bahan makanan. Setiap orang, yang ikut serta dalam pekerjaan ini, memperoleh hadian dari Sang Maharaja Purnawarman.

          Para petani menjadi senang hatinya, karena ladang milik mereka menjadi subur tanahnya, dengan mendapat pengairan (kaunuayan) dari sungai tersebut. Dengan demikian, tidak akan menderita kekeringan dalarn musim kemarau.

          Kemudian, Sang Purnawarman, memperbaiki, memperindah serta memperteguh alur kali Gomati dan Candrabaga. Ada pun kali Candrabaga itu, beberapa puluh tahun sebelumnya, telah diperbaiki, diperindah serta diperteguh alurnya oleh Sang Rajadirajaguru, kakek Sang Purnawarman. Jadi, Sang Maharaja Purnawarman, mengerjakan hal itu untuk kedua kalinya.

          Pengerjaan kali Gomati dan Candrabaga ini, berlangsung sejak tanggal 8 bagian gelap bulan Palguna, sampai tanggal 13 bagian terang bulan Caitra tahun 339 Saka (417 Masehi). Ribuan penduduk, laki‑laki dan perempuan, dari desa‑desa sekitarnya, berkarya‑bakti siang‑malam, dengan membawa berbagai perkakas. Mereka itu, berjajar memanjang di tepi sungai, sambung menyambung tidak terputus, tanpa saling mengganggu pekerjaan masing-masing.

          Selanjutnya, Sang Purnawarman mengadakan selamatan dan memberi hadiah harta, kepada para Brahmana. Perinciannya: sapi (ghoh) 1.000 ekor, pakaian serta makanan lezat. Sedangkan para pemuka dari daerah, ada yang diberi hadiah kerbau (mahisa), ada yang diberi hadiah perhiasan emas dan perak, ada yang diberi hadiah kuda dan bermacam‑macam hadiah lainnya lagi. Di situ, Sang Maharaja, membuat prasasti yang ditulis pada batu.

          Demikian pula di tempat‑tempat lain, Sang Purnawarman, banyak membuat prasasti batu, yang dilengkapi dengan patung pribadinya, lukisan telapak kakinya, lukisan telapak kaki tunggangannya, yaitu gajah yang bernama Sang Erawata. Demikian pula ada yang ditandai dengan lukisan brahmara (kumbang atau lebah), sanghyang tapak, bunga teratai, harimau dan sebagainya, dengan tulisan pada batunya.

          Di tempat‑tempat pemujaan (pretakaryam) yang telah selesai dibangun, dilukiskan bendera Tarumanagara dan jasa-jasa Sang Maharaja. Sernua itu, ditulis pada prasasti batu, di sepanjang tepi sungai di beberapa daerah.

          Pada tangal 3 bagian gelap bulan Jesta (Mei/Juni), sampai tanggal 12 bagian terang bulan Asada (Juni/Juli) tahun 341 Saka (419 Masehi), Sang Purnawarman, memperbaiki, memperteguh alur dan memperdalam Citarum, sungai terbesar di kerajaan Taruma (di Jawa Barat). Selamatan dan hadiah harta, dilaksanakan setelah pekerjaan itu selesai. Hadiah berupa sapi 800 ekor, pakaian, makanan lezat, kerbau 20 ekor dan hadiah‑hadiah lainnya. Kemudian, para Brahmana memberkati Maharaja Tarumuragara.

          Dahulu, ketika Tarumanagara diperintah oleh Sang Rajadirajaguru dan Rajaresi Darmayawarmanguru, kerajaan ini tidak seberapa. Tetapi, setelah Purnawarman menjadi raja Tarumanagara, angkatan perangnya diperbesar serta lengkap persenjataannya. Demikian pula halnya Angkatan Laut, diperbesar dan diperkuat. Karena itu, pasukan Tarumanagara, selalu memenangkan pertempuran.

          Setelah kerajaan Taruma menjadi besar dan kuat, Sang Purnawarman dinobatkan menjadi Maharaja, dengan gelar Sri Maharaja Purnawarman Sang Iswara Digwijaya Bhimaparakrama Suryamahapurusa Jagatpati, la pun seorang pemuja Batara Indra, apabila hendak pergi menyerang musuhnya. Karena itulah, ia disebut Sang Purandara Saktipurusa (manusia sakti penghancur benteng).

          Sejak tanggal 3 bagian gelap bulan Maga (Januari/Februari) tahun 321 Saka (399 Masehi) sampai tahun 325 Saka (403 Masehi), Sang Purnawarman melancarkan perang terhadap bajak laut, yang merajalela di perairan barat dan utara. Pembersihan terhadap kaum perompak ini, dimulai ketika seorang menteri kerajaan Taruma bersama 7 orang pengiringnya, ditawan kemudian dibunuh oleh perompak. Perang pertama dengan kaum perompak ini, terjadi di perairan Ujung Kulon. Angkatan Laut Tarumanagara, dipimpin langsung oleh Sang Purnawarman:

          Puluhan kapal perang (armada laut) Tarumanagara, mengepung dua buah kapal perompak, di tengah laut. Dari 80 orang perompak, sebahagian terbunuh dalam perang. Sisanya, sebanyak 52 orang dapat ditawan. Seorang demi seorang; perompak yang ditawan itu, dibunuh dengan berbagai cara, dan semua mayatnya dibuang ke tengah laut. Demikian marahnya Sang Purnawarman terhadap kaum perompak. Sehingga, ia tidak pernah mengampurri seorang pun, di antara mereka.

          Telah lama, perairan Pulau Jawa sebelah utara, barat dan timur, dikuasai kaum perompak. Jumlah mereka tidak terhitung dan tersebar di lautan. Semua kapal diganggu. Semua barang yang ada di dalamnya, dipinta atau dirampas. Banyak kapal perompak berkeliaran di perairan Jawa Barat. Tak ada yang berani mamasuki atau melewati perairan ini, karena sepenuhnya telah dikuasai kaum perompak yang ganas dan kejam. Setelah Sang Purnawarman berhasil membasmi semua perompak, barulah keadaan menjadi aman, dan penduduk Tarumanagara merasa senang. Perairan utara Pulau Jawa telah bersih dari gangguan perompak. Tak terhitung junrlah perompak yang ditangkap dan dijatuhi hukuman.

          Pada bagian ini, kemungkinan besar ada hubungannya dengan temuan prasasti Cidangiang, di Desa Lebak Kecamatan Munjul Kabupaten Pandeglang, yang tertulis dalam aksara Pallawa bahasa Sanskerta, antara lain sebagai berikut:

vikrantayam vanipateh
 prabbhuh satyaparakramah
 narendraddhvajabutena crimatah
 pumnavarmmanah

Terjemahannya:
 (Ini tanda) penguasa dunia yang perkasa, prabu yang setia serta penuh kepahlawanan, yang menjadi panji segala raja, yang termashur Purnawarman (Danasasrrrita, 1984: 3‑1).

           Prasasti ini terletak di aliran Sungai Cidangiang yang bermuara ke Teluk Lada perairan Selat Sunda. Kemungkinan besar, kawanan perompak di wilayah Ujung Kulon yang ditumpas habis oleh Sang Purnawarman, bercokol di perairan Teluk Lada ini. Prasasti tersebut merupakan tanda penghargaan kemenangan kepada masyarakat setempat atas kepatriotan masyarakat sekitar sungai Cidangiang, sebagaimana yang sering dilakukan oleh Sang Purnawarman. 

          Dipilihnya tepi Sungai Cidangiang, sebagai lokasi ditempatkannya prasasti, karena sebutan Cidangiang sendiri menunjukkan adanya indikasi masa silam, bahwa Ci‑Dang‑Hiyang memiliki nilai spiritual dalarn sistem religi Sunda.

           Adik Sang Purnawarman, bernama Cakrawarman, menjadi Panglima Perang. Sedangkan pamannya dari pihak ayah, bernama Nagawarman, menjadi Panglima Angkatan Laut (Senapati Sarwajala). Sang Nagawarman, sering pergi sebagai duta Sang Purnawarman ke negeri seberang, untuk mempererat persahabatan. la pernah mengunjungi Semenanjung, negeri Syangka, Yawana, Cambay (di India), Sopala, Bakulapura, Cina, Sumatera dan lain‑lain.

           Adapun bendera kerajaan Taruma, berupa bunga teratai di atas kepala (gajah) Erawata. Sedangkan rnaterai raja (rajatanda), adalah lempengan (daun) emas berbentuk brahmara (lebah atau kumbang). Bendera Angkatan Lautnya, berlukiskan naga (nagadhuajarupa), yang dikibarkan pada tiap kapal perang Tarumanagara. Ada lagi bendera‑bendera yang berlukiskan senjata milik satuan‑satuan tempur. Kerajaan‑kerajaan bawahan Taruma, mempunyai bendera, berlukiskan berbagai macam binatang.

          Salah seorang isteri Sang Purnawarman, berasal dari Bakulapura. Negeri ini, ada di Tanjung Nagara (Kalimantan). Kisahnya berawal dari Sang Kudungga.

          Sang Kudungga putera Sang Atwangga. Sang Atwangga putera Sang Mitrongga. Keluarga itu, telah beberapa puluh keturunan, berada di situ dan menjadi penguasa. Beberapa ratus tahun sebelumnya, keluarga itu, datang dari India. Pangkal silsilah mereka, dimulai dari Sang Pusyamitra, yang menurunkan wangsa Sungga di Magada. Ketika wangsa Sungga dikalahkan dan dikuasai oleh wangsa Kusan (Kucanawamsa), banyak di antara anggota keluarga ini, laki‑laki dan perempuan, yang mengungsi ke berbagai negara. Salah seorang anggota keluarga Sungga, bersama keluarga dan pengiringnya, tiba di salah satu pulau di Nusantara Mereka mendirikan desa, yang diberi nama Kuta (Kutai). Setelah berkembang menjadi kerajaan kecil, kemudian diubah namanya, menjadi Bakulapura.

          Puteri Sang Kudungga, diperistri oleh Sang Aswawarman, putera kedua dari Prabu Darmawirya Dewawarman dengan Rani Sphatikarnawa Warmandewi. Kakak perempuan Sang Aswawarman, yang bernarna Dewi Minawati alias Iswan Tunggal Pretiwi, menjadi permaisuri Jayasingawarman Rajadirajaguru, raja Tarumanagara pertama.

          Prabu Darmawirya alias Dewawarman VIII (raja Salakanagara terakhir), telah lama bersahabat dengan penguasa Bakulapura Sebab, Sang Kudungga, adalah saudara sepupu permaisurinya dari pihak ibu. Karena itulah, Sang Aswawarman diangkat anak oleh Sang Kudungga, dan sejak kecil tinggal di Bakulapura.

Jadi, Aswawarman dengan isterinya, masih saudara satu‑buyut. Setelah Sang Kudungga wafat, Sang Aswawarman menggantikannya, sebagai penguasa Bakulapura. Dalam masa pemerintahannya, Bakulapura menjadi kerajaan besar dan kuat, sehingga dialah yang dianggap sebagai pendiri dinasti (wamcakerta).

          Aswawarman berputera tiga orang. Yang sulung bernama Mulawarman, kelak menggantikan ayahnya, menjadi penguasa Bakulapura. Di bawah pemerintahan Sang Mulawarman, Bakulapura menjadi makin kuat dan besar. la adalah raja yang sangat berwibawa dan membawahi kerajaan-kerajaan lain di sekitarnya Persahabatan antara Bakulapura dengan Tarumanagara, menjadi semakin erat. Duta Bakulapura ditempatkan di ibukota Tarumanagara dan dernikian pula sebaliknya.

          Permaisuri Sang Purnawarman, adalah puteri salah seorang raja bawahannya. Dari permaisuri ini, ia memperoleh beberapa orang putera dan puteri. Putera sulungnya, bernama Wisnuwarman, kelak akan menggantikan kedudukannya sebagai penguasa Tarumanagara keempat. Adik Wisnuwarman yang perempuan, diperistri oleh seorang raja di Sumatera. Kelak, Sri Jayanasa, seorang raja besar di pulau itu, adalah keturunannya. Isteri‑isteri Purnawarman yang lainnya, berasal dari: Sumatera, Bakulapura, Jawa Timur dan beberapa daerah lainnya.

          Sang Purnawarman adalah pemuja Wisnu. Akan tetapi, penduduk, ada juga yang memuja Batara Sangkara (Siwa) dan Brahma. Penganut Budha, tidak seberapa banyak. Kecuali di Pulau Sumatera. Penduduk pribumi, kebanyakan tetap memuja roh leluhur (pitarapuja), menurut adat yang diwarisi nenek moyangnya. Sang Purnawarman, menyusun bermacam-macam pustaka yang berisi: Undang undang kerajaan; Peraturan Ketentaraan; Siasat Perang; Keadaan Daerah‑Daerah di Jawa Barat; Silsilah Dinasti Warman; Kumpulan Maklumat Kerajaan dan lain‑lain.

           Sri Maharaja Purnawarman, wafat pada tanggal 15 bagian terang bulan Posya tahun 356 Saka (24 November 434 Masehi) dalam usia 62 tahun. Ia dipusarakan di tepi Citarum, sehingga mendapat sebutan Sang Lurnah Ing Tarumanadi (yang dipusarakan di Citarum).

           Pada saat Sri Maharaja Purnawarman wafat, kerajaan‑kerajaan yang menjadi bawahannya, adalah sebagai berikut: Salakanagara (Pandeglang), Cupunagara (Subang), Nusa Sabay, Purwanagara, Ujung Kulon (Pandeglang), Gunung Kidul, Purwalingga (Purbalingga), Agrabinta (Cianjur), Sabara, Bumi Sagandu, Paladu, Kosala (Lebak), Legon (Cilegon), Indraprahasta (Cirebon), Manukrawa (Cimanuk), Malabar (Bandung), Sindang Jero, Purwakerta (Purwakarta), Wanagiri, Galuh Wetan (Ciamis), Cangkuang (Garut), Sagara Kidul, Gunung Cupu, Alengka, Gunung Manik (Manikprawata), Gunung Kubang (Garut), Karang Sindulang, Gunung Bitung (Majalengka), Tanjung Kalapa (Jakarta Utara), Pakuan Sumurwangi, Kalapa Girang (Jakarta Selatan), Sagara Pasir, Rangkas (Lebak), Pura Dalem (Karawang), Linggadewata, Tanjung Camara (Pandeglang), Wanadatar, Setyaraja, Jati Ageung, Wanajati, Dua Kalapa, Pasir Muhara, Pasir Sanggarung (Cisanggarung), Indihiyang (Tasikmalaya).

          Sebagai pengganti Sri Maharaja Purnawannan, putera sulungnya, Sang Wisnuwarman, dengan nama nobat: Sri Maharaja Wisnuwarman Digwijaya Tunggal Jagatpati Sang Purandarasutah. la dinobatkan menjadi raja Tarumanagara keempat, pada tanggal 14 bagian terang bulan Posya tahun 365 Saka (3 Desember 434 Masehi). Memegang pemerintahan di Tarumanagara hingga tahun 377 Saka (455 Masehi).

Digantikan oleh puteranya, Sang Indrawarman, sebagai raja Tarumanagara kelima, dengan nama nobat: Sri Maharaja Indrawarman Sang Paramarta Sakti Mahaprabawa Lingga Triwikrama Buanatala. la memerintah di Tarumanagara hingga tahun 437 Saka (515 Masehi).

          Digantikan oleh puteranya, Sang Candrawarman, sebagai raja Tarumanagara keenam, dengan nama nobat: Sri Maharaja Candrawarman Sang Hariwangsa Purusakti Suralagawageng Paramarta. la memerintah di Tarumanagara hingga tahun 457 Saka (535 Masehi).

          Digantikan oleh puterannya, Sang Suryawarman, sebagai raja Tarumanagara ketujuh, dengan nama nobat: Sri Maharaja Suryawarman Sang Mahapurusa Bimaparakrama Hariwangsa Digwijaya. la memerintah di Tarumanagara hingga tahun 483 Saka (561 Masehi).

          Digantikan oleh puteranya, Sang Kretawarman, sebagai raja Tarumanagara kedelapan, dengan nama nobat: Sri Maharaja Kretawarman Mahapurusa Hariwangsa Digwijaya Salakabumandala. la, memerintah di Tarumanagara hingga tahun 550 Saka (628 Masehi).

          Karena tidak punya keturunan, digantikan oleh adiknya, Sang Sudawarman, sebagai raja Tarumanagara kesembilan, dengan nama nobat: Sri Maharaja Sudawarman Mahapurusa Sang Paramartaresi Hariwangsa. Ia memerintah di Tarumanagara hingga tahun 561 Saka (639 Masehi).

          Digantikan oleh puteranya, Sang Dewamurti, sebagai raja Tanunanagana kesepuluh, dengan nama nobat: Sri Maharaja Dewamurtyatma Hariwangsawarman Digwijaya Bimaparakrama. la memerintah di Tarumanagara hingga tahun 562 Saka (640 Masehi).

Digantikan oleh puteranya, Sang Nagajaya, sebagai raja Tarumanagara kesebelas, dengan nama nobat: Sri Maharaja Nagajayawarman Darmasatya Cupujayasatru. la memerintah di Tarumanagara hingga tahun 588 Saka (666 Masehi).

          Digantikan oleh puteranya, Sang Linggawarman, sebagai raja Taruma nagara keduabelas, dengan nama nobat: Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirtabumi. la memerintah di Tarumanagara hingga tahun 591 Saka (669 Masehi).

          la digantikan oleh menantunya, Sang Tarusbawa, sebagai penerus tahta Tarumanagara, dengan nama nobat; Sri Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manumanggalajaya Sundasembawa. Sang Tarusbawa dinobatkan pada tanggal 9 bagian terang bulan Jesta tahun 591 Saka (18 Mei 669 Masehi). Dalam tahun yang sama, menantu Sang Linggawarman lainnya, Dapunta Hiyang Sri Jayanasa, dinobatkan sebagai raja Kerajaan Sriwijaya di Surnatera.

          Sang Tarusbawa bukan keturunan dinasti Warman. Ia dilahirkan di Sunda Sembawa (Sundapura), sebagai raja keturunan pribumi di kerajaan daerah Sunda Sembawa. Ketika ia naik tahta, mengganti nama Tarumanagara, menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa tersebut berakibat fatal. Wilayah timur Tarumanagara, dengan Batas sungai Citarum, memerdekakan diri, menjadi Kerajaan Galuh, di bawah pemerintahan Sang Prabu Wretikandayun.

           Mengingat kejayaan Sang Purnawarman, tentu kerajaan bawahannya yang ada di wilayah Banten (Salakanagara, Ujung Kulon, Kosala, dan Rangkas), memegang peranan penting bagi Tarumanagara.



II.         MASA KERAJAAN SUNDA

 Sebagaimana yang telah diungkapkan pada bagian terdahulu, masa akhir Tarumanagara (tahun 669 Masehi), ditandai dengan adanya pewarisan tahta, dari Sang Linggawarman kepada menantunya, Sang Tarusbawa. Dengan berbagai akibatnya, Sang Tarusbawa merubah sebutan Tarumanagaia menjadi Kerajaan Sunda. Dari sejak itulah, Kerajaan Sunda, seharusnya tampil dalam panggung sejarah.

          Walaupun kerajaannya sudah berbagi kekuasaan dengan Sang Wretikandayun, Sang Tarusbawa masih sempat memberitakan penobatannya sebagai penerus tahta Tarumanagara, ke berbagai negara sahabat. Oleh sebab itulah, dalam sumber Cina yang terakhir, menyebutkan "tentang adanya utusan dan Tarumanagara pada tahun 669 Masehi".

          Sang Tarusbawa memiliki pribadi yang cinta damai. la tidak ingin bersengketa dengan Sang Wretikandayun, walaupun Kerajaan Sunda belum tentu kalah berperang melawan Kerajaan Galuh. Prinsipnya, "lebih baik memerintah separuh kerajaan yang tangguh, daripada dipaksakan memerintah keseluruhan dalam keadaan goyah".

          Langkah Sang Tarusbawa berikutnya, memindahkan ibukota kerajaan, dari Sundapura (Bekasi) ke Pakuan (Bogor). Di sebuah lemah duwur (ketinggian tanah), Sang Tarusbawa mendirikan lima buah keraton, yang bentuk maupun besarnya sama dalam posisi berjajar. Keraton tersebut masing-masing diberi nama: Sri Bima, Punta, Narayana, Madura, dan Suradipati. Sedangkan dalam naskah Carita Parahiyangan menyebutnya: Sri Kadatwan Bima‑Punta –Narayana- Madura- Suradipati. Setelah keraton selesai dibangun, kemudian diberkati (diprebokta) oleh Bujangga Sedamanah, di hadapan Sang Maharaja Tarusbawa. Jumlah 5 keraton tersebut, dalam sastra klasik, sering disebut Panca Persada.

           Sang Tarusbawa wafat pada tahun 723 Masehi, dalam usia 91 tahun. Sebagai penggantinya, Sang Sanjaya, sebagai raja Kerajaan Sunda yang kedua, dengan nama nobat: Maharaja Harisdarma Bimaparakrama Prabu Maheswara Sarwajitasatru Yudapurnajaya. Setelah 9 tahun berkuasa, pada tahun 654 Saka (732 Masehi), tahta Kerajaan Sunda dikuasakan kepada puteranya: Sang Tamperan Barmawijaya.

           Pelimpahan kekuasaan kepada puteranya, disebabkan ia menjadi penguasa di tiga kerajaan di Pulau Jawa (Taraju Jawadwipa):

1.    di Kerajaan Galuh, ia pewaris tahta dari ayahnya Sang Sena, yang terusir oleh Sang Purbasora;

2.    di Kerajaan Medang bumi Mataram (Kalingga Utara) Jawa Tengah, ia pewaris tahta dari ibunya: Sanaha. Dalam Prasasti Canggal, Sanjaya adalah putera sulung dari perkawinan manu, Sena‑Sanaha;

3.    di Kerajaan Sunda, ia "cucu menantu" Sang Tarusbawa. Sebab, Sang Sanjaya menikah dengan Sekar Kancana atau Teja Kancana Ayupurnawangi, cucu Sang Tarusbawa. Seharusnya, yang menjadi pewaris tahta Kerajaan Sunda, adalah ayahnya Teja Kancana, tetapi ia wafat dalam usia muda.

Setelah peristiwa kudeta berdarah tahta di Kerajaan Galuh, antara Sang Manarah dengan Sang Sanjaya, akhirnya ditempuh cara dengan jalan damai. Berdasarkan "Perjanjian Galuh", yang dipimpin oleh Sang Resiguru Demunawan dari Kerajaan Saunggalah (Kuningan), akhirnya tahta Kerajaan Sunda, diwariskan kepada Sang Arya Banga. la diwisuda pada tahun 739 Masehi, sebagai raja ketiga di Kerajaan Sunda, dengan nama nobat: Prabu Kretabuana Yasawiguna Ajimulya.

          Dari pernikahannya dengan Kancana Sari, Sang Banga mempunyai putera, bernama Rakeyan Medang. Disebut demikian, karena putera Sang Banga tersebut, pernah berguru di Medang Bumi Mataram (bekas Kalingga), selama 8 tahun. Raja Medang pada waktu itu adalah Rakeyan Panangkaran (putera Sang Sanjaya). Rakeyan Medang, menjadi menteri muda di Kerajaan Sunda selama 3 tahun.

          Sang Banga menjadi raja di Kerajaan Sunda sampai tahun 776 Masehi, kemudian digantikan oleh Rakeyan Medang, dengan nama nobat Prabhu Hulukujang. Dari permaisurinya, Prabu Hulukujang mempunyai seorang puteri, kemudian diberi nama Dewi Samatha. Puteri tersebut diperisteri oleh Rakeyan Hujungkulon. Setelah Prabu Hulukujang wafat, digantikan oleh menantunya, Rakeyan Hujungkulon, dengan nama nobat Prabu Gilingwesi.

          Adik Rakeyan Hujungkulon (Prabu Gilingwesi) adalah Sang Tariwulan, yang menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja Kerajaan Galuh, dengan nama nobat Prabu Kretayasa Dewakusaleswara. Raja Galuh tersebut, memperisteri Dewi Saraswati, puteri Saung Galah keturunan Resiguru Demunawan.

          Setelah prabu Gilingwesi wafat, digantikan oleh menantunya, Rakeyan Diwus, dengan nama nobat Prabu Pucuk Bumi Darmeswara, pada tahun 795 Masehi.

          Setelah Prabu Pucuk Bumi Darmaweswara wafat, digantikan oleh puteranya, Rakeyan Wuwus, yang bernama nobat Prabu Gajah Kulon pada tahun 819 Masehi.

          Karena Prabu Linggabumi (raja Galuh) tidak mempunyai keturunan, ketika ia wafat, tahta Kerajaan Galuh dipercayakan kepada Prabu Gajah Kulon (raja Kerajaan Sunda). Dengan demikian, kekuasaan di wilayah Jawa Barat dipegang oleh Prabu Gajah Kulon keturunan Sang Banga, pada tahun 825 Masehi.

Dari Dewi Kirana, Prabu Gajah Kulon memperoleh dua orang putera, ialah:

1.    Batara Danghiyang Guruwisuda; dan
  2.   Dewi Sawitri.

          Sebagai putera laki‑laki, Batara Danghiyang Guruwisuda, pada tahun 852 Masehi, dipercaya memegang tahta Kerajaan Galuh. Sedangkan Dewi Sawitri, diperisteri oleh Rakeyan Windusakti, putera Sang Arya Kedaton dan Dewi Widyasari (adiknya Prabu Gajah Kulon).

          Setelah Prabu Gajah Kulon wafat, tahta Kerajaan Sunda dan Galuh berhasil direbut dan dikuasai oleh Sang Arya Kedaton, dengan nama nobat Prabu Datmaraksa Salakabuana. Baru empat tahun memerintah, Prabu Darmaraksa Salakabuana dibunuh, oleh seorang menteri Kerajaan Sunda. Selanjutnya, tahta kerajaan digantikan oleh puteranya, Rakeyan Windusakti, dengan nama nobat Prabu Dewageung Jayeng Buana, yang terpaksa naik tahta pada tahun 895 Masehi.

Dari perkawinannya dengan Dewi Sawitri, Rakeyan Windusakti (Prabu Dewageung Jayeng Buana), memperoleh dua orang putera, antara lain:

 1.   Rakeyan Kamuning Galling; dan
  2.   Rakeyan Jayagiri.
  3.   Prabu Dewageung Jayeng Buana wafat pada tahun 913 Masehi, kemudian digantikan oleh Rakeyan Kamuning Galling, dengan nama nobat Prabu Pucukwesi.

          Prabu Pucukwesi memerintah di Kerajaan Sunda-Galuh hanya 3 tahun, sebab pada tahun 916, tahtanya direbut oleh adiknya sendiri, Rakeyan Jayagiri, Rakeyan Jayagiri naik tahta, dengan nama nobat Prabu Wanayasa Jayabuana.

           Di pihak lain, ketika peristiwa perebutan tahta terjadi, tahta Kerajaan Galuh sudah diwariskan kepada Rakeyan Jayadrata, cucu Batara Danghiyang Guruwisuda dari puteri Dewi Sundara.

           Pasukan Kerajaan Sunda, yang ditempatkan di Kerajaan Galuh oleh Prabu Wanayasa Jayabuana, diperintahkan untuk merebut keraton Galuh. Akan tetapi, berhasil dikalahkan oleh Rakeyan Jayadrata bersama pasukan Kerajaan Galuh.

           Serangan kedua pasukan Kerajaan Sunda, yang besar dan lengkap, dikerahkan kemudian, untuk menyerbu Kerajaan Galuh. Serbuan inipun, dapat ditangkis dan dihancurkan oleh pasukan Kerajaan Galuh, yang dipimpin langsung oleh Prabu Jayadrata.

           Kerajaan Galuh, membebaskan diri sebagal kerajaan yang merdeka, di bawah naungan Prabu Jayadrata. la adalah kakak ipar Rakeyan Limbur Kancana. Rakeyan Limbur Kancana, putera Rakeyan Kamuning Gading (Prabu Pucukwesi), yang dibunuh oleh adiknya, Rakeyan Jayagiri.

           Karena Kerajaan Galuh sudah membebaskan diri (merdeka), Rakeyan Jayagiri atau Prabu Wanayasa Jayabuana, hanya memerintah di wilayah Kerajaan Sunda, sebelah barat Citarum. Prabu Wanayasa Jayabuana, berkuasa di kerajaan Sunda sampal tahun 920 Masehi, karena dibunuh dan digulingkan, oleh Rakeyan Umbur Kancana, atas perintah Prabu Jayadrata.

          Di Kerajaan Galuh, kekuasaan telah diwariskan kepada Rakeyan Harimurti, putera Prabu Jayadrata yang berkuasa tahun 949 Masehi. Karena Rakeyan Limbur Kancana terhitung pamannya Rakeyan Harimurti, akhirnya Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda, damai kembali.

           Sebagai tindakan balas dendam, Ketika Prabu Limbur Kancana sedang bertamu di Kerajaan Galuh, dibunuh oleh seseorang, atas perintah Dewi Ambawati, puteri Rakeyan Jayagiri (Prabu Wanayasa Jayabuana). Tahta Kerajaan Sunda, beralih ke Rakeyan Watuageng, suanii Dewi Ambawati, bernama nobat Praburesi Atmayadarma Hariwangsa, naik tahta pada tahun 930 Masehi.

           Prabu Limbur Kancana, berputera dua orang, di antaranya:

 1.   Rakeyan Sunda Sembawa; dan
  2.   Dewi Somya.

          Rakeyan Sunda Sembawa, berhasil merebut tahta Kerajaan Sunda dari Praburesi Atmayadarma Hariwangsa, kemudian ia naik tahta, dengan nama nobat: Prabu Munding Ganawirya Tapakmanggala atau Prabu Medang Gana. Karena semua puteranya meninggal mendahuluinya, ketika Prabu Munding Ganawirya wafat, ia digantikan oleh Rakeyan Wulung Gadung.

          Rakeyan Wulung Gadung adalah suami Dewi Somya. Dewi Somya, adik ipar Rakeyan Sunda Sembawa, menantu Prabu Limbur Kancana. Rakeyan Wulung Gadung bertahta di Kerajaan Sunda, dari tahun 973 sampai 989 Masehi.

          Prabu Wulung Gadung, ketika wafat, digantikan oleh puteranya dari Dewi Somya, Rakeyan Gendang, dengan nama nobat Prabu Brajawisesa.

          Putera Prabu Brajawisesa ada dua orang, di antaranya:

1. Prabu Dewa Sanghiyang, calon pengganti ayahnya; dan
2. Dewi Rukmawati, yang dijadikan permaisuri oleh Prabu Linggasakti Jayawiguna, yang bertahta di Kerajaan Galuh, dari tahun 988 sampal 1012 Masehi.

Pada tahun 1012 Masehi, Prabu Brajawisesa wafat, digantikan oleh Prabu Dewa Sanghiyang. Prabu Dewa Sanghiyang, bekuasa atas Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda, bergelar Maharaja. Sebagai wakil dirinya di Kerajaan Galuh, mengangkat keponakannya, Prabu Resiguru Darmasatyadewa, yang berkuasa sampai tahun 1027 Masehi.

Setelah Maharaja Dewa Sanghiyang wafat, digantikan oleh puteranya, Prabu Sanghiyang Ageung. la berkuasa atas tahta Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh, dan menyandang gelar Maharaja. Sebagai penguasa di wilayah Kerajaan Galuh, dipercayakan kepada adik isterinya, yaitu Dewi Sumbadra. Bersama‑lama, keduanya memerintah, dimulal pada tahun 1019 Masehi.

          Sang Maharaja Sanghiyang Ageung wafat pada tahun 1030 Masehi. Sedangkan Dewi Sumbadra, memerintah di Kerajaan Galuh, sampai tahun 1065 Masehi.

          Setelah Sang Maharaja Sanghiyang Ageung wafat, penggantinya adalah Sri Jayabhupati, dengan nama lain Prabu Ditya Maharaja. Gelar panjang Sri Jayabhupati Maharaja: Jayabhupati Jaya Manahen Wisnumurti Samarawijaya-calakabhuana-mandalecwaranindita Harogowardhana wikramottunggadewa. Gelar corak Keraton Jawa Timur itu, adalah hadiah perkawinan dari mertuanya, Sri Dharmawangsa Teguh. Hadiah nama gelar semacam itu, diterima pula oleh Prabu Airlangga, menantu Sri Darmawangsa Teguh lainnya, dan digunakan sebagai gelar resmi, setelah Prabu Airlangga menjadi raja.

          Sebagai pengganti Sri Jayabhupati, adalah Sang Darmaraja, dengan nama nobat: Prabu Darmaraja Jayamanahen Wisnumurtti Sakalasundabuana. Ketika mengawali masa pemerintahannya, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Sang Wikramajaya, Panglima Angkatan Laut Kerajaan Sunda.

          Sang Wikramajaya, berusaha merebut kekuasaan, dari tangan saudara seayahnya. Akan tetapi, pemberontakannya dapat ditumpas, kemudian ia meloloskan diri ke Kerajaan Sriwijaya. Untuk jabatan Panglima Angkatan Laut, ditunjuk Sang Wirakusuma, atas jasa kesetiaannya kepada Maharaja Darmaraja.

          Dari pernikahannya dengan Dewi Surastri, Sang Maharaja Darmaraja beputera beberapa orang, tiga di antaranya ialah:

1.    Prabu Langlangbumi, putera mahkota calon pengganti ayahnya;
2.    Darmanagara, menjadi Mangkubumi kerajaan; dan
3.    Wirayuda, menjadi Panglima Angkatan Perang.

Salah seorang putera Sri Jayabhupati dari Dewi Pertiwi, adalah Sang Resiguru Batara Hiyang Purnawijaya. la berputera beberapa orang, dua di anataranya ialah:

1.    Dewi Puspawati; dan
2.    Dewi Citrawati.

Dewi Puspawati dipersiteri oleh Prabu Langlangbumi, sedangkan Dewi Citrawati juga mengharapkan menjadi isteri Prabu Langlangbumi. Oleh karena itu, timbal hasrat Dewi Citrawati untuk membunuh kakaknya.

          Melihat adanya perselisihan di antara kedua puterinya Sang Purnawijaya segera bertindak, mengawinkan Dewi Citrawati kepada Resiguru Sudakarenawisesa, penguasa Kerajaan Galunggung. Akan tetapi, setelah perkawinannya dengan Dewi Citrawati, Sang Resiguru Sudakarenawisesa menyerahkan tahtanya kepada isterinya. Sang Resiguru Sudakarenawisesa memilih jalan hidupnya mertdalami keagamaan.

          Di pedesaan antara wilayah Galuh, Sunda, dan Galunggung, tingkat keamanannya menjadi rawan, akibat ulah kawanan perampok. Kerawanan tersebut menyebabkan perselisihan, antara Prabu Langlangbumi dengan penguasa Galunggung, yaitu Dewi Citrawati, yang nama nobatnya Batari Hiyang Janapati.

          Selama memegang kekuasaan di Galunggung, Sang Ratu Batari Hiyang merasa cemas, akan kemungkinan serangan dari Kerajaan Sunda, karena dendam dirinya kepada Prabu Langlangbumi tak pernah padam. Untuk mencegah kemungkinan tersebut, Ratu Batari Hiyang, membentuk angkatan perang, membangun parit pertahanan yang kuat (nyusuk). Kemudian, Galunggung, dijadikan sebagal ibukota Kerajaan Galuh. Selesai membangun ibukota yang baru, Sang Ratu Batari Hiyang membuat prasasti, yang kemudian dikenal sebagai Prasasti Geger Hanjuang.

          Sebenarnya, Sang Maharaja Langlangbumi, tidak ada niat untuk menyerang Kerajaan Galunggung. Akan tetapi, kalau tidak segera diatasi, akan jadi duri dalam daging. la pun tidak menghendaki, timbulnya perpecahan, di antara keturunan Sri Jayabhupati.

          Tindakan Sang Maharaja Langlangbumi untuk "menjinakan" Batari Hiyang, dengan cara mengadakan pendekatan, melalui Batara Hiyang Purnawijaya (ayahnya Batari Hiyang), bersama Panglima Suryanagara (pamannya Sang Maharaja Langlangbumi). Kemudian ditempuh jalan damai, yang dihadiri oleh kedua belah pihak. Perundingan jalan damai tersebut dihadiri oleh: Batara Guru Hiyang Purnawijaya, Senapati Suryanagara, Resiguru Sudakarena, Dahiyang Guru Darmayasa, Senapati Kusumajaya, Maharaja Langlangbumi, Mangkubumi Darmanagara, Senapati Wirayuda, Yuwaraja Menak Luhur, Permaisuri Puspawati, Batari Hiyang Janapati Ratu Galunggung (Dewi Citrawati), dan beberapa raja dari daerah bawahan Sunda dan Galuh.

          Hasil perundingan jalan damai akhirnya membuahkan kesepakatan, dengan membagi wilayah kekuasaan:

1.    Sebelah barat sebagal Kerajaan Sunda, di bawah kekuasaan Prabu Langlangbumi.

2.    Sebelah timur sebagal Kerajaan Galuh, di bawah kekuasaan Ratu Batari Hiyang Janapati, dengan ibukotanya di Galunggung.

Dari pernikahannya Dewi Puspawati, Prabu Langlangbumi berputera beberapa orang, dua di antaranya:

1.   Rakeyan Jayagiri atau Prabu Menakluhur; dan
2.   Sang Cakranagara, menjadi Mangkubumi.

          Prabu Langlangbumi lahir tahun 1038 Masehi, wafat tahun 1155 Masehi. la memerintah di Kerajaan Sunda selama 90 tahun. Sebagal penggantinya, puteranya, Prabu Menakluhur.

           Prabu Menakluhur, memperisteri Ratna Satya, dan dijadikan permaisuri. Dari perkawinannya, mempunyai seorang puteri, Ratna Wisesa.

           Ratna Wisesa diperisteri oleh Prabu Darmakusuma, cucu Batari Hiyang Janapati, Ratu Galunggung. Dari pernikahannya dengan Ratna Wisesa, Prabu Darmakusuma memperoleh putera, Darmasiksa.

           Karena Prabu Menakluhur dan Mangkubumi Cakranagara wafat pada tahun yang sama, maka kedudukan Raja Sunda, dipercayakan kepada Prabu Darmakusuma. la bergelar Maharaja, karena berkuasa atas tiga kerajaan: Galunggung, Galuh dan Sunda.

          Sang Darmasiksa, tahun 1175 Masehi, menggantikan tahta ayahnya, dengan nama nobat: Prabu Guru Darmasiksa Paramarta Sang Mahapurusa atau Sang Prabu Sanghyang Wisnu. la memerintah Kerajaan Sunda (termasuk Galuh dan Galunggung), beribukota di Saunggalah (Kuningan). Kemudian, kedudukan pusat pemerintahan, tahun 1187 Masehi, pindah ke Pakuan (Bogor).

          Prabu Darmasiksa mempunyai 3 orang isteri, yaitu:

1.  Puteri Saungggalah, memperoleh putera: Rajapurana, lahir tahun 1168 Masehi;

2.  Puteri Darmageng, memperoleh putera, di antaranya Ragasuci yang bergelar Rahiyang Saunggalah;

3. Puteri Swarnabumi (Sumatera) turunan penguasa Sriwijaya, memperoleh putera, Rahiyang Jayagiri atau Rahiyang Jayadarma.

Rahiyang Jayadarma berjodoh dengan Dewi Naramurti, yang bergelar Dyah Lembu Tal, puterinya Mahisa Campaka, penguasa dari kerajaan di Jawa Timur. Dari perkawinanrrya dengan Dyah Lembu Tal, Rakeyan Jayadarma memperoleh putera, Rakeyan Wijaya atau Sang Nararya Sanggramawijaya (Dalam Sejarah Jawa Timur, Rakeyan Wijaya lebih dikenal dengan sebutan Raden Wijaya).

          Rahiyang Jayadarma, tidak sempat menjadi Raja, disebabkan wafat muda, dalam usia 44 tahun. Oleh karena itu, Dyah Lembu Tal bersama puteranya (Raden Wijaya), pulang ke Tumapel Jawa Timur.

          Setelah dewasa, Rakeyan Wijaya alias Raden Wijaya, diangkat menjadi Senapati Kerajaan Singhasari. Kelak, ia dikenal sebagai pendiri Kerajaan Wilwatikta atau Kerajaan Majapahit.

          Sang Ragasuci atau Rahiyang Saunggalah, berjodoh dengan Dara Puspa, adiknya Dara Kencana (isteri Prabu Kretanagara raja Singhasari).

          Dari perkawinannya dengan Dara Puspa, Rahiyang Saunggalah berputera: Citraganda. Rahiyang Saunggalah, menjadi Raja Sunda hanya 9 tahun (1297‑1303 Masehi). Karena sebelumnya, Prabu Darmasiksa, dikaruniai umur panjang, menjadi raja di Kerajaan Sunda, satu seperempat abad lamanya (1175‑1297 Masehi).

          Pengganti Prabu Ragasuci, puteranya, Prabu Citraganda. Permaisuri Prabu Citraganda, Dewi Antini, adalah puterinya Prabu Rajapurana. Sedangkan Prabu Rajapurana, adalah putera Prabu Guru Darmasiksa, dari Puteri Saunggalah.

          Prabu Citraganda memerintah di Kerajaan Sunda (termasuk Galuh dan Galunggung) sampai tahun 1311 Masehi. Pengganti Prabu Citraganda, puteranya, Prabu Linggadewata. la memegang kekuasaan di Kerajaan Sunda, sampai tahun 1333 Masehi.

          Sebagai pengganti Prabu Citraganda, adik iparnya, Prabu Ajiguna Linggawisesa. Karena, Prabu Ajiguna Linggawisesa, menikah dengan adiknya Prabu Citraganda: Ratna Umalestari. Pada masa pemerintahannya, ibukota Kerajaan Sunda beralih, dari Pakuan (Bogor) ke Kawali (Ciamis). Dari pernikahannya dengan Uma Lestari, Prabu Ajiguna Linggawisesa memperoleh putera, di antaranya:

1.    Ragamulya Luhur Prabawa, atau Aki Kolot;
2.    Dewi Kiranasari, diperisteri oleh Prabu Arya Kulon;
3.    Suryadewata, leluhur Kerajaan Talaga (Majalengka).

Prabu Ajiguna Linggawisesa wafat tahun 1340 Masehi. Kemudian digantikan oleh puteranya, Prabu Ragamulya Luhur Prabawa, yang memerintah di Kerajaan Sunda sampai tahun 1350 Masehi.

Prabu Ragamulya Luhur Prabawa, digantikan oleh puteranya, Prabu Linggabuana, dengan nama nobat: Prabu Maharaja Linggabuana. la dinobatkan pada tanggal 14 bagian terang bulan Palguna tahun 1272 Saka (22 Pebruari 1350 Masehi). Dalam melaksanakan pemerintahan sehari-hari, didampingi oleh adiknya, Sang Bunisora, yang bergelar Mangkubumi Saradipati.

          Dari Sang Permaisuri Dewi Lara Linsing, Prabu Maharaja Linggabuana memperoleh putera:

1.    Dyah Pitaloka, lahir tahun 1339 Masehi, oleh kakeknya diberi                 nama Citraresmi;
 2.    Putera kedua laki‑laki, meninggal dalam usia 1 tahun;
 3.    Putera ketiga laki‑laki, meninggal dalam usia 1 tahun;
 4.    Wastu Kancana, lahir tahun 1348 Masehi.

Tibalah saat yang bahagia, karena Sang Puteri Dyah Pitaloka, menginjak usia 18 tahun, dan dilamar oleh Bhre Wilwatikta: Prabu Hayam Wuruk.

          Sang Prabu Linggabuana Maharaja Sunda, akan mengadakan pesta perkawinan puterinya di Majapahit. Demikianlah, menurut keinginan sang Maharaja Majapahit Prabu Hayam Wuruk.

          Setiba di sana, puteri mahkota Sunda itu, ternyata harus diserahkan kepada Bre Prabu Majapahit, sebagai isteri persembahan (upeti). Sesungguhnya, hal itu amat bertentangan, dengan janji Bre Majapahit sendiri. Karena itu, Prabu Maharaja Sunda, tidak bersedia menyerahkan puterinya.

          Sesungguhnya, sebelumnya, Bre Prabu Majapahit sudah menjanjikan, bahwa sang puteri Citraresmi, akan diperisteri (resmi), dan dijadikan permaisuri. Akan tetapi, janji tersebut tidak ditepatinya. Bahkan ia, sepertinya ingin menguasai negeri Sunda di Jawa Barat.

          Sesungguhnya, hal itu, hanya ulah dan kehendak Sang Patih Mada. Sang Prabu Hayam Wuruk, selalu menyetujui keinginan Patihnya. Semua orang mengetahui, bahwa yang menyakiti hati orang Sunda itu, adalah Sang Patih Mada.

          Utusan Sang Prabu Maharaja Sunda, dengan Sang Patih Gajah Mada, sama‑sama mengeluarkan perkataan yang tidak layak. Akhirnya, meluaplah hati Sang Patih Mada. la menjadi berang, lalu memerintahkan laskar Majapahit, siap untuk bertempur.

          Semua pasukan Majapahit, mengenakan pakaian perang dan membawa berbagai macam senjata. Di antara mereka, ada yang menunggang gajah, ada yang berkuda, ada yang naik kereta, dan beberapa ratus orang berjalan kaki, dengan persenjataan lengkap.

          Sang Prabu Maharaja termenung sejenak, lalu menundukkan kepala. Hatinya cemas dan ragu‑ragu. Betapapun, tidak mungkin para kesatria Sunda memenangkan pertempuran, melawan angkatan perang Majapahit yang sedemikian besar jumlahnya. Namun seandainya mereka kalah dan gugur, kehormatanlah yang harus dipertaruhkan.

          Lalu berkumpullah orang-orang Sunda, semuanya hanya 98 orang, di Panaggrahan (kemah) tempat Sang Prabu Maharaja. Mereka bermusyawarah dan sepakat untuk menyongsong musuh. Sang Prabu Maharaja dan para pengiringnya, tidak sudi dihinakan dan diperintah oleh Raja Majapahit.

          Kemudian Sang Prabu Maharaja Linggabuana berseru kepada semua pengiringnya. Beginilah ujarnya "Walaupun darah akan mengalir bagaikan sungai di palagan Bubat ini, namun, kehormatanku dan semua kesatria Sunda, tidak akan membiarkan pengkhianatan terhadap negara dan rakyatku. Karena itu, janganlah kalian bimbang!"

          Kemudian, tibalah pasukan besar Majapahit, yang dipimpin langsung oleh Sang Patih Mada, sebagai panglima perang. Pengecut perbuatannya, menyerang raja Sunda bersama pengiringnya, yang hanya beberapa puluh orang jumlahnya.

          Orang Sunda serempak menyongsong lawan. Pertempuran berlangsung sengit. Namun akhirnya, semua orang Sunda yang ada di sana gugur, oleh Sang Patih Gajah Mada bersama pasukannya. Kemudian, Sang Ratna Citraresmi, melakukan mati‑bela (bunuh diri).

          Adapun para pembesar dan pengiring kerajaan Sunda yang gugur di palagan Bubat, masing‑masing ialah: Rakeyan Tumenggung Larang Ageng; Rakeyan Mantri Sohan; Yuwamantri (menteri muda) Gempong Lotong; Sang Panji Melong Sakti; Ki Panghulu Sura; Rakeyan Mantri Saya; Rakeyan Rangga Kaweni; Sang Mantri Usus (Bayangkara Sang Prabu); Rakeyan Senapatiyuda Sutrajali; Rakeyan Juru Siring; Ki Jagat Saya (Patih Mandala Kidul); Sang Mantri Patih Wirayuda; Rakeyan Nakoda Braja (Panglima Angkatan Laut Sunda); Ki Nakoda Bule (pemimpin jurumudi kapal perang kerajaan); Ki Juru Wastra; Ki Mantri Sebrang Keling; Ki Mantri Supit Kelingking. Kemudian Sang Prabu Maharaja Linggabuana Ratu Sunda, Rajaputri Dyah Pitaloka, bersama semua pengiringnya.

          Tetapi bumi Sunda tidak dikuasai oleh kerajaan Majapahit (tathapyan mangkana sundhabhumi tan kalindih dening rajya wilwatikta). Mereka tidak menyerang Kerajaan Sunda. Hasrat mereka menyerang Tatar Sunda tidak kesampaian.

          Peristiwa orang Sunda di Bubat itu (pasunda bubat), usai terjadi sebelum tengah hari. Semua orang Sunda, yang datang di Bubat, binasa, tidak seorangpun yang tersisa.

          Ketika perang di palagan Bubat berlangsung, yaitu pada hari Selasa Wage tanggal 4 September 1357 Masehi, putra mahkota Sang Niskala Wastu Kancana, baru berusia 9 tahun. Oleh karena itu, pemerintahan Kerajaan Sunda, untuk sementara dipegang oleh Mangkubumi (Sang Bunisora), dengan nama nobat: Prabu Guru Pangadiparamarta Jayadewabrata.

          Dalam menjalankan pemerintahan, Sang Bunisora, cenderung sebagai raja pendeta, yang diwarnai suasana religius. Dalam naskah Carita Parahiyangan, Sang Bunisora, disebut sebagai Satmata. la dikenal pula dengan gelar Sang Bataraguru di Jampang.

          Menurut naskah Kropak 630, tingkat batin manusia dalam keagamaan (Sunda) adalah: acara, adigama, gurugama, tuhagama, satmata, suraloka, dan nirawerah. Satmata adalah tingkatan ke‑5, merupakan tahap tertinggi, bagi seseorang yang masih ingin mencampuri urusan duniawi. Setelah mencapai tingkat ke-6 (Suraloka), orang sudah sinis terhadap kehidupan umum. Pada tingkatan ke‑7 (Nirawerah), padamlah segala hasrat dan nafsu, seluruh hidupnya pasrah kepada Hiyang Batara Tunggal (Tuhan Yang Esa).

          Dari permaisuri Laksmiwati, Sang Bunisora mempunyai putera, di antaranya;

1.    Giridewata atau Ki Gedeng Kasmaya, kelak menjadi raja daerah di wilayah Cirebon Girang;

2.    Bratalegawa, kelak memeluk agama Islam dan menjadi haji pertama di Jawa Barat, sehingga ia terkenal dengan julukan Haji Purwa Galuh;

 3.    Banawati, kelak menjadi Ratu di wilayah Galuh; dan

 4.    Mayangsari, kelak berjodoh dengan Sang Niskala Wastu Kancana.

Sang Niskala Wastu Kancana, ketika usianya sudah 20 tahun, memperisteri gadis pilihannya, Ratna Sarkati yang berusia 19 tahun, puteri Resi Susuk Lampung dari Sumatera Selatan. Setelah satu tahun, ia memperoleh putera, Sang Haliwungan, yang lahir pada tahun 1369 Masehi.

Pada tahun 1371 Masehi, Sang Niskala Wastu Kancana memperisteri Dewi Mayangsari (usia 17 tahm), puteri bungsu Sang Mangkubumi Bunisora. pada tahun yang sama, Sang Bunisora wafat, setelah memerintah di Kerajaan Sunda, selama 13 tahun 5 bulan lebih 15 hari.

          Sang Niskala Wastu Kancana menggantikannya, naik tahta pada usia 23 tahun, dengan nama nobat: Mahaprabu Niskala Wastu Kancana atau Praburesi Buanatunggaldewata.

          Tentang masa pemerintahan Mahaprabu Niskala Wastu Kancana, penulis Carita Parahiyangan memberikan gambaran: "Jangankan manusia. Apah (air), teja (cahaya), bayu (angin), akasa (langit), serta bu (eter), merasa betah berada di bawah pemerintahannya".

          Sang Mahaprabu Niskala Wastu Kancana, memerintah di Kerajaan Sunda, selama 103 tahun 6 bulan lebih 15 hari (1371‑1475 Masehi). la wafat dalam usia kurang lebih 126 tahun. la masih sempat mendengar, Majapahit dilanda Perang Paregreg, akibat perebutan tahta di antara keturunan Prabu Hayam Wuruk, yang terjadi pada tahun 1453 ‑ 1456 Masehi. Akibatnya, selama 3 tahun, Majapahit tidak mempunyai raja. Di saat Majapahit sedang dilanda kerusuhan, ia sedang menikmati ketenangan dan kedamaian pemerintahannya, sambil tak henti‑hentinya bertirakat dan beribadah (brata siya puja tan palum). Setelah wafat, Sang Mahaprabu Niskala Wastu Kancana, dipusarakan di Nusalarang.

          Selama masa pemerintahannya, ada dua kejadian penting yang patut dicatat, yaitu kedatangan angkatan laut Cina, di bawah pimpinan Laksamana Ma Cheng Ho, dan kedatangan seorang ulama Islam yang kemudian mendirikan pesantren pertama di Jawa Barat (Danasasmita, 1984: 42).

          Penulis Carita Parahiyangan menganjurkan: "Sugan aya nu dek nurutan inya twah nu surup ka Nusalarang. Pakeun heubeul jaya dina buana, pakeun nanjeur na juritan" (Barangkali ada yang akan mengikuti perilaku dia yang dipusarakan di Nusalarang. Untuk hidup lama berjaya di dunia, untuk unggul dalam perang).

Ikhwal Kerajaan Sunda lainnya, tercatat dalam kaol Cina, antara lain sebagai berikut:

Chu‑fan‑chi adalah buku pertama yang menyebut (negeri) Sunda dan pelabuhannya. Menurut Chau ju‑kua, Sunda pada waktu itu takluk pada Sriwijaya atau San-fo‑tsi (Heuken,1999: 24).

Berita tentang Sunda yang dicatat Chau ju‑kua (1225 Masehi), sesungguhnya kutipan dari catatan Chou Ku‑fei (1178 Masehi), dalarn naskah berita Ling wai‑tai‑ta. Ketika Chou Ku‑fei mencatatnva, ataupun ketika Chau-Ju‑kua mengutipnya, yang menjadi penguasa di Kerajaan Sunda adalah: Prabu Guru Darmasiksa Paramarta Sang Mahapurusa atau Sang Prabu Sanghyang Wisnu (1175‑1297 Masehi). Hanya saja, ketika Chou Ku‑fei mencatat tentang Sunda, pusat pemerintahan Kerajaan Sunda masih di Saunggalah (Kuningan). Sedangkan ketika Chau ju‑kua mengutipnya, pusat pemerintahan Kerajaan Sunda sudah beralih ke Pakuan (Bogor).

          Chau Ju‑kua membubuhkan komentar dalam beritanya, bahwa "Sunda pada waktu itu takluk pada Sriwijaya atau San‑fo‑tsi". Rupa‑rupanya, catatan Chau ju‑kua itulah, yang sering menjadi sumber dugaan, "bahwa Sunda pernah ditaklukan Sriwijaya", sebagaimana yang dikemukakan Bosch ketika membahas Prasasti Kebonkopi II.

          Lain halnya dengan catatan Pangeran Wangsakerta, dalam pustakanya mengemukakan adanya kekerabatan Kerajaan Sunda dengan Kerajaan Sriwijaya. Salahsatu catatannya mengemukakan, bahwa salah seorang isteri Prabu Guru Darmasiksa Maharaja Sunda, yaitu Dewi Suprabha Wijayatunggadewi, merupakan keturunan Raja Sriwijaya Sanggaramawijayatunggawarman (1018‑1027 Masehi).

          Catatan Pangeran Wangsakerta lainnya, mengemukakan terjadinya peristiwa pertempuran armada laut Kerajaan Kadiri dengan armada laut Kerajaan Sriwijaya, yang berlangsung seru di perairan Kerajaan Sunda sebelah barat (perairan Banten). Pertempuran tersebut, diakhiri oleh kedua belah pihak, setelah masing masing mengundurkan diri. Kedua-duanya menderita kerusakan berat, tanpa diketahui, siapa yang menang dan siapa yang kalah.

Dalam masa "gencatan senjata", Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Kadiri, masing‑masing mengirimkan utusan ke negeri Cina, meminta bantuan dan perlindungan.

          Kaisar (Raja) Cina membalas kedua surat tersebut, dengan isi yang sama, antara lain:

 1.    Kedua pihak harus mengakhiri permusuhan dan menempuh jalan damai;

 2.    Tempat perdamaian ditentukan di Sundapura (Sunda Sembawa, bekas ibukota Tarumanagara); dan

3.    Perdamaian dipimpin oleh Duta Cina, serta disaksikan utusan negara sahabat dari kedua pihak yang bersengketa, termasuk saksi tuan rumah: Prabu Guru Darmasiksa Maharaja Sunda.

Upaya penyelesaian jalan damai, berlangsung di Sundapura (Bekasi) pada tahun 1182 Masehi, dengan hasil persetujuan yang disepakati bersama, bahwa "Sriwijaya dan Kadiri, masing-masing hanya boleh bergerak di kawasan sebelah barat dan timur wilayah Nitsantara".

          Kemudian Kerajaan Sunda serta kaitannya dengan Banten, dibahas pula oleh para akhli, antara lain sebagai berikut:

          Banten dinamakan Sunda selama empat abad berturut‑turut, baik oleh orang Cina (misalnya dalam teks Chan Ju‑kua dan dalam Sunfeng xiansong, yang menyebut Banten sebagai "wan‑tan" dan "shun‑t'a") maupun oleh orang Arab pada awal abad ke‑16 (misalnya Ibn Majid dan Sulaiman) (Guillot,1996:119).

"Banten dinamakan Sunda", demikian ungkap Guillot, Kalau diberi makna yang lebih jembar (luas), Banten adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Sunda. Dalam catatan kaki, Guillot memberikan petunjuk: Hendaknya digarisbawahi bahwa dalam naskah inilah nama tempat "Banten" (wan‑tan), muncul untuk pertama kali dalam sumber tulisan, apapun bahasanya(Guillot,1996:119).

          Catatan Cina lainnya memberitakan tentang Kerajaan Sunda dan Bantennya, antara lain sebagai berikut:

 Dalam perjalanan ini dari Shun‑t'a ke timur sepanjang pantai utara Jawa, kapal‑kapal menuju arah 97,5 derajat selama tiga penjagaan untuk sampai ke gunung Chia‑lie‑pa (= kalapa); lalu mereka menyusuri pantai (lewat Tanjung Indramayu), dan menuju arah 187,5 derajat selama empat penjagaan sampal tiba di Che‑li‑wen (Cirebon).

 Kapal‑kapal dari Wan‑tan (Banten) menuju arah timur sepanjang pantai utara Jawa, melalui Chia‑liu‑pa (Kelapa), Tanjung Chiao‑ch'iang‑wan (Tanjung Indramayu) dan Che‑li‑wen (Cirebon) (Heuken,1999: 107).

 Cina mencatat pelabuhan‑pelabuhan besar dan penting yang ada di Kerajaan Sunda: Wan‑tan (Banten); Chia‑lie‑pa (Kalapa, Jakarta), Tanjung Chio‑ch'iang‑wan (Tanjung Indramayu) dan Che‑li‑wen (Cirebon). Pelabuhan Banten dimaksud, dibahas pula oleh Heuken, antara lain sebagal berikut:

Chu‑fan-chi adalah buku perlama yang menyebut (negeri) Sunda dan pelabuhannya. Menurut Chau Ju‑kua, Sunda pada waktu itu takluk pada Sriwijaya atau San‑fo‑tsi. Pelabuhan yang dimaksud oleh Chau Ju‑kua itu menurut Rouffaer (1921) mungkin merupakan kampung Kapalembangan di Banten (Heuken,1999: 24).

 Kapalembangan diinaksud, boleh,jadi sama dengan catatan Portugis, yang tercantum dalam peta tahun ± 1540 Masehi (kini tersimpan dalam herzog August Bibliothek di Wolfenbuttel, Jerman), atas dua nama Palambam dan Palibam di wilayah pesisir barat Banten.

 CATALAN PARA AKHLI
Kajian para akhli tentang Banten Girang, telah sering dilakukan, terutama melalui penelitian arkeologi. Akan tetapi, jalan untuk menuju ke Banten Girang, belum menemui titik terang, masih dilanda kegelapan. Claude Guillot, Lukman Nurhakim, dan Sonny Wibisono, telah berupaya mengungkapkan hasil penelitiannya melalui buku Banten Sebelurn Zarnan Islam; Kajian Arkeologi di Banten Girang 932? ‑ 1526 (Penerbit Bentang, 1996). Sangat menarik, penampilan angka tahun dalam judul buku tersebut, yaitu 932 yang dibubuhi tanda tanya (?). Artinya, angka tahun tersebut, oleh Claude Guillot dan kawan‑kawan, masih diragukan atau perlu diteliti lebih lanjut"

Claude Guillot dan kawan‑kawan menampilkan angka tahun 932?, berdasarkan hasil kajian epigrafi Bosch, antara lain sebagal berikut:
Sebuah prasasti berbahasa Melayu Kuno yang ditemukan di Kebonkopi, yaitu prasasti II (dinamakan demikian untuk membedakannya dengan prasasti dari tempat yang sama yang berasal dari masa Kerjaan Taruma) memberitahukan "pemulihan kembali Raja Sunda" (barpulihkan haji Sunda). Prasasti tersebut telah dipelajari dan diterbitkan oleh Bosch, yang menafsirkan tahunnya berdasarkan sebuah candrasangkala, yaitu 932 M (854 S) (Guillot,1996:111).

Dari prasasti Kebonkopi II hasil kajian Bosch itulah, angka tahun (titimangsa) Banten Girang dijadikan patokan. Pembuktian arkeologi ditampilkan, sekaligus merupakan daya dukung, untuk memperkuat suatu anggapan.

Di satu pihak tampak dari analisis benda‑benda temuan, bahwa Banten Girang didirikan pada abad ke‑10, sedangkan candi yang terletak di G. Pulasari, melihat arca‑arcanya, dapat ditentukan masa pembangunannya pada paro pertama abad yang sama. Artinya kedua peristiwa tersebut sezaman dengan prasasti Kebonkopi II yang memberitahukan berdirinya sebuah kerajaan di daerah itu (Guillot,1996: 111).

Untuk lebih jelasnya, mengenai prasasti Kebonkopi II, pernah dibahas oleh Atja dan Edi S. Ekadjati dalam Carita Parahiyangan, Karya Tim Pimpinan Pangeran Wangsakerta (1989), antara lain sebagai berikut:

Batutulis ini berbahasa Melayu Kuno, ditemukan di tepi sawah di desa Kebon Kopi, distrik Leuwiliang, Bogor. Batutulis ini kini telah hilang. Bosch (1941) mempelajarinya melalui sebuah foto, yang dimuat dalam Iaporan Kepurbakalaan (O.V 1923, halaman 18, no. 6888).

Prasasti itu dipahatkan pada permukaan sebongkah batu, yang bentuknya tidak beraturan, terdiri atas 4 baris huruf, bunyinya demikian:

// ini sabdakalanda rakryan juru panga
mbat i kawihaji panca pasagi marsa
ndeca barpulihkan haji sun‑
nda//

Sebelum memberi tetjemahan, terlebih dahulu Bosch mengemukakan catatan, antara lain sebagai berikut: sabdakalanda, adalah kata majemuk tatpurusa; sabda, bunyi, kata, perintah; kala untuk cakakala atau sakakala, saat yang pantas diperingati, sesuatu untuk diperingati; akhiran nda menunjukkan prefix honorifix orang ketiga yang demikian ditemukan pula pada prasasti Talang Tuwo: pranidhananda dan pada prasasti Gandasuli: namanda dan aya‑nda; pangambat, dengan didahului gelar rakryan juru menunjukkan, bahwa ia seorang pembesar istana.

Candrasangkala: kawiraja, sepadan dengan bujangga, bernilai angka 8; panca = 5, dan pasagi, bujur sangkar, bernilai angka 4. Tetapi berlainan dengan candrasangkala yang lazim, Bosch menetapkan tidak dibaca dari belakang ke muka (458), karena mengingat bentuk hurufnya terlalu muda, maka Bosch menetapkan dengan tidak ragu‑ragu, bacaan yang benar adalah 854 Saka, tetapi biarpun demikian Bosch membuat kekeliruan, ia menuliskan tahun 942 Masehi, padahal seharusnya 932 Masehi, sebagaimana juga dikemukakan oleh Satyawati Suleiman (1985).

Setelah memperhatikan terjemahan yang dikerjakan oleh Bosch, maka terjemahan dalam bahasa Indonesia demikian:

Ini tanda peringatan dari Rakyran Juru Pengambat, pada tahun 854 Saka (932 Masehi) menetapkan, bahwa Raja Sunda dikembalikan kepada kedudukannya yang dahulu.

Bunyi prasasti, dianggap oleh Bosch berisi surat perintah dalam bahasa Melayu‑Kuna, karena itu ia mengajukan dugaan, bahwa Sunda pada awal abad ke‑10 Masehi, secara kultural dan juga rupa‑rupanya dari segi politik tunduk kepada kekuasaan kerajaan Sumatera, Sriwijaya (Atja & Ekadjati,1989:186‑187).

Timbulnya perbedaan anggapan, diakibatkan oleh kekisruhan dalam menafsirkan Candrasangkala, "Kawihaji Panca Pasagi" pada Prasasti Kebonkopi II.

1.    Bosch menampilkan angka tahun 854 Saka atau 942 Masehi;

2.    Satyawati Suleiman, menampilkan angka tahun 932 Masehi; dan

3.    Guillot menampilkan angka tahun 932?. Menurut pengakuannya, angka tahun tersebut didapat dari tafsiran Bosch.

Sebagaimana lajimnya pembacaan candrasangkala, seharusnya dibaca dan diterjemahkan dari belakang. Sehingga kawihaji panca pasagi (854), menjadi tahun 458 Saka atau 536 Masehi. Tradisi tersebut masih digunakan dalam naskah‑naskah Sunda Kuna, yang usianya lebih muda dari prasasti Kebon Kopi II. Sebagaimana yang terdapat dalam naskah Sanghyang Siksakandang Karesian, Carita Parahiyangan amanit dari Galunggung, Sewaka Darma.

Peristiwa sejarah, yang ada hubungannya dengan angka tahun 458 Saka atau 536 Masehi, dapat diteliti melalui naskah Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadvripa, parwa I sarga 3, halaman 13‑14, antara lain sebagai berikut:

.. // hang pnua sang maharaja candraxuarman makaruck pirang silo / patang silo pantura ring/ prathama sang suryaxuarman ngaran nira/ ikang uehersatu‑luynrc sang candrawarman angenwsi / sira gumantyaken ayayah nira dumadi raja tarumanagara / laumsnya nemlikur umrca / tambaya ning madeg raja yatiku / ing patangatus limang puluh situ / ikang cakakala / tka ring patangatus unualung puluh telu / ikang cakaka!a / rasika lawan namacidam sang mahaburusa bhimaparakrama hariwangca digufijayeng 6huuxcna // putm ping sang candrawarman ikang duritya ya to sang mahisawarnucn nganzn nira dumadi rajyamatya tarumanagrtara / mruang tritiya sang matsyawarman ngaran nira / dumadi senapati saruxcjala muxcng caturduc stri ya to deuri bayusari ngamn ira / pinakstri den ing sang yuunuaraja sakeng rajya pali//

Terjemahannya:

Adapun Sang Maharaja Candrawarman mempunyai anak beberapa orang. Empat orang di antaranya: pertama Sang Suryawarman namanya, yang kelak menggantikan ayahanda Sang Candrawarman sebagai Raja Tarumanagara. la memerintah lamanya 26 tahun, yaitu dari 457 Saka sampai 483 Saka (535 ‑ 561 Masehi), dengan gelar abiseka Sang Mahapurusa Bhimaparakrama Hariwangsa Digwijayeng Bhuwana.
Putera yang kedua, Mahisawarman namanya, yang menjadi Menteri Tarumanagara. Yang ketiga, Sang Matsyawarman namanya, yang menjadi Panglima pasukan laut (senapati sarwajala). Yang keempat perempuan, yaitu Dewi Bayusari namanya la diperisteri oleh putera mahkota (yuwaraja) Kerajaan Pali.

Pada prasasti Kebonkopi II, tertulis pula kalimat "barpulihkan haji sunda", yang terjemahan lainnya antara lain: "pengembalian kekuasaan kepada Raja Sunda". Dalam naskah Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwtpa parwa I sarga 3 halaman 79, ikhwal "Sunda" dijelaskan, antara lain sebagai berikut:
.... / telus karuhun uncs hang ngaran desya sunda / tatha pi ri sawaka ping rajya taruma// tekwan ringusana kangken ngaran kithcc sundapara//
Terjemahannya:
Sesungguhnya dahulu telah ada nama daerah Sunda tetapi menjadi bawahan kerajaan Taruma. Pada masa lalu diberi nama Sundapura (Kota Sunda).

 Dalam prarasti tembaga dari Kabantenan (abad 15 Masehi), daerah Sunda dimaksud adalah Sunda Sembawa (= Sunda asal atau Sunda wiwitan), tempat lahir Sang Tarusbawa.

          Dengan demikian, "Barpulihkan Haji Sunda" atau "Pengembalian kekuasaan kepada Raja Sunda", tentunya dilakukan oleh Sri Maharaja Suryawarman, setahun setelah dinobatkan (535 Masehi) menjadi penguasa ketujuh Tarumanagara.

          Upacara "barpulihkan" dilakukan di Pasir Muara (Cibungbulang), tidak jauh dari Prasasti Kebonkopi I "telapak kaki gajah" tunggangan Sri Maharaja Purnawarman. Dipilihnya lokasi Pasir Muara, tentu ada nilai‑nilai sakral, sebagai kelanjutan spiritual raja pendahulunya.

Kemudian, digunakannya bahasa Melayu‑Kuna pada Prasasti Kebonkopi II, tidak berarti Sunda "pernah tunduk" kepada Sriwijaya, seperti dugaan Bosch, "bahwa Sunda pada awal abad ke‑10 Masehi, secara kultural dan juga rupa‑rupanya dari segi politik, tunduk kepada kekuasaan kerajaan Sumatera, Sriwijaya". Akan tetapi, lebih disebabkan oleh adanya kekerabatan, antara Raja Tarumanagara dengan Raja Kerajaan Pali. Mengingat "Putra Mahkota Raja Pali" (yang mungkin sudah menjadi "Raja Kerajaan Pali") adalah adik ipar Sri Maharaja Suryawarman, menghadiri upacara "Barpulihkan", dalam posisi terhormat sebagai "Rakryan Juru Pangambat".

          catatan, menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa I sarga 3, dalam tahun 422 Saka atau tahun 500 Masehi, Kerajaan Pali terletak di pulau Sumatera bagian tengah dan utara. Sedangkan Sriwijaya, pada tahun 536 Masehi, masih merupakan kerajaan kecil di Palembang, di bawah kekuasaan kerajaan Melayu Sribuja. Barulah pada tahun 598 Saka (676 Masehi), Kerajaan Sriwijaya menaklukkan Kerajaan Pali, dan keluarga keraton Kerajaan Pali mengungsi ke pulau Bali. Kerajaan Sriwijaya, berhasil menguasai seluruh wilayah Pulau Sumatera dan Mahasin (Singapura), menjadi kerajaan besar pada tahun 669 Masehi, di bawah pemerintahan Dapunta Hiyang Sri Jayanasa.

Sebagai bukti tidak pernah "tunduknya Kerajaan Sunda kepada Kerajaan Sriwijaya", ada baiknya kembali kepada naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantana, parwa 11 sarga 3, halaman 176, yang meriwayatkan kekerabatan Kerajaan Sunda dengan Sriwijaya, antara lain sebagai berikut:

.... // lawan rajya sunda / rajya criwijaya wus magaway samaya karwanya tan silih anduni nagara nira sawang sawang/ mwang atuntunan tangan ing pamitra nira//matangyan duta criwijaya haneng rajya sunda / mruang duta sunda haneng rajya criwija‑ya// ....

Terjemahannya:

Dengan kerajaan Sunda, kerajaan Sriwijaya, telah melakukan perjanjian bersama, untuk tidak saling menyerang negara masing‑masing, dengan menjalin persahabatan, menempatkan Duta Sriwijaya di kerajaan Sunda, juga Duta Sunda di kerajaan Sriwijaya.

Pada tahun 669 Masehi, Sri Maharaja Linggawarman, raja keduabelas Tarumanagara, mengakhiri kekuasaannya. Sebagai pengganti, Sang Tarusbawa, menantu Sri Maharaja Linggawarman, yang menikah dengan Dewi Manasih. Adik Dewi Manasih, yaitu Dewi Sobakancana, diperisteri oleh Dapunta Hiyang Sri Jayanasa, raja Sriwijaya.

Berakhirnya pemerintahan Sri Maharaja Linggawarman, menandai pula berakhirnya kekuasaan Dinasti Warman di Tarumanagara, karena nama kerajaan tersebut, oleh Sri Maharaja Tarusbawa, diganti sebutannya menjadi Kerajaan Sunda. Pergantian nama kerajaan, disebabkan, Sang Tarusbawa merasa perlu mengabadikan tempat kelahirannya, Sunda Sembawa (Bekasi). Guillot berupaya mencari jejak kebesaran Hinduisme di Banten Girang, tapi yang ditemukannya Sanghiyang Dengdek, yang tidak dapat dijadikan tiang penyangga hasil penelitiannya. Kekecewaan Guillot, terungkap dalam tulisannya:

Sulit dibayangkan bahwa negeri yang terbuka ke dunia luar, seperti Banten Girang, dapat puas dengan gaya primitif dan "kampungan" dari area menhir itu (Guillot, 1996:100).

Dengan demikian Banten Girang yang ditelusuri oleh Claude Guilot, semakin samar untuk ditemukan. Kehadiran Salakanagara, Tarumanagara, Kerajaan Sunda, dan Kerajaan Sunda Pajajaran di atas pentas sejarah, tidak ia hiraukan.




http://www.zonawin.com
Taruhan Bola

No comments:

Post a Comment