Diktator Militer
Menjarah 35 Miliar
Dollar
Sudah menjadi keterangan klasik apa yang dikisahkan oleh
Kolonel Latief tentang dua kali pertemuannya dengan Jenderal Suharto. Pertemuan
kedua terjadi beberapa
jam sebelum penculikan dan pembunuhan sejumlah jenderal yang dilakukan oleh pasukan G30S. Sudah sangat dikenal bahwa dua batalion pasukan Brawijaya dan Diponegoro yang didatangkan ke Jakarta yang kemudian menjadi bagian pasukan G30S didatangkan atas perintah Jenderal Suharto. Pasukan itu pun sesuai dengan perintah bersiap untuk bertempur. Pasukan ini pula yang kemudian sebagian menyerah bongkokan kepada Jenderal Suharto di Kostrad karena tiadanya logistik, bahkan para prajuritnya kelaparan dan minta makan ke markas Kostrad. Inilah bagian dari skenario G30S yang dirancang untuk gagal.
jam sebelum penculikan dan pembunuhan sejumlah jenderal yang dilakukan oleh pasukan G30S. Sudah sangat dikenal bahwa dua batalion pasukan Brawijaya dan Diponegoro yang didatangkan ke Jakarta yang kemudian menjadi bagian pasukan G30S didatangkan atas perintah Jenderal Suharto. Pasukan itu pun sesuai dengan perintah bersiap untuk bertempur. Pasukan ini pula yang kemudian sebagian menyerah bongkokan kepada Jenderal Suharto di Kostrad karena tiadanya logistik, bahkan para prajuritnya kelaparan dan minta makan ke markas Kostrad. Inilah bagian dari skenario G30S yang dirancang untuk gagal.
Bicara tentang G30S selalu memuat tentang sang dalang.
Sudah sejak dini sejarawan Prof Dr Nugroho Notosusanto menuduh Presiden Sukarno
sebagai dalangnya (yang kemudian juga dianut oleh Victor M Fic). Rezim Orba dan
para kerabatnya menuduh Aidit/PKI, yang lain CIA, Jenderal Suharto, atau dan
berbagai kombinasi. Sejumlah ahli lebih menitikkan pada dalang peristiwa
kelanjutannya berupa pembantaian 500.000 sampai 3 juta rakyat yang dituduh
terlibat G30S atau PKI dalam waktu beberapa bulan tanpa ada perang. Sebagian orang
menguar-uarkan tentang adanya situasi ketika itu yang digambarkan sebagai membunuh
atau dibunuh untuk mengelakkan tanggungjawab pembantaian massal tersebut
sebagai ditulis oleh Brigjen (Purn) Samsudin, Sulastomo, Fadly Zon, Salahuddin
Wahid dsb, sesuatu yang sama sekali tidak ada buktinya dan tidak benar.
Sejumlah peristiwa yang menelan korban sebelum 1 Oktober
1965 serta bentrokan yang terjadi di beberapa tempat segera sesudah peristiwa
G30S disebut sebagai situasi membunuh atau dibunuh, sesuatu yang sangat
dibesar-besarkan. Justru propaganda hitam seluruh mesin rezim Orba
terus-menerus (bahkan sampai tahunan) yang membuat panas situasi, mematangkan
situasi untuk melakukan pembunuhan massal itu (lihat misalnya Lubang Buaya dan
Gerwani). Dalam hubungan ini tidak ada kontroversi, Jenderal Suharto yang
bertanggungjawab, sedang Kolonel Sarwo Edhie Wibowo dan sejumlah petinggi
militer lain sebagai penanggungjawab lapangan. Tidak berlebihan jika Suharto
kita sebut sebagai Sang Jagal.
Sang Jagal
Jenderal Besar (Purn) Suharto, Bapak Pembangunan, Sang
Supersemar, Presiden Republik Indonesia (1968-1998), juga Ketua Dewan Pembina
Golkar di sepanjang tiga dekade kekuasaannya. Selama itu Suharto dipilih
sebagai Presiden RI sebanyak 7 kali dengan dukungan penuh Golkar sebagai bagian
dari tiga pilar ABG: ABRI, Birokrasi, dan Golkar. Itulah yang disebut sebagai
Demokrasi Pancasila. Seorang penulis menyebut Suharto adalah Golkar dan Golkar
adalah Suharto‘. Sebenarnyalah ‗Suharto adalah ABRI dan ABRI adalah Suharto‘ di
samping Suharto adalah Birokrasi dan Birokrasi adalah Suharto‘, jadi Suharto
itu identik dengan kekuasaan negara, bahkan dengan negara itu sendiri.
Pendeknya Suharto ya Indonesia dan Indonesia ya Suharto.
Karena Indonesia itu juga Suharto, maka tak aneh jika
hanya dia yang berhak menafsirkan UUD 1945. Dalam pasal 7 disebutkan Presiden
dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya
dapat dipilih kembali. Kalimat ini dianggap jelas bahwa masa jabatan Presiden
dan Wakil Presiden hanya lima tahun pertama dan lima tahun kedua jika dipilih.
Sama sekali tidak disebutkan bahwa boleh lima tahun ketiga dst.
Siapa bilang UUD 45 membatasi jabatan presiden cumak dua
kali, tidak ada nyang membatasi... begitu Suharto bersabda sebagai tafsirnya.
Dalam bahasa gaul kira-kira berbunyi sukak-sukak aku. Selanjutnya tentang Pasal
33 yang berbunyi Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Itu berarti untuk kemakmuran Suharto, anak cucu cicit, begundal alias kroninya
dalam dan luar negeri. Kan Suharto itu Indonesia dan Indonesia itu Suharto,
tidak ada yang salah bukan?
Rezim militer Orba dibangun oleh Suharto cs lewat lumuran
darah para jenderal dan tiga juta rakyat Indonesia setelah didahului fitnah
kotor dongeng horor tentang tarian harum bunga Gerwani di Lubang Buaya.
Selanjutnya kedudukan Suharto mendapatkan legitimasi dengan apa yang disebutnya
Supersemar, surat perintah 11 Maret 1966 dari Presiden Sukarno yang dipalsukan
itu. Legitimasi selanjutnya didapat dengan menafsirkan UUD 1945 seenak udelnya
sendiri.
Legitimasi yang lain perlu dibangun dengan peran sejarah
Letkol Suharto dalam serangan umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta terhadap pendudukan
Belanda yang diklaimnya sebagai pemilik gagasan dan pelaksana di lapangan.
Senyum Suharto menggambarkan kata-kata yang tak diucapkannya, Habis petinggi
militer yang lain pada ngumpet carik slamet, sedang Hamengkubowono IX cumak
nongkrong di di istananya, maka ya saya sendiri yang tampil menghadapi musuh...
Tentu saja Suharto mendapatkan dukungan barisan kaum intelektual dan cerdik
pandai di segala lini yang dapat dibelinya. Maka ditulislah sejarah dirinya
dengan tinta emas, dibuatlah film kepahlawanan dirinya yang tiada tara seperti Janur
Kuning‘ dan Pengkhianatan G30S/PKI‘ serta bangunan Monumen Yogyakarta Kembali‘
di Yogya yang megah itu.
Dunia Barat merasa berutang budi ketika Jenderal Suharto
menggulung PKI dan seluruh gerakan kiri dan akhirnya berhasil menggulingkan
Presiden Sukarno, simbol rakyat Indonesia dan dunia ketiga dalam menghadapi
imperialisme dunia. Maka langkah selanjutnya adalah mendepolitisasi rakyat yang
menjadi tujuan bersama antara dunia Barat dengan penguasa represif.
Dua kekuatan itu bekerja sama menyingkirkan mayoritas
penduduk Indonesia dari kehidupan ekonomi dan politik di negara mereka sendiri.
Gaya rezim ini adalah tiadanya pembangunan politik elementer alias politik
tanpa pembangunan politik, soalnya politik itu tabu bagi rakyat. Biarlah
politik itu menjadi monopoli Suharto, ABRI, Birokrasi, dan Golkar. Sedang dua
partai lain, PPP dan PDI diberi peranan politik pinggiran pupuk bawang sebagai
ornamen demokrasi.
Suharto masih merasa kurang pas jika belum dilengkapi
legitimasi yang lain daripada yang lain, yakni legitimasi alam gaib. Ia pun
dibentengi oleh sejumlah dukun dan azimat yang diatur dari atas, barangkali
oleh Ki Semar. Bukan kebetulan jika Suharto mengidentifikasikan dirinya dengan
Ki Semar. Salah seorang dukun yang tersohor sekaligus asisten khusus Suharto
ialah Jenderal Sudjono Humardani.
Ia pernah diutus menjemput kembang wijayakusuma bagi
kesaktian dan kemenangan Suharto.. Untuk itu Suharto melakukan apa yang dalam
bahasa Jawa disebut nglakoni, menjalankan olah mental dan spiritual dengan cara
berpuasa, kungkum di sungai tertentu yang dianggap istimewa atau wingit dengan
air dingin menusuk, tidak sebarang orang tahan dan bisa diterima oleh tempat
itu. Suharto bersemadi di pinggir sungai yang seram, di gua atau di pantai
Samudera Hindia untuk menghadap Nyai Loro Kidul dalam mitos Jawa, bahkan
disebut melakukan perkawinan sakral [bukan perselingkuhan?] dengan sang Nyai.
Apa isterinya tidak cemburu ya?
Bapak Koruptor Teladan
Dalam hubungannya dengan harta korupsi yang pernah
dijarah Suharto bersama keluarganya, maka ada gagasan Presiden Gus Dur untuk
melakukan tawaran damai kepada keluarga Cendana. Hal ini merupakan langkah
persuasif Presiden Gus Dur agar keluarga Cendana sudi berkontribusi kepada negara
dan rakyat. Maka pada akhir Mei 2000 dikirimlah utusan terdiri dari Menteri
Pertambangan dan Energi Susilo Bambang Yudoyono, Ketua Gerakan Pemuda Ansor
Saifullah Yusuf dan Zarnuba Arifa Chafsoh alias Yenny, putri Presiden Gus Dur.
Jika keluarga Cendana setuju dengan jalan damai, maka
rencananya Gus Dur akan mengeluarkan surat pengampunan kepada Suharto dengan
imbalan keluarga Cendana mengembalikan harta jarahannya sebesar 70-90%. Konon
harta yang diincar di luar negeri saja sebesar 45 miliar dollar AS. Ketika itu
jaksa Agung Marzuki Darusman sedang melakukan pengusutan perkara korupsi
Suharto. Niat baik Gus Dur tak terimbangi. Ya mereka hanya mau menjarah dan tak
sudi berkontribusi untuk negara dan rakyat. Rakyat jelata mempunyai ungkapan
sederhana mana ada maling mau mengaku. Konon polisi Indonesia punya kiat jitu,
bahkan mumi Mesir Kuno pun tak dapat mengelak mengakui umurnya.
Ketetapan MPR No.X1/1998 mengamanatkan pemberantasan KKN
yang dilakukan siapa pun termasuk mantan Presiden Suharto. Pada tahun 2000
Suharto hendak dituntut dalam perkara gurem dalam tindak korupsi sebesar Rp1,7
triliun dan 419 juta dollar AS terhadap uang yayasan yang didirikannya (Yayasan
Darmais, Dakab, Supersemar, Amal Bhakti Muslim Pancasila, Dana Mandiri, Gotong
Royong dan Trikora). Yayasan yang bertujuan sosial ini memiliki aset sebesar
Rp4,014 triliun.
Yayasan ini telah menghimpun dana dengan berbagai macam
aturan pemotongan gaji pegawai negeri, sebagian laba bank pemerintah serta BUMN
serta dari para pengusaha kakap. Dalam kenyataannya dana itu dibuat bancaan
untuk modal perusahaan milik Bob Hasan, Bank Yama milik Tutut, Sempati Air
milik Tommy. Ini semua merupakan penyalahgunaan. Akhirnya Jaksa Agung Mei 2006
mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3). Suharto
memang digdaya. Hidup Suharto!
Diberitakan pada akhir Februari 2007 bahwa tim Kejagung,
instansi sama yang mengeluarkan SP3 akan melayangkan somasi dengan gugatan
perdata terhadap mantan Presiden Soeharto yang harus mengembalikan uang negara
sekitar Rp 1,5 triliun yang diduga hasil korupsi semasa mengetuai tujuh
yayasan. Menurut pakar bidang perkorupsian Junus Aditjondro, hal ini cuma
akal-akalan mencari popularitas. Kata Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, Suharto
telah melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum, itu yang akan digunakan dalam
gugatan perdata.
Jatuhnya Suharto pada 1998 tidak serta merta mengakhiri
rezim lama, pelembagaan hal-hal menyesatkan terus berlangsung. Jenderal Besar
(Purn) Suharto ditumbangkan, kuku-kukunya sebagai bagian dari rezim militer
Orba masih mencengkeram berbagai aspek kehidupan bangsa dan negeri ini.
Bersamanya terdapat suatu lapisan militer dan sipil yang telah mencengkeram
akumulasi kekayaan amat besar negeri ini yang kemudian menjadi sah secara hukum
yang akan tetap memberikan pengaruhnya dalam jangka panjang dalam bidang
politik maupun ekonomi terutama melalui apa yang disebut money politics, dengan
politik kekuatan uang alias politik menyogok, menekan, mengancam dan meneror
yang menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya kekerasan rezim Orba.
Kekayaan mereka itu setidaknya sebesar 60 miliar dollar
AS ketika Suharto jatuh, hampir setara dengan 600 triliun rupiah. Sedang
realisasi APBN Perubahan 2006 untuk belanja negara sebesar Rp 528 triliun, artinya
Suharto beserta kroninya mampu membeli negeri ini. Awas, kepala kita
masing-masing bisa dibelinya. Situasi mutakhir Sang Jagal yang Bapak Koruptor
mendapat hadiah Rp 1 triliun dari Mahkamah Agung RI dalam perkaranya dengan
majalah Time, diikuti pentahbisan dirinya sebagai penjarah kekayaan negara
kelas hiu nomor wahid di dunia dari StAR (Stolen Assets Recovery) Initiative
PBB. Kita ikuti seruan penyair Wiji Thukul, Hanya ada satu kata: Lawan!
No comments:
Post a Comment