PANGKALAN
Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Kamis, 30 September 1965, tengah
malam.
Tiga jam lagi, operasi penculikan tujuh jenderal TNI Angkatan Darat akan
dimulai. Ketegangan menggantung di udara. Beberapa lelaki tampak bergegas masuk
gedung Pemetaan Nasional, Divisi Pengamat Udara TNI Angkatan Udara, tak jauh
dari sudut barat laut Halim.
Lima
pemimpin operasi penculikan menggelar rapat persiapan terakhir. Sjam
Kamaruzaman (Ketua Biro Chusus Partai Komunis Indonesia), Supono Marsudidjojo
(Asisten Sjam di Biro Chusus), Kolonel Abdul Latief (Komandan Garnisun Kodam
Jaya), Letkol Untung (Komandan Batalion Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa),
dan Mayor Sujono (Komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan di Halim) duduk
mengitari meja rapat. Wajah mereka letih. Seharusnya operasi penculikan sudah
bergerak pukul 11 malam. Rencana terpaksa diubah karena tim inti terlambat
berkumpul.
Sjam membuka
rapat. Duduknya sembarangan, satu kakinya diangkat. Di bibirnya, sebatang rokok
terselip, mengepulkan asap. Saat itu, laporan dari pasukan-pasukan di daerah
sudah masuk. Banyak yang belum siap bergerak ke Jakarta. Ketegangan makin
memuncak.
Tak jauh
dari sana, di Lubang Buaya, pasukan G30S sudah bersiaga. Namun, rantai komando
tujuh regu penculik belum disepakati. Pembagian sasaran juga kacau. Dua tim
penculik yang sebagian besar beranggotakan Pemuda Rakyat-organisasi pemuda
sayap PKI-yang baru belajar menembak, malah diserahi tugas mengambil target
kakap: Menteri Pertahanan Jenderal Abdul Haris Nasution dan Panglima TNI
Angkatan Darat Letnan Jenderal Ahmad Yani. Target ditukar lagi dengan
tergesa-gesa.
Brigadir
Jenderal Supardjo, Panglima Komando Tempur IV Komando Mandala Siaga yang tiga
hari sebelumnya baru tiba dari Kalimantan untuk bergabung dengan tim pemimpin,
malam itu masygul melihat buruknya persiapan. Apalagi, "Ternyata, setelah
diteliti, kekuatan positif di pihak kita hanya satu kompi Cakrabirawa."
Keraguan
mulai menjalar. Melihat tanda tanya di mata para peserta rapat, Sjam menghardik
keras, "Ya, Bung. Kalau mau revolusi, banyak yang mundur. Tapi kalau sudah
menang, banyak yang mau ikut." Sjam berkeras, kekurangan apa pun tak bisa
membatalkan rencana. "Apa boleh buat. Kita tidak bisa mundur lagi,"
katanya pendek. Rapat ditutup. Pukul 03.15, tim penculik bergerak.
Inisiatif
operasi penculikan dini hari itu datang dari Ketua Umum Comite Central PKI,
Dipa Nusantara Aidit. Pada awal Agustus 1965, sepulang dari kunjungannya ke
Cina, Aidit menghubungi tangan kanannya, Sjam Kamaruzaman.
Dari
penuturan Sjam, terkesan Aidit galau. Dia mengaku pulang mendadak ke Indonesia
setelah mendengar Soekarno jatuh sakit. "Kalau sakitnya terulang, Presiden
bisa meninggal dunia," katanya. Aidit khawatir kematian Soekarno
dimanfaatkan pimpinan TNI Angkatan Darat untuk merebut Istana dan menyingkirkan
PKI.
"PKI
sekarang harus memilih: didahului atau mendahului," kata Aidit. Dan malam
itu, sang ketua tampaknya sudah memutuskan. Sjam diminta segera memeriksa
barisan Biro Chusus, dan membuat konsep "untuk mengadakan suatu gerakan
yang bersifat terbatas".
Sjam
bergerak cepat. Dua hari setelah bertemu dengan Aidit, dia mengumpulkan dua
asistennya, Pono dan Bono, di rumahnya di Salemba Tengah, Jakarta Pusat. Tiga
perwira menengah TNI menjadi kandidat utama pelaksana "operasi
terbatas" Aidit. Mereka adalah Kolonel Abdul Latief, Letkol Untung, dan
Mayor Soejono.
"Ketiganya
anggota PKI," kata Sjam memastikan. Pernyataan ini ada di berita acara
pemeriksaan Sjam oleh Polisi Militer. "Karena ini tugas partai, tenaga
pelaksana pokoknya harus berasal dari anggota partai," katanya lagi.
Sjam juga
mengirim telegram ke semua jaringan Biro Chusus di daerah. Begitu rencana aksi
terbatas sukses, mereka harus menguasai jawatan penting di daerah, dan mengajak
pejabat setempat mendukung Dewan Revolusi. Dengan cara itu diharapkan sebuah
aksi "kecil" di Jakarta bisa memicu gerakan massa yang meluas di
seluruh Nusantara.
Rapat
persiapan dilakukan sampai sepuluh kali. Lokasinya berganti-ganti: rumah Sjam,
Kolonel Latief, atau kediaman Kapten Wahyudi. Sasaran operasi terbatas PKI baru
ditentukan pada 26 September 1965. Tim pelaksana menentukan ada 10 tokoh
antikomunis yang harus "diamankan". Selain tujuh nama jenderal TNI
Angkatan Darat yang sudah umum diketahui, Sjam mengusulkan penculikan mantan
Wakil Presiden Mohammad Hatta, Wakil Perdana Menteri III Chairul Saleh, dan
Jenderal Soekendro. Aidit yang mencoret tiga nama terakhir.
Sehari-hari,
di mata keluarganya, Sjam jauh dari kesan misterius. Dia cepat akrab dengan
orang. Pembawaannya tenang. "Tapi, kalau sudah bicara, bisa terus saja
tanpa berhenti," kata putra sulung Sjam, Maksum-bukan nama sebenarnya. Pada
saat G30S terjadi, Sjam berusia 41 tahun.
Empat dari
lima anak Sjam yang ditemui Tempo punya kenangan yang sama tentang ayah mereka.
"Kami amat dekat satu sama lain," kata Maksum, kini 54 tahun. Dia
ingat, sering diajak ayahnya menonton pertandingan sepak bola. "Kami
sekeluarga juga sering bertamasya melihat matahari tenggelam di Pantai Sampur,
dekat Cilincing, Jakarta Utara," kata Maksum.
Di rumah,
Sjam ringan tangan. "Setiap pagi, Bapak sibuk memperbaiki ini dan itu di
rumah, entah pompa air, entah apa lagi," tutur Maksum, yang sempat
bersekolah di sebuah pesantren di Jawa Timur. Setelah semua beres, Sjam
biasanya duduk santai sambil merokok. Merek rokok favoritnya Commodore. Kepada
anak-anaknya, Sjam mengaku menjadi pengusaha. "Kami tidak tahu dia orang
partai," kata Kelana-bukan nama sebenarnya-anak kedua Sjam, kini 47 tahun.
Dia sempat bingung ketika diajak ayahnya bertandang ke rumah Pono, asisten Sjam
di Biro Chusus PKI. "Di sana, anak-anak Pono memanggil Bapak 'Oom Djimin'.
Saya heran, kok Bapak dipanggil Djimin," katanya. Namun rasa heran itu dia
simpan dalam hati.
Polisi
Militer mencatat setidaknya ada lima nama alias Sjam: Djimin, Sjamsudin, Ali
Mochtar, Ali Sastra, dan Karman. Ketika menulis surat perpisahan untuk adiknya,
Latifah, setahun sebelum dieksekusi pada 1986, Sjam menandatangani surat itu
dengan nama Rusman.
Pada saat
PKI merayakan hari jadinya secara besar-besaran di Istora Senayan, Mei 1965,
Sjam hanya menonton parade partai yang dicintainya dari kejauhan. "Bapak
bawa teropong sendiri untuk melihat Bung Karno berpidato," kata Maksum
mengenang.
Keluarga
Sjam berasal dari Tuban, Jawa Timur. Ayahnya seorang khatib di dinas jawatan
agama setempat. Dia anak kedua dari delapan bersaudara. Sejak muda, Sjam sudah
bersimpati pada gerakan kiri, bergaul rapat dengan kelompok pemuda Pathuk yang
rata-rata beraliran sosialis di Yogyakarta, serta aktif dalam perang melawan
Belanda dan Jepang.
Hubungan
Aidit dan Sjam punya sejarah panjang. Keduanya sudah saling kenal sejak 1949,
tatkala Sjam aktif di Serikat Buruh Kapal Pelabuhan di Tanjung Priok, Jakarta.
Keluarga keduanya juga dekat. Maksum ingat keluarga mereka pernah berlibur
bareng di rumah peristirahatan Aidit di Cisarua, Jawa Barat. "Waktu itu
Pak Abdullah, ayah Aidit, juga ikut," katanya ketika berkunjung ke kantor
Tempo, akhir Oktober lalu.
Meninggalnya
istri Sjam, Enok Jutianah, pada 1963 akibat tifus berkepanjangan, membuat Aidit
makin percaya pada loyalitas Sjam. Enok, perempuan Sunda aktivis buruh di
Pelabuhan Tanjung Priok dan pengurus Barisan Tani Indonesia, meninggalkan semua
kegiatannya untuk menunjang penyamaran Sjam sebagai intel PKI.
"Dia
tidak puas, 'Masak saya jadi aktivis revolusioner kok begini? Di rumah saja.
Tidak boleh ini, tidak boleh itu. Menulis saja tidak boleh.' Makanya dia
berontak, sampai meninggal karena sakit," kata seorang petinggi PKI
menjelaskan kepada Enok. Keterangan ini dikutip John Roosa, sejarawan
Universitas British Colombia, Kanada, dalam buku Dalih Pembunuhan Massal.
Menurut Maksum, ibunya sempat diam-diam menulis laporan perjalanan wisata di
majalah wanita, tapi dengan nama samaran.
Karena
itulah, Aidit amat percaya pada Sjam. Namun dia tidak tahu, laporan Sjam kerap
tidak akurat. Para perwira siap melaksanakan rencana, karena mengira Aidit menghendaki
rencana itu berlanjut. Adapun Aidit berketetapan meneruskan rencana karena
mengira para perwira telah siap. Dengan tidak terbuka pada kedua pihak, Sjam
sang perantara memindahkan nasib G30S ke tangannya sendiri. Dia menahbiskan
dirinya menjadi tokoh pusat gerakan itu.
LUBANG
Buaya, 1 Oktober 1965, pukul 05.30. Tim penculik Pasopati kembali ke markas
dengan kabar buruk. Tiga jenderal tewas tertembak, termasuk sasaran utama,
Ahmad Yani. Target kakap lainnya, Nasution, lolos. "Kami semua terdiam,"
kata Sjam.
Semula Aidit
bermaksud membawa para jenderal ke hadapan Presiden Soekarno hidup-hidup dan
meminta mereka membatalkan rencana kup Dewan Jenderal. Sekarang, rencana itu
gagal.
Sejak itu,
seperti rumah kartu, operasi Biro Chusus PKI perlahan-lahan runtuh. Satu
batalion Pasukan Gerak Cepat TNI Angkatan Udara, yang direncanakan datang, tak
pernah muncul. Pasukan tank dan panser yang diharapkan datang dari Bandung pun
tak pernah ada.
Di tengah
serangan balik kubu TNI, pukulan terakhir datang dari Presiden Soekarno. Kepada
Brigjen Supardjo yang menemuinya di Halim, Jumat siang 1 Oktober, Bung Besar
itu memberikan perintah tegas, "Jangan lanjutkan pertumpahan darah."
Moral mereka langsung jatuh.
Tepat pukul
7 malam, suara bariton Panglima Kostrad Mayjen Soeharto mengudara.
"Gerakan 30 September adalah kontrarevolusioner," katanya. Ketika
itulah Sjam sadar, mereka sudah kalah.
Pada 2
Oktober pukul 1 siang, sehari setelah operasi dipastikan gagal, Sjam
meninggalkan Halim dan pulang ke rumahnya di Jalan Pramuka Jati, Jakarta Pusat.
Sepekan kemudian, tanpa pamit kepada anak-anaknya, dia lari ke Bandung.
Dibutuhkan
satu setengah tahun bagi tentara untuk menemukan Sjam kembali. Pada 9 Maret
1967, ketika bersembunyi di Cimahi, Jawa Barat, di rumah Letnan Dua Suparman,
tentara yang bersimpati pada PKI, ia ditangkap. Setelah itu, aparat menguras
informasi dari Sjam tentang G30S dan Partai Komunis Indonesia. Sjam, yang
semula mengesankan dirinya pejuang komunisme yang kukuh, di penjara menjadi
"lunglai". Ia dimusuhi bahkan oleh tahanan politik PKI sendiri karena
dinilai terlalu mudah "bernyanyi" kepada penyidik. Sembilan belas
tahun dipelihara sebagai "pembocor", riwayat Sjam tamat di ujung
bedil. September 1986, ia dieksekusi mati.
No comments:
Post a Comment