KERATON SURAKARTA HADININGRAT
Karaton Surakarta Hadiningrat mono hawya kongsi dinulu wujud wewangune
kewala. Nanging sira nyumurupana, lan handadekna maknane kang sinandi, dimen
dadi tuntunaning laku; wajibing urip ing donya tumekeng ndelahan
Teks tersebut hendak menjelaskan, untuk sebagian orang Jawa, dulu
Keraton Kasunanan Surakarta pernah menjadi pusat tata nilai dan pola perilaku,
tuntunan hidup dunia dan akhirat. Intinya, ia menjadi representasi kosmologi
dan kosmogoni Jawa pada jamannya.
Karaton Surakarta adalah sebuah warisan budaya Jawa. Wujudnya berupa
fisik bangunan Karaton, benda artefak, seni budaya, dan adat tata cara Karaton.
Keberadaannya yang sekarang ini adalah hasil dari proses perjalanan yang
panjang, dan merupakan terminal akhir dari perjalanan budaya Karaton Surakarta.
Usaha memahami keadaannya yang sekarang tidak bisa lepas dari usaha
mempelajari asal usul dan keberadaanya di masa lampau. Sebab sepenggal cerita
dan deskripsi sejarah suatu peristiwa kurang memberi makna yang berarti,
jikalau tidak dikaitkan dengan proses dan peristiwa yang lain. Oleh karena itu
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam satu alur yang sama akan memberikan
pemahaman yang menyeluruh dan utuh dari situasi yang sama saat ini.
Dalam kajian sejarah Karaton Surakarta akan ditelusuri dan dideskripsikan
latar belakang dan proses menemukan lokasi Karaton, pemindahannya,
pembangunannya serta perkembangannya baik dari segi fisik bangunan maupun segi
nonfisik. Deskripsi historis berdasarkan sumber informan, dokumen-dokumen karya
sastra dan sebagainya diharapkan memberikan pengetahuan yang lebih mendalam
tentang Karaton Surakarta. Dari pengetahuan ini orang/masyarakat akan tumbuh
kesadaran akan warisan budaya tersebut dan memiliki persepsi tertentu terhadap
obyek tersebut.
Persepsi awal yang dapat dibentuk dari hasil kajian sejarah Karaton
Surakarta ini pada gilirannya bisa menimbulkan daya tarik, memotivasi
orang/warga masyarakat baik Nusantara maupun mancanegara untuk mengetahui lebih
lanjut dan mendalam tentang segi-segi dari warisan budaya Karaton Surakarta
tersebut.
A. Pengertian
Karaton
Sebelumnya perlu dijelaskan mengenai pengertian Karaton. Menurut KRHT
Wirodiningrat (Kantor Sasono Wilopo), ada tujuh pengertian (saptawedha) yang
tercakup dalam istilah Karaton. Pertama, Karaton (Karaton) berarti kerajaan.
Kedua, Karaton berarti kekuasaan raja yang mengandung dua aspek: kenegaraan
(Staatsrechtelijk) dan magischreligieus. Ketiga, Karaton berarti penjelmaan
“Wahyu nurbuwat” dan oleh karena itu menjadi pepunden dalam Kajawen. Keempat,
Karaton berarti istana, kedaton “Dhatulaya” (rumah).
Kelima, bentuk bangunan Karaton yang unik dan khas mengandung makna
simbolik yang tinggi, yang menggambarkan perjalanan jiwa ke arah kesempurnaan.
Keenam, Karaton sebagai Cultuur historische instelling (lembaga sejarah
kebudayaan) menjadi sumber dan pemancar kebudayaan. Ketujuh, Karaton sebagai
Badan (juridische instellingen), artinya Karaton mempunyai barang-barang hak
milik atau wilayah kekuasaan (bezittingen) sebagai sebuah dinasti.
B.
Proses Penemuan Lokasi Karaton
Baik dalam Babad Tanah Jawi (1941), Babad Kartasura Pacinan (1940),
maupun dalam Babad Giyanti (1916, I), kisah perpindahan Karaton dari Kartasura
ke Surakarta hampir sama deskripsinya. Secara ringkas kisahnya sebagai berikut.
Ketika Sunan Paku Buwana II (1726 – 1749) kembali dari Ponorogo (1742),
baginda menyaksikan kehancuran bangunan istana. Hampir seluruh bangunan rusak
berat, bahkan banyak yang rata dengan tanah akibat ulah para pemberontak Cina.
Bagi Sunan, keadaan tersebut mendorong niatnya untuk membangun sebuah istana
yang baru, sebab istana Kartasura sudah tidak layak lagi sebagai tempat raja
dan pusat kerajaan. Niat ini kemudian disampaikan kepada para punggawa
kerajaan. Patih R. Ad.
Pringgalaya dan beberapa bangsawan diajak berembug tentang rencana
pembangunan istana baru tersebut. Raja berkehendak membangun istana baru di
tempat yang baru. Raja menghendaki, istana yang baru itu berada di sebelah
timur istana lama, dekat dengan Bengawan Sala. Hal ini dilakukan di samping
untuk menjahui pengaruh para pemberontak yang mungkin masih bersembunyi di
kartasura, juga untuk menghapus kenangan buruk kehancuran istana Kartasura.
Setelah diadakan pembicaraan seperlunya tentang rencana Sunan tersebut,
akhirnya Sunan mengutus utusan yang terdiri dari ahli negara, pujangga dan ahli
kebatinan untuk mencari tempat yang cocok bagi pembangunan istana baru. Para
utusan tersebut diberi wewenang dan kekeuasaan untuk bersama-sama mencari dan
memilih tempat yang cocok untuk istana batu, baik sacara lahiriah maupun batiniah.
Utusan itu terdiri dari Mayor Hohendorp, Adipati Pringgalaya, dan Adipati
Sindurejo (masing-masing sebagai Patih Jawi’Patih Luar’ dan Patih Lebet ‘Patih
Dalam’), serta beberapa orang bupati. Utusan itu diikuti oleh Abdi Dalem ahli
nujum, Kyai T. Hanggawangsa, RT Mangkuyuda, dan RT Puspanegara.
Setelah berjalan lama, mereka mendapatkan tiga tempat yang dianggap
cocok untuk dibangun istana.
Ketiga tempat itu adalah:
1. Desa kadipala; daerahnya
datar, kering, akan tetapi para ahli nujum tidak menyetujui, sebab walaupun
kelak kerajaan Jawa tumbuh menjadi kerajaan yang besar, berwibawa dan adil
makmur, namun akan cepat rusak dan akhirnya runtuh. Sebagai tanda, maka
ditempat itu dibangun sebuah panggung (Kopel). Sekarang panggung itu
dikelilingi oleh bangunan dan gudang kayu jati milik seorang Cina, Jap Kam Mlok
(Tikno Pranoto, tth: 27). Letaknya di depan bekas Rumah Sakit Kadipala, di
sebelah utara jalan Dr. Rajiman.
2. Desa Sala; atas pilihan
RT. Hanggawangsa dan disetujui oleh semua utusan kecuali Mayor Hohendorp.
Alasannya, tanahnya sangat rusak, terlalu dekat dengan Bengawan Sla, dan
daerahnya penuh dengan rawa-rawa yang dalam.
3. Desa Sana Sewu; terhadap
tempat ini RT. Hanggawangsa tidak menyetujuinya, karena menurut ‘jangka’, akan
mengakibatkan perang saudara dan penduduk Jawa akan kembali memeluk agama Hindu
dan Budha (tiyang Jawi badhe wangsul Budha malih) (Panitia Hari Jadi,
1973:81;Pawarti Surakarta, 1939:9-10).
Setelah diadakan permusyawaratan, para utusan akhirnya memilih desa Sala
sebagai calon tunggal untuk tempat pembangunan istana baru, dan keputusan ini
kemudian disampaikan kepada Sunan di Kartasura. Setelah Sunan menerima laporan
dari para utusan tersebut, kemudian memerintahkan beberapa orang Abdi Dalem
untuk meninjau dan memastikan tempat itu. Utusan itu ialah Panembahan Wijil, Abdi Dalem
Suranata, Kyai Ageng Khalifah Buyut, Mas Pangulu Fakih Ibrahim, dan Pujangga
istana RT.
Tirtawiguna (Tus Pajang, 1940:19-21). Sesampainya di desa Sala, utusan
tersebut menemukan suatu tempat yang tanahnya berbau harum, maka disebut desa
Talangwangi (tala = tanah; wangi = harum), terletak di sebelah barat laut desa
Sala (sekarang menjadi kampung Gremet). Setelah tempat tersebut diukur untuk
calon lokasi istana, ternyata kurang luas, maka selanjutnya para utusan
melakukan “samadhi” (bertapa) untuk memperoleh ilham (“wisik”) tentang cocok
atau tidaknya tempat tersebut dijadikan pusat istana. Mereka kemudian bertapa
di Kedhung Kol (termasuk kampung Yasadipuran sekarang).
Setelah beberapa hari bertapa, mereka memperoleh ilham bahwa desa Sala
sudah ditakdirkan oleh Tuhan menjadi pusat kerajaan baru yang besar dan
bertahan lama (Praja agung kang langgeng). Ilham tersebut selanjutnya
memberitahukan agar para utusan menemukan Kyai Gede Sala (sesepuh desa Sala).
Orang itulah yang mengetahui ‘sejarah’ dan cikal bakal desa Sala . Perlu
diketahui, bahwa nama Kyai Gede Sala berbeda dengan Bekel Ki Gede Sala, seorang
bekel yang menepalai desa Sala pada jman Pajang. Sedang Kyai Gede Sala adalah
orang yang mengepalai desa Sala pada jaman kerajaan Mataram Kartasura (Pawarti
Surakarta, 1939:6-7).
Selanjutnya Kyai Gede Sala menceritakan tentang desa Sala sebagai
berikut. Ketika jaman Pajang, salah seorang putera Tumenggung Mayang, Abdi Dalem
kerajaan Pajang, bernama Raden Pabelan, dibunuh di dalam istana, sebaba
ketahuan bermain asmara dengan puteri Sekar Kedaton atau Ratu Hemas, puteri
Sultan Hadiwijaya, raja Pajang (Atmodarminto, 1955:83;Almanak Cahya Mataram,
1921:53;Dirjosubrata, 1928: 75-76). Selanjutnya mayat raden Pabelan dihanyutkan
(“dilarung”) di sungai Lawiyan (sungai Braja), hanyut dan akhirnya terdampar di
pinggir sungai dekat desa Sala.
Bekel Kyai Sala yang saat itu sebagai penguasa desa Sala, pagi hari
ketika ia pergi kesungai melihat mayat. Kemudian mayat itu didorong ke tengah
sungai agar hanyut. Memang benar, mayat itu hanyut dibawa arus air sungai
Braja. Pagi berikutnya, kyai Gede Sala sangat heran karena kembali menemukan
mayat tersebut sudah di tempatnya semula. Sekali lagi mayat itu dihanyutkan ke
sungai. Namun anehnya, pagi berikutnya peristiwa sebelumnya berulang lagi.
Mayat itu kembali ke tempat semula, sehingga Kyai Gede Sala menjadi sangat
heran. Akhirnya ia “maneges”, minta petunjuk Tuhan Yang Maha Kuasa atas peristiwa
itu. Setelah tiga hari tiga malam bertapa, Kyai Gede Sala mendapat ilham atau
petunjuk. Ketika sedang bertapa, seakan-akan ia bermimpi bertemu dengan seorang
pemuda gagah.
Pemuda itu mengatakan, bahwa dialah yang menjadi mayat itu dan mohon
dengan hormat kepada Kyai Gede Sala agar dia dikuburkan di situ. Namun sayang,
sebelum sempat menanyakan tempat asal dan namanya,pemuda itu telah
raib/menghilang. Akhirnya Kyai Gede Sala menuruti permintaan pemuda tersebut,
dan mayatnya dimakamkan di dekat desa Sala. Karena namanya tidak diketahui,
maka mayat itu desebut Kyai Bathang (bathang = mayat). Sedangkan tempat
makamnya disebut Bathangan (makam itu sekarang berada di kawasan Beteng Plaza,
Kelurahan Kedung Lumbu). Dengan adanya Kyai Bathang itu, desa Sala semakin
raharja (Sala = raharja_, kehidupan rakyatnya serba kecukupan dan tenang
tenteram (Roorda, 1901:861).
Demikian cerita singkat Kyai Gede Sala. Kuburan itu terletak di tepi
rawa yang dalam dan lebar. Keadaan ini kemudian oleh para utusan dilapokan
kepada Sunan di Kartasura.
Sesudah Sunan Paku Buwana II menerima laporan, maka segera memerintahkan
kepada Kyai Tohjaya dan Kyai Yasadipura (I), serta RT. Padmagara, untuk
mengupayakan agar desa Sala dapat dibangun istana baru. Ketigautusan tersebut
kemudian pergi ke desa Sala. Sesampainya di desa Sala, mereka berjalan
mengelilingi rawa-rawa yang ada disekeliling desa Sala. Akhirnya mereka dapat
menemukan sumber Tirta Amerta Kamandanu (air kehidupan, sumber mata air). Hal
itu dilaporkan kepada Sunan, dan kemudian Sunan memutuskan bahwa desa Sala-lah
yang akan dijadikan pusat istana baru. Sunan segera memerintahkan agar
pembangunan istana segera dimulai. Atas perintah Sunan, seluruh Abdi Dalem dan
Sentana dalem membagi tugas: Abdi Dalem mancanegara Wetan dan Kilen dimintai
balok-balok kayu, jumlahnya tergantung pada luas wilayahnya. Balok-balok kayu
tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam rawa di desa Sala sampai penuh.
Meskipun demikian belum dapat menyumbat mata air rawa tersebut, bahkan airnya
semakin deras.
Sanadyan kelebetana sela utawi balok ingkang ageng-ageng ngantos
pinten-pinten ewu, meksa mboten saget pampet, malah toya saya ageng ambalaber
pindha samodra.(Tus Pajang, 1940:24-25).
( Walaupun diberi batu ataupun balok-balik kayu yang besar-besar sampai
beribu-ribu banyaknya, terpaksa tidak dapat tertutup, bahkan keluarnya air
semakin besar dan menyeruap bagaikan samodra ).
Bahkan lebih mengherankan lagi, dari sumber air tersebut keluar berbagai
jenis ikan yang biasa hidup di air laut (teri pethek, dsb). Menyaksikan
kejadian itu, Panembahan Wijil dan Kyai Yasadipura bertapa selama tujuh hari
tujuh malam tanpa makan dan tidur. Akhirnya pada malam hari Anggara Kasih
(Selasa Kliwon) Kyai Yasadipura mendapatkan ilham sebagai berikut:
He kang padha mangun pujabrata, wruhanira, telenging rawa iki ora bisa
pampet amarga dadi tembusaning samodra kidul. Ewadene yen sira ngudi pampete,
kang dadi saranane, tambaken Gong Kyai Sekar Dlima godhong lumbu, lawan sirah
tledhek, cendhol mata uwong, ing kono bisa pampet ponang teleng. Ananging ing
tembe kedhung nora mili nora pampet, langgeng toyanya tan kena pinampet ing
salawas-lawase (Pawarti Surakarta, 1939:7).
( Hai, kalian yang bertapa, ketahuilah, bahwa pusat rawa ini tidak dapat
ditutup, sebab menjadi tembusannya Lautan Selatan. Namun demikian bila kalian
ingin menyumbatnya gunakan cara: gunakan Gong Kyai Sekar Delima, daun lumbu
(talas), dan kepala ronggeng, cendol mata orang, disitulah pasti berhenti
keluarnya mata air. Akan tetapi besok kenghung itu tidak akan mengalir, tetapi
juga tidak berhenti mengeluarkan air, kekal tidak dapat disumbat selama-lamanya
).
Penerimaan ilham tersebut terjadi pada hari Anggara Kasih (Selasa
Kliwon) tanggal 28 Sapar, Jimawal 1669 (1743 Masehi) (Yasadipura II, 1916:
17-18). Segala kejadian tersebut kemudian dilaporkan kepada Sunan di Kartasura.
Sunan sangat kagum mendengar laporan tersebut dan setelah berpikir keras
akhirnya Sunan bersabda:
Tledhek iku tegese ringgit saleksa. Dene Gong Sekar Dlima tegese gangsa,
lambe iku tegese uni. Dadi watake bebasan kerasan. Gong Sekar Delima, dadi
sekaring lathi, ingkang anggambaraken mula bukane nguni iku Kyai Gede Sala.
Saka panimbang iku udanegarane kabener anampi sesirah tledhek arta kehe saleksa
ringgit (cendhol mata uwonng), mangka liruning kang dadi wulu wetuning desa
tekan ing sarawa-rawa pisan (Pawarti Surakarta, 1939:8).
“Tledhek” berarti sepuluh ribu ringgit. Gong Sekar Delima berarti
“gangsa”, bibir atau ujar (perkataan). Jadi bersifat perumpamaan. Gong Sekar
Delima menjadi buah bibir yang menggambarkan asal mula/cikal bakal (desa) yaitu
Kyai Gede Sala. Atas pertimbangan itu sepantasnya menerima ganti uang sebanyak
sepuluh ribu ringgit. Sebagai ganti rugi penghasilan desa beserta rawa-rawanya.
Demikian akhirnya Kyai Gede Sala memperoleh ganti rugi sebesar sepuluh
ribu ringgit (saleksa ringgit) dari Sunan. Selanjutnya Kyai Gede Sala bertapa
di makam Kyai Bathang. Di dalam bertapa itu Kyai Gede Sala memperoleh “Sekar
Delima Seta” (putih) dan daun lumbu (sejenis daun talas). Kedua barang tersebut
dimasukkan ke dalam sumber mata air (Tirta Amerta Kamandanu). Sesudah itu
dilakukan kerja bhakti (gugur gunung) menutup rawa.
Akhirnya pekerjaan itu selesai dengan cepat. Penghuninya dipindahkan dan
dimukimkan kembali di tempat lain (“wong cilik ing desa Sala kinen ngalih
marang ing desa Iyan sami”). Kemudian pembangunan dimulai dengan menguruk tanah
yang tidak rata dan dibuat gambar awal dengan mengukur panjang dan lebarnya
(“ingkur amba dawane”). Puluhan ribu (leksan) buruh bekerja di proyek pembangunan
itu. Dinding-dinding pertama dibangun dari bambu karena waktunya mendesak.
Adapun desain umumnya mencontoh model Karaton Kartasura (“anelad Kartasura”)
(Lombard, III: 109).
Mengapa pilihan jatuh di desa Sala, ada beberapa alasan yang dapat diajukan,
baik dilihat secara wadhag atau fisik-geografis maupun alasan magis-religius.
Desa Sala letaknya dekat dengan Bengawan Sala, yang sejak lama mempunyai arti
penting dalam hubungan sosial, ekonomi, politik, dan militer antara Jawa Tengah
dan Jawa Timur. Sebuah sumber menyebutkan, Bengawan Sala atau atau Bengawan
Semanggi mempunyai 44 bandar (Fery Charter abad ke-14), salah satunya bernama
Wulayu atau Wuluyu atau sama dengan desa Semanggi (bandar ke-44).
Dalam Serat Wicara Keras disebutkan, Bengawan Sala sebagai Bengawannya
orang Semanggi (bandingkan dengan Babad Tanah Jawi). Alasan lainnya, di desa
Sala cukup tenaga kerja untuk membuat Karaton karena dikelilingi oleh desa
Semanggi, Baturana, dan Babudan (dua desa yang terakhir merupakan tempat Abdi
Dalem pembuat babud permadani pada jaman Kartasura). Desa Sala sendiri zaman
Padjang dibawah bekel Kyai Sala. Alasan politis juga dapat dimasukkan, terutama
dalam menjaga kepentingan VOC. Untuk mengawasi Mataram maka VOC membangun
benteng di pusat kota Mataram yang mudah dijangkau dari Semarang sebagai pintu
gerbang ke pedalaman.
Sementara itu terdapat sejumlah alasan magis-religius seperti berikut
ini. Pertama, desa Sala terletak di dekat tempuran, yaitu bertemunya Sungai
Pepe dan Bengawan Sala. Tempuran merupakan tempat magis dan sakral. Dismping
itu, kata Sala atau Qala dihubungkan dengan bangunan suci. Kata itu berarti
ruangan atau bangsal besar dan telah disebut-sebut dalam OJO no. XLIII (920)
dengan istilah Kahyunan. Di Qala tedapat sekolah Prahunan (sekarang kampung
praon) di dekat muara Sungai Pepe, yang artinya bangunan suci di Hemad (I Hemad
atau Ing Hemad, Ing Gemad = Gremet). “Ning peken ri hemad”, artinya di pasar
ngGremet, tempat dilakukan upacara penyumpahan mendirikan tempat swatantra
perdikan di Sala.
Pembangunan Karaton segera dimulai setelah rawa-rawa berhasil
dikeringkan dan tempatnya dibersihkan. Untuk mengurug Karaton, tanahnya diambil
dari desa Talawangi. (dalam sebuah sumber lain disebutkan, “hawit iku pada
kalebu hing jangka, sak mangsa-mangsa ndandani Kadaton bakal njupuk hurug lemah
Kadipala (Tetedakan sangking Buk Ha: Ga, Sana Pustaka). Jadi tanah Talawangi
dan tanah Sala kedua-duanya dipakai untuk pembangunan Karaton. Karaton telah
berdiri meskipun belum dipagari batu dan baru dari bambu (jaro bethek).
Sirnaning Resi Rasa Tunggal (1670) menandai saat pengerjaan Karaton selesai,
meskipun nampak tergesa-gesa.
Kata Surakarta sendiri lebih dicari akarnya pada kata atau kerajaan
sebelumnya, Kartasura dan Kerta. Kartasura (Jaman Amangkurat II) dulu bernama
Wanakerta = berani berperang. Sedangkan Kerta atau Karta = tenteram, pusat
Mataram jaman kejayaannya. Jadi keturunan Mataram mengharapkan kejayaan dan
ketentraman kembali Mataram seperti ketika beribukota di Karta.
Ada pendapat lain yang mengatakan, kata Sala berasal dari desa ala,
artinya desa yang jelek. Dan, Karta Sura artinya bukan Karta dan Sura, karena
fakta membuktikan bahwa Kartasura tidak banyak membawa kegahagiaan. Sedangkan
kata Surakarta sering kali juga dihubungkan dengan Batavia atau Jayakarta.
Orang Jawa Barat menyebut bandar ini dengan nama Surakarta. Untuk menghormati
Kompeni, maka Sunan menamakan Karatonnya yang baru dengan Surakarta
(Hadiningrat).
Setelah tanah diratakan, Sunan memerintahkan agar dilakukan pengukuran
calon istana (kutha). Petugasnya adalah : Mayor Hohendrop, Patih R. Ad.
Pringgalaya, Kyai T. Puspanagara, Kyai T. Hanggawangsa, Kyai T. Mangkuyuda, dan
Kyai T. Tirtawiguna. Petugas pengukur calon istana ialah Panembahan Wijil dan
Kyai Khalifah Buyut. Pengukur “adu manis”-nya istana ialah Kyai Yasadipura dan
Kyai Tohjaya.
Untuk mempertinggi pusat istana, maka mengambil tanah dari Talawangi,
Kadipala dan Sanasewu. Para tukang (abdi dalem Kalang) diperintahkan dan
dikerahkan untuk membangun istana. Lurah Undhagi (tukang kayu) dipimpin oleh
Kyai Prabasena dibantu oleh Kyai Karyasana, Kyai Rajegpura, Kyai Sri Kuning,
ditambah tenaga dari mancanegara. Sebagai penanggungjawab adalah R. Ad.
Pringgalaya dengan dibantu para Bupati Jawi dan Lebet. Permulaan pembangunan itu
ditandai dengan sengkalan “Jalma Sapta Amayang Buwana = 1670 Jawa (1744 M)
C.
Prosesi Pemindahan Karaton dari Kartasura ke Surakarta
Pada suatu ketika RT. Tirtawiguna di tanya oleh Sunan tentang
persyaratan perpindahan pusat istana, maka RT. Tirtawiguna memberi penjelasan
sebagai berikut (Adeging Karaton tth:13):
1. Ketika Raja Parasara
memindahkan kerajaannya ke Hastinapura, persajian yang diadakan adalah pala
kirna, pala kesimpar, pala gumantung, pala kependhem, pala andheng atau
bunga-bungaan yang harum baunya ditaruh ditengah istana. Para pendeta berdoa
sehari semalam. Barulah perpindahan dilakukan.
2. Prabu Aji Pamosa dari
Kediri memindahkan pust Kerajaan dari Kediri ke Witaradya. Persajian sama
dengan Prabu Yudayaka (Parasara) di Hastina, dengan ditambah “tumpeng rajegan” (tumpeng seribu
buah) diberi daging binatang berkaki empat, ikan darat, ikan kali, daging jenis
unggas, “jajan pasar”.
3. Prabu Dewata Cengkar di
Medang Kamulang, pindah ke Medang Kamulan Timur. Persajian sama seperti Prabu
Aji Pamosa dengan ditambah “gecok mentah” dipasang di setiap sudut istana dan
setiap perempatan besar dan kecil.
4. Pabu Banjaran Sari di
Kerajaan Pajajaran pindah ke Galuh. Persajian sama dengan yang dilakukan oleh
Prabu Dewata Cengkar dengan ditambah Raja dan Ratu berpakaian “Wligasan”
(pakaian penganten), menghias jalan-jalan, para abdi dalem “Sarimbit” dengan
pakaian “Kepangeranan penganten” (pakaian penganten sesudah upacara kirab
“Kanarendran”)
Segala kegiatan perpindahan tersebut seluruhnya selalu diakhiri dengan
“bujana handrawina” (peta atau resepsi). Sunan menerima persajian seluruhnya
dan ditambah dengan “bumbu-bumbu masak atau racikan atau rerajungan”.
Selanjutnya diatas rencana perpindahan tersebut lebih dahulu
barang-barang yang dipindahkan adalah:
1. beras dan padi
2. perlengkapan dapur dengan
segala macam bumbu masak
3. sato iwen (ayam, itik, dan
sejenisnya)
4. raja kaya (hewan ternak berkaki empat)
5. perlengkapan-perlengkapan
lain
Sedang jenis “sajen” yang diadakan ialah: gecok kelapa, bekakak ikan,
bumbu sekapur peyon atau robyongan: bunga sirih lengkap, rokok boreh. Jenis
tumpeng: megana, urubing damar, tatrah, rabah, rerajungan, rukini, kelut,
litut, gicing. Disamping masih ada sayuran, ikan, daging dan segala macam
jenang : jenang abang, putih, selaka, mangkur, kiringan, ngongrong, dodol, a
lot, bakmi, bandeng, lemu kaleh, kalong, jada, wajik, pudhak pondhoh, ketan
manca warna atau pala kirna, pala gumantung, pala kesimpar, pala kependhem, dan
pala andheng. Kemudian berbagai macam telur, ayam, itik, burung, ikan dan
sebagainya. Berbagai macam benang, kain batik, selendang, kain kerik dan masih
banyak lagi jenis sajian lainnya. ( Pawarti Surakarta, 1939 : 10-11) Kemudian
tiga jenis emas, perak, binatang hidup.
Setelah semua persiapan dirasa cukup lengkap, maka pada hari yang telah
ditetapkan, Sunan beserta segenap Keluarga kaum kerabat pindah tempat dari
Kartasura ke desa Sala.
Mayor Hogendorp beserta pasukannya berapa di depan sejumlah lima kompi.
Perpindahan itu dilakukan pada hari Rabu Pahing, 17 Sura, Sesengkalan “
Kambuling Puja Asyarsa ing Ratu “ ( 1670 Jawa = 1745 M atau 17 Februari 1745 ).
Dalam Serat Kedhaton, disebutkan :
Sigra jengkar saking Kartawani
Ngalih kadhaton mring dhusun sala
Kebut sawadya balane
Busekan sapraja gung
Pinengetan hangkate huni
Hanuju hari Buda henjing wancinipun
Wimbaning lek ping Sapta Wlas
Sura He je kombuling Pudya Kapyarsi
Hing Nata kang sangkala Segera
berangkat dari Kartasura
Pindah karaton di dusun sala
Semua bala prajurit
Sibuk seluruh praja
Diperingati berangkatnya dulu
Bertepatan hari Rabu pagi,
Tanggal 17
Sura je Kombuling Puja kapyarsa
Ing Ratu sengkalinya
Raja dan Ratu tampil di singgana ( sithinggil ) diiring semua penari
perempuan ( Bedhaya Serimpi ) dan para pengikut. Mereka disambut serentak oleh
tembakan meriam, bunyi gamelan dan tiupan terompet. Lalu mereka mulai berjalan
dan sang pujangga mendiskripsikan dengan teliti urut-urutan panjang itu, yang
secara simbolis berarti “ mengankut Karaton sampai ke desa Sala “ ( ngalih
kadhaton mring dhusun Sala ).
Susunan barisan berikut ( Pawarti
Surakarta 1939 : 16 – 21 ; Yasadipura II, 1916, 1 : 20 -21 )
1. Waringin kurung sakembaran
( dua batang pohon beringin ) diberi kain cinde diapit oleh Abdi Dalem dari
desa-desa.
2. Bangsal Pangwarit diiringi oleh Abdi Dalem Prajurit Kalang,
Gowong, Undhagi, Selakerti.
3. Gajah kenaikan Sunan, diapit oleh Abdi Dalem Srati.
4. Kuda kenaikan Sunan diiringi oleh Abdi Dalem Gamel.
5. Para Abdi Dalem Bupati Nayaka Jawi Kiwo dan Tengen: Panumping,
Panekar, Sewu Numbak Anyar, Siti Ageng Kiwo Tengen, Bumi, Bumija, diiringi oleh
Abdi Dalem Kliwon, Panewu, Mantri, naik kuda dengan berpayung.
6. Abdi Dalem Bupati Anom Anon-Anon beserta Panewu, Mantrinya,
terdiri dari: Abdi Dalem: kemasan, greji, pandhe, sayang, gemblak (gembleg),
puntu, samak, tukang laras, tukang warangka, tukang ukir, jlagra, slembar,
gupyuh, tukang cekathak, tukang pasppor, tukang landheyan (tempat tombak),
undhagi, bubut, kendhi, niyaga, badhut, dhalang, tukang sungging, tukang natah
wayang, tukang cat, tukang prada, tledhel, kebon dharat, mengiringi gamelan
terdiri dari: Kyai Surak, Kyai Sekar Delima, Kyai Sekar Gadhung, diberi payung
kuning.
7. Selanjutnya diikuti oleh tukang song-song (payung), tukang pasar,
tukang tulup, tukang jemparing (panah), tukang jungkat (sisir), teluk, gebyar,
tukang musik, (batik), Patih Raden Adipati Pringgalaya dan Patih Raden Adipati
Sindureja disertai benda-benda upacara kepatihan.
8. Prajurit Kompeni lima kompi dengan berkuda.
9. Benda-benda upacara Kadipaten Anom diiringi oleh para Abdi Dalem
Punakawan, emban, cethi, nyai. Kemudian Raden Adipati Anom naik kuda, berpayung
berjajar dengan Mayor Hagendrop, diiringi oleh Abdi Dalem Kadipaten Anom dan
ditutup oleh Pepatih dan Wedana Kadipaten: RT. Wirapraja.
10. Abdi Dalem Prajurit
Sarageni dan Sarantaka, disambung dengan bedhug dengan diiringi Abdi Dalem
Merbot, Penghulu, Khetib, Ulama, pradikan, berkuda dan berpayung. Disambung:
Cekal Kyai Baladewa dibawa oleh Abdi Dalem Kebayan lengkap.
11. Para Sentana, Panji, Riya
Pangeran, putra, berkuda, berpayung, ditutup oleh Abdi Dalem Suranata, juru
besarta anak buahnya.
12. Para punakawan, Hurdenas,
ponylompret Belanda, tombak milik Sunan, kiri kanan mengapit benda-benda
upacara kerajaan: banyak dhalang sawung galing dibawa oleh Abdi Dalem Gandhek
Mantri Anom, berpayung kuning. Disambung benda-benda pusaka kerajaan: bendhe (canang)
Kyai Bicak. Pembawanya naik kuda berpayung kuning. Disambung Abdi Dalem Gajah
Mati dengan membawa Carak Kyai Nakula Sadewa, cemeti milik raja, Kyai Pecut,
Kemudian Raja diiringi oleh Abdi Dalem Keparak kIwa Tengen dengan membawa
benda-benda upacara Kerajaan.
Kemudian para prajurut Tamtama, kiri kanan masing-masing dua ratus orang
prajurit. Disambung oleh Abdi Dalem Prajurit Mertalulut dan Singanagara,
membawa pusaka oleh Abdi Dalem Keparak Kiwa Tengen berjumlah empat pulih orang,
berkuda diiringi benda-benda upacara Kabupaten.
13. Abdi Dalem Keputren: Nyai
Tumenggung atau Nyai Lurah Keparak Jawi dan Lebet naik tandu/kremun atau tandu
kajang dan ada yang berkuda, beserta anak buah. Disambung para Wedana, Panewu,
Mantri, Kliwon beserta anak buah. Kemudian istri Patih Pringgalaya dan Patih
Danurejo. Disambung Abdi Dalem Bedaya Srimpi Manggung Ketanggung atau pembawa
benda-benda upacara, para Ratu serta para emban dan para Nyai. Kemudian
Permaisuri Sunan diiringi oleh Abdi Dalem Gedhong Kiwa Tengen empat orang, Abdi
Dalem Kliwon, Panewu, Mantri Jajar. Disamping putera-puteri Sunan dan para
Selir (Priyatun Dalem), para istri Bupati Mancanagara, semua Keputren ini
sebagian besar naik tandu, kremunjoli atau jempana.
14. Benda-benda pusaka
Kerajaan, dimasukkan ke dalam gendhaga (bokor), serta buku-buku Kerajaan dibawa
oleh Abdi Dalem Keparak, diiringi oleh Abdi Dalem Kasepuhan, Bupati, Kliwon,
Panewu, Mantri, para prajurit dan para panahan.
15. Para Abdi Dalem Perempuan,
bekerja dapur beserta perlengkapan dapur, Abdi Dalem Krapyak, dengan membawa
beras, ayam, dan sato iwen lain, upeti para Adipati Mancanagara. Kemudian Abdi
Dalem Jajar beserta perlengkapan rumah tangga, Abdi Dalem Pamajegan membawa
kayu bakar, arang, sapit, sajen, tampah (niru), tebok, ancak, seruk (bakul),
tumbu, sapu, godhong (daun), ethong, lesung, lempong, alu ujon, kukusan, irus,
solet, dan sejenis peralatan dapur lainnya. Kemudian pusaka Dalem Dandang Kyai
Dhudha, pusaka Panjang Kyai Blawong, Kendhil Kyai Marica, dijaga oleh Nyai Gandarasa
yang naik tandu, diiringi oleh Bupati Gading Mataram besarta anak buahnya.
Kemudian disambung oleh Galadhag Pacitan membawa batu, tempat minum harian
milik Raja, Sela Gilang, teras bagi Siti Hinggil Sela Gilang di Bangsal
Pangrawit, Bangsal Manguntur Tangkil dan batu-batu pasalatan (untuk
sembahyang), padasan, para perdikan Mancanagara, mimbar, bedhug Masjid Besar
Kyai Rembeg. Semua benda-benda pusaka tersebut diberi payung kuning, diletakkan
di atas gendhaga.
16. Pohon beringin pukuran
(yang ditanam di alun-alun Selatan/pukuran) diiringi oleh Abdi Dalem Pancar
Mancanagara.
17. Abdi Dalem Dagang, sudagar,
kriya, pangindung, blatik (pedagang kambing), mudel, umbal, mranggi, pangukir,
rakyat jelata Karaton Kartasura.
18. Binatang ternak milik para
putera sentana, para Bupati, Kliwon, Panewu Mantri beserta anak buahnya.
19. Abdi Dalem Pandhelegan,
tukang mencari ikan, tukang baita (perahu), pambelah, jurumudi, jagal
(penyembelih hewan).
20. Narindu milik Raja dijaga
oleh Abdi Dalem Tuwa Baru dan Abdi Dalem Mancanegara Kilen.
21. Abdi Dalem Mancanagara
wetan dan kulon, membawa pusaka meriam Nyai Setomi dan meriam-meriam lainnya.
Yang turut di dalam perpindahan tersebut kurang lebih ada 50 ribu orang
(limang leksa). Didalam perjalanan tersebut sangat lambat. Jarak antara istana
Kartasura sampai desa Sala memakat waktu kurang tujuh jam. Jalan yang dilalui,
mula-mula merupakan jalan setapak melewati hutan dan semak belukar. Hutan dan semak
belukar itu ditebas untuk dijadikan jalan perpindahan. Jalan itu sekarang
adalah jalan Pasar Klewer ke barat terus sampai ke kartasura, melalui alun-alun
Kerajaan Pajang, dan berangkat dari Alun-alun Kartasura.
Setelah sampai di desa Sala, segera diadakan pengaturan pembagian
tempat. Smentara para “:Pandherek” masih berkumpul di alun-alun. Setelah
istirahat beberapa lama, diadakanlah upacara menghadap Raja (pasewakan agung).
Tempatnya di Tatag Rambat (sekarang pagelaran).
Pada pasewakan agung itu bersabdalah Sunan Paku Buwana II kepada segenap
hadirin:
Heh kawulaningsun, kabeh padha ana miyarsakna pangandikaningsun! Ingsun
karsa ing mengko wiwit dina iki, desa ing Sala ingsun pundhut jenenge, ingsun
tetepake dadi negaraningsun, ingsun parigi jeneng Negara Surakarta Hadiningrat.
Sira padha angertekna sakawulaningsun satalatah ing Nusa Jawa kabeh.
(Pawarti Surakarta 1939 = 26).
( Hai hambaku, dengarkan semuanya sabda saya. Saya berkeinginan sejak
hari ini, desa di Sala saya ambil namanya, saya tetapkan menjadi negara saya,
saya beri nama negara Surakarta Hadiningrat. Kalian siarkanlah ke seluruh
rakyatku di seluruh wilayah Tanah Jawa seluruhnya ).
Kemudian diadakan doa syukur, dan diadakan penanaman pohon beringin
kurung sakembaran di alun-alun utara (muka) dipimpin oleh Patih Pringgalaya dan
Patih Sindureja. Beringin itu diberi nama: sebelah Timur, Kyai Jayandaru dan
sebelah Barat, Kyai Dewandaru. Sedang pohon beringin kurung sekembaran yang
ditanam di alun-alun selatan (pungkuran, belakang) dilaksanakan oleh Bupati
Mancanegara.
Setelah selesai diadakan selamatan selesailah upacara perpindahan pusat
kerajaan dari Kartasura ke Surakarta Hadiningrat. Lama pembangunan bangunan
Kompleks istana memakan waktu sekitar delapan bulan, sering dilakukan kerja
siang malam.
Selanjutnya selama lebih kurang satu bulan warga kota baru itu
diperkenankan menngadakan “bujana handrawina”, berpesta pora di rumah
masing-masing atau bersama-sama dengan para lurah (pemimpin) mereka.
Babad Giyanti menambahkan:’segalanya telah berjalan dengan baik
sebagaimana mestinya (satata amamangun) dan biarpun tanah tidak rata, para
pembesar bergegas membangun kediaman mereka yang baru dengan teratur (samya
atata wisma).
Dengan naskah itu, tampak bahwa persyaratan nujum lebih penting dari pada
topografi tanah. Di samping itu, istana ditetapkan sebagai bagian utama. Kita
juga diberitahu bahwa pemberkatan tanah itu hanya dapat dilakukan dengan
bantuan pelbagai benda keramat yang dialihkan dari Karaton terdahulu, yaitu
keempat pohon waringin, bangsal pangrawit-yang sangat keramat karena mengandung
bongkah batu yang dianggap bekas singgasana Hayam Wuruk (hal ini menjamin
keterkaitannya dengan Majapahit)- seperti juga berbagai pusaka yang merupakan
jaminan bahwa wahyu benar-benar ada pada raja yang sedang memerintah.
Kediaman para bangsawan menempati satu kawasan berisi empat yang luas,
yang dikelilingi oleh tembok tinggi 3-6 meter, yang dinamakan Baluwarti/benteng
(dari bahasa Portugis baluarte), dan belum lama berselang oleh sebuah parit
(jagang). Ruang bertembok itu diantara dua alun-alun bujursangkar yang luas,
alun-alun utara dan selatan. Di Surakarta benteng itu berukuran 1000 x 1800
meter ; di Yogyakarta dinding itu melingkari wilayah seluas 140 ha.
D.
Pembangunan Kota
Setelah selesai masa “bujana handrawina”, mulailah diadakan pengaturan
tempat tinggal. Di pusat istana bertempat tinggal Raja dengan keluarganya serta
beberapa “priyatun dalem”. Di kompleks istana yaitu di dalam Baluwarti
ditempatkan para Pangeran Putra dan Abdi Dalem yang dekat dan selalu
berhubungan dengan kebutuhan harian istana, misalnya tukang masak (gandarasa),
tukang tari (carangan), priyaga pinter istana (Brajanala): perlengkapan istana
(Gedhong dan Lumbung) dan sebagainya.
Sedangkan di luar tembok istana ditempatkan kerabat raja (Hadiwijaya,
Suryahamijaya), dan perlengkapan putera-puteri raja (Karatonan, tulisan,
kuplukan, dan sebagainya). Abdi Dalem Keparak Kiwa dan Tengen ditempatkan di
luar istana. Begitu pula benteng Belanda, rumah para pembesar Belanda. Sedangkan
para prajurit ditempatkan pada batas kota (Sarageni, Mertalulut, Singanegara,
Jayataka, Miji Pinilih, dan sebagainya). Penampatan itu per golongan atau
kelompok. Maka terciptalah nama-nama kampung didasarkan pada nama kelompok Abdi
Dalem (Kalangan, Jagalan, Metalulutan, Saragenen, Gandekan Kiwa, Baluwarti, dan
lain-lain). Hal ini untuk memudahkan mengingatnya.
Setelah pengaturan tempat tinggal para Sentana, Abdi dan Kawula Dalem
selesai pengaturannya, termasuk para pejabat Pemerintah Kompeni Hindia Belanda,
orang-orang Asing, para petugas Misionaris dan Zendeng, maka bersamaan dengan
itu mulai dibangun pasar-pasar, seperti Pasar Harjanagara (Pasar Besar), Pasar
Kliwon, Pasar Legi, Pasar Pahing (Pasar Nangka), Pasar Wage (Pasar Jongke),
Pasar Nglorengan/Slompretan/Klewer, dan lain-lain.
Demikianlah kota cepat berkembang, pada masa Paku Buwana IV kota Sala
sudah hampir sama dengan kota Sala jaman Paku Buwana X. Lebih-lebih setelah
dibangun jembatan Jurug dan Jembatan Bacem, banyak pedagang dari luar kota berdatangan
berdagang di kota Sala.
Hal lain yang perlu ditambahkan adalah adanya tradisi pemberian nama
tempat dan nama orang dalam masyarakat Jawa. Nama-nama tempat/kampung dan nama
orang di Surakarta juga dipengaruhi tradisi ini.
Tradisi pemberian nama pada setiap masyarakat bangsa tidak mesti sama.
Hal ini disebabkan adanya perbedaan budayanya. Orang Indian menggunakan tradisi
Totemisme, orang Cina menggunakan tradisi She, dan sebagainya. Pada orang Jawa,
tradisi pemberian nama agak unik. Apabila kata bin atau binti menunjukkan
tradisi Islam bila bin atau ibn menunjukkan keturunan laki-laki, maka binti
adalah untuk anak perempuan. Di beberapa suku bangsa sering menggunakan nama
marga untuk menunjukkan keluarga besar, Klan atau sukunya. Misalnya marga Harahap,
Sihombing, Nainggolan dan sebagainya dan biasanya digunakan oleh beberapa suku
bangsa di Sumatera Barat dan Tengah. Fungsi marga ini sama seperti She dalam
tradisi Cina.
Pada tradisi pemberian nama orang Jawa sepanjang sejarahnya hampir
selalu mengalami perkembangan akibat budaya dan monesisnya dari jamannya.
Pada masa Jawa Hindu, yaitu masa antara abad ke 5 – 11 pengaruh
Hinduisme masih sangat kuat. Maka nama-nama yang dipakai bernafaskan keagamaan
Hindu. Bahkan ada unsur awatara ( penitisan atau inkarnasi ) masuk ke dalam
pemberian nama tersebut. Hingga hal ini memudahkan bagi kita untuk menetapkan
yang bersangkutan itu menganut agama apa. Namun demikian, akibat kurangnya data
sejarah, kita sangat sulit untuk dapat menemukan nama masa kanak-kanak ( nama
pribadi ). Nama-nama yang kita peroleh dari sumber sejarah yang kita temukan
berupa prasasti, merupakan nama ketika berkuasa ( period name ) atau mungkin
bahkan nama Prabasuyasa atau percandian ( temple name ). Hanya pada masa awal
Mataram Hindu, nama-nama yang kita temukan kelihatannya seperti nama pribadi,
bukan nama jabatan ( sebagai penguasa ) misalnya : Purnawarman, Sanjaya,
Sanaha, Pancapana, Warak, Garung, Pikatan dan sebagainya yang semuanya berciri
nama pribadi.
Selanjutnya kita temukan nama Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya
Mahasambu atau Rakai Watukura Ishwara Kesawasawatungga ( Samarattungga ) yang
bernafaskan Syiwaisme adalah nama untuk raja Balitung dari Kerajaan mataram
Hindu. Sesudah masa Balitung ini, maka nama raja-raja biasanya menggunakan nama
ketika memerintah ( period name ) serta nama percandiannya ( temple name )
Misalnya : Dakshatama Bahubraja Pratipakshaya untuk raja Daksa, juga
bernafaskan Syiwaisme. Pangganti Raja Daksa ialah Rakai Layang Dyah Tulodong
Shri Sajjanasanmaturaga Tunggadewa untuk raja Tulodong, dan Rakai Pangkaya Dyah
Wawa Shri Wijayalokanamatungga untuk raja Wawa. Nama-nama tersebut merupakan
nama percandian ( temple name ).
Selanjutnya pada masa Jawa Timur, terutama pada masa Medang Kahuripan
dan Kediri mulai terjadi sedikit perubahan. Pada masa ini sifat Hinduisme sudah
agak berkurang dan mengarah ke Hindu Jawa. Sifat kewisnuan nampak kuat
disamping unsur Asli mulai muncul. Latar
belakang pemakaian nama Dewa (Iswara, Vajra, Ishana, Dewa, Lokeswara,
Uttunggadewa, dan sebagainya) menunjukkan masih kuatnya pengaruh ajaran
inkarnasi dalam Hinduisme. Peristiwa demikian ini terjadi lagi pada masa Islam
yang dengan menggunakan nama-nama seprti Muhammad, Fatahillah, Abdul Mufakir, Yusuf
dan sebagainya menunjukkan nafas keislaman.
Masa Medang Kahuripan maupun Kediri masih nampak adanya pengaruh
inkarnasi tersebut. Ternyata di dalam gelar berikut: Sri Dharmawangsateguh
Anantawikramatunggadewa untuk raja Dharmawangsa Teguh, Rakai Halu Shri
Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramatunggadewa untuk raja Airlangga.
Kemudian muncul sebutan digdaya, bhuwana, bumi, menunjukkan gaya kejayaan.
Misalnya; Shri Maharaja Rake Sirikan, Shri Kameswara Sakalabhuwana Mustikarana
Sarwaniwaryawirya Parakrama Didayutunggadewa untuk Raja Kameswara II, Sang
Mahapanji Jayabaya Sri Dharmeswara Madusudanawatara-ninditha Suhersinga untuk
Raja Jayabaya, dan sebagainya.
Disamping itu muncul nama Juru Dyah dan Prasanta (Jodeh dan Santa);
Sabda Palon dan Naja Genggong; Si Dudul dan Si Dulet; Dora dan Sembada; Duduga
dan Prayoga adalah nama-nama Abdi kinasih raja atau pangeran yang menjadi tokoh
utama dalam suatu cerita. Juga nama-nama berlatar belakang Totemisme, ialah
suatu kepercayaan asli dengan menggunakan nama-nama hewan atau keadaan alam,
seperti: Lembu Amilihur, Lembu Amisani, Lembu ampal, Lembu Tal, Gajah Mada,
Gajah Enggon, Kebo Ijo Kebo Nabrang, Kebo Tengah, Kudamerta, Kuda Waneng Pati,
Kuda Lalayean, Candrakirana, Sekartaji, Hayam Wuruk, Kencana Wungu, Damarwulan,
Minakjingga, dan lain-lain yang berkembang pada masa Kediri, Singasari dan
Majapahit. Bersamaan dengan itu munculpula nama-nama Jawa: Tohjaya,
Kertanagara, Ranggalawe, Sora, Nambi, Semi, Kuti, Jayanegara dan lain-lain.
Perkembangan selanjutnya mengarah kepada pola Kejawaan dan Jawa. Nama
pribadi atau nama kanak-kanak mulai kita kenal. Mungkin nama kanak-kanak ini
sejak semula memang sudah ada, hanya kita yang kekurangan data. Akhirnya yang
sudah ketahui sekarang adalah kanak-kanak dan nama keluarga, nama panggilan,
nama paraban, nama jabatan, serta nama babtis.
Ada beberapa dasar tradisi pemberian nama itu.
1. Dasar situasi dan kondisi lingkungan sekitar: Sela, Wanasaba,
Wonogiri, Semarang, Karangbolong, Dalemreja, Sala, Jurang Jero, Ledhok, Tegal
Kuniran dan sebagainya.
2. Dasar harapan masa depan yang gemilang: Wnakerta, Kartasura,
Surakarta, Ngayogyakarta, Umbulreja, Sala, Jurong Jero, Ledhok, Tegal Kuniran
dan sebagainya.
3. Dasar penguasa atau orang terhormat di tempat itu: Singasaren,
Jayanegaran, Danukusuman, Pringgalayan, Purwapuran, Purwaprajan, Cakranegaran,
Wiragunan, Purwadiningrat, Yudanegaran, Reksoniten dan sebagainya.
4. Dasar kelompok Abdi Dalem di tempat itu: Gandekan Kiwa/Tengen,
Mertolulutan, Singanegaran, Miji Pinilihan, Saragenen, Jayatakan, Brajanalan,
Kabangan, Jagalan, Gajahan, Kepunton, Tamtaman, dan sebagainya.
Nama dan toponimi berhubungan erat. Dasar inilah yang digunakan
Purbacaraka untuk menentukan letak Bekasi atas dasar Prasasti Tugu.
Selanjutnya tentang ada beberapa pengertian: “Toponimy is the study of
toponimis” (Random House Dictionary, 1968: 1386). M.J. Koenens (1938 – 1038)
mengatakan bahwa toponimi adalah pengetahuan tentang nama-nama (plastsnamen
kunde). Arti dari kedua pendapat tersebut antara lain ialah ilmu yang bergerak
dalam pengetahuan tentangpenelitian nama-nama tempat. Dari kedua pengertian
tersebut dapat dikatakan bahwa dengan pengetahuan toponimi kita dapat
menentukan atau menunjukkan nama-nama atas tempat-tempat tertentu dan akhirnya
dapat kita tentukan peta geografisnya. Dengan toponimi pula kita dapat
menentukan pola-pola berpikir dan merasa diri penduduk di suatu tempat atau
lokal atau daerah tertentu pula pada suatu waktu. Bahkan nama suatu tempat,
desa atau kota saja dibuatkan suatu cerita untuk mengesahkan tentang nama
tempat, desa atau kota tersebut.
Beberapa contoh menunjukkan pola berpikir masyarakat suatu daerah.
1. Nama Banyuwangi, terjadi
dari suatu cerita seorang bangsawan yang membunuh istrinya yang tidak bersalah.
Sebelum meninggal istrinya, berkata “Apabila air sungai ini berbau wangi
(harum) pertanda bahwa saya tidak bersalah. Demikianlah benar-benar air sungai
itu berbau harum, dan bangsawan itu berteriak ‘Banyuwangi’ yang akhirnya
menjadi nama kota di Jawa Timur itu.
2. Semarang, terjadi karena di situ dahulu menjadi pusat penimbunan
buah asam ( asem ) dan arang ( Asem ) dan arang menjadi Asemarang-Semarang.
3. Boyolali berhubungan
dengan cerita Kyai Ageng Pandanarang ( Sunan Tembayat ) dalam perjalanannya
dari Semarang akan berzirah ke makam di Jabalkat ( Tembayat ). Dalam cerita
tersebut muncul nama-nama: Gombel, Srondol, Ungaran, Salatiga, Boyolali, Teras,
Majasanga, Banyudana, dan sebagainya.
4. Begitu pula tentang nama-nama Tangkuban Perahu, Tegal Arum,
Weleri, Kali Wungu, Dieng (Dihyang), Magelang, Banyumas, dan sebagainya.
Sehubungan dengan uraian ini, kata Surakarta adalah nama sebuah kota di
daerah Jawa Tengah Selatan yang dijadikan pusat kerajaan Mataram akhir dan
Kasunanan Surakarta.
Kata Surakarta sendiri mempunyai beberapa nama:
1. Bagi seorang seniman, nama kata ini disebutkan Kota Bengawan
seperti halnya kota Gudeg untuk Yogyakarta; Kota Kembang untuk Bandung, Kota
Perjuangan untuk Surabaya dan lain-lain.
2. Masyarakat pedesaan menyebutnya Nagari, sebab mengingat
sejarahnya, kota ini dahulu menjadi pusat pemerintahan (Kutha Negara Kerajaan,
pusat kedudukan Raja.
3. Secara tradisional, kota ini disebut Kutha Sala, di mana Kutha
berarti tempat yang dikelilingi tembok tinggi (kutha negara). Disamping itu,
penyebutan tersebut menunjukkan kesederhanaan berpikir, sikap dan pandangan
hidup orang Jawa. Ucapan Wong Sala lebih dikenal daripada Wong Surakarta,
seperti halnya Wong Majapahit, Wong Blambangan, dan sebagainya.
4. Para wisatawan lebih senang menyebutnya Kota Solo, seperti lagu
ciptaan Gesang, yaitu Bengawan Solo, karena dinilai sebagai pusat budaya Jawa
dengan sifat khas budaya kejawen.
5. Secara administratif pemerintah (resmi) dan dalam sumber-sumber
resmi tertulis, disebut kota Surakarta atau Surakarta Hadiningrat.
Demikian uniknya Wong Sala atau Wong Jawa dalam soal nama.Pembahasan
terhadap tradisi pemberian nama baik orang maupun tempat akan mengangkat usaha
menemukan gejala-gejala masa lampau yang berproses menjadi hasil karya dalam
bidang budaya masyarakat, terutama masyarakat Jawa. Maka dalam pembahasan
tradisi pemberian nama ini akan menyangkut pula masalah: pertama, kapan Kutha
Sala tumbuh dan bagaimana latar belakang sejarahnya yang kemudian berkembang
menjadi Pusat Kebudayaan Jawa dan Kerajaaan Surakarta Hadiningrat; kedua, latar
belakang budaya yang manakah yang melahirkan nama-nama perkampungan di kota
Surakarta berbeda dengan nama-nama perkampungan di kota-kota lain kerajaan
Kejawen (Vorstenladen).
No comments:
Post a Comment