KESULTANAN TERNATE
Sejak berabad-abad lalu, daya pikat Cengkih dan rempah lainnya telah
membuat para pedagang dan petualang mancanegara berduyun-duyun datang ke
jazirah Maluku dan khususnya Ternate.
Orang-orang Arab, Tionghoa, Jawa dan
Melayu kemudian menetap dan membaur dengan penduduk lokal lalu bersama-sama
mereka membentuk suatu organisasi Kerajaan yang baru di Pulau Ternate.
Kerajaan Ternate didirikan tahun 1257 dengan Kolano (raja) pertama
bernama Baab Mashur Malamo (1257-1272). Di bawah pimpinan beberapa generasi
penguasa berikutnya, Ternate berkembang dari sebuah kerajaan yang hanya
berwilayahkan sebuah pulau kecil menjadi kerajaan yang berpengaruh dan terbesar
di bagian timur Indonesia khususnya Maluku.
Kolano Marhum (1465-1486), penguasa Ternate ke-18 adalah raja pertama
yang memeluk Islam bersama seluruh kerabat dan pejabat istana. Pengganti Kolano
Marhum adalah puteranya, Zainal Abidin (1486-1500). Beberapa langkah yang
diambil Sultan Zainal Abidin adalah meninggalkan gelar Kolano dan menggantinya
dengan Sultan, Islam diakui sebagai agama resmi kerajaan, syariat Islam
diberlakukan, membentuk lembaga kerajaan sesuai hukum Islam dengan melibatkan
para ulama.
Langkah-langkahnya ini kemudian diikuti kerajaan lain di Maluku secara
total, hampir tanpa perubahan. Sultan Zainal Abidin pernah memperdalam ajaran
Islam dengan berguru pada Sunan Giri di pulau Jawa, disana beliau dikenal
sebagai "Sultan Bualawa" (Sultan Cengkih).
Di masa pemerintahan Sultan Bayanullah (1500-1522), Ternate semakin
berkembang, rakyatnya diwajibkan berpakaian secara islami, teknik pembuatan
perahu dan senjata yang diperoleh dari orang Arab dan Turki digunakan untuk
memperkuat pasukan Ternate. Di masa ini pula datang orang Eropa pertama di
Maluku, Loedwijk de Bartomo (Ludovico Varthema), tahun 1511, Portugis pertama
kali menginjakkan kaki di Maluku dibawah pimpinan Fransisco Serrao, atas
persetujuan Sultan, Portugis diizinkan mendirikan pos dagang di Ternate.
Tindak tanduk Portugis yang semakin kurang ajar dan semena-mena membuat
Sultan Khairun (1534-1570) bertekad mengusir Portugis dari Maluku, ketika
diambang kekalahan, secara licik Gubernur Portugis, Lopez de Mesquita
mengundang Sultan Khairun ke meja perundingan dan akhirnya dengan kejam
membunuh Sultan yang datang tanpa pengawalnya.
Pembunuhan Sultan Khairun semakin mendorong rakyat Ternate untuk
menyingkirkan Portugis, bahkan seluruh Maluku kini mendukung kepemimpinan dan
perjuangan Sultan Baabullah (1570-1583), pos-pos Portugis di seluruh Maluku dan
wilayah timur Indonesia digempur, setelah peperangan selama 5 tahun, akhirnya
Portugis meninggalkan Maluku untuk selamanya tahun 1575.
Kemenangan rakyat Ternate ini merupakan kemenangan pertama putera-putera
Nusantara atas kekuatan barat. Dibawah pimpinan Sultan Baabullah, Ternate
mencapai puncak kejayaannya, wilayah membentang dari Sulawesi Utara dan Tengah
di bagian barat hingga kepulauan Marshall dibagian timur, dari Philipina (Selatan)
dibagian utara hingga kepulauan Nusa Tenggara dibagian selatan. Sultan
Baabullah dijuluki “penguasa 72 pulau” yang semuanya berpenghuni hingga
menjadikan kesultanan Ternate sebagai kerajaan islam terbesar di Indonesia
timur, disamping Aceh dan Demak yang menguasai wilayah barat dan tengah
Nusantara kala itu.
Sepeninggal Sultan Baabullah Ternate mulai melemah, Spanyol yang telah
bersatu dengan Portugis tahun 1580 mencoba menguasai kembali Maluku dan
menyerang Ternate, peperangan dengan Spanyol memaksa Sultan Ternate meminta
bantuan Belanda tahun 1603.
Belanda akhirnya secara perlahan-lahan menguasai Ternate, meskipun para
Sultan berikutnya terus menentang kedudukan Belanda namun mereka gagal dan
kedudukan Belanda tetap kuat di Maluku, kegagalan mereka justru membuat Ternate
semakin terpuruk, Ternate terpaksa tunduk lewat berbagai perjanjian yang
menguntungkan Belanda, wilayah kekuasaan Ternate satu persatu jatuh ke tangan
Belanda, kewenangan Sultan dibatasi hingga hanya menjadi simbol belaka dan
sejak itu Ternate pun akhirnya terkucil dari dunia Internasional.
a). Sultan Bayanullah
Sultan Ternate Bayanullah (periode 1500-1522) adalah putera pertama
Sultan Zainal Abidin (periode 1486-1500). Nama beliau seringkali berbeda dalam
berbagai sumber sejarah, ia sering juga disebut Sultan Bolief atau Abu Alif dan
sewaktu muda ia lebih dikenal dengan sebutan Kaicil Leliatur.
Bayanullah dibesarkan dalam lingkungan Islam yang ketat. Sejak resmi
menjadi kerajaan Islam di masa kakeknya Kolano Marhum (periode 1465-1486),
Ternate tak henti-hentinya melakukan perubahan dengan mengadopsi segala hal yang
berbau islami. Sultan Bayanullah menetapkan Syariat Islam sebagai hukum dasar
kerajaan. Seluruh rakyat Ternate diwajibkan memakai pakaian yang menutup aurat.
Ia membentuk struktur baru dan lembaga pemerintahan sesuai Islam yang segera
diadopsi oleh kerajaan-kerajaan lain di Maluku. Tindakannya ini berhasil
membawa Maluku keluar dari alam Animisme ke Monoteisme (Islam).
Sultan Bayanullah juga dikenal sebagai Sultan yang mencintai ilmu
pengetahuan dan berjasa besar bagi perkembangan Islam di wilayah timur Nusantara
dan Maluku pada khususnya, ia banyak mengundang guru-guru muslim untuk mengajar
di Ternate, ia pun tak segan mempelajari ilmu dari bangsa-bangsa asing yang
datang, mengenai hal ikhwal persenjataan, strategi perang, perkapalan, teknik
pembangunan dan sebagainya.
Di masanya tiba orang Eropa pertama di Maluku, Ludovico Varthema
(Loedwijk de Bartomo) tahun 1506. Tahun 1511 armada Portugis untuk pertama
kalinya menginjakkan kaki di Maluku dibawah pimpinan Fransisco Serrao.
Kedatangan Portugis yang awalnya untuk berdagang ini disambut dengan sukacita
oleh Sultan Bayanullah dan bahkan menjadikan mereka sebagai penasihat kerajaan.
Langkah yang sama juga ditempuh mertua sekaligus saingannya Sultan Almansur
(periode 1500-1526) dari Tidore yang juga berlaku serupa terhadap orang-orang
Spanyol.
Sultan Bayanullah sangat menyukai orang Portugis hingga memberikan
mereka hak-hak istimewa dalam perdagangan. suatu langkah yang kelak membawa
kehancuran bagi putera-putera dan negerinya. Sultan Bayanullah tutup usia tahun
1522, kematiannya yang meninggalkan pewaris yang masih belia memberikan
kesempatan bagi Portugis untuk turut andil dalam percaturan politik di Maluku.
b). Sultan Baabullah
Sultan Baabullah (Ternate, 10 Februari 1528 - 25 Mei 1583) memerintah
Kesultanan Ternate pada periode 1570-1583. Sejak muda, ia telah menjadi
panglima perang Kesultanan Ternate di bawah pimpinan ayahnya, Sultan Khairun.
Saat itu, Kesultanan Ternate sedang berperang melawan Portugis.
Pada tahun 1570, Sultan Khairun tewas dibunuh dalam sebuah perundingan
dengan Portugis. Sejak itu, Sultan Baabullah menolak perundingan damai dengan
Portugis, dan mengobarkan perang besar-besaran selama lima tahun, hingga
akhirnya Portugis keluar dari wilayah Ternate pada tanggal 24 Desember 1575.
Sumber Acuan : Majalah Suara Hidayatullah edisi April 2000.
c). Sultan Dayalu
Sultan Dayalu/Hidayatullah (periode 1522-1529), penguasa Ternate ke-20
adalah putera Sultan Bayanullah (periode 1500-1522) dari permaisurinya Sultana
Nukila, puteri Sultan Almansur (periode 1512-1526) dari Tidore.
Pangeran Dayalu masih sangat belia ketika ayahnya yang mangkat, usianya
baru enam tahun hingga pemerintahan dipegang bersama oleh ibunya janda Sultan
Bayanullah, Sultana Nukila dan pamannya Pangeran Taruwese selama beberapa tahun.
Adanya dualisme kepemimpinan di Ternate dilihat Portugis sebagai peluang
untuk mulai menancapkan pengaruhnya di Maluku. Kedua Wali ini diadu domba oleh
Portugis.
Tahun 1526 ayah Sultana Nukila, Sultan Almansur dari Tidore mangkat dan
meninggalkan tahta yang lowong, satu-satunya pewaris yang berhak adalah cucunya
yakni putera mahkota Ternate Dayalu yang barui saja dinobatkan menjadi Sultan
Ternate, Sultana Nukila menginginkan tahta Ternate dan Tidore dipersatukan
dibawah puteranya itu tapi Portugis tentu saja tidak senang atas maksud ini
karena penyatuan Ternate dan Tidore akan semakin menyulitkan mereka dalam upaya
menguasai Maluku. Maka Gubernur Portugis membujuk Wali Raja Taruwese untuk
menentang usul tersebut dan menjanjikan dukungan atas tuntutannya atas tahta
Ternate.
Perang saudara di Ternate pecah antara pihak Sultan Dayalu yang didukung
Tidore dan Pangeran Taruwese yang didukung Portugis. Sultan Dayalu tewas dan
Pangeran Teruwese muncul sebagai pemenang namun tak lama kemudian ia pun tewas
dalam pemberontakan tanggal 31 Oktober 1529.
d). Sultan Abu Hayat II
Sultan Abu Hayat II (periode 1529-1533), penguasa Ternate ke-21 adalah
putera Sultan Bayanullah (periode 1500-1522) dari permaisurinya Sultana Nukila,
puteri Sultan Almansur (periode 1512-1526) dari Tidore.
Sultan Abu Hayat II naik tahta menggantikan kakaknya Sultan
Dayalu/Hidayatullah (periode 1522-1529) yang tewas dalam perang saudara melawan
Wali Raja Teruwese (periode 1521-1529). Sultan Abu Hayat II membenci Portugis
dan tak jarang terlibat konflik dengan mereka yang sering lancang mencampuri
urusan kerajaan. Suatu ketika di tahun 1531 ia dituduh sebagai dalang
pembunuhan terhadap Gubernur Portugis Gonzalo Pereira dan ditangkap, ia sempat
dibebaskan sebelum akhirnya dibuang ke Malaka dimana ia menutup usia setahun
kemudian.
e). Sultan Tabariji
Sultan Tabariji, penguasa Ternate ke-22 (periode 1533-1534) adalah
putera Sultan Bayanullah (periode 1500-1522). Naik tahta di usia 15 tahun
menggantikan kedudukan saudara tirinya Sultan Abu Hayat II (periode 1529-1533)
yang dilengserkan Portugis. Cengkeraman Portugis atas Ternate kala itu telah
demikian kuat hingga mereka bahkan leluasa menyingkirkan Raja yang dianggap
menghalangi kepentingan Portugis.
Sultan Tabariji pun bernasib sama, karena sering cekcok dengan Gubernur
Portugis Vicente de Fonseca maka ia dilengserkan dan dibuang ke Goa-India.
Sebagai gantinya Portugis menunjuk Sultan Khairun (periode 1534-1570), saudara
tiri Tabariji.
Di India, Tabariji dipaksa masuk Kristen dan ditekan untuk menyerahkan
sebagian daerah kekuasaannya meliputi Ambon, Buru dan Seram kepada Portugis.
Mantan Sultan muda yang malang inipun terpaksa menyetujui dan hendak
dipulangkan ke Ternate dan dipulihkan sebagai raja oleh Portugis. Namun maksud
itu ditentang keras oleh segenap rakyat Ternate dan Sultan Ternate yang baru
Khairun. Upaya Portugis inipun gagal ketika akhirnya Tabariji meninggal dalam
perjalanan pulang ke Ternate dari Malaka.
f). Sultan Khairun
Sultan/Raja Ternate ke-23 Khairun Jamil (periode 1534-1570) adalah
putera Sultan Bayanullah (periode 1500-1522), penguasa Ternate ke-20 dari ibu
beretnis Jawa. Ia dikenal sebagai seorang pemimpin arif, tegas, pemberani dan
muslim yang taat serta toleran. Tumbuh dalam masa penuh gejolak dan menyaksikan
tindak-tanduk keji Portugis terhadap rakyat dan saudara-saudaranya membuatnya
sangat membenci bangsa Eropa yang satu ini.
Di masa awal pemerintahannya pengaruh Portugis telah kuat merasuk dalam
sendi-sendi kesultanan, dikarenakan sejak masa Sultan Bayanullah Portugis telah
diberi kedudukan dan hak istimewa sebagai mitra dan penasihat kesultanan.
Lambat laun kekuasaan dan pengaruh mereka semakin besar hingga tak jarang
mereka turut campur dalam urusan kesultanan. Ternate pun tak ubahnya boneka
Portugis. Sultan manapun yang dianggap menentang kehendak Portugis, difitnah
kemudian dibunuh atau diasingkan ke negeri yang jauh.
Sultan Khairun naik tahta menggantikan saudara tirinya Sultan Tabariji
(periode 1533-1534) yang diasingkan Portugis ke Goa-India. Sebelumnya Portugis
juga turut andil dalam perebutan kekuasaan di Ternate yang mengakibatkan
kematian Sultan Dayalu/Hidayatullah (periode 1522-1529) dan Sultan Abu Hayat II
(periode 1529-1532) dua saudara tiri Khairun yang lain.
Sultan Khairun menaiki tahta dalam usia belia sehingga oleh Portugis
dipandang remeh sebagai "bocah" yang mudah dikendalikan namun
kemudian ternyata anggapan itu salah besar. Sementara itu di Goa-India selama
dalam tahanan mantan Sultan Tabariji ditekan oleh Portugis untuk menyerahkan
sejumlah daerahnya termasuk Ambon, Buru dan Seram kepada Portugis dengan
imbalan hak-hak dan kedudukannya akan dikembalikan. Tabariji akhirnya
menyetujui dan hendak dipulangkan dan dipulihkan sebagai Sultan Ternate.
Kejadian ini kontan membuat berang rakyat Ternate dan Sultan Khairun
dengan tegas menolak perjanjian berat sebelah itu. Beruntung bagi Sultan
Khairun karena Tabariji meninggal dalam perjalanan pulang ke Ternate sehingga
perjanjiannya dengan Portugis dengan begitu menjadi absurd dan Ternate
terhindar dari ancaman perang saudara.
Walaupun membenci Portugis dan menyadari kekurang ajaran mereka, Sultan
Khairun tidak semerta-merta memutuskan hubungan dengan Portugis karena
menyadari kedudukan Portugis di Maluku ketika itu sangat kokoh dan lagi
pengaruh Portugis dalam istana sudah sedemikian kuat sehingga perlu baginya
untuk tetap mengadakan hubungan dengan mereka sembari memperkuat dirinya
sendiri. Untuk itu Sultan pun giat mencari dukungan dari luar. Melalui Aceh
sebagai perantara Sultan pun kemudian menjalin hubungan dengan kekaisaran Turki
Usmani musuh Portugis di Eropa darimana ia memperoleh persenjataan,
meriam-meriam dan cendekiawan yang didatangkan ke Ternate.
Tahun 1546 datang seorang misionaris terkenal, Saint Francis Xavier atau
Franciscus Xaverius ke Ternate. Sultan kemudian memberi ijin untuk kegiatan
misionaris di Maluku dengan syarat kegiatan misionaris hanya ditujukan bagi
rakyat Ternate yang masih menganut animisme, apapun tindakan untuk mempengaruhi
orang islam beralih agama dilarang. Namun belakangan peraturan itu dilanggar.
Portugis menggunakan kegiatan misionaris sebagai tameng dalam upayanya
merongrong Ternate, sejumlah kerajaan kecil yang telah dikristenkan dihasut
untuk menentang Ternate, rakyat kerajaan-kerajaan kecil itu yang muslim dipaksa
beralih agama. Tindak-tanduk Portugis ini menimbulkan kemarahan Sultan Khairun
yang akhirnya secara terang-terangan mengumumkan perang terhadap Portugis.
satu persatu kerajaan-kerajaan kecil yang memberontak ditundukan
disamping itu Sultan Khairun juga mengirimkan sejumlah armada lautnya untuk
membantu Demak dan Aceh menggempur Portugis di Malaka. Benteng tempat kedudukan
Gubernur Portugis di Ternate dikepung, sedang kedudukan Portugis di daerah lain
diserang. Sultan Khairun sengaja menahan diri untuk tidak memberangus pusat
Portugis Maluku di Ternate dengan harapan mereka akan menyadari kekeliruannya
dan memohon damai.
Tahun 1558 sementara Benteng Portugis di Ternate dikepung, Sultan
Khairun menunjuk puteranya pangeran Laulata sebagai Salahakan (Gubernur) Ambon
dan bertugas memukul kedudukan Portugis di Maluku selatan serta menaklukan
banyak daerah baru untuk Ternate. Raja Muda Portugis di Goa kemudian mengirim
armada besar ke Ambon dibawah pimpinan Henrique De Sa untuk memukul mundur
pasukan Ternate, dan untuk beberapa lama upaya mereka berhasil sebelum Sultan
Khairun kembali mengirim ekspedisi ke Ambon dan dengan bantuan orang-orang Jawa
dan muslim Hitu kekuatan Portugis di Maluku selatan berhasil diberangus tahun
1567.
Karena ketidakberdayaannya Gubernur Portugis di Maluku Lopez de Mesquita
memohon damai kepada Sultan Khairun yang kemudian disambut dengan itikad baik.
Semua hak-hak istimewa Portugis menyangkut monopoli perdagangan rempah-rempah
dihilangkan namun mereka tetap diperbolehkan untuk berdagang dan bersaing
dengan pedagang nusantara serta pedagang asing lainnya secara bebas.
Sultan Khairun dikenal sangat toleran. Rakyat Ternate yang telah memeluk
Kristen dibiarkan menjalankan ibadahnya secara bebas, pusat-pusat kegiatan
misionaris serta pembangunan gereja-gereja kembali diperbolehkan dibuka di
Maluku. Namun suasana damai ini diam-diam dimanfaatkan Portugis untuk menyusun
kembali kekuatan. tahun 1569 Portugis membangun kembali benteng mereka di Ambon
dan menyusun kekuatan menunggu waktu untuk bangkit kembali.
Tokoh sentral dalam perlawanan terhadap Portugis di Maluku adalah Sultan
Khairun dan ini disadari betul oleh mereka, untuk menguasai Maluku tokoh ini
harus dilenyapkan. Maka dengan tipu muslihat Gubernur Lopez de Mesquita
mengundang sang Sultan untuk berkunjung ke Bentengnya. Tanggal 25 Februari 1570
Sultan Khairun memenuhi undangan itu, percaya akan niat baik Portugis sang
Sultan datang dengan hanya ditemani segelintir pengawal, tak disangka dia
dibokong dan dibunuh beserta pengawalnya atas perintah sang Gubernur. Gubernur
De Mesquita berharap dengan matinya Sultan Khairun, rakyat Maluku akan patah
semangat dan tercerai berai namun tak menyangka sama sekali perbuatannya ini
justru akan membawa kehancuran bagi Portugis di Maluku.
Kematian Sultan Khairun membuat kebencian rakyat Maluku terhadap
Portugis semakin menjadi-jadi. Putera Sultan Khairun Kaicil (pangeran) Baab
dinobatkan sebagai Sultan Ternate berikutnya. Sultan Baabullah (periode
1570-1583) ternyata lebih hebat lagi dari ayahnya. Dia memimpin segenap rakyat
Maluku menentang Portugis dalam peperangan selama 5 tahun berikutnya dan
berhasil mengusir Portugis dari bumi Maluku untuk selamanya tahun 1575.
Sumber Acuan
1. Adnan Amal Tomagola,
"Maluku Utara, Perjalanan Sejarah 1250 - 1800 Jilid I", Universitas
Khairun Ternate 2002.
2. Willard A. Hanna & Des Alwi, "Ternate dan Tidore, Masa Lalu
Penuh Gejolak", Pustaka Sinar Harapan Jakarta 1996.
Taruhan Bola |
No comments:
Post a Comment