CATATAN BERHARGA
Peristiwa sejarah perjuangan Sultan
Ageng Tirtayasa, tercatat sebagai Pahlawan Keprajuritan Nasional. Karena nilai‑nilai
kepahlawanannya, telah memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Mengandung semangat
keprajuritan nasional Indonesia;
2. Merupakan perjuangan
pembelaan negara (bangsa dan tanah air), termasuk perjuangan mempertahankan dan
memelihara keamanan negara;
3. Merupakan perjuangan
menentang kekuasaan asing yang menjajah;
4. Meliputi peristiwa
yang terjadi dan tokoh yang hidup dalam periode antara abad ke‑7 sampai dengan
abad ke‑19 Masehi;
5. Hasil pertimbangan
yang baik dari segi historis, politis, psikologis, edukatif, artistik, dan lain‑lain.
Pada tahun 1985, berdasarkan Surat
Perintah Panglima ABRI tanggal 12 Desember 1984, No. Sprin.'783/P/XII/ 1984 dan
Surat Keputusan Panglima ABRI, tanggal 8 April 1985, No. Skep/182/N/1985,
dibentuk tim, untuk meneliti, menelaah dan menyusun peristiwa bersejarah tokoh‑tokoh
pejuang di Tatar Sunda. Tim inti itu, terdiri dari: Prof. Dr. Edi S. Ekadjati
(Ketua); Drs. Saleh Danasasmita (Anggota); dan Drs. Saini K.M. (Anggota).
Penelitian yang dilakukan oleh para
akhli tersebut, berdasarkan; tingkat volume lama perjuangan; luas wilayah
perjuangan; jumlah pasukan pengikut yang dikerahkan; kesulitan yang dialami;
jumlah korban pada pihak musuh; dan dukungan rakyat. Setelah dilakukan
penelusuran, penelitian, dan pembahasan terhadap peristiwa-peristiwa dari tokoh‑tokoh
sejarah di Tatar Sunda, diusulkan 8 tokoh dan peristiwa keprajuritan nasional,
antara lain:
1. Sri Baduga Maharaja,
raja Sunda‑Pajajaran yang hidup pada abad ke‑15/16 Masehi. la raja yang
bijaksana, gagah berani, serta banyak memperhatikan dan berbuat bagi kesejahteraan
rakyatnya. Dalam tradisi masyarakat Jawa Barat, raja ini terkenal dengan
sebutan Prabu Siliwangi;
2. Perlawanan rakyat
Banten, di bawah pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa terhadap Kompeni Belanda (1651‑1683);
3. Perlawanan rakyat
Priangan di bawah pimpinan Prawatasari terhadap Kompeni Belanda (1703‑1707);
4. Perlawanan rakyat
Banten di bawah pimpinan Kyai Tapa terhadap Kompeni Belanda (1720‑1723);
5. Perlawanan Sultan
Matang Aji Cirebon terhadap Kompeni Belanda (abad ke‑18 Masehi);
6. Perlawanan rakyat
Majalengka dan Cirebon, di bawah pimpinan Bagus Rangin dan Bagus Jabin terhadap
pemerintahan kolonial Belanda dan Inggris (1802‑1819);
7. Perlawanan Bupati
Sumedang R.T.A. Surianagaca (Pangeran Kornel) terhadap Gubernur Jendral
Daendels (1810);
8. Perlawanan rakyat
Banten di bawah pimpinan Haji Wasid terhadap pemerintahan kolonial Belanda
(1888);
Dari hasil seleksi pada waktu itu,
terpilih 3 tokoh dan peristiwa sejarah, yang memenuhi kriteria Pahlawan
Keprajuritan Nasional, antara lain:
1. Sultan Ageng
Tirtayasa, tokoh pimpinan perjuangan rakyat Banten terhadap Kompeni Belanda
(1651‑1683 Masehi);
2. Bagus Rangin, tokoh
pimpinan perjuangan rakyat Majalengka dan Cirebon, terhadap pemerintah kolonial
Belanda dan Inggris (1802-1819 Masehi); dan
3. Raden Alit
Prawatasari, tokoh pimpinan perjuangan rakyat Priangan terhadap pemerintah
Kompeni Belanda (antara abad ke‑17 sampai dengan abad ke‑18 Masehi).
Ketiga tokoh tersebut, terukir oleh
tinta emas sejarah, sebagai Pahlawan Keprajuritan Nasional Indonesia. Kini
diorama dan patungnya, dipamerkan di Museum Keprajuritan Nasional Taman Mini
Indonesia Indah Jakarta.
***
MENELUSURI PULASARI - MELACAK RAJATAPURA
I.
SENTUHAN
HINDUISME
Saleh Danasasmita berpendapat
tentang Hinduisme, dalam buku Rintisan
Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat jilid 1(1984), antara lain sebagai
berikut:
Poerbatjaraka dalam desertasmya Agastya in den Archipel (1921)
mengemukakan, bahwa lakon wayang yang mengisahkan kepergian Bambang Kumbayana
dari negeri Atas‑angin ke Nusa Jawa sebenarnya berkaitan dengan masa awal
sentuhan budaya Hindu di Nusantara.
Menurut legenda yang dikenal di India
Selatan dan di Bali, penyebaran agama Hindu di daerah‑daerah seberang (di luar
India) dilakukan oleh Maharesi Agastya alias Resi Kumbayana. Tangan kiri sosok
wayang Kumbayana yang kaku itu adalah tiruan dari tangan kiri patung Agastya
yang selalu menating kendi tempat air suci. Begitu pula halnya bentuk janggut
wayang Kumbayana yang lancip, meniru bentuk janggut patung Agastya. Pada wayang
Kumbayana, kendi itu dihilangkan, untuk keleluasaan gerak (Dana sasmita,1984:
29).
Tentang adanya sentuhan Hinduisme di
Propinsi Banten, Claude Guillot membahas pernah ditemukannya arca‑arca di
kawasan Gunung Pulasari Pandeglang, melalui pemberitaan Brumund dan Van Hoevel,
antara lain sebagal berikut:
Sesungguhnya, pada paro pertama abad ke‑19,
dua pakar yang terkenal, Brumund dan Van Hoevell, menyebut arca‑arca lama yang
menghiasi taman asisten residen di Caringin. Arca itu, yang menggambarkan
Brahma, Siwa, Agastya, Durga dan Ganesha, beberapa tahun kemudian diangkut ke
Museum Bataviaasch Genootschap, yang waktu itu masih bertempat di anjung
sositet Harmonie, dan sekarang berada di Museum Nasional Jakarta. Beberapa
puluh tahun kemudian, asisten residen Caringin itu dalam suratnya kepada
Bataviaasch Genootschap, memberitahukan "bahwa beberapa arca pernah
ditemukan di Cipanas di dekat kawah yang sudah mati; semuanya dikirim ke
Batavia, kecuali satu, yang karena terlalu berat ditinggalkan di tepi Sungal
Labuan dan sekarang masih ada di sana.
Lagi pula orang-orang Cina tidak mau
mengangkutnya ke Batavia, karena yakin bahwa barang siapa berani melakukannya
pasti mendapat bencana di laut". Beberapa bulan kemudian arca itu,
ternyata sebuah yoni, diangkut ke museum pula, sekalipun orang Cina
berkeberatan, dan didaftarkan dengan nomor 361 (Guillot,1996:101).
Boleh jadi, apa yang dikemukakan
oleh Poerbatjaraka, ada keterkaitan dengan hasil temuan arca-arca di Gunung
Pulasari, sebagaimana yang dikemukakan oleh Brumund dan Van Hoevell. Pemujaan
terhadap Agastya, adalah merupakan sekte lainnya dalam agama Hindu. Bila dikaji
lebih dalam, kemungkinan besar kedua pemikiran tersebut, bisa dijadikan acuan
bagi penelitian Salakanagara.
Selanjutnya R Friederich pada tahun
1850 mengemukakan pendapatnya, tentang proses Hinduisasi sebuah `kerajaan' di
pesisir Selat Sunda, antara lain sebagai berikut:
Lebihjauh lagi bolehlah kami ajukan
hipotesis, bahwa pada masa hutan rimba pegunungan Sunda dihuni orang-orang
biadab yang mirip kera (ingatlah dongeng Raja Lutung Kasarung yang diringkaskan
oleh Raffles), maka sejumlah pendatang Hindu menetap di pantai‑pantai Sunda
yang elok, dan mendirikan sebuah kerajaan yang makmur berkat perdagangan di
Selat Sunda (Friederich, 1850, dalam Guillot, 1996; 104).
Sayangnya, Friederich terlalu
memaksakan temuan Manusia Purba dengan mitos Sunda cerita Lutung Kasarung.
Kedua-duanya, ada di wilayah disiplin ilmu yang berbeda.
Halwany Michrob, telah
mengidentifikasi wilayah pesisir barat Tatar Sunda. Dalam buku Catatan Masalalu Banten (1993),
mengemukakan pendapatnya, antara lain sebagai berikut:
Pulau Panaltan merupakan pulau yang
langsung berhubungan dengan Selat Sunda yang bersama Pulau Peucang, luasnya
sekitar 17.500 Ha termasuk kawasan pelestarian/suaka alam Taman Nasional Ujung
Kulon. Penelitian geologi di Pulau Panaitan, menunjukkan bahwa pulau ini telah
ada sejak ± 26 juta tahun lain, apabila dilihat dari umur batuan yang paling
tua. Pada berbagai singkapan, tampak bahwa pulau ini tersusun dari jeris‑jenis
batuan andezite, tuffa, gamping dan yang termuda batuan aluvial (Michrob,1993:
33).
Pada materi yang sama, Anwas
Adiwilaga mengemukakan pendapatnya, kemudian dibahas oleh Yogaswara, antara
lain sebagai berikut:
Di Pulau Panaitan pada kira‑kira
tahun 130 M pernah berdiri satu kerajaan yang merupakan kerajaan tertua di Jawa
Barat Kerajaan ini bernama Salakanagara (Negeri Perak) dengan pusatnya di kota
Rajatapura, yang terletak di pesisir barat Pandeglang. Raja pertamanya bernarna
Dewawarman I (130 ‑168 M). Daerah kekuasannya mehputi: Kerajaan Agrabinta (di
Pulau Panaitan), Kerajaan Agnynusa (di Pulau Krakatau), dan daerah ujung
selatan Surnatera. Dengan demikian, seluruh Selat Sunda dapat dikuasai
Dewawarman I ini, sehingga ia digelan Aji Raksa Gapurasagara (Raja Penguasa
Gerbang Lautan) (Yogaswara, dalam Michrob,1993: 33).
Selanjutnya, Anwas Adiwilaga menduga
Rajatapura berada di Pulau Panaitan (Pandeglang) (Yogaswara, 1978: 38), dengan
ditemukannya patung Ganesha dan patung Siwa dengan tanda ardachandra (bulan
sabit) di dahinya, di Pulau Panaitan. Padahal keberadaan patung‑patung itu
tidak menolong keadaan, karena ada yang menduga bahwa patung‑patung itu berasal
dari abad ke‑7 Masehi (Danasasrnita, 1984: 3334). Bahkan dalam hasil penelitian
lainnya, dua arca tersebut diperkirakan berasal dari abad ke‑14 atau ke‑15
Masehi (Vorderman,1894 dalam Guillot,1996: 106).
II.
MENELUSURI
PULASARI
Sering disebut‑sebutnya Gunung
Pulasari (Pandeglang) dalam berbagai wacana penelitian sejarah, baik dalam
naskah babad maupun hasil kajian para akhli, mengisyaratkan, bahwa peran Gunung
Pulasari memiliki arti penting dalam sejarah.
Mengacu kepada Pupuh XVII dalam Babad
Banten, seperti yang dibahas oleh Hoesein Djajadiningrat (1913), memberitakan
Gunung Pulasari sebagai berikut:
Molana Hasanuddin berkelana di hutan‑hutan
dan di atas Gunung Pulosari, dan ia pun tibalah di sebuah pertapaan yang
ditinggalkan. Ketika bapaknya datang kepadanya, dikatakannya kepadanya, bahwa
pertapaan itu adalah pertapaan Brahmana Kadali ‑ atau Kandali
(Djajadiningrat,1983: 33).
Temuan arkeologis di sekitar Gunung
Pulasari, dikemukakan dalam buku Banten Sebelum
Zaman Islam; Kajaan Arkeologi di Banten Girang 932? 1526, (1996), oleh Claude Guillot dan
kawan‑kawan.
Dalam pada itu, Tantu Panggelaran
mengandung keterangan yang nrenarik, yaitu bahwa "di ujung barat Pulau
Jawa" (nusa Jawa tungtungan kulwan) terdapat Gunung Mahameru yang bagian
atasnya diangkut ke timur, sedangkan bagian bawahnya bernama Gunung Kailasa ─ yaitu tempat kedudukan Siwa ─ tetap berada di tempatnya. Bahwa dalam naskah itu
disebutkan ternpat di luar daerah kebudayaan Jawa mengherankan Pigeaud
(penyunting naskah tersendiri) yang dalam ulasannya mengemukakan hipotesis ─ meskipun kurang yakin sendiri ─ bahwa "Nusa Jawa" itu barangkali terbatas pada
daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur saja.
Dan Pigeaud hanya dapat menyatakan
bahwa "gunung apa yang dinamakan Kailasa itu masih harus dicari".
Pada hemat kami, Tantu Panggelaran sangat sesuai dengan infornrasi dalam SB
tentang adanya golongan besar pendeta di atas Gunung Pulasari, oleh karena
gunung tersebut memang terletak "di ujung barat Pulau Jawa". Artinya
Gunung Kailasa dapat disamakan dengan Gunung Pulasari. Kekeramatan itu tidak
mungkin termasyhur sampal ke Jawa Timur kalau di atas gunung itu tidak terdapat
tempat pemujaan lama (Guillot,19y6;100).
Berdasarkan cerita rakyat Desa
Cilentung, di sekitar puncak Gunung Pulasari, terdapat batu‑batu yang
dikeramatkan. Untuk membuktikan kebenarannya, Tim berangkat dari Desa Cilentung
Kecamatan Saketi, pada tanggal 8 Oktober 2000 pagi, dipandu oleh 4 orang
penduduk Desa Cilentung, Tim mengadakan pendakian menu ju ke puncak Gunung
Pulasari. Sepanjang perjalanan secara berturut-turut, ditemukan batu‑batuan
yang dikeramatkan itu, antara lain:
Batu Sanghiyang
Arca. Mengamati bentuk batu Sanghiyang
Arca, ada kemiripan dengan lempeng batu prasasti Kawali II (Ciamis) atau Batu
Tulis kota Bogor. Menurut cerita rakyat Cilentung, dahulu di lokasi Sanghiyang
Arca, Maulana Hasanuddin menyabung ayam dengan Pucuk Umun Pulasari.
Air Terjun
Curug Putri. Menurut
cerita rakyat, air terjun Curug Putri, dahulunya merupakan tempat pemandian
Nyai Putri Rinak Manik dan Ki Roncang Omas. Di lokasi tersebut, terdapat aneka
macam batuan dalam bentuk persegi, yang berserak di bawah cucuran air terjun.
Batu Sanghiyang
Kotok. Pada salah satu permukaan batu
Sanghiyang Kotok, menurut cerita rakyat, ada semacam "gambar" ayam
jantan. Ayam jantan tersebut, konon milik Maulana Hasanuddin.
Batu Kiara
Sarebu. Batu Kiara Sarebu berbentuk empat
persegi panjang, pipih, dengan luas permukaan 80 x 50 centimeter, tebal 10
centimeter. Di lokasi Batu Kiara Sarebu, dahulu kala banyak terdapat pohon
kiara. Menurut cerita rakyat, diperkirakan merupakan tempat bertapa raja‑raja.
Patut disayangkan, dikarenakan lokasi tersebut sudah dirusak oleh perambah
hutan, kini pohon kiara yang tertinggal hanya sebuah.
Batu Kiara
Jingkar. Batu Kiara Jingkar, sesungguhnya
hanya merupakan sebuah batu biasa. Kekeramatan batu tersebut, ditandai oleh
adanya 3 buah pohon hanjuang merah (siang), yang dibentuk serupa
"makam".
Batu Cangkrung. Batu Cangkrung, merupakan sebuah batu
dengan salah satu permukaannya yang cekung, sehingga dapat menampung air
(nyangkrung). Uniknya, menurut cerita rakyat, air di atas permukaan yang cekung
tersebut, tidak pernah kering. Sehingga digunakan untuk minum berbagai jenis
burung.
Ketika tiba di sekitar puncak Gunung
Pulasari, pada ketinggian antara 1.300 meter hingga 1.346 meter di atas
permukaan laut, terdapat dua tempat yang dikeramatkan, yaltu puncak Rincik Manik dan
puncak Roncang Omas.
Di lokasi puncak Rincik Manik,
terdapat dua "makam" dengan karakter yang berbeda. Makam yang
pertama, membujur arah timur‑barat, dan di lokasi tersebut terdapat semacam
batu lumpang serta sejenis kapak genggam. Makam yang satunya lagi, membujur
arah utara‑selatan, dan di lokasi tersebut terdapat sejenis menhir.
Di lokasi puncak Rincik Manik, juga
terdapat sebuah batu yang sangat unik, sehingga 'Tim menamainya "batu
magnit". Uniknya, ketika diukur menggunaltan kompas, walaupun ditempatkan
di sekeliling batu ke berbagai arah mata angin, jarum magnetis Utara (U) kompas
selalu mengarah ke batu tersebut. Hal itu, mengingatkan akan peristiwa jatuhnya
pesawat terbang di lereng timur laut Gunung Pulasari, tidak jauh dari lokasi
Baru Kiara Swebu. Mungkin saja arah kompas kapal terbang yang nahas, dikacaukan
oleh "batu magnit" puncak Rincik Manik.
Di lokasi puncak Roncang Omas, terdapat sebuah tempat yang dianggap
"makam", dengan ditandai tumpukan batu yang sudah demikian terlantar.
Di lokasi itu, banyak sampah‑sampah berserakan, yang ditinggallkan wisatawan
lokal. Bahkan batu‑batuan yang ditemukan, nampak gosong, akibat seringkali
digunakan sebagai tungku untuk memasak atau api unggun.
Kekeramatan itu tidak mungkin
termasyhur sampai ke Jawa Timur, kalau di atas gunung itu tidak terdapat tempat
pernujaan lama (Guillot, 1996).
Mungkin, puncak Rincik Manik dan puncak
Roncang Omas itulah yang dimaksud oleh Guillot. Di bagian lain, Guillot
mengemukakan pendapatnya tentang Situs Sanghiyang Dengdek, yang juga berlokasi
di lereng Gunung Pulasari.
Selain tempat‑tempat keramat biasa,
sata‑satunya tempat pemujaan lama yang masih ada terdapat di Desa Sanghyang
Dengdek, yang menyandang nama "dewa" yang dipuja di situ. Ternpat
pemujaan tersebut sudah lama dikenal, dengan tipe "primitif" yang
umum di Jawa Barat; di atas sebuah onggokan tanah yang dikelilingi batu sungai
yang besar‑besar, berdiri tegak sebuah batu yang tingginya kira‑kira satu meter
dan puncaknya dipahat secara kasar berbentuk kepala; kelihatan pula, tetapi
hampir tidak menonjol, lengan‑lengan dan kelamin lelaki. Nama tokoh itu
"si bungkuk yang terpuja" berasal dari bentuk batu yang secara alam
agak membungkuk.
Betapapun menariknya tempat pemujaan
tersebut, rupanya tidak setara dengan kekeramatan Gunung Pulasari menurut SB,
Tantu Panggelaran dan Serat Centhini, apalagi kalau diingat bahwa pengarang
kedua karya terakhir ini sudah tentu mengetahui bangunan agama yang jauh lebih
canggih. Lagi pula sulit dibayangkan bahwa negeri terbuka ke dunia luar seperti
Banten Girang, dapat puas dengan gaya primitif dan "kampungan" dari
arca‑menhir itu (Guillot,1996:100).
Pendapat Guillot terkesan
merendahkan nilai kepurbakalaan menhir Sanghiyang Dengdek, dengan sebutan
"si bungkuk yang terpuja", "primitif" dan
"kampungan". Mungkin Guillot kecewa, karena kepurbakalaan Sanghiyang
Dengdek, tidak marnpu mendukung kebesaran temuan Banten Girang.
Haris Sukendar, dalam makalah Peranan Menhir Dalam Masyarakat Prasejarah di Indonesia,
menerangkan makna dan fungsi menhir, antara lain sebagai berikut:
Menhir berasal dari bahasa Breton yang
terdiri dari kata "men" =batu dan "hir" = berdiri, yang
secara keseluruhan berarti batu tegak (berdiri) (Soejono, 1981/1982: 247).
Menhir merupakan peninggalan tradisi megalitik yang sangat banyak ditemukan di
berbagai situs, dan berbagai masa setelah periode neolitik (bercocok tanam)
(Van der Hoop 1938). Bahkan sampai masa‑masa pengaruh Hindu maupun pengaruh
Islam di Indonesia menhir sebagai salah satu obyek tradisi megalitik masih
memegang peranan penting bahkan berkembang sampai sekarang.
Dengan adanya
peranan menhir yang meliputi kurun waktu cukup panjang tersebut maka tidak
mengherankan jika terjadi perkembangan‑perkembangan pada bentuk‑bentuk dan
fungsi menhir itu sendiri. Situs‑situs megalitik telah menghasilkan menhir‑menhir
yang mempunyai bentuk berbeda-beda. Di daerah Lampung, Jawa Barat, Sulawesi dan
lain‑lain ditemukan menhir dalam bentuk sederhana dari batuan kasar, dan belum
dikerjakan (Sukendar,1985: 92).
Dalam Pustaka
Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa
I sarga 1, mengenai pitarapuja (penghormatan terhadap arwah leluhur),
dikemukakan antara lain sebagai berikut:
.../hana jnua pamuja
nikang jan m apada ring samang-
kana/ akweh pamu-
ajanya// mapan sarwa pa-
muja sakaharepni-
ra/ lawan angucap mantra
yatiku makadi pi-
trepuja// marika ma-
malaku ning sang pita-
ra makapu (ru) haranya ma-
kadi sang pitrepuja
ning kawitan la-
wan waneh sthapan mantra/
sangkep lawan widhiwidha-
na mwang asthapana se-
wana lawan sarwa bho-
ga// nityabhiprayanira
yatanyan sidha citta-
nya//...
Terjemahannya:
Adapun yang jadi pujaan warga masyarakat
pada waktu itu, banyak sekali. Karena yang menjadi pujaannya sekehendak mereka,
dengan mengucapkan mantra, yaitu terutama pemujaan terhadap nenek‑moyang.
Mereka memohon kepada nenek‑moyang, yang menjadi tujuan terakhir, terutama
pujaan terhadap nenek‑moyang dari ayah dan juga mantera sihir, lengkap dengan
upacara yang diperlukan serta asthapana sewana (nama sejenis mantra) dan
berbagai makanan. Selalu maksudnya agar cita‑cita mereka tercapai.
Saleh Danasasmita pernah
mengungkapkan, bagaimana sesungguhnya fungsi dan makna dari menhir atau batuan
lainnya, yang sudah ada jauh sebelum Hindu masuk ke Tatar Sunda.
Para "pemuja leluhur" ini
telah memiliki tatanan kehidupan yang teratur yang kemudian tumbuh secara
dinamik, ketika mendapat sentuhan pengaruh Hindu. Orang Jawa Barat berkenalan
dengan panteon baru yang dihuni para dewa, namun seperti diungkapkan oleh
Wangsakerta dan Pleyte, rakyat banyak tetap setia memuja roh leluhurnya. Sampai
sekarang hal ini masih tampak cukup jelas (Danasasmita,1984: 42).
Selanjutnya Saleh Danasasmita
memberikan gambaran, tentang kemungkinan terjadinya transisi keagamaan, antara
lain sebagai berikut:
Dalam abad ke‑13 atau sedikitnya abad ke‑14
raja‑raja di Jawa Barat sudah mulai mempertaruhkan nasib negaranya di kabuyutan
atau di sasaka domas. Tempat-tempat seperti itu pada umumnya berasal dari
peninggalan para leluhur yang dimanfaatkan terus atau dimanfaatkan kembali.
Dengan kabuyutan sebagai "pusat dangiang", mereka makin menggeser
jauh dari garis Hinduisme.
Lingga dan yoni gaya Hindu ditinggalkan; mereka
kembali kepada penggunaan disolit yang berupa pasangan tonggak batu dengan
lempeng batu. Kalau tempat‑tempat seperti itu dilengkapi patung‑patung,
bukanlah patung dewa‑dewa Hindu yang ditempatkannya melainkan patung‑patung
nenek‑moyang. Tempat-tempat seperti itu pada umumnya ditandai oleh adanya petak
bersegi empat mirip "kuburan" (Danasasmita,1984: 42).
Mengacu kepada pendapat Saleh
Danasasmita, di seputar Gunung Pulasari Pandeglang, terdapat peninggalan
kepurbakalaan dimaksud, antara lain berupa menhir:
1. Sanghiyang Dengdek. Lokasi
di Kampung Kaduhejo, Desa Sanghyangdengdek, Kecamatan Saketi.
2. Sanghyang Healeut.
Lokasi di Desa Banjarnegara, Kecamatan Saketi.
3. Batu Pahoman. Lokasi di
Kampung Pahoman, Desa Pasirpeuteuy, Kecamatan Cadasari.
4. Batu Goong. Lokasi di Desa
Sukasari, Kecamatan Menes.
5. Batu Lingga. Lokasi di Desa
Batulingga, Kecamatan Banjar.
6. Batu Cihanjuran. Jumlah 3
buah menhir, lokasi di mata air Cihanjuran, Desa Cikoneng, Kecamatan
Mandalawangi.
7. Makam Gunung Cupu. Lokasi
di Desa Gunungcupu, Kecamatan Cimanuk.
8. Batu Rincik Manik. Posisi
di puncak Gunung Pulasari, pada ketinggian + 1300 meter di atas permukaan laut.
9. Sanghiyang Arca. Lokasi di
ketinggian Kampung Cilentung, Kecamatan Saketi.
Berdasarkan kajian geografi sejarah,
pada masa 2000 tahun yang silam, keadaan pantai barat Pandeglang, tentunya
berbeda dengan keadaan yang sekarang. Dihitung secara geologis, sangat
memungkinkan terjadi pendangkalan akibat terjadinya beberapa kali letusan
gunung Krakatau, Gunung Pulasari, Gunung Karang, juga Gunung Aseupan.
Terhanyutnya pasir, debu, kerikil dari letusan gunung, oleh arus deras sungai
Cibama, Cilabuan, Cicaringin dan Cibangangah, membentuk pendangkalan selebar
antara 8‑10 kilometer di sepanjang pantai barat Gunung Pulasari.
Keadaan tanah situs Sanghiyang
Dengdek, berada pada ketinggian 250 meter di atas permukaan laut, berjarak 14
kilometer dari garis pantai. Keadaan Sanghiyang Dengdek pada saat 2000 tahun
yang lalu, sebelum terjadi pengendapan di sepanjang pantai Teluk Lada, jaraknya
hanya 3 kilometer dari tepi pantai. Berpedoman kepada naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantaraparwa I sarga 1, yang
menyatakan "pernah adanya masyarakat pesisir pantai barat", dapat
diduga bahwa Dukuh Pulasari (tempat Panghulu Aki Tirem dan masyarakatnya
bermukim), berlokasi di arcal pemukiman Sanghiyang Dengdek.
III.
JEJAK
AGAMA SUNDA
Di sekitar Gunung Pulasari, Gunung
Aseupan dan Gunung Karang di Kabupaten Pandeglang, ditemukan pula batu‑batuan
berbentuk dolmen, di antaranya:
1. Batu Ranjang. Lokasi di
Kampung Baturanjang, Desa Palanyar, Kecamatan Cimanuk.
2. Batu Pangasaman.
Lokasi di Desa Parigi, Kecamatan Saketi.
3. Batu Pangsalatan. Lokasi di
tepi jalan raya di wilayah Kecamatan Mandalawangi.
Sedangkan batu‑batu yang ditemukan dalam
bentuk lain, diduga memiliki nilai kepurbakalaan, antara lain:
1. Batu Sanghiyang Kotok.
Lokasi di lereng Gunung Pulasari.
2. Batu Cangkrung. Lokasi di
lereng Gunung Pulasari.
3. Batu Keris dan Bata Teko.
Lokasi di tengah hamparan pesawahan Desa Cimanuk, Kecamatan Cimanuk.
4. Batu Kuda I. Lokasi di tepi
jalan Desa Cimanuk, Kecamatan Cimanuk.
5. Batu Kuda II. Lokasi di
Pasir Pariuk Nangkub, Kampung Sampalan, Desa Parigi, Kecamatan Saketi.
6. Batu Qur'an. Lokasi di
Kampung Cibulakan, Kecamatan Cimanuk.
7. Batu Notod. Lokasi di
Desa Parigi, Kecamatan Saketi.
8. Batu Saketeng. Lokasi di
Desa Saketi, Kecamatan Saketi.
9. Batu Tumbung. Lokasi di
Kampung Cidaresi, Desa Palanyar, Kecamatan Cimanuk.
10. Batu Kasur. Lokasi di Kampung Nembol,
Kecamatan Mandalawangi.
11. Batu Tongtrong. Lokasi di Desa
Palanyar, Kecamatan Cimanuk.
12. Batu Kolam Citaman. Lokasi di Desa
Sukasari, Kecamatan Menes.
Di kawasan Popinsi Banten, masih
terdapat gejala religi "agama masa silam", dan masih dianut oleh
kelompok masyarakat yang menamakan diri "Sunda Wiwitan" (Sunda Awal).
Hal ini diperkuat oleh laporan RA.A.A. Djajadiningrat, Bupati Serang tahun
1908, dalam laporan resminya (1908 no. 1786; van Tricht,1929: 47), yang dikutip
Judistira Garna dalarn bukunya Orang Baduy, antara lain sebagai berikut:
Menurut adat dan kepercayaan, orang‑orang
Baduy merupakan kelompok yang mewakili suatu zaman peradaban Pasundan yang
telah silam. Meskipun kita telah jauh dari pengetahuan yang pasti tentang satu
dan lainnya mengenai pandangan mereka namun melihat keterasingannya yang ketat
yang mereka lakukan, sejauh ini dapat disimpulkan bahwa mereka itu bukan
penganut ajaran Ciwa atau Wisnu, bukan pula penganut suatu sekte Hindu ataupun
Buddha.
Walaupun kurang terdapat keterangan
terinci, namun berdasarkan berbagai pengamatan dan laporan resmi Djajadiningrat
serta pengamatan Pennings (1902), van Tricht mengemukakan tentang agama Sunda
sebagai kepercayaan orang Baduy. Agama itu merupakan agama tua yang dipeluk
oleh penghuni Wilayah Jawa Barat (sekarang) yang permulaan penyebaran agama
Islam sedikit sekali dipengaruhi oleh agama Hindu (1929:47) (Garna,1987: 61).
Mengenai jejak religi masa silam
seperti itu, Saleh Danasasmita pernah memberikan penjelasan, antara lain
sebagai berikut:
Sesuai dengan kehidupan leluhurnya yang
masih biasa berpindah‑pindah tiap habis musim panen, watak agama yang
diwarisinya lebih sederhana dalam arti: praktis, akrab, dengan alam dan lebih
mengutamakan isi daripada bentuk. Praktis sehingga dapat dilaksanakan di
manapun mereka berada.
Akrab dengan alam sehingga lebih
mengutamakan keheningan mutlak daripada kehiruk-pikukan masa. Lebih
mementingkan isi sehingga ukuran kesungguhan dan kekhidmatan tidak didasarkan
kepada nilai-nilai materil benda‑benda upacaranya melainkan dalam hati dan
tingkah laku.
Jelas upacara‑upacara dalam agama
Hindu yang penuh formalitas dengan urutan yang ketat serta mantera mantera yang
tak boleh salah ucap atau salah susun, tidak serasi dengan karakter agama yang
diwarisi dari para leluhurnya. Bagi mereka, sebongkah batu alam yang agak aneh
sudah cukup untuk dijadikan titik pusat upacara pemujaan. Setelah selesai batu
itu ditinggalkannya karena di tempat lain pun mudah memperoleh batu sejenis.
Namun, sejenak kesungguhan hati yang dibungkus keheningan alam sekitar
merupakan modal mereka yang utama dalam menjalin hubungan dengan Yang Gaib
(Danasamita,1984: 43).
Situs religi masa silam terbesar di
wilayah Propinsi Banten, berupa peninggalan dari masa pra‑Hindu, dengan
ditemukannya beberapa punden berundak di wilayah Kabupaten Lebak. Keterangan
peninggalan tersebut, diungkapkan oleh Halwany Michrob dalam buku Lebak Sibedug dan Arca Doms di Banten Selatan(1993), antara
lain sebagai berikut:
Undakan batu di Kosala terdiri 5 tingkat
yang pada setiap tingkatnya terdapat menhir. Kadang-kadang dijumpai sebuah
papan batu (lab stone) berbentuk segi lima, dan pada bagian bawah yang
terpendam dalam tanah terdapat beberapa buah batu bulat (batu pelor) yang
bergaris tengah antara 10‑15 cm. Sebuah arca kecil ditemukan di dekat struktur
berundak tersebut kedua tangannya terlipat ke depan, salah satu di antaranya
seperti dalam sikap mangacungkan ibujari.
Arca Domas adalah bangunan berundak
dengan 13 tingkatan dan pada tingkat paling atas terdapat sebuah menhir
berukuran besar, yang pemercaya dianggap melambangkan Batara Tunggal, Sang
Pencipta Roh, dan kepadanya pula roh‑roh akan kembali.
Monumen Lebak Sibedug juga merupakan
bangunan berundak empat tingkat setinggi ± 6 meter. Di depan undak batu ini
terdapat dataran yang di tengahnya terdapat sebuah menhir. Menhir pusat ini
ditunjang oleh batu‑batuan berukuran kecil (Michrob,1993: 5‑6).
Dalam naskah kuno Kropak 630 Sanghiyang Siksakandang Karesian, 'terdapat jejak
"agama asli" yang jauh lebih mendasar, jika dibandingkan dengan kedua
gejala Hinduisme dan Budhisme. Hal tersebut pernah dikaji oleh Saleh
Danasasmita, mengemukakan pendapatnya, antara lain sebagai berikut:
Dalam dasaperbakti di antaranya disebutkan,
"ratu bakti di dewata, dewata bakti di hiyang" (raja tunduk kepada
dewata, dewata tunduk kepada hiyang). Jadi hiyang‑lah yang paling tinggi.
Kemudian dinyatakan bahwa dewa‑dewa seperti Brahma, Wisnu, Iswara, Siwa dan
lain‑lainnya tunduk kepada Batara Seda Niskala. Dialah Batara Jagat (penguasa
alam) "nu ngretakeun bumi niskala" (Yang mengatur dunia gaib). Seda
Niskala adalah nama Hiyang yamg disangsakertakan (seda = sempurna; niskala =
gaib). Nama itu dapat diartikan "Yang Maha Gaib" (Danasasmita,
1984:41).j
Ikhwal peninggalan Hinduisme yang
terdapat di Pulau Panaitan, maupun temuan di Gunung Pulasari (yang kini telah
dipindahkan ke museum), kemungkinan besar pernah tersingkir, akibat terdesak
oleh kebangkitan kembali agama pribumi (agama Sunda). Kemungkinan-kemungkinan
itulah, yang tidak sempat dikaji dan dipahami Claude Guillot, sehingga
Sanghiyang Dengdek disebutnya "si bungkuk yang terpuja", dan dinilai
bergaya "primitif” dan "kampungan". Guillot tidak memahami agama
leluhur Sunda, sehingga ia lebih tertarik oleh "bentuk" arca
Hinduisme, dari pada "isi" (makna dan fungsi) pitarapuja Sanghiyang
Dengdek.
Tidak menutup kemungkinan,
peninggalan kepurbakalaan Hinduisme dan Budhisme di Cibuaya dan Batujaya
(Karawang), terkuburannya menjadi bukit‑bukit (hunyur), kemungkinan ada unsur
kesengajaan.
Carita Parahiyangan menunjukkan
adanya para wiku "nu ngawakan Jati Sunda" yaitu para pendeta yang
khusus mengamalkan "agama Sunda" dan memelihara "kabuyutan
parahiyangan".
Sisa dari kabuyutan Jati Sunda atau parahiyangan sepeti itu
adalah Mandala Kanekes yang dihuni "orang Baduy" sekarang. Leluhur
mereka dalam jaman kerajaan mengemban tugas memelihara mandala atau kabuyutan
“Jati Sunda" yang dewasa ini disebut sasaka domas. Orang Tangtu
("Baduy‑dalam") adalah keturunan "para wiku", orang
panamping ("Baduy‑luar) merupakan keturunan "kaum sangga".
Mereka bertugas melakukan "tapa di mandala" dan sudah menjalankan
tugas tersebut secara turun temurun sejak masa jauh sebelum Kerajaan Pajajaran
berdiri (Danasasmita,1984: 41).
Sendi‑sendi religi masa silam pra
Hindu di seputar lereng dan suku Gunung Pulasari, mengingatkan adanya benang
merah religius, antara tokoh Aki Tirem Sang Aki Luhur Mulya dengan
"Pitarapuja Hiyang"‑nya; bangkit kembali pada masa kerajaan; Sunda,
Galuh, Pajajaran dengan "Hiyang Seda Niskala"‑nya, terlestarikan
dalam refleksi masyarakat Sunda Wiwitan (Baduy) masa kini dengan Agama
Sundanya.
IV.
MELACAK
RAJATAPURA
Ayatrohaedi, dalam makalah Naskah dan Sajarah (1989),
mengemukakan tentang permulaan lahirnya ilmu arkeologi, antara lain sebagai
berikut:
Sebagai seorang anak Eropah, sudah sejak
kecil Heinrich Schhemann berkenalan dengan mitologi Yunani yang dianggap
sebagai salah satu akar kebudayaan Eropah masa berikutnya. Selain di sekolah,
mitologi Yunani itu dikenalnya juga melalui kedua orang tuanya, para
tetangganya, dan buku‑buku yang dibacanya.
la sangat tertarik oleh kisah Perang
Troya yang menggambarkan bagaimana sebuah kota yang kokoh akhirnya dapat
direbut berkat kecerdikan musuh yang mengepungnya. Ketertarikannya itu ternyata
berkepanjangan menjadi tandatanya besar baginya.
Mungkinkah kisah yang demikian
nyata itu, benar‑benar hanya sekadar dongeng tanpa satu pun acuan peristiwa
yang tetjadi? Jika orang lain beranggapan kisah itu sekadar mitos, tidak
demikian halnya dengan Heinrich. Ia menduga bahwa kisah itu lahir karena ada
suatu peristiwa penting yang pernah terjadi di kota atau sekitar kota Troya
itu.
Kebetulan orangtuanya pedagang kaya,
dan juga memahami rasa penasaran anaknya itu. Dengan dukungan dana dari
orangtuanya, di samping ia sendiri kemudian menjadi saudagar yang juga kaya, ia
memutuskan untuk pergi ke Yunani. Bukan untuk membuktikan kepada dunia bahwa di
sana ada sebuah kota dan peradaban yang bernama Troya, melainkan lebih
disebabkan oleh keinginan memenuhi rasa penasarannya itu. Bersama dengan istri
dan sejumlah pembantu lapangan, mereka berangkat ke Yunani, lalu menuju tempat
yang menurut berbagai acuan diduga sebagai tempat berdirinya kota Troya.
Berhari‑hari mereka menggali di
situ, tak juga menemukan apa yang dicari. Ketika seluruh rombongan (kecuali
Heinrich) sudah benar-benar berputus asa, cangkul yang dihujamkan ke tanah
mengenai sesuatu yang keras. Keputus-asaan untuk sementara ditangguhkan, dan
penggalian diteruskan. Hasilnya, bukti pertama bekas kota dan peradaban itu
tergali, dan dari penggalian itu lahirlah ilmu yang kemudian dikenal sebagai widyapurba atau arkeologi (Ayatrohaedi,1989:
1-2).
Untuk memberikan ilustrasi yang
lebih jelas, Ayatrohaedi mengemukakan peristiwa lainnya, mengenai keterkaitan
antara naskah dengan pembuktian sejarah, antara lain sebagai berikut:
Dalam pada itu, nenek‑moyang orang India
meninggalkan dua buah wiracarita yang terkenal, Mahabharata karya Wyasa dan
Ramayana karya Walmiki. Menurut para ahli bahasa, kedua naskah itu berasal dari
kurun masa antara 400 sM -400 M. Seperti juga halnya dengan kisah Troya, para
pembaca naskah itu umumnya menganggap bahwa semuanya hanyalah sekadar dongeng,
kalaupun bukan mitos.
Tetapi, seperti halnya dengan Heinrich, ada raja orang
yang tidak percaya akan keasaldongengan kedua wiracarita itu. Inggris yang
ketika itu menjadi yang dipertuan di India, juga mempunyai beberapa orang warga
yang menganggap bahwa kisah Troya kaol (=versi) India seharusnya tersembunyi di
balik kisah tersebut.
Berbekal anggapan itu, mereka
mencoba menggali dan menemukan kota yang seharusnya menjadi pusat kerajaan
Indraprahasta (kita mengenalnya dengan nama Amarta), di daerah sebelah barat
daya, beberapa kilometer dari kota Nutana Dehali (New Delhi). Hasilnya? Bekas
kota tua yang diduga berasal dari pertengahan abad ke‑12 sebelum Masehi (1150
sM) muncul kepermukaan. Dalam pada itu, dendam kesumat antara Rama dengan
Rahwana, ternyata masih berlanjut hingga sekarang berupa sengketa antara orang
Singhala di Srilangka (Alengka) dan orang Tamil yang tidak mustahil keturunan
Subali dan Sugriwa. (Ayatrohaedi,1989: 2‑3).
Dari dua ilustrasi yang dicontohkan
oleh Ayatrohaedi, mendapatkan gambaran yang jelas, bahwa naskah dongeng
sekalipun, dapat dimanfaatkan sebagai pemandu pembuktian sejarah. Karena masa
penulisannya yang tidak muasir itu, diperlukan kecermatan dan ketelitian ,jika
seseorang bermaksud menggunakan naskah sebagal sumber sejarah, termasuk naskah‑naskah
yang sebenarnya menyebut dirinya sajarah, hikayat, asal‑usul, silsilah, carita,
tambo, atau babad. Betapapun, nama-nama yang disandangnya itu mengisyaratkan
bahwa sampai taraf tertentu, naskah‑naskah itu dapat dimanfaatkan sebagai
sumber sejarah (Ayatrohaedi,1989: 6).
Kembali ke masalah Salakanagara,
Dewawarman dan Rajatapura, yang telah lama menjadi perdebatan para akhli. Di
Gunung Pulasari, sebagaimana yang diungkapkan oleh Claude Guillot, sesungguhnya
merupakan pemandu ke arah pembuktian Salakanagara. Guillot mengemukakan
pendapatnya, antara lain sebagai berikut:
Dari berbagai sisi, arca‑arca itu penting
untuk pokok pembicaraan ini. Pertama, meskipun muka arca‑arca itu sudah
dirusakkan (pada masa Hasanuddin?), gayanya sangat berbeda dari gaya arca
Sunda, dan persis serupa dengan gaya akhir periode Jawa Tengah, artinya dapat
ditentukan berasal dari paro pertama abad ke‑10. Kedua, dapat dilihat bahwa
arca-arca itu merupakan kelompok arca dewa yang terdapat dalam setiap arca dewa
yang terdapat dalam setiap candi Siwa, yaitu Dewa Siwa, Agastya (titisan Siwa
yang amat sering terdapat di Jawa), Durga (yaitu Parvati, sakti Siwa) dan
Ganesha (putra Siwa), serta lingga yang sudah hilang, namun semula sudah barang
tentu bersatu dengan yoni. Wahana (vahana) Siwa, yaitu sapi Nandi, mungkin
sekali juga sudah hilang.
Kehadiran arca Brahma barangkali menunjukkan bahwa,
seperti di Prambanan, candi utama Siwa diapit oleh candi Brahma dan candi
Wisnu, sedangkan arca Wisnu itu tidak ditemukan kembali. Ketiga, seperti
dijelaskan dalam surat asisten residen tersebut, arca‑arca itu terdapat di
Cipanas yaitu di Gunung Pulasari, dekat kawah yang oleh C.W.M. van de Velde digambarkan
dalam sebuah etsa yang termasyhur pada pertengahan abad ke‑19, pasti tidak lama
sesudah pengangkatan arca-arca tersebut (Guillot,1996:102).
Guillot sudah menduga, bahwa arca‑arca
hasil temuan dari Cipanas Gunung Pulasari itu, berasal dari peninggalan
Hinduisme. Hanya saja, jika Guillot mau melirik hasil kajian para akhli tentang
Salakanagara, temuannya sangat membantu dalam perkembangan selanjutnya.
Sementara itu, dalam naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, parwa I sarga 1,
halaman 158-160, terdapat suatu riwayat tentang pernah dibuatnya candi beserta
arca‑arcanya oleh Dewawarman VIII (240‑362 Masehi), antara lain sebagai
berikut:
...// diwasa sang de-
wawarman astama nyakra-
warti i bhumi Jawa ku-
lwan ring samangkana pra-
nah ing janapada rikung
kreta subhika//...
...// sang raja gawe
ta sira candi lawa-
n pratistha ing siwa ma-
hadewamardhacandra-
kapala // lawann ganaya-
nadewa /juga hya wi-
snudewa / anggwa sira
sakweh ing wa(i)snawa//ma-
pan siwa kabeh jana-
pada padaherup hu-
rip tulushayu/...
Terjemahannya:
Pada masa Dewawarman kedelapan memerintah
di bumi Jawa Kulwan, pada waktu itu kehidupan warga masyarakat ada dalam
keadaan makmur sejahtera. Sanghyang Agatna senantiasa dihormati, dipelihara dan
sangatlah baik karenanya. Di antara warga masyarakat yang memuja Hyang Wisnu
tidak seberapa banyaknya. Ada yang memuja Hyang Siwa. Ada yang memuja Hyang
Ganayana. Ada yang memuja Siwa-Wisnu.
Maka demikianlah pemuja Hyang Ganayana
[atau] disebut juga pemuja Ganapati. Golongan ini banyak pengikutnya. Adapun
mata pencaharian warga masyarakat, di antaranya berburu di hutan pegunungan,
berdagang, mengusahakan pelayanan, menangkap ikan di tengah lautan sepanjang
tepi sungai. Juga memelihara binatang dan menanam buah-buahan, bertani dan
sebagainya.
Sang Raja membuat candi, serta patung Siwa
Mahadewamardhacandrakapala dan Ganayanadewa, juga Hyang Wisnudewa. Anutan
mereka sekalian Waisnawa. Karena sekalian warga masyarakat, mengharapkan hidup
lanjut dan selamat.
Temuan arca-arca di "Candi
Pulasari", seperti yang dikemukakan oleh Claude Guillot, ternyata mendapat
penjelasan dari naskah Pangeran WangIsakerta. Kekunoan arca‑arca tersebut,
sangat berbeda dengan arca ‑arca lain yang lebih muda, yang ditemukan di Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Oleh karena kekunoannya itulah, Guillot mempersoalkan
"arca-arca itu sudah dirusakkan (pada masa Hasanudin?)". Akan tetapi,
pada bagian lain, Guillot menjelaskan, antara lain sebagai berikut:
Arca-arca yang disebutkan sebagai
"arca Caringin" itu telah dilupakan lama sekali sejak diangkut ke
Jakarta, dan di sana tercampur dengan ratusan arca lain yang sejenis, sehingga
hilang keunikan tempat asalnya. Meskipun demikian arti pentingnya tidak luput
dari perhatian R Friederiich pada tahun 1850.
Dalam sebuah kajian mengenai gaya
arca-arca yang disimpan di Museum Batavia, ia menulis tentang arca Ganesha,
sebuah ulasan yang layak dikutip: "Bahwa arca semacam itu, beserta
beberapa arca lain yang bergaya lama, telah ditemukan di daerah Banten, di
bagian Pulau Jawa yang paling barat, berarti bahwa peradaban dan seni Hindu
telah tersebar sampai ke pantai itu.
Sejarah kerajaan yang telah melahirkan
peninggalan kuno tersebut, dan bahkan nama kerajaan itu, untuk sementara belum
dapat dipastikan. Jelas peninggalan kuno itu tidak dapat dianggap berasal dari
Kerajaan Pajajaran sebab segala peninggalan dan segala sesuatu yang kita
ketahui tentang Pajajaran menunjukkan keterbelakangan di bidang ilmu
pengetahuan dan seni. Begitu pula peninggalan Majapahit jauh dari menyamai
peninggalan masa‑masa sebelumnya (Guillot,1996:103).
Bagian yang terpenting dari
pernyataan Guillot, terdapat pada bagian akhir (kesimpulan), yang kutipannya
antara lain sebagai berikut:
Maka kami menarik kesimpulan bahwa
peninggalan di Caringin cukup kuno, dan bahwa sebelum masa Pajajaran terdapat
sebuah kerajaan Hindu di Banten (Guillot,1996:108).
Kutipan tersebut sangat berharga,
memberikan kepastian lokasi; Banten sebelum masa Pajajaran. Oleh karena itu,
penelusuran harus kembali ke wilayah Gunung Pulasari Pandeglang, sebagai tempat
asal (insitu) arca‑arca Hinduisme itu pernah berada. Saleh Danasasmita,
menunjuk muara Sungai Ciliman di wilayah Teluk Lada (Pandeglang), sebagai pusat
kota Rajatapura (Danasasmita,1984:13).
Kota Palembang di Sumatera Selatan,
antara abad ke‑7 hingga abad ke-11, berada tepat di pantai. Sedangkan Palembang
sekarang, posisinya jauh dari garis pantai, hingga mencapai 8‑9 kilometer.
Begitu pula yang terjadi di Gunung Muria (Jawa Tengah). Akibat endapan lumpur
Sungai Lusi (Purwodadi) dan Sungai Tuntang (Demak) pada abad ke‑11 (masa
kekuasaan Raja Airlangga), daratan Gunung Muria menjadi satu dengan Pegunungan
Kapur pantai utara (Blora) di Jawa Tengah (Daldjoeni,1984).
Pelabuhan Aruteun terletak di muara
Sungai Cisadane. Pada waktu itu muara sungai Cisadane terletak jauh ke dalam,
karena garis pantai Laut Jawa lima belas abad yang lalu jauh berbeda dengan
sekarang. Tanah alluvial dari masa Ciaruteun sampai garis pantai Laut Jawa
sekarang ialah hasil endapan selama lima belas abad (Muljana,1980:13).
Begitu pula hal yang sama, bisa saja
terjadi dalam proses geologi pembentukan endapan di pantai barat Pandeglang.
Kemungkinan besar, ketika Salakanagara didirikan oleh Dewawarman tahun 130
Masehi (1871 tahun yang lalu), posisi kota kecamatan Mandalawangi, kurang lebih
8‑10 kilometer dari garis pantai, berada di pesisir barat Pandeglang.
Kemungkinan tersebut, didukung oleh pendapat Dedi M. Barmawijaya (akhli
geologi), bahwa posisi pantai barat Pulau Jawa abad ke‑2 Masehi, berada pada
ketinggian 120 meter di atas permukaan laut, saat ini (18 Maret 2001).
Lokasi Rajatapura sebagai ibukota
Salakanagara, dalam naskah Pustaka
Rajyarajya i Bhumi Nusantara, parwa I sarga 1, halaman 154,
terungkap sebagai berikut:
....//hana pwa dewa
warman wamsanyakrawar
ting rajya salakana-
gara i bhumi jawa ku-
lwan/ i sedertg kitha-
rajyanya ngaran rajata-
pura ri tina ning sagara//
Terjemahannya:
Adapun wangsa Dewawarman memerintah
kerajaan Salakanagara di bumi Jawa Barat, dengan ibukota kerajaan bernama
Rajatapura, (terletak) di tepi laut.
Secara kebetulan, di situs
Cihunjuran (Desa Cikoneng Kecamatan Mandalawangi), juru pelihara Burhan,
menyimpan sebuah batu bulat elipsis (panjang 24 cm, lebar 18 cm, tinggi 9,5
cm). Di salah sate permukaan batu itu, terdapat titik titik dan garis‑garis
yang terukir mirip peta. Oleh karena itulah, Burhan menyebutnya "Batu
Peta".
Setelah dicoba dikaji‑bandingkan,
dengan peta topografi Pandeglang (cetakan Belanda tahun 1938), terindikasi
adanya beberapa ketepatan. Titik-titik dan garis-garis yang terukir pada
"Batu Peta", sebagian besar bertepatan dengan peta lokasi situs
kepurbakalaan, yang tersebar di sekitar lereng Gunung Pulasari. Kemudian, titik
terbesar yang berbentuk persegi empat, berada di tengah‑tengah, bertepatan
dengan posisi kota Kecamatan Mandalawangi sekarang. Posisi kota Kecamatan
Mandalawangi, ditinjau dari segi pertahanan keamanan, sangat strategis,
terlindung oleh 3 buah benteng alam: Gunung Pulasari, Gunung Aseupan dan Gunung
Karang. Oleh karena itu, posisi Mandalawangi, diduga kuat, bekas lokasi
Rajatapura ibukota Salakanagara.
Taruhan Bola |
No comments:
Post a Comment