DESEMBER
1964, Wakil Perdana Menteri III Chairul Saleh bertikai hebat dengan Menteri
Negara Dipa Nusantara Aidit dalam sebuah rapat kabinet. Chairul,
tokoh Partai
Murba yang antikomunis, menyodorkan segepok dokumen dan menuding Ketua Partai
Komunis Indonesia diam-diam merencanakan kudeta. Aidit membantah.
Bisa terjadi
baku pukul andai Presiden Soekarno tak melerai. "Semua yang dibicarakan di
sini tak boleh sampai keluar," kata Soekarno, keras. Sebuah tim
investigasi militer lalu diberi mandat memeriksa kesahihan tudingan Chairul.
Hasilnya: Partai Komunis Indonesia dinyatakan bersih dan Chairul harus meminta
maaf kepada Aidit.
Tak banyak
yang tahu bahwa lolosnya Aidit dari tudingan Chairul menjelang peralihan
kekuasaan 1965 itu berkat campur tangan sebuah lembaga klandestin bentukan PKI:
Biro Chusus.
Cikal-bakal
Biro Chusus adalah badan militer dari Departemen Organisasi PKI. John Roosa,
sejarawan dari Universitas British Colombia, Kanada, menjelaskan bahwa sayap
militer partai ini sudah berfungsi sejak 1950-an. "Bagian militer ini
tumbuh secara alamiah," katanya.
Menurut
Roosa, pada tahun-tahun pertama Republik, banyak pemuda anggota laskar pejuang
yang diterima menjadi tentara reguler. Beberapa di antara mereka bersimpati
pada gerakan kiri.
"Ketika
perang berakhir, PKI tidak mau kehilangan kontak dengan para simpatisan
ini," kata Roosa, mengutip sumbernya, seorang tokoh sentral PKI 1960-an.
Untuk menjaga jaringan partai di militer itulah Aidit lalu membentuk badan
khusus ini. Pemimpin pertamanya adalah Karto alias Hadi Bengkring, anggota
senior PKI.
"Biro
Chusus bertugas mengurusi, memelihara, dan merekrut anggota partai di tubuh
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia secara ilegal," kata Iskandar
Subekti, panitera Politbiro PKI, dalam catatannya atas peristiwa 30 September
1965.
Pada masa
itu, apa yang dilakukan PKI bukanlah sesuatu yang aneh. Sejumlah partai lain
juga punya organ khusus untuk memelihara kontak mereka dengan tentara. Partai
Sosialis Indonesia salah satunya. "Militer Indonesia pascakemerdekaan
memang penuh dengan klik berdasarkan kecenderungan politik masing-masing,"
kata Roosa.
Pada 1964,
setelah kematian Karto, D.N. Aidit menunjuk sahabatnya, Sjam Kamaruzaman,
menjadi kepala unit ini. Sejak itulah sejumlah perubahan besar terjadi. Penetrasi
PKI ke dalam tubuh militer dilakukan secara lebih sistematis. Kerahasiaan unit
ini pun dijaga makin ketat.
Lembaga
eksekutif PKI, Politbiro, dan Comite Central dibiarkan tak mendapat informasi
apa pun soal gerakan bawah tanah ini. Kendali hanya ada di tangan Ketua PKI.
Karena itulah Aidit bisa leluasa meminta bantuan perwira merah di TNI ketika
dia dituding akan mengkudeta Soekarno.
Biro Chusus terdiri atas lima orang agen inti di tingkat pusat dan tiga
anggota di setiap daerah. Di bawah Sjam sebagai ketua, ada Pono dan Bono-dua
intel Biro Chusus didikan Hadi Bengkring. Dua anggota staf lain adalah Suwandi
(bendahara) dan Hamim (pendidikan). Wandi dan Hamim tidak ikut menyusup ke
dalam tentara. Untuk memudahkan mereka masuk ke kompleks tentara, Sjam, Pono,
dan Bono punya kartu anggota militer dengan jabatan agen intelijen TNI.
"Jadi,
kalau masuk kompleks militer, mereka tinggal bilang bahwa mereka itu adalah
intelnya si ini atau si anu," kata John Roosa, merujuk pada kesaksian
mantan pemimpin elite PKI. Karena punya kartu anggota TNI itulah para agen
merah ini sering dikira agen ganda.
Sebagai
kedok untuk kerja intelijen, sehari-hari Sjam mengaku saudagar pabrik genting
PT Suseno di Jalan Pintu Air, kawasan Pasar Baru. Bono mengelola bengkel PT
Dinamo di Jalan Kebon Jeruk-dekat Harmoni, Jakarta Pusat. Pono punya restoran,
dan Hamim mengelola satu perusahaan bus.
Biro Chusus
juga mengelola usaha kontraktor dan CV Serba Guna, makelar jual-beli rumah di
Gang Sentiong, Kramat, Jakarta Pusat. Dana dari perusahaan-perusahaan ini
dipakai untuk menunjang operasi Biro Chusus.
Karena
itulah para tetangga lima agen ini tidak pernah menduga Sjam dan empat anggota
stafnya adalah mata-mata PKI. Saban hari, setiap pukul enam pagi, seperti orang
kantoran lain, mereka rutin berangkat ke kantor naik mobil pribadi. Anak-anak
Sjam sendiri mengira ayahnya hanya pengusaha biasa.
Penyamaran
sempurna agen-agen Biro Chusus ini baru terbongkar ketika Soejono Pradigdo,
salah satu anggota Politbiro PKI yang tertangkap paling awal, membocorkan
keberadaan Biro pada Desember 1966. Sjam dicokok lima bulan kemudian, dan mulai
bercerita lebih detail soal unit rahasia ini.
Hamim:
Sjam Suka Omong Besar
DIA punya
satu nama asli dan tiga nama samaran. Tapi ia hanya ingin dipanggil Hamim-salah
satu nama aliasnya. "Supaya enggak ketahuan," katanya. Soal
pentingnya punya nama palsu, ia beralasan agar hidupnya aman. "Ketika
belajar di sekolah partai di Tiongkok, saya diwajibkan memakai nama
alias," katanya. Hamim sendiri ia ambil dari nama seorang teman di
Tasikmalaya, Jawa Barat. "Sudah meninggal, saya gunakan saja nama itu,
tanpa maksud apa-apa," katanya.
Hamim, kini
83 tahun, adalah tokoh penting dalam sejarah Gerakan 30 September. Ia adalah
satu-satunya anggota Biro Chusus Partai Komunis Indonesia yang tersisa. Biro
adalah badan rahasia yang dibentuk Ketua PKI D.N. Aidit untuk mempersiapkan
aksi berdarah itu. Empat pengurus Biro Chusus lainnya-Sjam Kamaruzaman, Pono,
Bono, dan Suwandi-sudah tak ada. Tiga yang pertama dieksekusi aparat pada 1986,
sedangkan Suwandi meninggal lebih dulu. Hamim pun divonis mati, tapi bersama
sejumlah tahanan politik bebas ketika Soeharto jatuh.
Nama Hamim
berkali-kali disebut Sjam ketika diperiksa aparat pada 1967. Ia ikut dalam
rapat-rapat rahasia Biro Chusus menjelang 30 September. Ketika aksi itu disikat
tentara pada Oktober 1965, Hamim bertahan di Jakarta, sedangkan Sjam lari ke
Jawa Barat.
Ditemui
wartawan Tempo, Ahmad Taufik, Anwar Siswadi, dan fotografer Aditya Herlambang
Putra di rumahnya di Tasikmalaya, Ahad dua pekan lalu, Hamim bicara
panjang-lebar tentang Biro Chusus dan peran Sjam Kamaruzaman.
Kapan Anda
menjadi anggota PKI?
Mei 1948
saya mendaftar menjadi anggota Partai Komunis Indonesia. Sjam juga masuk PKI
pada 1948, tapi waktu itu saya belum kenal dia.
Kapan Anda
kenal Sjam?
Waktu
mengajar di Sekolah Partai Central di Jalan Padang, Jakarta, saya dipanggil ke
rumahnya di Paseban, Jakarta Pusat. Sjam bilang, "Bung dapat tugas untuk
bagian pendidikan. Bung nanti mengurusi sekolah partai, mendidik perwira dan
kader-kader daerah." Waktu itu saya mengajar perihal masyarakat Indonesia
dan revolusi Indonesia.
Bagaimana
kesan Anda terhadap Sjam?
Sjam bos
saya, Ketua Biro Chusus. Wajahnya menakutkan, orangnya hitam, matanya besar.
Dia itu seperti militer di Biro Chusus. Ia mengutamakan sentralisme daripada
demokrasi. Walaupun dia bukan militer, caranya di Biro Chusus kayak militer.
Disiplinnya kuat.
Dia suka
marah?
Kepemimpinannya
keras. Kalau saya bikin kesalahan, dia memaki-maki bahkan di depan orang.
"Ini salah! Itu salah!" katanya.
Dia orang
yang bisa dipercaya?
Bung Sjam
suka membesar-besarkan garapannya (pengaruh-Red.) terhadap militer. Sifatnya
sombong. Dia suka bombastis, omong besar.
Contohnya?
Menjelang
G30S, dia pernah bilang kepada saya, "Bung enggak usah takut, kita sudah
punya tentara. Dengan tentara, kita bisa berbuat apa saja." Ia mengatakan
enggak usah ngikutin Tiongkok atau Vietnam. Kita sendiri punya beberapa
jenderal yang prokomunis.
Keadaan
sebenarnya saat itu?
Sebetulnya
G30S itu belum matang. Persiapan hanya dua bulan: Agustus dan September 1965.
Pada sebuah diskusi tentang G30S, Sjam bertanya kepada saya, "Apakah Bung
siap mengadakan gerakan militer terhadap pemerintah sekarang?" Saya bilang
siap saja asalkan ada dukungan. Tapi saat itu, untuk melancarkan gerakan
militer, massa (di bawah) belum matang.
Maksud Anda?
PKI belum
punya kekuatan massa yang betul-betul siap berperang. Waktu itu partai hanya
siap untuk demonstrasi, rapat umum, menuntut upah, melawan Amerika. Tapi, untuk
suruh berperang, nanti dulu. Taruhannya mati. Untuk melatih rakyat berperang,
tidak bisa sebulan-dua bulan, harus dipersiapkan tahunan. Mengajak rakyat
berperang kan mengubah pikiran dari cara damai ke cara kekerasan. Semua butuh
waktu.
Mendengar
jawaban Anda, apa reaksi Sjam?
Dia marah.
"Bung belum bertempur, sudah takut!" Yang juga menentang usul Sjam
adalah Suwandi. Ketika ditegur Sjam, saya diam saja. Sjam, Pono, dan Bono
setuju gerakan militer yang sudah disiapkan tentara. Tapi saya bertanya: akan
berperang, kok, massa tidak ikut? Kita perlu belajar dari Tiongkok. Di sana
rakyat yang berperang, tentara cuma jadi promotor.
Kesan Anda
terhadap Sjam?
Sjam itu
sombong dan enggak mau belajar teori. Dia bercerita pernah kerja di Serikat
Buruh Pelabuhan dan Pelayaran Tanjung Priok. Dia pernah menyelamatkan Aidit
lalu disuruh mengawal Aidit. Dia sobat kental Aidit.
Apa
sebenarnya Biro Chusus itu? Orang yang masuk Biro
Chusus adalah orang pilihan. Sebelum masuk, mereka dilatih dan diamati. Biro
Chusus dulunya badan militer PKI. Biro ini ilegal (rahasia) karena mengurusi
tentara dan mempengaruhi tentara. Bahwa PKI ada juga di tentara, itu kan
tertutup. Sjam yang memegang peran utama. Dia hubungannya langsung dengan
Aidit. Empat lainnya tak boleh tahu apa yang diomongkan Aidit dengan Sjam. Biro
Chusus adalah alat Aidit untuk bisa menguasai partai.
Siapa saja
yang mengetahui keberadaan Biro Chusus?
Biro Chusus
ada sejak 1964 dengan tugas membantu Ketua Partai D.N. Aidit. Sjam adalah tangan
kanan atau orang tepercaya ketua partai. Jadi yang tahu adanya Biro Chusus itu
cuma Aidit dan beberapa temannya yang dipercaya, misalnya Sudisman (sekretaris
jenderal) dan Oloan Hutapea (anggota Politbiro). Dari 18 anggota Politbiro PKI,
paling cuma tiga orang yang tahu.
Siapa saja
anggota Biro Chusus?
Biro Chusus
itu terdiri atas Sjam (ketua), Pono (wakil ketua), Bono (sekretaris), Suwandi
(keuangan), dan saya (pendidikan). Saya termasuk baru dalam Biro Chusus.
Tadinya saya guru di Sekolah Partai Central (semacam kursus ideologi milik
PKI-Red.). Sjam, Pono, dan Bono sudah dihukum mati. Wandi sudah meninggal. Yang
sekarang ada tinggal saya. Entah sampai kapan saya hidup, ha-ha-ha.... Tiga
orang terpenting dalam Biro Chusus adalah Sjam, Pono, dan Bono. Mereka
menguasai segala hal, termasuk yang memimpin operasi militer. Wandi mengurus
usaha, seperti pabrik dan bengkel. Saya bidang teori dan pendidikan.
Anda sempat
ditahan bersama Sjam di penjara Cipinang?
Saat di
Cipinang, saya ketemu dengan Sjam. Ngobrol-ngobrol. Dia bilang, "Sekarang
ini bagaimana caranya untuk memperlambat eksekusi mati. Karena itu, saya bikin
keterangan yang macam-macam supaya mereka (tentara) bingung." Dari situ
saya tahu dia itu penakut. Saya balas: "Bung, Anda dulu ngomong penjara
atau mati. Sekarang Bung ngomong supaya tidak segera dieksekusi."
Menurut
Sjam, pengakuan apa yang dia berikan kepada tentara?
Dia bilang
bahwa dia intel ABRI. Jadi double agent. Padahal enggak betul. Bahwa dia
menyamar sebagai intel ABRI itu kamuflase. Perwira intel memberi dia surat
(keterangan) sebagai intel agar dia bisa ke mana-mana, termasuk masuk pos
tentara.
Anda
menganggap Sjam pengkhianat?
Omongannya
enggak pernah sesuai. Dulu dia bilang, "Masuk Biro Chusus itu
konsekuensinya penjara atau mati." Saya jawab, "Untuk partai, sih,
apa saja saya lakukan." Tapi, setelah itu, saat menghadapi hukuman mati,
dia gentar. Dia dihukum tembak pada 1986 bareng Pono, Bono, dan seorang kolonel
AURI. Sjam yang bombastis dan suka marah-marah ternyata waktu menghadapi
kematian menjadi oportunis.
Anda ditahan
dalam sel yang terpisah dengan Sjam?
Pernah Munir
(tahanan politik PKI-Red.), Bono, Sjam, dan saya dalam satu kamar. Di situ saya
banyak ngomong dengan Sjam. Tapi orang lain enggak ada yang mau ngomong dengan
dia. Sjam mereka anggap terlalu banyak membocorkan keberadaan perwira militer
dalam tubuh PKI.
No comments:
Post a Comment