Bagian Kelima
“Semar
memiliki tiga putera yakni Bagong, Petruk dan Gareng. Di antara ketiga putera ini,
adalah
Petruk yang paling terkemuka sebagai simbol kelemahan insan di dunia.
Tatkala sempat sejenak menjadi raja, sebagai ujian, ia menjalankan kekuasaannya
dalam keadaan „benar-benar mabok‟. Ungkapan “Petruk Dadi Raja‟,
secara empiris berkali-kali terbukti sebagai cerminan perilaku manusia
Indonesia saat berkesempatan menjadi penguasa”.
SETELAH RRI
melalui warta berita 06.00 pagi Sabtu 12 Maret 1966 mengumumkan bahwa Letnan
Jenderal Soeharto selaku pemegang Surat Perintah 11 Maret membubarkan PKI dan
ormas-ormasnya, sejenak Jakarta mendadak diliputi suatu suasana pesta
kemenangan‘. Ini misalnya tergambarkan dalam catatan Yosar Anwar, bahwa dengan
pembubaran PKI itu maka kemenangan tercapai, hal yang diinginkan dan
diperjuangkan generasi muda selama beberapa bulan ini.
Suasana
pesta kemenangan itu, dalam pemaparan Yosar yang hiperbolis, tak kalah dengan
ketika rakyat London merayakan kemenangan atas kekejaman Nazi Hitler, sama
dengan kegembiraan rakyat Paris menyambut pahlawannya Jenderal de Gaulle kembali
ke tanah air. Begitulah suasana di Jakarta hari ini. Betapa generasi muda
berjingkrak-jingkrak menyambut kemenangan dari suatu perjuangan lama dan
melelahkan. Semua wajah cerah. Rakyat mengelu-elukan pahlawan dan pejuang
Ampera seperti RPKAD, Kostrad, Kujang-Siliwangi, KAMI dan KAPPI. Gembira,
tertawa dalam menyambut lahirnya Orde Baru. Suatu kehidupan baru. Hilang
kelelahan rapat terus menerus selama ini, atau aksi yang berkepanjangan. Hari
itu memang ada parade yang diikuti oleh pasukan-pasukan RPKAD, Kostrad dan
Kujang Siliwangi, massa mahasiswa, pelajar dan berbagai kalangan masyarakat.
Beberapa
nama aktivis dicatat dalam memori Yosar yang romantis. Terbayang kawan-kawan
seiring, kawan berdiskusi, kawan dalam rapat, kawan dalam aksi. Beberapa nama
muncul selama saya berhubungan dalam aksi ini. KAMI Pusat Zamroni, Cosmas,
Elyas, Mar‘ie, Sukirnanto, Djoni Sunarja, Farid, Hakim Simamora, Abdul Gafur,
Savrinus, Han Sing Hwie, Ismid Hadad, Nono Makarim. KAMI Jaya Firdaus Wajdi,
Liem Bian Koen, Marsilam Simanjuntak, Sjahrir.
Laskar
Ampera Fahmi Idris, Louis Wangge, Albert Hasibuan. KAMI Bandung Muslimin
Nasution, Dedi Krishna, Awan Karmawan Burhan, Soegeng Sarjadi, Adi Sasono,
Freddy Hehuwat, Aldi Anwar, Odjak Siagian, Bonar, Robby Sutrisno, Sjarif Tando,
Pande Lubis, Anhar, Aburizal Bakrie, Rahman Tolleng. Kolega IMADA Rukmini
Chehab, Zulkarnaen, Boy Bawits, Alex Pangkerego, Asril Aminullah, Sofjan,
Piping dan banyak lagi.
Juga tempat
kami sering berdiskusi, baik sipil maupun militer, seperti Subchan, Harry Tjan,
Liem Bian Kie, Lukman Harun, Buyung Nasution, Maruli Silitonga, Soeripto, Anto,
Soedjatmoko, Rosihan Anwar, Harsono. Juga dengan dosen saya Prof Sarbini, Prof
Widjojo, Dr Emil Salim, atau orang militer seperti Kemal Idris, Sarwo Edhie,
Ali Murtopo, sedangkan di Bandung dengan Ibrahim Adjie, HR Dharsono, Hasan
Slamet, Suwarto.
Tentu saja,
masih ada begitu banyak nama aktivis di Jakarta, Bandung dan kota-kota lain
yang luput dari catatan Yosar, karena gerakan di tahun 1966 itu melibatkan
massa generasi muda dalam jumlah kolosal dan melahirkan begitu banyak nama
tokoh gerakan. Setelah menuliskan daftar nama nostalgia perjuangan itu, Yosar
juga mengajukan pertanyaan, Tapi, apakah dengan kemenangan yang tercapai
berarti perjuangan telah selesai? Apakah perjuangan Tritura tamat riwayatnya?.
Sebenarnya,
cukup banyak mahasiswa Jakarta yang sejenak sempat menganggap perjuangan mereka
selesai, dan kemenangan telah tercapai, tatkala Soeharto dan tentara tampak
makin berperanan dalam kekuasaan negara mendampingi Soekarno. Kala itu tak
jarang terdapat kenaifan dalam memandang kekuasaan. Bagi beberapa orang,
cita-cita tertinggi dalam kekuasaan adalah bagaimana bisa turut serta bersama
Soekarno selaku bagian dari kekuasaan. Menggantikan Soekarno yang telah
diangkat sebagai Presiden Seumur Hidup, hanyalah semacam hasrat dan cinta
terpendam, tak berani diutarakan dan ditunjukkan, dan hanya dikhayalkan seraya
menunggu kematian datang menjemput sang pemimpin.
Ketika pada
18 Maret tak kurang dari 16 menteri Kabinet Dwikora yang disempurnakan
ditangkap dengan menggunakan istilah diamankan atas perintah Letnan Jenderal
Soeharto berdasarkan kewenangan selaku pemegang Surat Perintah 11 Maret, itu
dianggap hanya sebagai bagian dari pembersihan kekuasaan dari sisa-sisa bahaya
pengaruh kiri. Tak kurang dari Soeharto sendiri selalu menyebutkan bahwa
tindakan-tindakan yang diambilnya berdasarkan SP-11-Maret adalah untuk
menyelamatkan integritas Presiden yang berada dalam bahaya.
Pembubaran
PKI dan penangkapan para menteri itu, seakan telah memenuhi dua tuntutan dalam
Tritura, yakni pembubaran PKI dan rituling Kabinet Dwikora. Sedangkan perbaikan
ekonomi, diharapkan membaik dengan perubahan susunan kekuasaan, dan untuk
jangka pendek Soeharto mengeluarkan himbauan agar para pengusaha membantu
ketenangan ekonomi nasional. Namun apakah segala sesuatunya bisa semudah itu?
Sebelum tanggal 18 Maret, sewaktu mulai terdengar adanya keinginan Soeharto
merubah kabinet, Soekarno bereaksi dengan keras. Suatu pernyataan tertulisnya,
16 Maret malam dibacakan oleh Chairul Saleh disiarkan RRI dan TVRI yang isinya
menegaskan bahwa dirinya hanya bertanggungjawab kepada MPRS yang telah
mengangkatnya sebagai Presiden Seumur Hidup, seraya mengingatkan hak
prerogatifnya dalam mengangkat dan memberhentikan menteri.
Jenderal
Soeharto menjawabnya dengan penangkapan 16 menteri dengan tuduhan terlibat
Peristiwa 30 September dan atau PKI. Sebagian besar penangkapan dilakukan oleh
Pasukan RPKAD. Bersamaan dengan itu, diumumkan pembentukan suatu Presidium
Kabinet, yang terdiri dari enam orang, yakni Letnan Jenderal Soeharto, Sri
Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik, KH Idham Chalid, Johannes Leimena dan
Roeslan Abdulgani. Dalam praktek sehari-hari kemudian, tiga nama yang disebutkan
lebih dulu, menjadi penentu kebijakan sebenarnya dari Presidium Kabinet ini.
Dari 18
menteri yang ditangkap, hanya 5 yang diadili, yakni Dr Soebandrio, Drs Jusuf
Muda Dalam, Mayjen Achmadi, Drs Mohammad Achadi dan Oei Tjoe Tat SH. Sisanya,
ditahan tanpa pernah diadili, mereka adalah Dr Chairul Saleh, Ir Setiadi
Reksoprodjo, Astrawinata SH, Armunanto, Sudibjo, Drs Soemardjo, Letkol M. Imam
Sjafei, Soetomo Martopradoto, JK Tumakaka, Koerwet Kartaadiredja dan Mayjen
Soemarno Sosroatmodjo.
Penangkapan
16 orang menteri menyebabkan kekosongan yang harus segera diisi. Untuk
sementara kekosongan itu diisi oleh Soeharto dengan mengeluarkan sebuah Keputusan
Presiden atas nama Soekarno, tentang penunjukan menteri ad interim. Ternyata
kemudian, dalam proses selanjutnya, Soeharto tidak mendesak Soekarno terlalu
jauh untuk mengganti menteri-menteri yang tersisa, kecuali pengisian posisi
yang kosong. Meskipun posisi Soekarno sudah jauh melemah dibandingkan dengan
sebelum Peristiwa 30 September terjadi, pada pertengahan Maret 1966 itu
bagaimanapun Soekarno masih cukup kuat kalau hanya untuk sekedar bertahan.
Chairul
Saleh yang terjepit dalam perubahan pertengahan Maret 1966 itu oleh para
mahasiswa Bandung digolongkan ke dalam kelompok kaum vested interest,
yakni yang mempunyai kepentingan tertanam pada suatu keadaan. Ia dikenal
sebagai orang yang anti komunis, namun setelah Peristiwa 30 September, ia
mengikuti sikap Soekarno yang cenderung membela PKI. Dalam masa kekuasaan
Soekarno yang sering disebut masa Orde Lama waktu itu, Chairul telah merasa
terjamin kepentingan-kepentingan politis maupun kepentingan ekonomisnya,
sehingga ia mendukung statusquo. Padahal, bila ia memiliki keberanian
memisahkan keterikatan kepentingan pribadinya terhadap Soekarno, momentum peristiwa
September 1965 justru bisa digunakannya untuk tampil di muka rakyat sebagai
pemimpin pejuang yang berkarakter seperti pernah ditunjukkan di masa lampau
pada masa mudanya.
Tanggal 16
Pebruari, Chairul Saleh malah muncul membacakan pengumuman presiden yang
mengecilkan arti Surat Perintah 11 Maret. Karena sikap politiknya yang terkesan
sejajar Soekarno itu ia akhirnya ikut diamankan bersama 15 menteri lain pada 18
Maret 1966. Tetapi alasan penangkapan dan penahanannya, seperti dikatakan
Soeharto selaku Panglima Kopkamtib, tidak terkait keterlibatan dalam Gerakan 30
September, melainkan karena sejumlah tuduhan pidana menyangkut penggunaan uang
negara. Ia meninggal 8 Pebruari 1967 dalam usia 50 tahun dalam tahanan, suatu
keadaan yang tragis sebenarnya.
Patut
disayangkan bahwa Chairul Saleh meninggal dalam tahanan, setelah hampir setahun
meringkuk, mengingat kejadian seperti ini bisa mengesankan tidak adanya
kepastian hukum dan hak-hak azasi di negeri ini, seperti pernah dipraktekkan
rezim Soekarno di zaman Orde Lama, tulis Mingguan Mahasiswa Indonesia,
12 Pebruari 1967, ketika memberitakan kematiannya.
Sejak
Soebandrio dan Chairul Saleh ditangkap, praktis Soekarno kehilangan pendamping
politik senior yang tangguh dan hanya tersisa dr Leimena. Tetapi Leimena ini
sejak 1 Oktober 1965 memperlihatkan kecenderungan memilih posisi tengah. Dia
lah yang menyarankan Soekarno ke Istana Bogor setelah Soeharto mengultimatum
sang Presiden untuk meninggalkan Halim Perdanakusumah, yang pesannya
disampaikan Soeharto melalui Kolonel KKO Bambang Widjanarko. Sikap tengah
kembali ditunjukkan Leimena ketika mendampingi Soekarno menghadapi tiga
jenderal Super Semar, pada tanggal 11 Maret 1966 di Istana Bogor. Soeharto
cukup mengapresiasi peranan-peranan tengah Leimena, tetapi di kemudian hari, ia
tak terbawa serta ke dalam pemerintahan baru di bawah Soeharto.
Meski
Soekarno kehilangan sejumlah menteri setianya karena penangkapan yang dilakukan
Soeharto, 18 Maret, waktu itu tetap dipercaya bahwa bila terhadap Soekarno pribadi
dilakukan tindakan yang berlebih-lebihan, pendukungnya di Jawa Tengah dan juga
di Jawa Timur akan bangkit melakukan perlawanan. Fakta dan anggapan seperti ini
membuat Soeharto memilih untuk bersikap hati-hati dalam menjalankan
keinginan-keinginannya terhadap Soekarno. Penyusunan kembali kabinet yang
dilakukan 27 Maret, dan diumumkan oleh Soekarno, adalah kabinet statusquo yang
tidak memuaskan mereka yang menghendaki perombakan total, namun telah
memasukkan pula orang-orang yang diinginkan Soeharto.
Pada waktu
itu, kendati PNI telah jauh melemah dan terbelah menjadi dua kubu, toh dalam
setiap kubu masih terdapat tokoh-tokoh kuat yang tak mungkin meninggalkan
Soekarno begitu saja. Belakangan, menjelang SU IV MPRS sampai Sidang Istimewa
MPRS tahun 1967, tokoh-tokoh PNI yang bukan kelompok Ali-Surachman (sering
diringkas Asu) menjadi lebih dekat dengan Soekarno dan malah lebih Asu dari
PNI-Asu seperti dikatakan seorang aktivis 1966. Di tubuh Angkatan Darat sendiri
pun bahkan masih terdapat jenderal-jenderal pemegang komando teritoral yang
meskipun anti komunis, namun adalah pendukung setia Soekarno. Contoh paling
menonjol adalah dua Panglima Kodam di wilayah yang amat dekat dengan pusat
pemerintahan, yakni Brigjen Amirmahmud yang merangkap sebagai Pepelrada untuk
Jakarta dan sekitarnya, serta Mayjen Ibrahim Adjie yang memegang komando di
wilayah hinterland Jakarta, yakni Kodam Siliwangi di Jawa Barat.
Di luar
Angkatan Darat, Soekarno tetap memiliki dukungan kuat. Seperti misalnya,
Panglima KKO-AL Mayor Jenderal Hartono. Menteri Panglima Angkatan Laut
Laksamana Muljadi, 7 Oktober 1966, memberikan penghargaan Hiu Kencana kepada
Soekarno, yang bisa menunjukkan betapa masih cukup kuatnya pengaruh Soekarno di
tubuh Angkatan Laut setidaknya sepanjang tahun 1966. Di tubuh kepolisian, ada
Anton Soedjarwo Komandan Resimen Pelopor yang gigih mendukung Soekarno dan siap
membasmi semua kekuatan yang mencoba menjatuhkan Soekarno.
Proses
penyusunan Kabinet Dwikora yang disempurnakan lagi itu, diakui Soeharto sendiri,
suasananya masih dalam jalur gagasan Presiden Soekarno. Dengan beberapa
perhitungan, Soeharto memilih untuk kompromistis terhadap Soekarno. Atas
keinginan Soekarno, Jenderal Abdul Harris Nasution, tak lagi diikutsertakan
dalam kabinet. Dan Soeharto tidak merasa perlu terlalu mati-matian
mempertahankan seniornya itu dalam pemerintahan, walau menurut Nasution untuk kegagalan
itu Soeharto sengaja datang ke rumah menyatakan penyesalan. Namun, dalam suatu
proses yang berlangsung dengan dukungan kuat dari bawah, dari kelompok-kelompok
yang makin terkristal sebagai kekuatan anti Soekarno, Nasution mendapat posisi
baru sebagai Ketua MPRS dalam Sidang Umum IV MPRS Juni 1966.
Kemudian
hari, Soeharto ternyata ‗menikmati‘ juga kehadiran Nasution di MPRS, yang dimulai
dengan pengukuhan mandat bagi Soeharto selaku pengemban Surat Perintah 11
Maret, yang lazim diringkas sebagai Super Semar, yang mengacu kepada
nama tokoh pewayangan Semar, punakawan kaum Pandawa, yang titisan dewa. Semar
memiliki tiga putera yakni Bagong, Petruk dan Gareng. Di antara ketiga putera
ini, adalah Petruk yang paling terkemuka sebagai simbol kelemahan insan di
dunia. Tatkala sempat sejenak menjadi raja, sebagai ujian, ia menjalankan
kekuasaannya dalam keadaan benar-benar mabok. Ungkapan Petruk Dadi Raja, secara
empiris berkali-kali terbukti sebagai cerminan perilaku manusia Indonesia saat
berkesempatan menjadi penguasa.
No comments:
Post a Comment