Bagian Kedua
“Saat
berlangsungnya sidang kabinet, mahasiswa mengepung istana. Pada waktu itulah
„pasukan tak dikenal‟
itu datang berbaur. Sikap dan penampilan yang baik dari
pasukan itu membuat demonstran mahasiswa tak merasa terancam dengan kehadiran
mereka. Tetapi sebaliknya, seorang mantan menteri pada kabinet Dwikora yang
disempurnakan, mengatakan kehadiran pasukan tanpa tanda pengenal itu memang
dimaksudkan untuk menekan Soekarno dan mungkin saja berniat membantu demonstran
masuk menerobos istana”.
TERDAPAT
sejumlah Panglima Kodam yang memiliki akses langsung dengan Soekarno sebagai
Pangti ABRI suatu situasi yang memang diciptakan oleh Soekarno sendiri.
Sementara yang lainnya, hanya bisa bertemu dengan sang Presiden, bila dibawa
menghadap oleh Menteri Pangad Ahmad Yani. Ada beberapa diantaranya, yang
meskipun punya akses langsung dengan Soekarno, tetap menjalankan tatakrama
untuk melapor kepada Yani, sebelum atau sesudahnya. Tetapi ada juga yang sama
sekali melangkahi Yani, seperti juga yang dilakukan oleh sejumlah jenderal
senior. Salah satu Panglima Kodam yang pada bulan-bulan terakhir sampai
September 1965 selalu tembak langsung‘ menghadap Soekarno adalah Brigjen
Sjafiuddin dari Kodam Udayana. Sementara itu, waktu menjadi Panglima di
Kalimantan Selatan, Amirmahmud, ada di antara dua kategori itu. Ia juga
termasuk jenderal yang punya akses terhadap Soekarno, dan bahkan dimasukkan
dalam kategori de beste zonen van Soekarno. Sesekali ia melapor kepada
Yani, dan banyak kali juga tidak.
Dalam momen
yang penting, pada masa tak menentu dalam kekuasaan Soekarno setelah Peristiwa
30 September 1965, Brigjen Amirmahmud masuk Jakarta menggantikan Mayjen Umar
Wirahadikusumah sebagai Panglima Kodam Jaya. Salah satu reputasi yang
diciptakan Amirmahmud adalah bahwa ia termasuk salah satu Panglima Kodam luar
Jawa yang melarang semua kegiatan PKI dan ormas-ormasnya pada bulan Oktober
tahun 1965, tanggal 19, tetapi masih lebih lambat dibandingkan sejumlah Kodam
lainnya.
Satu dan
lain hal, kedekatannya dengan Presiden Soekarno ikut memperlambat dirinya
mengambil keputusan itu. Pada 1 Oktober, ketika Kepala Staf Komando Antar
Daerah Kalimantan Brigjen Munadi, mengadakan pertemuan membahas situasi yang
terjadi di Jakarta, Panglima Kalimantan Selatan ini menjadi satu-satunya
Panglima se-Kalimantan yang tidak hadir. Menurut informasi Munadi kepada Jenderal
Nasution kemudian, ketidakhadiran itu disebabkan sang panglima didatangi oleh
Ketua PKI Kalimantan Selatan, A. Hanafiah, yang memberitahukan bahwa Panglima
Kodam itu ditunjuk sebagai anggota Dewan Revolusi Kalimantan Selatan.
Ketika
Amirmahmud menjadi Panglima Kodam Jaya, beberapa kali tindakannya menimbulkan
tanda tanya para mahasiswa KAMI. Prajurit-prajurit Kodam Jaya kerap bertindak
keras dan kasar kepada mahasiswa. Perwira-perwira bawahan Amirmahmud pun
umumnya tidak menunjukkan simpati terhadap gerakan-gerakan mahasiswa, untuk tidak
menyebutnya bersikap memusuhi. Hanya sedikit perwira Kodam Jaya yang bersimpati
kepada mahasiswa, bisa dihitung cukup dengan jari di satu tangan, dan di antara
yang sedikit itu tercatat nama Kepala Staf Kodam Kolonel AJ Witono serta Letnan
Kolonel Urip Widodo. Sebagai seorang Soekarnois, berkali-kali pula Amirmahmud
menampilkan lakon kesetiaan kepada Soekarno, diantaranya terkait dengan Barisan
Soekarno.
Tetapi,
agaknya ini justru menjadi hikmah pula baginya, karena sedikitnya ia makin
mendapat tempat di hati Soekarno, yang kemudian memudahkannya berperan dalam
kelahiran Surat Perintah 11 Maret. Dan adalah karena peranannya pada tanggal 11
Maret, ia kemudian mendapat tempat yang lebih layak di sisi Soeharto dalam
kekuasaan, sepanjang hayatnya. Terus menerus menjadi Menteri Dalam Negeri sejak
menggantikan Basoeki Rachmat yang meninggal dunia dan kemudian menjadi Ketua
MPR/DPR sebagai penutup karirnya yang secara menyeluruh tergolong terang
benderang.
Hal lain
yang membuat Amirmahmud bisa dekat dengan Soeharto adalah bahwa ia tidak
termasuk di antara para jenderal yang fasih berbahasa Belanda dan menggunakan
bahasa campuran Belanda-Indonesia dalam percakapan sehari-hari satu sama lain.
Soeharto adalah orang yang tak terlalu suka kepada kebiasaan berbahasa Belanda,
suatu ketidaksukaan yang umum di kalangan perwira hasil pendidikan kemiliteran
Jepang. Namun dari Soekarno, setidaknya dua kali dalam dua waktu yang berbeda,
1946 dan 1965, Soeharto mendapat gelar dalam bahasa Belanda dari Soekarno,
yakni sebagai jenderal koppig.
Amirmahmud
tak merasa nyaman dan tak betah bila ada dalam pertemuan yang dihadiri para
jenderal berbahasa Belanda ini, seperti misalnya HR Dharsono, Kemal Idris dan
kawan-kawan. Ketidaknyamanan yang sama dirasakannya ketika ia masih bertugas di
Divisi Siliwangi sebelum bertugas di luar Jawa. Divisi Siliwangi terkenal
sebagai satu divisi dengan banyak perwira intelektual dan berlatar belakang
pendidikan baik, melebihi divisi yang lain pada umumnya. Percakapan sehari-hari
di antara kalangan perwira menengah sampai perwira tingginya sangat lazim
menggunakan bahasa Belanda. Amirmahmud yang berasal dari Cimahi, berbeda dengan
umumnya koleganya sesama perwira Siliwangi, tidak menggunakan bahasa itu.
Jenderal AH Nasution yang juga berasal dari Divisi Siliwangi, Letjen Ahmad Yani
dan para perwira terasnya di Mabes AD adalah para jenderal yang juga berbahasa
Belanda.
Kebiasaan
berbicara dengan bahasa Belanda, merupakan salah satu ciri kelompok perwira
intelektual dalam Angkatan Bersenjata Indonesia. Meski demikian, sebagai
pengecualian, Amirmahmud bisa juga membuat dirinya betah bila hadir dalam
pertemuan dengan Bung Karno, kendati sang Presiden banyak menggunakan kata-kata
Belanda yang tak semua dipahaminya. Tetapi adalah menarik bahwa Soekarno
sendiri nyaris tak pernah menggunakan istilah-istilah bahasa Belanda bila
berbicara dengan Amirmahmud dan beberapa jenderal lain yang diketahuinya tidak
terbiasa dengan bahasa itu. Brigjen Soepardjo, Kolonel Latief dan Letnan
Kolonel Untung termasuk dalam kelompok perwira yang tak berkebiasaan, bahkan
jauh dari kebiasaan menggunakan bahasa Belanda.
Sejak pagi
hari 11 Maret sebenarnya Presiden Soekarno ada dalam suatu keadaan cemas dan
tertekan. Menurut rencana, hari itu akan ada Sidang Kabinet, namun ia was-was
akan faktor keamanan bila sidang itu diselenggarakan di Jakarta. Ia menelpon
Panglima Kodam Jaya Amirmahmud pukul 07.00 dari Istana Bogor, menanyakan apakah
aman bila sidang itu dilakukan di Jakarta. Sang panglima memberikan jaminan dan
menjanjikan takkan terjadi apa-apa. Beberapa jam kemudian, ketika sidang itu
akan dimulai, sekali lagi Soekarno bertanya kepada Amirmahmud dan mendapat
jawaban Jamin pak, aman.
Soekarno
meminta Amirmahmud untuk tetap berada dalam ruang sidang. Namun sewaktu sidang
baru berlangsung sekitar sepuluh menit, Komandan Tjakrabirawa terlihat
berulang-ulang menyampaikan memo kepada Amirmahmud. Isinya memberitahukan
adanya pasukan yang tak jelas identitasnya berada di sekitar istana tempat
sidang kabinet berlangsung. Ia meminta Amirmahmud keluar sejenak, tetapi
Panglima Kodam ini berulang-ulang menjawab dengan gerak telapak tangan dengan
ayunan kiri-kanan seakan isyarat takkan ada apa-apa. Tapi bisa juga sekedar
tanda bahwa ia tidak bisa dan tidak mau keluar dari ruang rapat kabinet.
Meskipun adegan ini berlangsung tanpa suara, semua itu tak luput dari
penglihatan Soekarno dan para Waperdam yang duduk dekatnya.
Tak mendapat
tanggapan dan Amirmahmud tak kunjung beranjak dari tempat duduknya, Brigjen
Saboer akhirnya menyampaikan langsung satu memo kepada Soekarno. Setelah
membaca, tangan Soekarno tampak gemetar dan memberi memo itu untuk dibaca oleh
tiga Waperdam yang ada di dekatnya. Soekarno lalu menyerahkan pimpinan sidang
kepada Leimena dan meninggalkan ruang sidang dengan tergesa-gesa. Kepada
Amirmahmud yang mengikutinya ia bertanya, Mir, bapak ini mau dibawa ke mana?.
Digambarkan bahwa Amirmahmud, yang tadinya menjamin sidang ini akan berlangsung
aman tanpa gangguan, tak menjawab dan hanya menuntun Soekarno menuju helikopter.
Dengan helikopter itu, Soekarno dan Soebandrio menuju Istana Bogor.
Sebenarnya,
Amirmahmud sendiri, yang ingin menunjukkan kepada Soekarno bahwa ia mampu
menjamin keamanan sidang kabinet tersebut, saat itu tak mengetahui mengenai
kehadiran pasukan tak dikenal itu. Sepenuhnya, pasukan ini bergerak atas
inisiatif Pangkostrad Kemal Idris. Pasukan itu diperintahkan untuk mencopot
tanda-tanda satuannya dan bergerak ke sekitar istana. Seorang perwira tinggi AD
mengungkapkan di kemudian hari bahwa pasukan tersebut sebenarnya dimaksudkan
untuk melindungi demonstran mahasiswa, karena dalam peristiwa sebelumnya para
mahasiswa itu berkali-kali menjadi korban kekerasan Pasukan Tjakrabirawa, dan
sudah jatuh satu korban jiwa, Arief Rachman Hakim.
Pada 11
Maret pagi hingga petang, sebenarnya terjadi beberapa benturan di berbagai
penjuru Jakarta. Catatan harian Yosar Anwar dibukukan dengan judul ‘Angkatan
66’, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta 1981 adalah salah satu sumber yang
tepat untuk dikutip guna menggambarkan situasi hari itu. Pagi-pagi, mahasiswa
yang berada di kampus UI Salemba, dikejutkan oleh suatu serangan mendadak dari
segerombolan orang yang berbaju hitam-hitam. Gerombolan berseragam hitam pagi
itu datang dari arah Jalan Tegalan dan Matraman Raya.
Mereka
menyerbu pos KAPPI di Jalan Salemba. Seorang luka, karena kena tusuk. Laskar S.
Parman dan Laskar A. Yani segera memberikan bantuan. Perang batu terjadi.
Perkelahian seru. Akhirnya gerombolan liar ini mengundurkan diri. Pemuda Ansor
yang tergabung dalam Banser dari Jalan Pramuka ikut menghadang mereka. Keadaan
kacau balau, karena perkelahian pada front luas terbuka. Tetapi tiba-tiba,
sepasukan Tjakrabirawa yang bersenjata lengkap datang menyerbu. Mereka
melepaskan tembakan hampir horizontal, peluru mendesing rendah di atas kepala
pelajar dan mahasiswa.
Para
mahasiswa yang bingung, tiarap. Terdengar seorang anggota Tjakrabirawa dengan
nyaring mengucapkan Seratus mahasiswa tidak sanggup melawan seorang anggota
Tjakrabirawa. Tapi Tjakrabirawa yang telah berhasil membuat takut para
mahasiswa, akhirnya berlalu dengan membawa empat orang mahasiswa sebagai
tawanan. Namun beberapa jam kemudian, para mahasiswa itu dilepaskan.
Biasanya
pasukan pengawal presiden itu hanya berada di sekitar istana, tapi hari itu
mereka merambah ke mana-mana. Seterusnya, Yosar mencatat bahwa Di Jalan Salemba
terjadi perang pamflet. Helikopter bertanda ALRI menyebarkan fotokopi Pernyataan
Kebulatan Tekad Partai-partai Politik. Sedangkan pelajar membagikan stensilan reaksi
pemuda pelajar mahasiswa atas sikap
partai politik…. Peristiwa lain, sepasukan Tjakrabirawa yang lewat dengan
kendaraan truk di Pasar Minggu melepaskan tembakan ketika diteriaki dan diejek
oleh para pelajar. Mendengar adanya tembakan, satu pasukan Kujang Siliwangi
yang ‗bermarkas‘ dekat tempat kejadian, keluar ke jalan dan melepaskan tembakan
balasan. Anggota Para Armed (Artileri Medan) dari arah lain, juga melepaskan
tembakan.
Pada sore
tanggal yang sama, terjadi keributan di Jalan Blitar. Massa menyerbu rumah Oei
Tjoe Tat SH dan melakukan perusakan. Hari ini, situasi sampai pada puncaknya.
Demonstrasi kontra demonstrasi. Tembakan kontra tembakan. Teror kontra teror.
Culik kontra culik. Saat berlangsungnya sidang kabinet, mahasiswa mengepung
istana. Pada waktu itulah pasukan tak dikenal‘ itu datang berbaur. Sikap dan
penampilan yang baik dari pasukan itu membuat demonstran mahasiswa tak merasa
terancam dengan kehadiran mereka. Tetapi sebaliknya, seorang mantan menteri
pada kabinet Dwikora yang disempurnakan, mengatakan kehadiran pasukan tanpa
tanda pengenal itu memang dimaksudkan untuk menekan Soekarno dan mungkin saja
berniat membantu demonstran masuk menerobos istana. Dan ini semua dikaitkan
dengan Soeharto yang selaku Menteri Panglima AD sengaja tak hadir dalam sidang
kabinet hari itu dengan alasan sakit.
No comments:
Post a Comment