Hari Selasa,
pengujung tahun 1966. Penjara Militer Cimahi, Bandung, Jawa Barat. Dua pria
berhadapan. Yang satu bertubuh gempal,
potongan cepak berusia 39 tahun. Satunya
bertubuh kurus, usia 52 tahun. Mereka adalah Letnan Kolonel Untung Samsuri dan
Soebandrio, Menteri Luar Negeri kabinet Soekarno. Suara Untung bergetar.
"Pak Ban, selamat tinggal. Jangan sedih," kata Untung kepada
Soebandrio.
Itulah
perkataan Untung sesaat sebelum dijemput petugas seperti ditulis Soebandrio
dalam buku Kesaksianku tentang G30S. Dalam bukunya, Soebandrio menceritakan,
selama di penjara, Untung yakin dirinya tidak bakal dieksekusi. Untung mengaku
G-30-S atas setahu Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayor
Jenderal Soeharto.
Keyakinan
Untung bahwa ia bakal diselamatkan Soeharto adalah salah satu
"misteri" tragedi September-Oktober. Kisah pembunuhan para jenderal
pada 1965 adalah peristiwa yang tak habis-habisnya dikupas. Salah satu yang
jarang diulas adalah spekulasi kedekatan Untung dengan Soeharto. Memperingati
tragedi September kali ini, Koran Tempo bermaksud menurunkan edisi khusus yang
menguak kehidupan Letkol Untung. Tak banyak informasi tentang tokoh ini, bahkan
dari sejarawan "Data tentang Untung sangat minim, bahkan riwayat
hidupnya," kata sejarawan Asvi Warman Adam.
***
Tempo
berhasil menemui saksi hidup yang mengenal Letkol Untung. Salah satu saksi
adalah Letkol CPM (Purnawirawan) Suhardi. Umurnya sudah 83 tahun. Ia adalah
sahabat masa kecil Untung di Solo dan bekas anggota Tjakrabirawa. Untung
tinggal di Solo sejak umur 10 tahun. Sebelumnya, ia tinggal di Kebumen. Di
Solo, ia hidup di rumah pamannya, Samsuri. Samsuri dan istrinya bekerja di
pabrik batik Sawo, namun tiap hari membantu kerja di rumah Ibu Wergoe Prajoko,
seorang priayi keturunan trah Kasunan, yang tinggal di daerah Keparen, Solo.
Wergoe adalah orang tua Suhardi.
"Dia
memanggil ibu saya bude dan memanggil saya Gus Hardi," ujar Suhardi.
Suhardi, yang setahun lebih muda dari Untung, memanggil Untung: si Kus. Nama
asli Untung adalah Kusman. Suhardi ingat, Untung kecil sering menginap di
rumahnya. Tinggi Untung kurang dari 165 sentimeter, tapi badannya gempal.
"Potongannya seperti preman. Orang-orang Cina yang membuka praktek-praktek
perawatan gigi di daerah saya takut semua kepadanya," kata Suhardi
tertawa. Menurut Suhardi, Untung sejak kecil selalu serius, tak pernah
tersenyum. Suhardi ingat, pada 1943, saat berumur 18 tahun, Untung masuk Heiho.
"Saya yang mengantarkan Untung ke kantor Heiho di perempatan Nonongan yang
ke arah Sriwedari."
Setelah
Jepang kalah, menurut Suhardi, Untung masuk Batalion Sudigdo, yang markasnya
berada di Wonogiri. "Batalion ini sangat terkenal di daerah Boyolali. Ini
satu-satunya batalion yang ikut PKI (Partai Komunis Indonesia)," kata
Suhardi. Menurut Suhardi, batalion ini lalu terlibat gerakan Madiun sehingga
dicari-cari oleh Gatot Subroto.
Clash yang
terjadi pada 1948 antara Republik dan Belanda membuat pengejaran terhadap
batalion-batalion kiri terhenti. Banyak anggota batalion kiri bisa bebas.
Suhardi tahu Untung kemudian balik ke Solo. "Untung kemudian masuk Korem Surakarta,"
katanya. Saat itu, menurut Suhardi, Komandan Korem Surakarta adalah Soeharto.
Soeharto sebelumnya adalah Komandan Resimen Infanteri 14 di Semarang.
"Mungkin perkenalan awal Untung dan Soeharto di situ," kata Suhardi.
Keterangan
Suhardi menguatkan banyak tinjauan para analisis. Seperti kita ketahui,
Soeharto kemudian naik menggantikan Gatot Subroto menjadi Panglima Divisi
Diponegoro. Untung lalu pindah ke Divisi Diponegoro, Semarang. Banyak pengamat
melihat, kedekatan Soeharto dengan Untung bermula di Divisi Diponegoro ini.
Keterangan Suhardi menambahkan kemungkinan perkenalan mereka sejak di Solo.
Hubungan
Soeharto-Untung terjalin lagi saat Soeharto menjabat Panglima Kostrad
mengepalai operasi pembebasan Irian Barat, 14 Agustus 1962. Untung terlibat
dalam operasi yang diberi nama Operasi Mandala itu. Saat itu Untung adalah
anggota Batalion 454 Kodam Diponegoro, yang lebih dikenal dengan Banteng
Raiders.
Di Irian,
Untung memimpin kelompok kecil pasukan yang bertempur di hutan belantara
Kaimana. Sebelum Operasi Mandala, Untung telah berpengalaman di bawah pimpinan
Jenderal Ahmad Yani. Ia terlibat operasi penumpasan pemberontakan PRRI atau
Permesta di Bukit Gombak, Batusangkar, Sumatera Barat, pada 1958. Di Irian,
Untung menunjukkan kelasnya. Bersama Benny Moerdani, ia mendapatkan penghargaan
Bintang Sakti dari Presiden Soekarno. Dalam sejarah Indonesia, hanya beberapa
perwira yang mendapatkan penghargaan ini. Bahkan Soeharto, selaku panglima saat
itu, hanya memperoleh Bintang Dharma, setingkat di bawah Bintang Sakti.
"Kedua
prestasi inilah yang menyebabkan Untung menjadi anak kesayangan Yani dan
Soeharto," kata Kolonel Purnawirawan Maulwi Saelan, mantan Wakil Komandan
Tjakrabirawa, atasan Untung di Tjakrabirawa, kepada Tempo.
Untung masuk
menjadi anggota Tjakrabirawa pada pertengahan 1964. Dua kompi Banteng Raiders
saat itu dipilih menjadi anggota Tjakrabirawa. Jabatannya sudah letnan kolonel
saat itu.
Anggota
Tjakrabirawa dipilih melalui seleksi ketat. Pangkostrad, yang kala itu dijabat
Soeharto, yang merekomendasikan batalion mana saja yang diambil menjadi
Tjakrabirawa. "Adalah menarik mengapa Soeharto merekomendasikan dua kompi
Batalion Banteng Raiders masuk Tjakrabirawa," kata Suhardi. Sebab, menurut
Suhardi, siapa pun yang bertugas di Jawa Tengah mengetahui banyak anggota
Raiders saat itu yang eks gerakan Madiun 1948. "Pasti Soeharto tahu itu
eks PKI Madiun."
Di
Tjakrabirawa, Untung menjabat Komandan Batalion I Kawal Kehormatan Resimen
Tjakrabirawa. Batalion ini berada di ring III pengamanan presiden dan tidak
langsung berhubungan dengan presiden.
Maulwi,
atasan Untung, mengaku tidak banyak mengenal sosok Untung. Untung, menurut dia,
sosok yang tidak mudah bergaul dan pendiam.
Suhardi
masuk Tjakrabirawa sebagai anggota Detasemen Pengawal Khusus. Pangkatnya lebih
rendah dibanding Untung. Ia letnan dua. Pernah sekali waktu mereka bertemu, ia
harus menghormat kepada Untung. Suhardi ingat Untung menatapnya. Untung lalu
mengucap, "Gus, kamu ada di sini...."
Menurut
Maulwi, kedekatan Soeharto dengan Untung sudah santer tersiar di kalangan
perwira Angkatan Darat pada awal 1965. Para perwira heran mengapa, misalnya,
pada Februari 1965, Soeharto yang Panglima Kostrad bersama istri menghadiri
pesta pernikahan Untung di desa terpencil di Kebumen, Jawa Tengah.
"Mengapa perhatian Soeharto terhadap Untung begitu besar?" Menurut
Maulwi, tidak ada satu pun anggota Tjakra yang datang ke Kebumen. "Kami,
dari Tjakra, tidak ada yang hadir," kata Maulwi.
Dalam
bukunya, Soebandrio melihat kedatangan seorang komandan dalam pesta pernikahan
mantan anak buahnya adalah wajar. Namun, kehadiran Pangkostrad di desa
terpencil yang saat itu transportasinya sulit adalah pertanyaan besar.
"Jika tak benar-benar sangat penting, tidak mungkin Soeharto bersama
istrinya menghadiri pernikahan Untung," tulis Soebandrio. Hal itu diiyakan
oleh Suhardi. "Pasti ada hubungan intim antara Soeharto dan Untung,"
katanya.
***
Dari mana
Untung percaya adanya Dewan Jenderal? Dalam bukunya, Soebandrio menyebut, di
penjara, Untung pernah bercerita kepadanya bahwa ia pada 15 September 1965
mendatangi Soeharto untuk melaporkan adanya Dewan Jenderal yang bakal melakukan
kup. Untung menyampaikan rencananya menangkap mereka.
"Bagus
kalau kamu punya rencana begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu," demikian
kata Soeharto seperti diucapkan Untung kepada Soebandrio.
Bila kita
baca transkrip sidang pengadilan Untung di Mahkamah Militer Luar Biasa pada
awal 1966, Untung menjelaskan bahwa ia percaya adanya Dewan Jenderal karena
mendengar kabar beredarnya rekaman rapat Dewan Jenderal di gedung Akademi Hukum
Militer Jakarta, yang membicarakan susunan kabinet versi Dewan Jenderal.
Maulwi
melihat adalah hal aneh bila Untung begitu percaya adanya informasi kudeta
terhadap presiden ini. Sebab, selama menjadi anggota pasukan Tjakrabirawa,
Untung jarang masuk ring I atau ring II pengamanan presiden. Dalam catatan
Maulwi, hanya dua kali Untung bertemu dengan Soekarno. Pertama kali saat
melapor sebagai Komandan Kawal Kehormatan dan kedua saat Idul Fitri 1964.
"Jadi, ya, sangat aneh kalau dia justru yang paling serius menanggapi isu
Dewan Jenderal," kata Maulwi.
Menurut
Soebandrio, Soeharto memberikan dukungan kepada Untung untuk menangkap Dewan
Jenderal dengan mengirim bantuan pasukan. Soeharto memberi perintah per
telegram Nomor T.220/9 pada 15 September 1965 dan mengulanginya dengan
radiogram Nomor T.239/9 pada 21 September 1965 kepada Yon 530 Brawijaya, Jawa
Timur, dan Yon 454 Banteng Raiders Diponegoro, Jawa Tengah. Mereka
diperintahkan datang ke Jakarta untuk defile Hari Angkatan Bersenjata pada 5
Oktober.
Pasukan itu
bertahap tiba di Jakarta sejak 26 September 1965. Yang aneh, pasukan itu
membawa peralatan siap tempur. "Memang mencurigakan, seluruh pasukan itu
membawa peluru tajam," kata Suhardi. Padahal, menurut Suhardi, ada aturan
tegas di semua angkatan bila defile tidak menggunakan peluru tajam. "Itu
ada petunjuk teknisnya," ujarnya.
Pasukan
dengan perlengkapan siaga I itu kemudian bergabung dengan Pasukan Kawal
Kehormatan Tjakrabirawa pimpinan Untung. Mereka berkumpul di dekat Monumen
Nasional.
Dinihari, 1
Oktober 1965, seperti kita ketahui, pasukan Untung bergerak menculik tujuh
jenderal Angkatan Darat. Malam itu Soeharto , menunggui anaknya, Tommy, yang
dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto. Di rumah sakit itu
Kolonel Latief, seperti pernah dikatakannya sendiri dalam sebuah wawancara
berusaha menemui Soeharto.
Dalam
perjalanan pulang, Soeharto seperti diyakini Subandrio dalam bukunya, sempat
melintasi kerumunan pasukan dengan mengendarai jip. Ia dengan tenangnya
melewati pasukan yang beberapa saat lagi berangkat membunuh para jenderal itu.
Adapun
Untung, menurut Maulwi, hingga tengah malam pada 30 September 1965 masih
memimpin pengamanan acara Presiden Soekarno di Senayan. Maulwi masih bisa
mengingat pertemuan mereka terakhir terjadi pada pukul 20.00. Waktu itu Maulwi
menegur Untung karena ada satu pintu yang luput dari penjagaan pasukan Tjakra.
Seusai acara, Maulwi mengaku tidak mengetahui aktivitas Untung selanjutnya.
Ketegangan
hari-hari itu bisa dirasakan dari pengalaman Suhardi sendiri. Pada 29
September, Suhardi menjadi perwira piket di pintu gerbang Istana. Tiba-tiba ada
anggota Tjakra anak buah Dul Arief, peleton di bawah Untung, yang bernama
Djahurup hendak masuk Istana. Menurut Suhardi, tindakan Djahurup itu tidak
diperbolehkan karena tugasnya adalah di ring luar sehingga tidak boleh masuk.
"Saya tegur dia."
Pada 1
Oktober pukul 07.00, Suhardi sudah tiba di depan Istana. "Saya heran, dari
sekitar daerah Bank Indonesia, saat itu banyak tentara." Ia langsung
mengendarai jip menuju markas Batalion 1 Tjakrabirawa di Tanah Abang. Yang
membuatnya heran lagi, pengawal di pos yang biasanya menghormat kepadanya tidak
menghormat lagi. "Saya ingat yang jaga saat itu adalah Kopral Teguh dari
Banteng Raiders," kata Suhardi. Begitu masuk markas, ia melihat saat itu
di Tanah Abang semua anggota kompi Banteng Raiders tidak ada.
Begitu tahu
hari itu ada kudeta dan Untung menyiarkan susunan Dewan Revolusi, Suhardi
langsung ingat wajah sahabat masa kecilnya dan sahabat yang sudah dianggap anak
oleh ibunya sendiri tersebut. Teman yang bahkan saat sudah menjabat komandan
Tjakrabirawa bila ke Solo selalu pulang menjumpai ibunya. "Saya tak heran
kalau Untung terlibat karena saya tahu sejak tahun 1948 Untung dekat dengan
PKI," katanya.
Kepada
Oditur Militer pada 1966, Untung mengaku hanya memerintahkan menangkap para
jenderal guna dihadapkan pada Presiden Soekarno. "Semuanya terserah kepada
Bapak Presiden, apa tindakan yang akan dijatuhkan kepada mereka," jawab
Untung.
Heru
Atmodjo, Mantan Wakil Asisten Direktur Intelijen Angkatan Udara, yang namanya
dimasukkan Untung dalam susunan Dewan Revolusi, mengakui Sjam Kamaruzzaman- lah
yang paling berperan dalam gerakan tersebut. Keyakinan itu muncul ketika pada
Jumat, 1 Oktober 1965, Heru secara tidak sengaja bertemu dengan para pimpinan
Gerakan 30 September: Letkol Untung, Kolonel Latief, Mayor Sujono, Sjam
Kamaruzzaman, dan Pono. Heru melihat justru Pono dan Sjam-lah yang paling
banyak bicara dalam pertemuan itu, sementara Untung lebih banyak diam.
"Saya
tidak melihat peran Untung dalam memimpin rangkaian gerakan atau operasi ini
(G-30-S)," kata Heru saat ditemui Tempo.
Soeharto,
kepada Retnowati Abdulgani Knapp, penulis biografi Soeharto: The Life and
Legacy of Indonesia‘s Second President, pernah mengatakan memang kenal dekat
dengan Kolonel Latif maupun Untung. Tapi ia membantah isu bahwa persahabatannya
dengan mereka ada kaitannya dengan rencana kudeta. ―Itu tak masuk akal,‖ kata
Soeharto. ‖Saya mengenal Untung sejak 1945 dan dia merupakan murid pimpinan
PKI, Alimin. Saya yakin PKI berada di belakang gerakan Letkol Untung,‖ katanya
kepada Retnowati.
Demikianlah
Untung. Kudeta itu bisa dilumpuhkan. Tapi perwira penerima Bintang Sakti itu
sampai menjelang ditembak pun masih percaya bakal diselamatkan.
Dia Jenderal, Bukan Letnan Kolonel
Di mata
Sadali, teman masa kecilnya, Untung adalah seorang prajurit cerdas. Sadali,
yang sekarang berdagang peci, masih ingat perjalanan karier karibnya itu.
Untung, kata Sadali, memulai dinas militernya di Heiho pada 1943.
Setelah Jepang
hengkang, Untung bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia. Kariernya mulai
bersinar terang di kesatuan Banteng Raiders, Diponegoro, yang bermarkas di
Gombel, dekat Semarang, Jawa Tengah. Pada 1961, pangkatnya sudah mayor.
"Ada satu melati putih di pangkatnya."
Warga Dukuh
Kedung Bajul, tempat kelahiran Untung, di Kebumen, Jawa Tengah, amat mengingat
Untung ikut berjasa membebaskan Irian Barat pada 1962. Bahkan, Sadali percaya,
Untunglah arsitek di balik perebutan Irian Barat dari tangan Belanda.
Dari mulut
Sadali terurai strategi Untung yang cerdik dan tak lazim. Setelah diterjunkan
di Irian Barat, konon Untung memadamkan semua lampu di kota-kota. Sebaliknya
hutan-hutan dibuatnya benderang. "Belanda tertipu," kata Sadali.
"Untung bersama pasukannya berhasil masuk ke kota-kota." Entah dengan
cara apa Untung menerangi rimba Papua yang ganas itu.
Prestasi di
Irian Barat membuat Untung menjadi salah satu penerima penghargaan Bintang
Sakti, yang langsung disematkan Presiden Soekarno. Penerima penghargaan lainnya
adalah Mayor L.B. Moerdani. Pangkat Untung dinaikkan menjadi letnan kolonel.
Dia pun secara khusus diminta Presiden Soekarno menjadi anggota pasukan
pengawal Tjakrabirawa.
Hingga
dieksekusi pada pertengahan 1966, pangkat Untung masih letnan kolonel. Namun,
bagi warga Kedung Bajul, pangkat Untung terus terdongkrak beberapa tingkat
sekaligus. Dengan takzim mereka menyebutnya Jenderal Untung.
"Jenderal
Untung dikenal karismatis," Mashud Efendi, 69 tahun, yang tinggal
berdekatan dengan rumah Untung, memuji. Kepala Desa Bojongsari Mohamad Asibun
ikut menyebutnya Jenderal Untung. "Paling tidak ada orang Kebumen yang
berhasil membebaskan Irian Barat," ujar Asibun, 40 tahun.
Mereka
bukannya tak tahu soal keterlibatan Untung dalam penculikan para jenderal
Angkatan Darat. Tapi mereka tidak terlalu peduli.
Syukur Hadi
Pranoto, yang tinggal di belakang rumah Sukendar, mertua Untung, mengetahui
keterlibatan Untung dalam peristiwa G- 30-S melalui radio. Massa yang marah
sempat menjadikan rumah Sukendar sebagai sasaran.
"Sekitar
seratus orang siap membakar rumah Sukendar dengan bom molotov," kata
Syukur, yang kini 71 tahun. Beruntung rumah itu bisa diselamatkan seorang
anggota dewan perwakilan rakyat daerah.
Kendati
Syukur mendengar Untung terlibat G-30-S, ia tak percaya pria itu bersalah.
"Dia hanya alat atau korban politik. Dalangnya, ya, Soeharto."
Sebaliknya, ia yakin Untung orang yang jujur dan bertanggung jawab. Dan,
seperti warga dukuh lainnya, ia bangga ada putra Kebumen yang menjadi pahlawan
pembebasan Irian Barat. Bahkan Siti Fatonah, 78 tahun, yang masih terhitung
kerabat Hartati, istri Untung, tak percaya warga kebanggaan Kedung Bajul itu
terlibat penculikan para jenderal. Pada malam kejadian, kata dia, Untung
nongkrong makan bakso di Hotel Des Indes Harmoni, Jakarta, atau Duta Merlin
sekarang.
Yang lebih
unik, seorang kerabat dekat Hartati lainnya percaya Untung masih hidup dan
tinggal di Kopeng, Salatiga, Jawa Tengah. "Ia menjadi kasepuhan atau
paranormal," kata orang yang tak pernah bertemu dengan Untung itu.
AKHIR HAYAT UNTUNG
Setelah
ditangkap saya langsung ditahan. Saya diadili di Mahkamah Militer Luar Biasa
dengan tuduhan subversi dan dijatuhi hukuman mati. Jalur hukum di atas vonis
pengadilan seperti naik banding dan kasasi sengaja ditutup sehingga mau tidak
mau saya harus menerima vonis hukuman mati itu. Jelas saya sangat terpukul pada
saat itu. Dari posisi orang nomor dua di Republik ini, saya mendadak sontak
diadili sebagai penjahat dan dihukum mati. Saya menjalani hukuman awal di
Penjara Cimahi Bandung. Di sana berkumpul orang- orang yang senasib dengan saya
(dituduh sebagai penjahat yang terlibat G30S). Di antaranya adalah Letkol
Untung yang memang komandan G30S. Selama beberapa bulan kami berkumpul di
penjara walaupun berbeda ruangan. Saya dan Untung sudah sama-sama divonis
hukuman mati. Baik saya maupun Untung tidak diberi hak untuk menempuh jalur
hukum yang lebih tinggi yakni naik banding, apalagi kasasi.
Sampai
suatu hari di akhir 1966 Untung dijemput dari selnya oleh beberapa sipir.
Diberitahukan bahwa Untung akan dieksekusi. Itulah saat-saat terakhir Untung
menjalani hidupnya. Saya dan Untung yang sudah akrab selama berada dalam satu
penjara benar-benar terhanyut dalam suasana haru. Saya bukan hanya terharu
tetapi juga bingung, sedih, bahkan panik. Sebab Ahmad Durmawel (oditur militer
yang mengadili saya) saat itu memberitahukan bahwa saya akan mendapat giliran
(dieksekusi) empat hari kemudian. Saya ingat saat itu hari Selasa. Berarti saya
akan dieksekusi pada hari Sabtu.
Sebelum
Untung dijemput untuk dibawa keluar penjara, saya sempat menemui Untung. Saat
itu ia sudah ditanya tentang permintaan terakhir, seperti lazimnya orang yang
akan dieksekusi. Mungkin karena Untung sedang panik, ia tidak minta apa-apa.
Untung juga sudah tahu bahwa saya akan dieksekusi hari Sabtu. Maka pertemuan
saya dan Untung benar-benar luar biasa. Kami memang hanya berhadap-hadapan
dengan pakaian seragam narapidana, namun hati kami tidak karuan. Untung segera
akan ditembak, sedangkan saya empat hari lagi.
Saat
itu ada kalimat perpisahan Untung yang saya ingat hingga sekarang. Bahkan saya
ingat suasana hening saat Untung menyampaikan kata perpisahannya pada saya.
Para sipir dan tentara berwajah angker yang selalu siaga menjaga Untung,
mengawasi kami dari jarak agak jauh. Mereka seperti maklum dan memberi
kesempatan terakhir bagi Untung untuk berpesan kepada saya. Untung mengatakan
demikian: Pak Ban, selamat tinggal. Jangan sedih. Empat hari lagi kita ketemu
lagi di sana katanya sambil menunjuk ke atas. Untung mengucapkan kata
perpisahan dengan suara bergetar. Matanya kelihatan berkaca-kaca. Tentara yang
gagah berani itu tidak menangis, tetapi saya tahu ia dalam kondisi sangat
panik. Ia benar-benar tidak menyangka bakal dikhianati oleh Soeharto.
Jika
menengok hari-hari sebelumnya, Untung begitu sering mengatakan kepada saya
bahwa tidak mungkin Soeharto akan mengkhianati dia. Sebab dia adalah sahabat
Soeharto dan ia mengatakan bahwa Soeharto mengetahui rencana G30S, bahkan
memberi bantuan pasukan. Karena itu dia sangat yakin bahwa dia tidak akan
dikhianati oleh Soeharto. Tetapi toh kenyataannya berakhir demikian. Menanggapi
perkataan Untung, saya tidak bisa bicara apa-apa. Saya hanya mengangguk-angguk.
Para sipir dan tentara yang menjaga kami menyaksikan semua adegan singkat tapi
mengharukan ini.
Menjelang
senja, Untung dengan pengawalan ekstra ketat berjalan menuju pintu gerbang
untuk meninggalkan Penjara Cimahi. Saya mengamati keberangkatan Untung dari
penjara. Ia berjalan tegap. Mungkin ia segera bisa menguasai perasaannya yang
begitu gundah. Tetapi mungkin pula ia sudah pasrah kepada takdir Allah bahwa
memang sampai di situlah perjalanan hidupnya. Saya kemudian mendengar bahwa
Untung dieksekusi di sebuah desa di luar kota Bandung. Saya sudah tidak sempat
sedih lagi memikirkan nasib Untung, hidup saya sendiri akan berakhir sebentar
lagi. Bila mengingat hari-hari itu, saya membayangkan Untung kecele (salah
duga) dengan kata perpisahannya kepada saya sesaat sebelum meninggalkan penjara
karena ternyata dia tidak menjumpai saya di alam sana.
Terus
terang, setelah Untung dieksekusi, saya benar-benar gelisah. Manusia mana yang
tidak takut jika hari kematiannya sudah ditentukan.
Tetapi
inilah keajaiban Presiden Amerika Serikat Lyndon B. Johnson dan Ratu Inggris
Elizabeth, di luar sepengetahuan saya, mengirimkan surat kawat kepada Soeharto.
Saya mengetahui ini dari seorang sumber beberapa hari kemudian. Isi surat dua
petinggi negara adidaya itu ini juga ajaib hampir sama. Intinya berbunyi
demikian: Soebandrio jangan ditembak. Saya tahu, dalam G30S dia tidak terlibat.
Soal, apakah ini merupakan intervensi asing atau bukan, bagi saya tidak perlu
dipikirkan lagi. Sejak dulu pun Indonesia selalu diintervensi oleh negara lain.
Yang penting bagi saya, mereka sudah membantu saya dalam kondisi sangat panik.
Dan ternyata kawat singkat itu ampuh luar biasa.
Akhirnya
saya tidak jadi ditembak mati. Tentang mengapa dua orang pimpinan negara Barat
membantu saya, sungguh tidak saya ketahui. Yang tahu persis hanya mereka
berdua. Saya tidak pernah meminta bantuan mereka. Logikanya, tidak ada waktu
bagi saya untuk minta bantuan kepada orang lain, apalagi pimpinan negara lain.
Hitung saja, saya diberitahu tentang hari eksekusi saya sekitar lima hari
sebelumnya. Selama menunggu, saya hanya panik dan panik.
Lagipula, bagaimana caranya saya minta
bantuan kepada mereka? Saya berada di dalam penjara dan dalam pengawasan ekstra
ketat, terutama pada hari-hari menjelang eksekusi. Namun jangan lupa, saya dulu
adalah Menteri Luar Negeri. Saya akrab dengan mereka berdua. Ketika perundingan
tentang pembebasan Irian Barat, saya banyak melobi pejabat di dua negara itu.
Juga dalam tugas-tugas yang lain. Tetapi bagaimana pun saya juga tetap tidak
tahu bagaimana mereka begitu yakin bahwa saya tidak terlibat G30S sampai-sampai
mereka dengan keputusan yang luar biasa berani mengirimkan kawat ke Jakarta.
Akibat kawat itu pula hukuman saya diubah dari hukuman mati menjadi hukuman
seumur hidup.
No comments:
Post a Comment