KERAJAAN SUNDA PAJAJARAN
A. POLITIK DAN KONFLIK
Claude Guillot dan kawan‑kawan,
dalam buku Banten Sebelum Zaman
Islam; Kajian Arkeologi di Banten Girang 932?‑1526, mengemukakan
kesannya tentang temuan "Banten
Girang", antara lain sebagai berikut:
Patut
diperhatikan pula bahwa garis besar haluan Banten dalam hal politik luar negeri
mendapat sorotan baru dari sejarah Banten Girang. Banten memberi kesan seolah‑olah
membalas dendam atas nama Banten Girang. Ibukota Pajajaran misalnya, yang
pernah menaklukan Banten Girang, diserang dan direbut oleh Banten pada
pertengahan abad ke‑16 (Guillot,1996:137).
Kesan Guillot memang "patut
diperhatikan", bahkan kesan tersebut harus dicermati. Seringnya digunakan
sebutan Pajajaran, yang diperankan sebagai "musuh Banten", tentu
harus ada penjelasan yang lebih memadai. Persoalan yang muncul, "Benarkah
serangan Banten ke ibukota Pajajaran itu, merupakan tindakan balas dendam,
akibat pernah ditaklukannya Banten Girang?"
Pada bagian terdahulu sudah
dijelaskan, bahwa Banten atau WanTan (dalam lafal berita Cina), tidak berdiri
sendiri. Banten merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Pulasari,
Salakanagara, Tarumanagara dan Kerajaan Sunda. Banten di masa silam, dengan
segala perkembangan kehidupannya, tetap setia mengikuti alur waktu, menelusuri
kurun zaman.
Untuk diketahui secara objektif,
sebagai pembanding, akan ditampilkan naskah‑naskah kuna hasil kajian filologi,
di antaranya: Kropak 406 Carita
Parahiyangan; Pustaka
Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa
II sarga 2; Pustaka
Pararatwan i Bhumi Jawadwipa parwa
I sarga 3; dan Pustaka
Nagarakretabhumiparwa I sarga 5. Berdasarkan naskah‑naskah kuna
tersebut, dirangkum dalam satu bahasan berkesinambungan, yang alur riwayatnya
adalah sebagai berikut:
Sepeninggal Mahapraburesi Niskala
Wastu Kancana (1475 Masehi), kawasan bekas Tarumanagara, kembali terbagi dua,
di antara dua putera mahkota pewaris Kerajaan Sunda. Sang Haliwungan, putera
sulung dari Dewi Sarkati (puterinya Susuk Lampung, Sumatera Selatan), diwarisi
wilayah barat dengan batas sungai Citarum, dengan nama yang tetap sama:
Kerajaan Sunda. Sang Haliwungan menjadi penguasa Kerajaan Sunda, dengan nama
nobat Prabu Susuktunggal, dengan pusat pemerintahannya di kota Pakuan (Bogor).
Sebelumnya, dari sejak tahun 1382 Masehi, Sang Haliwungan sempat dipercaya oleh
ayahnya, menjadi Prabu Anom (Rajamuda atau Yuwaraja), sebagal pemegang tahta
perwalian Kerajaan Sunda yang berpusat di Pakuan.
Dalam Kropak 406 Carita
Parahiyangan, tokoh Sang Haliwungan tertulis : inya sang susuktunggal nu munar
na pakwan reujeung sanghi‑ yang haluwesi, nu nyaeuran sanghiyang rancamaya.
Dialah Sang Susuk tunggal yang merenovasi (memperindah) kota Pakuan, dan
memperteguh dua tempat suci: Sanghiyang Haluwesi dan Sanghiyang Rancamaya.
Mengenai tempat suci Sanghiyang Rancamaya, yang terletak di bukit Badigul
(Bogor), sempat menjadi "sengketa " yang menghebohkan. Kini Sanghiyang
Rancamaya dan bukit Badigulnya, tempat diperabukannya Raja-raja Sunda, sirna
tanpa bekas, sudah berubah menjadi perumahan mewah Rancamaya.
Selanjutnya, sang Susuktunggal
inyana nu nyieun palangka sriman sriwacana; nu mikadatwan sri bima‑ punta‑
narayana‑madura‑suradipati. Sang Susuktunggal yang membuat singasana Sriman
Sriwacana dan tinggal di keraton Sri Bima‑Punta‑Narayana‑Madura‑Suradipati.
Lokasi bekas keraton tersebut, kini sudah menjadi bangunan permanen, berupa
villa warisan almarhum Bung Karno (Presiden RI pertama), dengan nama: Ing Puri
Bima Sakti.
Kawekasan sang susuktunggal
pawwatanna lemah suksi lemah hadi, mangka premana raja utama, lawasnya ratu
saratus tahun. Peninggalan warisan Sang Susuktunggal, adalah tanah yang suci
dan tanah baik (subur), sebagai tanda keutamaan raja. Lamanya menjadi raja 100
tahun (1382‑1482 Masehi).
Kemudian Sang Ningrat Kancana,
putera sulung Dewi Mayangsari (puterinya Mangkubumi Bunisora Suradipati),
diwarisi wilayah timur dengan batas sungal Citarum, dengan nama Kerajaan Galuh.
Sang Ningrat Kancana menjadi penguasa Kerajaan Galuh, dengan nama nobat Prabu
Dewa Niskala,dengan pusat pemerintahannya di kota Kawali(Ciamis).
Dalam Kropak 406 Carita
Parahiyangan, tokoh Sang Ningrat Kancana, tercatat sebagai pengganti Sang
Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana. la adalah tohaan di galuh, inya nu surup di guna tiga, lawasnya ratu tujuh tahun, kena salah twah,
bogoh ka estri larangan ti kaluaran. Yang di pertuan di Galuh. Dia
yang dipusarakan di Guna Tiga. Lamanya menjadi raja hanya 7 tahun (1475‑1482
Masehi). Akibat salah perilaku, memperisteri perempuan terlarang dari luar.
Adapun yang menjadi latar belakang
peristiwa, hingga Prabu Dewa Niskala memperisteri estri larangan ti kaluaran, adalah akibat terjadinya
perubahan politik di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Dalam tahun 1473 Masehi, Raden Patah
dihadiahi tanah di Demak oleh ayahnya, Prabu Kertabumi atau Brawijaya V. Ibu
kandung Raden Patah adalah Siu Ban Ci, puteri Syekh Bentong (Tan Go Hwat),
seorang ulama Cina mazhab Hanafi murid Sunan Ampel.
Siu Ban Ci mengembara ke Palembang,
akibat perceraian dengan suaminya, Prabu Kertabumi. Di Palembang, Siu Ban Ci
diperisteri oleh Arya Damar, seorang Bupati Majapahit yang ditempatkan di
Palembang. Dari ibunya, Raden Patah mendapat nama Jin Bun, dari ayah tirinya
(Arya Damar alias Arya Dillah), diberi nama Raden Praba. Sedangkan nama Patah
(Al Fatah), diterima kemudian dari Sunan Ampel, sebagal guru dan juga
mertuanya.
Sunan Ampel sendiri, adalah
kemenakan Ratu Darwati, salah seorang isteri Prabu Kertabumi. Sunan Ampel yang
bernama Ali Rakhmatullah, untuk kepentingan membuka pesantren, atas permohonan
Ratu Darawati, dihadiahi tanah Ampel Denta oleh Raja Majapahit. Karena Demak
berkembang menjadi kota yang ramai, maka dalam tahun 14'75 Masehi, daerah itu
dijadikan kadipaten (kadipatian). Kemudian, Raden Patah, oleh ayahnya dijadikan
Adipati Demak bawahan Majapahit.
Tiga tahun kemudian, Raden Patah
mengerahkan pasukan Demak. menggempur Majapahit. Prabu Kertabumi beserta
keluarga keraton Majapahit, meninggalkan ibukota, cerai-berai mengungsi ke
berbagai jurusan. Prabu Kertabumi akhirnya tewas di daerah Bukit Sawar,
mengakhiri kekuasaan ayahnya. Sebutan Majapahait dirubahnya menjadi Demak, dan
Raden Patah menjadi Sultan yang pertama dengan nama nobat Sultan Alam Akbar AI
Fatah.
Uniknya, peristiwa tragis yang
terjadi di Majapahit itu, ada kemiripan dengan kisah proses awal penyebaran
Islam Tatar Sunda. Kisah anak ingin mengislamkan ayahnya, hingga memerangi
kerajaan ayahnya, hidup dalam dongeng babad: Prabu Kian Santang.
Kerajaan Majapaliit tidak runtuh,
karena masih berdiri di bawah Prabu Girindrawardana (Brawijaya VI), dengan
ibukota di Keling. Baru kemudian, dalam masa pemerintahan Prabu Udara
(Brawijaya VII), Demak berhasil menghancur‑leburkan Majapahit (1517 Masehi).
Menurut versi lain, serangan ke Majapahit tahun 1478 Masehi, yang menyudahi
kekuasan Kertabumi, dilakukan oleh Girindrawardana.
Dari Wandan Bondri Cemara, Prabu
Kertabumi mempuNyai anak laki‑laki, diberi nama Raden Bondan Kejawan. Dialah
pernimpin rombongan pengungsi Majapahit ke Jawa Tengah. Di sana, Raden Bondan
Kejawan menikah dengan Dewi Nawangwulan, yang lebih terkenal dengan nama Nyai
Lara Kidul. Dewi Nawangwulan adalah Ratu Mataram yang menganut agama
Bhudagotama. Dari pernikahannya, memperoleh seorang puteri, kemudian diberi
nama Nyai Mas Ratu Angin‑angin. Kelak, Nyai Mas Ratu Angin‑angin diperisteri
oleh Sutawijaya, yang mendirikan Mataram Islam. Nyai Mas Ratu Angin‑angin
adalah penganut setia agama Budhagotama. Oleh karena itu, ia tersamar dalarn
cerita rakyat, dan lebih dikenal dengan sebutan Nyai Roro Kidul (Ratu Pantal
Selatan).
Di antara keluarga keraton Majapahit
yang mengungsi, ada juga yang sampai ke Kawali, ibukota Kerajaan Galuh.
Rombongan ini dipimpin oleh Raden Baribin, saudara seayah Prabu Kertabumi.
Raden Baribin, adalah putera Prabu Sengawikramawardana (Brawijaya IV) dari
Endang Sasmitapura. Rombongan pengungsiannya, diterima dengan tangan terbuka,
oleh Prabu Dewa Niskala penguasa Kerajaan Galuh.
Kemudian, Raden Baribin dijodohkan
dengan puterinya Prabu Dewa Niskala, Puteri Ratna Ayu Kirana. Puteri ini adalah
adik Banyakcatra (Kamandaka) Bupati Galuh di Pasir Luhur, yang juga adik
Banyakngampar Bupati Galuh di Dayeuh Luhur. Ketiga‑tiganya adalah putera Prabu
Dewa Niskala dari isterinya yang lain.
Selaln itu, Prabu Dewa Niskala
memperisteri salah seorang wanita pengungsi, yang sudah bertunangan. Dalam
pengungsian, wanita itu terpisah dari tunangannya. Menurut hukum waktu itu,
baik di Kerajaan Majapahit maupun di Kerajaan Sunda (termasuk Kerajaan Galuh),
seorang gadis yang telah bertunangan (rara hulanjar), tidak boleh menikah dengan laki‑laki lain,
kecuali jika tunangannya meninggal atau membatalkan pertunangan.
Dalam hal ini, ratu Galuh Prabu Dewa
Niskala telah melanggar dua buah pantangan (purbatisti‑purbajati Sunda):
1. Prabu Dewa Niskala, telah
menjodohkan puterinya., dengan Raden Baribin, keluarga keraton Majapahit.
2. Prabu Dewa Niskala,
memperisteri seorang estri larangan (rara hulanjar).
Oleh karena itu, Prabu Dewa Niskala,
telah dianggap melanggar dua macam tabu (pantangan) keraton. Dari sejak
peristiwa tragedi palagan Bubat (1357 Masehi), keluarga keraton Kawali, tabu
berjodoh dengan keluarga keraton Majapahit.
Prabu Susuktunggal, penguasa
Kerajaan Sunda, yang juga sebagai kakak seayah Prabu Dewa Niskala, sangat
marah. Dalam tindakan terhadap ulah adiknya, ia memutuskan hubungan kekerabatan
dengan Kerajaan Galuh. Tentu saja, konflik kedua pemimpin negara,
mengguncangkan rakyat Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda. Konflik berkembang
rnenjadi permusuhan. Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh, sama-sama mengerahkan
pasukannya, ditempatkan di daerah perbatasan tepi barat dan timur sungai
Citarum.
Untuk menyelamatkan keadaan, para
Pembesar dari kedua kerajaan yang bermusuhan, mengadakan gotrasawala (musyawarah
kekeluargaan), di wilyah netral, yang diduga di Kerajaan Batulayang (Kabupaten
Bandung). Hasil musyawarah disepakati oleh kedua belah pihak, dan memutuskan,
bahwa:
1. Prabu Dewa Niskala harus
turun dari tahta Kerajaan Galuh;
2. Begitu pula Prabu
Susuktungggal, harus turun dari tahta Kerajaan Sunda.
Selanjutnya, tahta Kerajaan Sunda
dan Kerajaan Galuh, harus diserahkan kepada Jayadewata.
Adapun posisi Jayadewata pada saat itu,
adalah:
1. Putera sulung Prabu Dewa
Niskala, dari permalsuri;
2. Menantu Prabu Susuktunggal,
atas pernikahannya dengan Puteri Kentring Manik Mayang Sunda.
B. SRI BADUGA MAHARAJA
Menurut Pustaka Nagara Kretabhumi parwa
I sarga 2, Jayadewata mula‑mulaa gelar Prabuguru Dewataprana. Kemudian dalam
bulan Caitra tahun 1404 Saka (Maret/April 1482 M), ia menerima tahta kerajaan
Sunda dari mertuanya, Prabu Susuktunggal.
Peristiwa penobatannya di Pakuan,
sekaligus menjadikan Jayadewata seorang Maharaja, karena kekuasaan
pemerintahannya, meliputi Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Peristiwa
tersebut, sesuai dengan isi prasasti Batutulis Kota Bogor, yang memberitakan:
// mwang na pun ini sakakala, prebu ratu
purane pun, diwastu diya wingaran prebu guru dewataprana diwastu diva dingaran
sri baduga maharaja ratu haji di pakwan pajajaran sri sang ratu dewata pun ya
nu nyusuk na pakwan diya anak rahyang dewa niskala sang sidamokta di gunatiga,
incu rahyang niskala waste kancana sang sidamokta ka nusa larang ya siya nu
nyian sakakala gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyan sanghyang talaga rena
mahawijaya, ya siya pun // i sake panca pandawa emban bumi //
Terjemahannya:
Semoga selamat. Ini tanda peringatan untuk
(peninggalan dari) prabu ratu suwargi. la dinobatkan dengan gelar Prabuguru
Dewataprana. Dinobatkan (lagi) ia dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di
Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (di) Pakuan.
Dia anak Rahiyang Dewa Niskala yang mendiang di Gunatiga; cucu Rahiyang Niskala
Wastu Kancana yang mendiang di Nusalarang. Dialah yang membuat tanda peringatan
(berupa) gunung-gunungan, membuat jalan yang diperkeras dengan batu, membuat
samida, membuat Sanghiyang Talaga Rena Mahawijaya. Ya dialah (yang membuat
semua itu). (Dibuat) dalam (tahun) Saka 1455 (Danasasmita, 1981: 25).
Prasasti Batutuhs Kota Bogor, dibuat
oleh Prabu Sanghiyang Surawisesa, pada tahun 1533 Masehi. Pembuatan prasasti
tersebut, dilakukan dalam upacara penyempurnaan sukma, untuk mengenang
jasa-jasa dan kebesaran ayahnya, Sri Baduga Maharaja. Upacara semacam itu,
hanya dilakukan untuk raja‑raja tertentu. Jika seorang raja wafat, kemudian
setelah 12 tahun masyarakat masih menceritakan jasa-jasa dan kebesarannya, maka
raja tersebut digali dari kuburnya, kemudian kerangkanya diperabukan. Maksudnya,
agar sukma raja tersebut, dapat kembali kepada zat asalnya: Hiyang Batara
Tunggal (Tuhan Yang Esa).
Isi prasasti Batutulis Kota Bogor,
tidak bertentangan dengan naskah kuna Pustaka Nagara Kretabhumi parwa
I sarga 2, yang terjemahan langsungnya, antara lain sebagai berikut:
Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu:
membuat telaga besar yang bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ke
ibukota Pakuan dan ke hutan larangan. la memperteguh pertahanan ibukota,
memberikan desa (perdikan) kepada semua pendeta dan pengikutnya untuk
menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat
kebinihajian (kaputren), kesatrian (asrama
prajurit), pagelaran (macam‑macam formasi tempur), pamingtonan (tempat
pertunjukan kesenian), memperkuat angkatan perang, mengatur pungutan pajak dari
raja‑raja bawahan dan menyusun undang‑undang kerajaan.
Memberi hadiah desa perdikan untuk
tempat tinggal para Pendita, tertulis pula dalam prasasti (piagam) tembaga,
yang ditemukan di Desa Kabantenan, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi. Dari
prasasti yang berjumlah 5 lembar itu, isinya dapat diketahui, bahwa Sri Baduga
Maharaja mengukuhkan status lemah dewasasana atau lurah kawikuan di Sunda
Sembawa, Gunung Samaya dan Jayagiri. Pengukuhan itu, berupa penegasan batas‑batas
wilayah dan pembebasan dari pajak, serta ancaman hukum mati, bagi siapapun yang
melanggar keputusannya.
Tanah suci Lemah Dewasasana atau
Lurah Kawikuan, dibebaskan dari 4 macam pajak yang disebut: dasa, calagara, kapas‑timbang (upeti) dan pare-dongdang(panggeres reuma).
Dasa, adalah pajak tenaga perseorangan, yaitu
kewajiban bekerja beberapa hari dalam setahun, sebagai tanda bakti kepada raja
atau keluarganya. Kata dasa,
diambil dari bahasa Sanskerta, yang berarti pelayanan (service).
Calagara (di Majapahit: walagara), adalah pajak tenaga kolektif. Para petani
tergabung dalam pasukan pekerja, yang dipimpin oleh wado (seorang
prajurit yang ditugaskan memimpin pasukan pekerja), untuk melaksanakan bagi
kepentingan raja dan negara.
Kapas‑timbang atau upeti kapas, harus diserahkan tiap
tahun, sebanyak 10 pikul atau 10 carangka.
Pare‑dongdang atau panggeres reuma,
adalah pare turiang,
yaitu padi yang terlambat berbuah setelah musim panen. Bila petani telah
berpindah ladang (huma), maka padi dipanen di reuma (bekas ladang), harus diserahkan
kepada raja, karena padi semacam ini dianggap bukan bagian petani.
Upacara penyempurnaan sukma Sri
Baduga Maharaja telah dilakukan. Akan tetapi masyarakat Kerajaan Sunda masih
tetap mengenang dan menceritakan jasa-jasa dan kebesaran Sri Baduga Maharaja.
Keharuman Sri Baduga Maharaja, sebanding dengan keharuman nama uyutnya
(buyutnya), Prabu Maharaja Linggabuana (Prabu Wangi), yang gugur di Palagan
Bubat. Juga sebanding dengan keharuman nama kakeknya, Sang Mahapraburesi
Niskala Wastu Kancana (Prabu Wangisutah), yang mengangkat Kerajaan Sunda
mencapai kejayaannya. Oleh karena itulah, Juru Pantun ataupun Penulis Babad,
mengenang Sri Baduga Maharaja sebagai Prabu Silihwangi. Silih artinya
pengganti. Wangi artinya harum.Silih Wangi,
artinya pengganti raja‑raja tertnashur sebelumnya.
Penamaan Pajajaran untuk Kerajaan
Sunda, sesungguhnya berasal dari penamaan keraton Sri Bima‑Punta Narayana Madura‑Suradipati yang bentuknya sebangun dan berjajar.
Oleh karena keraton tersebut berada di kota Pakuan, masyarakat sering
menyebutnya Pakuan Pajajaran.
Dalam perkembangan selanjutnya, terutama berdasarkan sumber cerita Pantun dan
Babad, Kerajaan Sunda lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Pajajaran.
Sedangkan berdasarkan sumber‑sumber Portugis, nama resmi kenegaraan, tetap
menggunakan sebutan Kerajaan Sunda.
Menurut catatan yang dikumpulkan
oleh jurutulis Sultan Trenggono (dalamPustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, parwa I sarga 4),
pada tahun 1521 Masehi (akhir pemerintahan Sri Baduga Maharaja), penduduk kota
Pakuan ada 48.271 orang. Laporan Portugis tahun 1522 Masehi, memperkirakan
penduduk Pakuan sebanyak 50.000 orang. Dengan jumlah itu, Pakuan di bawah
naungan Sri Baduga Maharaja, merupakan kota terbesar kedua di Nusantara setelah
Demak (49.197 orang). Pasai, sebagai kota terbesar ketiga, baru berpenduduk
23.121 jiwa.
Tome Pires (k.l. 1468-1539 Masehi),
seorang apoteker yang pernah berkarya pada seorang pangeran di Lisbon (Heuken,
1999: 41), dan akan menjadi duta raja Portugal di Cina (Lombard, 1996: 59),
pada tahun 1513 Masehi singgah di pelabuhan‑pelabuhan Sunda. Tome Pires
memberitakan, bahwa perdagangan Sunda lewat pelabuhan-pelabuhannya sangat maju.
Omzet perdagangan kuda, dapat mencapai 4.000 ekor tiap tahun.
Dayo (dayeuh=ibukota) tempat tinggal raja,
disebutkannya, terletak dua hari perjalanan dari pelabuhan Kalapa, berada di
pedalaman. Istana raja, dikelilingi 330 pilar kayu sebesar tong anggur dan
tingginya 5 pathom (depa = kira‑kira 9 meter), serta pada puncaknya berukir
indah. Dalam angkatan perang kerajaan, terdapat 40 ekor gajah.
Tentang Sri Baduga Maharaja, Tome
Pires mencatatnya sebagai Rev he gramde
cacador (Raja Sunda
adalah seorang raja perkasa dan pemburu). Tetapi yang lebih penting, Tome Pires
mencatat tentang pemerintahan Sri Baduga Maharaja, antara lain: Regno De cumda Regido em Justiea (kerajaan Sunda diperintah secara
adil).
Untuk kepentingan perdagangan Portugis,
Tome Pires mencatat pelabuhan‑pelabuhan penting di Kerajaan Sunda, adalah
sebagai berikut:
// Pimeira memte o Rey de Cumda a ssua
gramde cidade de dayo a pouoacam he terms I porto De bamtam o Porto De pomdam/
o porto de chegujdee o Porto De tamgaram o Porto de calapa o
Porto de chemano ysto hee cumda por q ho Rijo De chemano he estremo Dambollos
Regnos//
Terjemahannya:
Pertama, raja Sunda (Cumda) dengan kota
besarnya Dayo, kota dan wilayah serta pelabuhan Banten (Bantam), pelabuhan
Pontang (Pomdam), bandar Cheguide, Tangerang (Tamgaram), Kalapa (Calapa),
Cimanuk (Chemano). Inilah Sunda, karena sungai Cimanuk merupakan batas di
antara kedua kerajaan (Heuken, 1999: 37).
C. SIKAP TERHADAP MUSLIM
Sebelum Sri Baduga Maharaja lahir,
di Kerajaan Sunda sudah ada penganut agama Islam. Tokoh tersebut adalah
Bratalegawa, putera Mangkubumi Bunisora Suradipati. Bratalegawa adalah adik
Giridewata alias Ki Gedeng Kasmaya, raja Cirebon Girang. Bratalegawa lahir
tahun 1350 M, dua tahun lebih muda dari Sang Mahapraburesi Niskala Wastu
Kancana (kakeknya Sri Baduga Maharaja).
Sebagai saudagar besar yang memiliki
banyak kapal layar, Bratalegawa tidak menjadi raja daerah (Ki Gedeng), ia sibuk
oleh kegiatan niaga lautnya. Bratalegawa, menikah dengan wanita muslim dari
Gujarat, bernama Farhana binti Muhammad. Kemudian dari Gujarat, bersama
isterinya, Bratalegawa menunaikan ibadah haji ke Mekah, dan mendapat nama baru
menjadi Haji Baharuddin al Jawi.
Setelah kembali ke Kerajaan Galuh,
ia lebih dikenal sebagai Haji Purwa Galuh (haji pertama di Galuh). Walaupun
berbeda agama, ia tetap hidup rukun dengan saudara‑saudaranya. Kelak, cucunya
yang bernarna Hadijah, menjadi isteri Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama mazhab
Safi'i, yang memimpin pesantren di Bukit Amparan Jati Cirebon, merupakan
pesantren tertua kedua di Kerajaan Sunda.
Sedangkan pesantren tertua pertama
di Kerajaan Sunda, didirikan oleh Syekh Hasanudin, seorang ulama mazhab Hanafi,
di Pura Dalem Karawang, dalam tahun 1416 M. Syekh Hasanudin dikenal dengan
sebutan Syekh Quro, karena pondoknya menjadi tempat orang belajar mahir mengaji
Qur'an.
Puteri Subanglarang, isteri kedua Sri
Baduga Maharaja, adalah alumnus pesantren Quro tersebut. Ketiga anaknya, yaitu
Pangeran Walangsungsang, Larasantang, dan Raja Sangara, diijinkan memeluk agama
Islam yang dianut ibunya. Dalam beberapa Naskah Pangeran Wangsakerta, menggambarkan
sikap Sri Baduga Maharaja terhadap Islam, dengan kalimat: rasika dharmika ring pamekul agami rasul (bertindak adil dan bijaksana terhadap
pemeluk agama Islam).
Sesungguhnya, yang dikhawatirkan
oleh Sri Baduga Maharaja perihal Cirebon, bukan "Islamnya". Akan
tetapi, hubungan politis yang terlalu akrab, antara Cirebon dengan Demak. Tidak
kurang dari 4 orang putera-puteri Syarif Hidayat (Cirebon), dijodohkan dengan
putera‑puteri Raden Patah (Demak).
Karena perkawinan Ratu Ayu dengan
Pangeran Sabrang Lor, maka angkatan laut Demak yang dipimpin oleh Sabrang Lor,
sebagian ditempatkan di Cirebon. Situasi itulah yang mendorong Sri Baduga
Maharaja mengutus Putera Mahkota (Prabu Anom) Ratu Sanghyang Surawisesa,
sebagai duta resmi negara, untuk mengadakan hubungan bilateral dengan Alfonso
d'Albuquerque (dalam naskah Pangeran Wangsakerta, disebut Laksamana Bungker),
raja muda Portugis di Malaka tahun 1512 M.
Misi tersebut diulang tahun 1521
Masehi. Akan tetapi, pada tahun itu, Sri Baduga Maharaja sudah wafat, Kesepakatan
perjanjian Kerajaan Sunda (Pajajaran) - Portugis, akhirnya ditanda‑tangani di
Pakuan, pada tanggal 21 Agustus 1522 M. Duta Portugis dipimpin Hendrique de
Leme (Endrik Bule). Kunjungannya ke Pakuan, sekaligus untuk menghadiri upacara
penobatan Prabu Sanghyang Surawisesa, sebagai penguasa Kerajaan Sunda
(Pajajaran) pengganti Sri Baduga Maharaja.
Adapun terjemahan dari sertifikat
Perjanjian Kerajaan Sunda‑Portugis tersebut, antara lain sebagai berikut:
“Tanggal 21 Agustus 1522 ses. M.
hadir di pelabuhan Sunda ini: Amrrique Leme, kapten perjalanan ini, utusan
Jorge d'Alboquerque, Kapten Malaka, dengan tugas untuk mengadakan perjanjian
dan persetujuan perdamaian serta persahabatan dengan Raja Sunda. Raja Sunda
tersebut menyetujui perutusan dan perjanjian persahabatan yang diadakan
dengannya oleh A. Leme. Ia (Leme) menganggap baik dan mengerti, bahwa ia diberi
izin untuk mendirikan sebuah benteng di atas tanahnya untuk Raja Portugis, Tuan
Kami. Untuk maksud ini, ia (Raja Sunda) mengutus pejabat tingkat atas, yang
disebut Paduka Tumenggung (mamdarim Padam Tumungo) dan bersama dengannya dua pejabat
terhormat (diutus pula), jelasnya yang satu bernama Sang Adipati (Samgydepaty)
yang lain Bendahara (Benegar), seperti pula syahbandar dari tempat pabean.
Selain itu banyak orang baik.
Pejabat-pejabat tersebut diberi kuasa penuh untuk
mengambil keputusan, menentukan dan menunjuk tempat, yang dianggap cocok oleh
Amrrique Lerne tersebut untuk (membangun) benteng bagi Raja Portugis. Paduka
Tumenggung bersama pejabat‑pejabat lain dan orang-orang baik yang disebut di
alas, bersama dengan Amrrique Leme tersebut pada tanggal itu pada tempat
benteng akan dibangun, menegakkan sebatang padrao dari batu; jadi di sebelah kanan muara
sungai, seberang awal pelabuhan. Kawasan ini yang disebut Kalapa. Maka, di situ
batu peringatan (padrao) ditancapkan dengan lambang Raja, Tuan kami dan dengan
sebuah inskripsi.
Maka, Raja Sunda tersebut menyetujui
persetujuan dan kontrak yang diadakannya dengan Amrrique Leme, yakni supaya
dengan bebas dan rela setiap tahun pada tanggal pembangunan benteng tersebut
dimulai, menghadiahkan kepada Raja, Tuan kami, seribu karung lada sebagai tanda
perdamaian dan persahabatan. Karung‑karung seperti dipakai lazim di negeri itu,
sehingga setiap karung beratnya 10.600 caxas Java. Maka, beratnya seribu karung
itu kurang lebih seratus enam puluh bahar.
Tentang seluruhnya itu, Amrrique
Leme tersebut di atas itu menyuruh saya, Balthasar Memdes, penulis dari kapal
San Sebastian, selaku perwira Raja, Tuan kami, membuat dokumen ini. Dengan
demikian, saya memberi kesaksian, bahwa isinya menguralkan apa yang berlangsung
dan disetujui.
Untuk buktinya, saya, penulis, mengadakan
sertifikat ini dan (kemudian) menyalinnya ke dalam buku saya, yang
ditandatangani dengan tandatangan saya yang biasa. Saksi‑saksi adalah Fernco de
Almeida, kapten sebuah jung serta pedagang pedagang pangkat atas Raja. Tuan
kami, pada perjalanan ini, dan Franscisco Annes, penulis dan Manuel Mendes dan
Sebastian Diaz do Rego dan Francisco Diaz dan Joham Coutinho dan Joham
Goncalvez dan Gil Barbosa dan Tome Pinto en Ruy Goncalvez dan Joham Rodriguez
dan Joham Fernandez dan Joham da Costa dan Pedro Eannes dan Manuel Fernandez
dan Diogo Fernandez, semuanya tentara, dan Diogo Diaz, Afonso Fernandez tentara
juga dan Nicolas da Sylva, juru tinggi kapal tersebut dan George de Oliveira,
juru mudi dan banyak (orang) lagi.
Dibuat pada hari, bulan dan tahun
seperti tercatat pada kepala (surat) ini. (Lalu tandatangan orang‑orang)
(Heuken, 1999: 54).
Hubungan internasional bilateral
inilah, yang dicurigai para akhli sejarah, bahwa "Pajajaran adalah
kerajaan yang memulai mengundang kaum penjajah" ke tanah air Indonesia.
Padahal, pedagang Portugis pada waktu itu, masih sebagai pelaut murni. Berbeda
dengan pelaut Belanda, yang selalu berambisi, menguasai wilayah perdagangan
(kolonialis) yang disinggahinya.
Persaingan dagang memperebutkan
jalur pelayaran Selat Malaka, di antara Kerajaan Sunda (Pajajaran) dengan
Demak, sangat wajar terjadi, karena Pajajaran dengan Demak mempunyai strategi
politik dagang masing‑masing. Sangat disayangkan, telaah ke arah itu baru di
permukaannya saja, sehingga "sentimen agarna Islam"‑lah yang sering
dimunculkan.
Sri Baduga Maharaja itu, tidak saja
mengalami masa perkembangan Islam, tetapi mengalami juga masa hubungan
Internasional yang sifatnya bilateral dengan bangsa Eropa, yang diwakili oleh
pedagang Portugis. Sudut pandang inilah yang belum dipahami secara seksama.
Sri Baduga Maharaja adalah raja
besar (Maharaja) terakhir di Kerajaan Sunda. Raja‑raja penerusnya, tidak
sanggup mempertahankan kebesaran Kerajaan Sunda Pajajaran, bahkan cenderung
kualitasnya semakin merosot. Kebesaran jiwanya dan toleransinya terhadap agama
Islam, telah menjadikan Sri Baduga Maharaja tetap dihormati sebagal karuhun oleh
masyarakat Sunda.
Cukup banyak Babad yang ditulis,
dengan tujuan utama, merangkaikan secara paksa silsilah Bupati setempat dengan
Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi). Banyak kerabat Bupati masa silam di
Tatar Sunda, yang sesungguhnya keturunan Galuh, Cirebon, Sumedang, dan Talaga,
tetapi dalam menuliskan Babad setempat, selalu diupayakan ada kaitan darah
dengan tokoh Sri Baduga Maharaja.
Setelah Indonesia merdeka, hubungan
darah ini diubah dengan hubungan historis yang lebih umum sifatnya. Lahirnya pemeo seuweusiwi‑Siliwangi, sebagai ungkapan kesadaran terhadap
sejarah dan warisan nilai budaya. Akhirnya jadilah Siliwangi itu suatu
identitas Urang (Etnis) Sunda. Terbukti, keharuman nama Prabu Siliwangi (Sri
Baduga Maharaja), tidak pernah luntur sejak masa ia hidup sampai sekarang.
Sampai saat kini, umum masih
beranggapan, bahwa agama Sri Baduga Maharaja itu, kalau tidak Hindu tentunya
Budha. Akan tetapi, kalau ditanyakan, dimanakah bekas candi‑candinya, di
manakah patung dewa-dewa yang dipujanya? Kecuali temuan peninggalan
Salakanagara dan Tarumanagara, secara arkeologis, belum dapat membuktikan
secara pasti, bahwa agama Kerajaan Sunda Pajajaran itu Hindu atau Budha.
Dalam cerita Pantun sekalipun,
mengenai tokoh Prabu Siliwangi, Juru Pantun tidak pernah menyebut‑nyebut tokoh
dewa-dewa Hindu ataupun Budha. Adapun tokoh spiritual yang sering ditampilkan
dalam cerita Pantun, adalah tokoh Sunan Ambu, Para Pohaci dan Para Bujangga.
Dalam naskah Kropak 406 Carita Parahiyangan, Jayadewata atau Sri Baduga Maharaja,
dijuluki Sang Mwakta ring
Rancamaya, atau "Yang Moksa Di Rancamaya".
Mwakta atau Moksa,
pinjaman kata dari idiom ajaran agama Budha. Dalam naskah Sunda kuna lainnya,
digunakan kata lumah (pusara), sehingga menjadi sebutan
Sang Lumahing, yang artinya dipusarakan. Sebutan Sang Mwakta atau Sang
Lumahing, sama‑sama mempunyai arti "sukmanya telah disempurnakan".
Penyempurnaan sukma tersebut,
dimaksudkan sebagui upaya agar "sukma" yang sudah meninggal itu,
dapat kembali kepada Asal‑nya. Dzat Asal dalam religi Sunda, disebut Hiyang
Batara Twiggal (Tuhan Yang Esa). Oleh karena itu, pada perkembangan bahasa
Sunda yang selanjutnya, istilah itu berubah menjadi "nga-Hiyang".
Dalam Kropak 630 Sanghiyang Siksakandang Karesian, cita-cita urang Sunda
yang saleh, tidak ingin manjing surga (masuk Surga). Melainkan rnanggihkeun hyang tanpa balik dewa (bertemu dengan Hyang, bukan dengan
Dewa).
Kembali kepada Hiyang Batara
Tunggal, karena Dia‑lah si tuhun
lawan pretyaksa (Dialah Yang Hak dan Yang Wujud). Itulah arti
sesungguhnya dari "ngahiyang". Sejalan dengan cita‑cita muslim yang
saleh: kembali ke Khadirat Ilahi Rabbi.
Sebutan lain untuk Hiyang,
di-Sanskerta‑kan menjadi Seda Niskala. Seda, artinya Sempurna; Niskala, artinya
Gaib. Hiyang Seda Niskala, dapat diartikan
sebagai Yang Maha Gaib.
Hal yang menarik lainnya dari religi
Sunda, terungkap dalam Kropak 406 Carita
Parahiyangan, di antaranya sebagai berikut:
Sumbelehan niat inya bresih snci wasah.
Disunat ka tukangnya, jati Sunda teka.
Terjemahan:
Disunat agar terjaga dari kotoran, bersih
suci bila dibasuh. Disunat kepada akhlinya, kebiasaan adat Sunda yang
sesungguhnya.
Beberapa kesamaan keyakinan religi
Sunda dengan religi Islam, bagi orang Sunda., sesungguhnya tidak jadi masalah.
Kedatangan Islam, merupakan penyempurna religi yang telah lama dianutnya.
D. PENERUS TAHTA KERAJAAN SUNDA (PAJAJARAN)
Berdasarkair sumber cerita Pantun
dan Babad, kisah tentang Kerajaan Pajajaran, selalu diakhiri pada masa
kekuasaan Prabu Siliwangi. Kisah tersebut, sudah merasuk ke dalam jiwa orang
Sunda, dan sudah mendarah‑daging secara turun-temurun.
Provokasi cerita fiksi
Kian Santang, sudah demikian lama, menenggelamkan riwayat "Pajajaran"
yang sesungguhnya. Adakah masuk di akal, Kian Santang yang konon katanya, hidup
di masa penyebaran Islam di Tatar Sunda (abad ke‑15 Masehi), dapat bertemu
dengan Sayidina Ali (sahabat Rasulullah Muhammad), pada abad ke‑7 Masehi?
Sebab, jarak masa hidup Kian Santang dengan Sayidina Ali, dipisahkan oleh waktu
kurang‑lebih 800 tahun! Kemudian, jika Kian Santang berstatus sebagai anak
Prabu Siliwangi, setega itukah, memaksa ayahnya untuk masuk Islam?
Ada yang menafsirkan, bahwa tokoh
Kian Santang itu, adalah Pangeran Walangsungsang alias Pangeran Cakrabuana.
Selain itu, Kian Santang disamakan dengan Raja Sangara (Raja Sengsara), karena
ia adiknya Larasantang, juga adiknya Pangeran Cakrabuana. Ada pula yang
menafsirkan, bahwa Kian Santang itu Falatehan alias Fatahillah. Bahkan Maulana
Hasanuddin dari Banten pun, sempat dicurigai sebagai Kian Santang. Untuk mencari
kebenaran, perlu penelusuran ilmiah, berdasarkan ilmu sejarah.
Persesuaian Kropak 406 Carita Parahiyangan dengan Pustaka Carita Parahiyangan Cirebon abad ke‑17, meriwayatkan penerus tahta
di Kerajaan Sunda (Pajajaran), yang rangkumannya adalah sebagai berikut:
Setelah wafatnya Sri Baduga Maharaja (1521
Masehi), pewaris tahta Kerajaan Sunda (Pajajaran), adalah Prabu Sanghiyang
Surawisesa. la putera Sri Baduga Maharaja dari Puteri Kentring Manik Mayang
Sunda (puteri Sang Prabu Susuktunggal). Prabu Sanghiyang Surawisesa, pernah
diutus ke Malaka untuk merintis perjanjian bilateral perdagangan Sunda -
Portugis. Dalam catatan Portugis, ia disebut Raja Samiam, yang dimaksud adalah
Raja Sanghiyang (Surawisesa).
Wafatnya tokoh Sri Baduga Maharaja,
menimbulkan persoalan baru, membangkitkan ambisi Cirebon untuk memperluas
wllayah kekuasaannya. Ketika Prabu Sanghiyang Surawisesa naik tahta, konflik
dengan Pakungwati Cirebon semakin meruncing, hingga menimbulkan perang selama
15 kali.
Mengenai Raja‑Raja penerus tahta
Kerajaan Sunda Pajajaran, terungkap dalam naskah Kropak 406 Carita Parahiyangan, dari lembar 20 sampai dengan lembar
25, uraiannya adalah sebagai berikut:
// disilihan ku prebu surawisesa / inya nu
surup ka padaren / kasuran / kadiran / kuwanen // prang‑prang lima
welas kali hanteu eleh / ngalakukeun bala sariwu prangrang ka kalapa deung aria
burah / prangrang ka tanjung// prangmng ka ancol kiji // prangrang ka
wahantengirang// prangrang ka simpang// prang‑prang ka gunung batu // prangrang
ka saung agung// prangrang ka rumbut // prangrang ka gunung// prangrang ka
gunung banjar// prangrang ka padang// prangrang ka panggoakan// prangrang ka
muntur// prangrang ka hanum // prangrang ka pager wesi // prangrang ka
medangkahiyangan // ti inya pulang ka pakwan deui // hanteu nu nahunan deui /
panteg hanca buana // lawasniya ratu opatwelas tahun //
Terjemahan:
Diganti yaitu oleh Prabu Surawisesa yang
dipusarakan di Padaren. Rata gagah perkasa, teguh dan pemberani. Lima
betas kali perang tak pernah kalah. Dalam melakukan peperangan menggunakan
siasat Bala Sarewu (Pustaka Bala Seribu).
Perang ke Kalapa dengan Aria Burah. Perang
ke Tanjung. Perang ke Ancol Kiji. Perang ke Wahanten Girang. Perang ke Simpang.
Perang ke Gunung Batu. Perang ke Gunung Banjar. Perang ke Padang. Perang ke
Pagoakan. Perang ke Muntur. Perang ke Hanum. Perang ke Pager Wesi. Perang ke
Medang Kahiyangan. Setelah itu, kembali ke Pakuan lagi. Tidak sampai setahun,
meninggal dunia. Lamanya menjadi ratu 14 tahun.
prebu ratudewata / inya nu surup ka sawah
tampian dalem lumaku ngarajaresi // tape pwah susu // sumbelehan niat tinja
bresih suci wasah disunat ka tukangna / jati sunda tetra / datang na bancana
musuh Banal / tambuh sangkane // prangrang di buruan ageung// pejah tohaan
sarendet deung tohaan rata sanghiyang// hang pandita sakti diruksak / pandita
di sumedang// sang pandita di ciranjang pinejahan tanpa dose / katiban ku tapak
kihir//sang pandita di jayagiri linabuhaken ningsagara// hang sang pandita
sakti hanteu dosana // rounding rah.iyang ngaraniya / linalnhaken ring sagara
tan keneng pati/ hurip muwaf, moksa tanpa tinggal raga tetra ring duniya//
sinaguhniva. ngaraniya hiyang katingan // nya iyatnavatna .sang kawuri / hayzaa
to .sire kabalik pupuasaan //samangkana to precinta // prebu ratudewata /
lawasniya rata dalapan tahun / kasalapan panteg hence dine bwana //
Prabu Ratu Dewata, dialah yang dipusarakan
di Sawah Tampian Dalem. Menjalankan kehidupan seperti Rajaresi. Puasa, hanya
meminum susu. Disunat, supaya bersih suci dari kotoran. Disunat oleh akhlinya,
itulah tradisi orang Sunda.
Datang bencana serangan musuh kasar, tidak
diketahui identitasnya. Perang di Buruan Ageung (Alan‑alun). Gugur Tohaan
Sarendet den Tohaan Ratu Sanghiang. Ada pendeta sakti dianiaya, pandita di
Sumedang. Sang pandita di Ciranjang, dibunuh tanpa dosa, tertimpa tapak kikir.
Sang Pandita di Jayagiri, ditenggelamkan ke laut. Ada pendeta sakti tak berdosa
Munding Rahiyang namanya, ditenggelamkan ke laut, tidak mati, masih hidup,
menghilang tanpa meninggalkan jejak di dunia. Terkenal namanya Hiyang Kalingan.
Oleh sebab itu, hati‑hatilah yang hidup di kemudian hari, jangan hidup pura‑pura
berpuasa. Begitulah keadaan jaman susah.
Prabu Ratu Dewata, lamanya jadi raja 8
tahun, kesembilan tahunnya meninggal dunia.
disilihan ku sang ratu sakti sang
mangabatan ring
tasik / inya nu surup ka pengpelengan //
lawasniya ratu dalapan
tahun / kenana ratu twahna kabancana ku
estri larangan ti
kaluaran deung kana ambu tere // mati‑mati
wong tanpa dosa /
ngarampas tanpa prege / tan bakti ring wong
atuha / asampe
ring sang pandita //
aja tinut sang kawuri / polah sang nata //
mangkana sang prebu ratu / carita inya //
Diganti oleh Sang Ratu Sakti Sang
Mangabatan di Tasik. Yaitu yang dipusarakan di Pengpelengan. Lamanya jadi ratu
8 tahun, karena tindakan ratu celaka oleh wanita larangan dari luar dan oleh
ibu tiri. Sering membunuh orang tanpa dosa, merampas tanpa perasaan, tidak
hormat pada yang tua, menghina pendita. Jangan diikuti oleh generasi
belakangan, tindakan ratu seperti itu. Begitulah riwayat Sang Ratu.
tohaan di majaya alah prangrang/ mangka tan
nitih
ring kadatwan // nu ngibuda sanghiyang
panji / mahayu na ka
datwan / dibalay manelah taman mihapitkeun
dora larangan //
nu migawe bale‑bobot pituwelas jajar/
tinulis pinarada war-
nana cacaritaan //
Tohaan di Majaya kalah perang, oleh sebab
itu tidak diam di Kedaton. Dialah yang mencipta Sanghiang Panji, menghiasi
Kedaton, di balai diatur berupa taman mihapitkeun panto larangan. Yang
membangun bale bobot 17 jajar, diukir berbaris dibentuk berbagai cerita.
hanteu ta yuga dopara kasiksa tikang wong
sajagat / kreta
ngaraniya // hanteu nu ngayuga sanghara /
kreta //
dopara luha gumenti tang kali // sang
nilakendra wwat
ika sangke lamaniya manggirang/ lumekas
madumdum cereng//
manganugraha weka / hatina nanda wisayaniya
/ manurunaken
pretapa / putu ri patiriyan // cai ka
tiningkalan nidra wisaya
ning baksa kilang//
wong huma darpa mamangan / tan igar yap tan
pepela
kan // lawasniya ratu kampa kalayan pangan / ta
tan agama
gyan kewaliya mamangan sadrasa nu surup ka
sangkan
beunghar//
lawasniya ratu genepwelas tahun //
Dari zaman manusia sejagat tidak mengalami
kejahatan disebut zaman kreta. Tidak ada yang menjadikan hancurnya jagat.
Dalam zaman Dopra, zaman perunggu,
seterusnya diganti dengan zaman kali, zaman besi, Sang Nilakendra, karena
terlalu lama dalam suasana senang memperturutkan hawa nafsu. Mempunyai anak, ke
dalam hatinya sudah dirasuki bermacam reka perdaya, menurunkari pertapa, cucu
tiri. Minuman keras dianggap seperti air bentuknya godaan nafsu.
Manusia yang berhuma rakus makannya, tidak
gembira kalau tidak bercocok tanam. Lamanya ratu menuruti hawa nafu dalam
makanan, tidak mengikuti adat kebiasaan, dalam menuruti nafsu kesenangan karena
menganggap wajar dengan kekayaannya.
Iamanya jadi rata 16 tahun.
disilihan ku nusiya mulia // lawasniya rata
sadewidasa /
tembey datang na prebeda // bwana alit
sumurup ping ganal /
metu sanghara ti selam //
prang ka raja gaLuh / eleh na raja galuh /
prang ka ka‑
lapa / eleh na kalapa // prang ka pakwan /
prang ka galuh /
prang ka datar/ prang ka madiri / prang ka
patege / prang
ka jawakapala / elehna jawakapala // prang
ka galelang//
nyabrang/ prang ka salajo / pahi eleh ku
selam //
Diganti oleh Nusia Mulya. Lamanya jadi ratu
12 tahun. Pertama datangnya perubahan. Dunia halus masuk ke yang kasar, timbul
kerusakan dari Islam.
Perang dengan Rajagaluh, kalah Rajagaluh.
Perang dengan Kalapa, kalah Kalapa. Perang dengan Pakuan, perang dengan Galuh,
perang dengan Datar, perang dengan Mandiri, perang dengan Patege, perang dengan
Jawakapala, kalah Jawakapala. Perang dengan Gegelang. Perang berlayar ke
Salajo, semua kalah oleh orang Islam.
Berdasarkan Kropak 406 Carita Parahiyangan, Setelah Sri Baduga Maharaja wafat, ada
5 orang Raja penerus tahta Kerajaan Pajajaran, antara lain:
1. Prabu Sanghiyang Surawisesa
(1521‑1535 Masehi);
2. Ratu Dewatabuana (1535‑1543
Masehi);
3. Ratu Sakti (1543‑1551
Masehi);
4. Prabu Nilakendra (1551‑1567
Masehi);
5. Prabu Ragamulya
Suryakancana atau Prabu Pucuk Umun Pulasari (1567‑1579 Masehi).
Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11
bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka. Peristiwa runtuhnya Kerajaan Sunda
Pajajaran, bertepatan dengan tanggal 11 Rabiul awal 987 Hijriyah, atau tanggal
8 Mei 1579 Masehi.
Taruhan Bola |
No comments:
Post a Comment