Sunday 16 August 2015

Sejarah Kerajaan Sunda | Part 4

KERAJAAN SUNDA PAJAJARAN




A.  POLITIK DAN KONFLIK 

Claude Guillot dan kawan‑kawan, dalam buku Banten Sebelum Zaman Islam; Kajian Arkeologi di Banten Girang 932?‑1526, mengemukakan kesannya tentang temuan "Banten Girang", antara lain sebagai berikut:

Patut diperhatikan pula bahwa garis besar haluan Banten dalam hal politik luar negeri mendapat sorotan baru dari sejarah Banten Girang. Banten memberi kesan seolah‑olah membalas dendam atas nama Banten Girang. Ibukota Pajajaran misalnya, yang pernah menaklukan Banten Girang, diserang dan direbut oleh Banten pada pertengahan abad ke‑16 (Guillot,1996:137).

Kesan Guillot memang "patut diperhatikan", bahkan kesan tersebut harus dicermati. Seringnya digunakan sebutan Pajajaran, yang diperankan sebagai "musuh Banten", tentu harus ada penjelasan yang lebih memadai. Persoalan yang muncul, "Benarkah serangan Banten ke ibukota Pajajaran itu, merupakan tindakan balas dendam, akibat pernah ditaklukannya Banten Girang?"

Pada bagian terdahulu sudah dijelaskan, bahwa Banten atau WanTan (dalam lafal berita Cina), tidak berdiri sendiri. Banten merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Pulasari, Salakanagara, Tarumanagara dan Kerajaan Sunda. Banten di masa silam, dengan segala perkembangan kehidupannya, tetap setia mengikuti alur waktu, menelusuri kurun zaman.

Untuk diketahui secara objektif, sebagai pembanding, akan ditampilkan naskah‑naskah kuna hasil kajian filologi, di antaranya: Kropak 406 Carita Parahiyangan; Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 2; Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I sarga 3; dan Pustaka Nagarakretabhumiparwa I sarga 5. Berdasarkan naskah‑naskah kuna tersebut, dirangkum dalam satu bahasan berkesinambungan, yang alur riwayatnya adalah sebagai berikut:

Sepeninggal Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana (1475 Masehi), kawasan bekas Tarumanagara, kembali terbagi dua, di antara dua putera mahkota pewaris Kerajaan Sunda. Sang Haliwungan, putera sulung dari Dewi Sarkati (puterinya Susuk Lampung, Sumatera Selatan), diwarisi wilayah barat dengan batas sungai Citarum, dengan nama yang tetap sama: Kerajaan Sunda. Sang Haliwungan menjadi penguasa Kerajaan Sunda, dengan nama nobat Prabu Susuktunggal, dengan pusat pemerintahannya di kota Pakuan (Bogor). Sebelumnya, dari sejak tahun 1382 Masehi, Sang Haliwungan sempat dipercaya oleh ayahnya, menjadi Prabu Anom (Rajamuda atau Yuwaraja), sebagal pemegang tahta perwalian Kerajaan Sunda yang berpusat di Pakuan.

Dalam Kropak 406 Carita Parahiyangan, tokoh Sang Haliwungan tertulis : inya sang susuktunggal nu munar na pakwan reujeung sanghi‑ yang haluwesi, nu nyaeuran sanghiyang rancamaya. Dialah Sang Susuk tunggal yang merenovasi (memperindah) kota Pakuan, dan memperteguh dua tempat suci: Sanghiyang Haluwesi dan Sanghiyang Rancamaya. Mengenai tempat suci Sanghiyang Rancamaya, yang terletak di bukit Badigul (Bogor), sempat menjadi "sengketa " yang menghebohkan. Kini Sanghiyang Rancamaya dan bukit Badigulnya, tempat diperabukannya Raja-raja Sunda, sirna tanpa bekas, sudah berubah menjadi perumahan mewah Rancamaya.

Selanjutnya, sang Susuktunggal inyana nu nyieun palangka sriman sriwacana; nu mikadatwan sri bima‑ punta‑ narayana‑madura‑suradipati. Sang Susuktunggal yang membuat singasana Sriman Sriwacana dan tinggal di keraton Sri Bima‑Punta‑Narayana‑Madura‑Suradipati. Lokasi bekas keraton tersebut, kini sudah menjadi bangunan permanen, berupa villa warisan almarhum Bung Karno (Presiden RI pertama), dengan nama: Ing Puri Bima Sakti.

Kawekasan sang susuktunggal pawwatanna lemah suksi lemah hadi, mangka premana raja utama, lawasnya ratu saratus tahun. Peninggalan warisan Sang Susuktunggal, adalah tanah yang suci dan tanah baik (subur), sebagai tanda keutamaan raja. Lamanya menjadi raja 100 tahun (1382‑1482 Masehi).

Kemudian Sang Ningrat Kancana, putera sulung Dewi Mayangsari (puterinya Mangkubumi Bunisora Suradipati), diwarisi wilayah timur dengan batas sungal Citarum, dengan nama Kerajaan Galuh. Sang Ningrat Kancana menjadi penguasa Kerajaan Galuh, dengan nama nobat Prabu Dewa Niskala,dengan pusat pemerintahannya di kota Kawali(Ciamis).

Dalam Kropak 406 Carita Parahiyangan, tokoh Sang Ningrat Kancana, tercatat sebagai pengganti Sang Mahapraburesi Niskala Wastu Kan­cana. la adalah tohaan di galuh, inya nu surup di guna tiga, lawasnya ratu tujuh tahun, kena salah twah, bogoh ka estri larangan ti kaluaran. Yang di­ pertuan di Galuh. Dia yang dipusarakan di Guna Tiga. Lamanya menjadi raja hanya 7 tahun (1475‑1482 Masehi). Akibat salah perilaku, memperisteri perempuan terlarang dari luar.

Adapun yang menjadi latar belakang peristiwa, hingga Prabu Dewa Niskala memperisteri estri larangan ti kaluaran, adalah akibat terjadinya perubahan politik di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Dalam tahun 1473 Masehi, Raden Patah dihadiahi tanah di Demak oleh ayahnya, Prabu Kertabumi atau Brawijaya V. Ibu kandung Raden Patah adalah Siu Ban Ci, puteri Syekh Bentong (Tan Go Hwat), seorang ulama Cina mazhab Hanafi murid Sunan Ampel.

Siu Ban Ci mengembara ke Palembang, akibat perceraian dengan suaminya, Prabu Kertabumi. Di Palembang, Siu Ban Ci diperisteri oleh Arya Damar, seorang Bupati Majapahit yang ditempatkan di Palembang. Dari ibunya, Raden Patah mendapat nama Jin Bun, dari ayah tirinya (Arya Damar alias Arya Dillah), diberi nama Raden Praba. Sedangkan nama Patah (Al Fatah), diterima kemudian dari Sunan Ampel, sebagal guru dan juga mertuanya.

Sunan Ampel sendiri, adalah kemenakan Ratu Darwati, salah seorang isteri Prabu Kertabumi. Sunan Ampel yang bernama Ali Rakhmatullah, untuk kepentingan membuka pesantren, atas permohonan Ratu Darawati, dihadiahi tanah Ampel Denta oleh Raja Majapahit. Karena Demak berkembang menjadi kota yang ramai, maka dalam tahun 14'75 Masehi, daerah itu dijadikan kadipaten (kadipatian). Kemudian, Raden Patah, oleh ayahnya dijadikan Adipati Demak bawahan Majapahit.

Tiga tahun kemudian, Raden Patah mengerahkan pasukan Demak. menggempur Majapahit. Prabu Kertabumi beserta keluarga keraton Majapahit, meninggalkan ibukota, cerai-berai mengungsi ke berbagai jurusan. Prabu Kertabumi akhirnya tewas di daerah Bukit Sawar, mengakhiri kekuasaan ayahnya. Sebutan Majapahait dirubahnya menjadi Demak, dan Raden Patah menjadi Sultan yang pertama dengan nama nobat Sultan Alam Akbar AI Fatah.

Uniknya, peristiwa tragis yang terjadi di Majapahit itu, ada kemiripan dengan kisah proses awal penyebaran Islam Tatar Sunda. Kisah anak ingin mengislamkan ayahnya, hingga memerangi kerajaan ayahnya, hidup dalam dongeng babad: Prabu Kian Santang.

Kerajaan Majapaliit tidak runtuh, karena masih berdiri di bawah Prabu Girindrawardana (Brawijaya VI), dengan ibukota di Keling. Baru kemudian, dalam masa pemerintahan Prabu Udara (Brawijaya VII), Demak berhasil menghancur‑leburkan Majapahit (1517 Masehi). Menurut versi lain, serangan ke Majapahit tahun 1478 Masehi, yang menyudahi kekuasan Kertabumi, dilakukan oleh Girindrawardana.

Dari Wandan Bondri Cemara, Prabu Kertabumi mempuNyai anak laki‑laki, diberi nama Raden Bondan Kejawan. Dialah pernimpin rombongan pengungsi Majapahit ke Jawa Tengah. Di sana, Raden Bondan Kejawan menikah dengan Dewi Nawangwulan, yang lebih terkenal dengan nama Nyai Lara Kidul. Dewi Nawangwulan adalah Ratu Mataram yang menganut agama Bhudagotama. Dari pernikahannya, memperoleh seorang puteri, kemudian diberi nama Nyai Mas Ratu Angin‑angin. Kelak, Nyai Mas Ratu Angin‑angin diperisteri oleh Sutawijaya, yang mendirikan Mataram Islam. Nyai Mas Ratu Angin‑angin adalah penganut setia agama Budhagotama. Oleh karena itu, ia tersamar dalarn cerita rakyat, dan lebih dikenal dengan sebutan Nyai Roro Kidul (Ratu Pantal Selatan).

Di antara keluarga keraton Majapahit yang mengungsi, ada juga yang sampai ke Kawali, ibukota Kerajaan Galuh. Rombongan ini dipimpin oleh Raden Baribin, saudara seayah Prabu Kertabumi. Raden Baribin, adalah putera Prabu Sengawikramawardana (Brawijaya IV) dari Endang Sasmitapura. Rombongan pengungsiannya, diterima dengan tangan terbuka, oleh Prabu Dewa Niskala penguasa Kerajaan Galuh.

Kemudian, Raden Baribin dijodohkan dengan puterinya Prabu Dewa Niskala, Puteri Ratna Ayu Kirana. Puteri ini adalah adik Banyakcatra (Kamandaka) Bupati Galuh di Pasir Luhur, yang juga adik Banyakngampar Bupati Galuh di Dayeuh Luhur. Ketiga‑tiganya adalah putera Prabu Dewa Niskala dari isterinya yang lain.

Selaln itu, Prabu Dewa Niskala memperisteri salah seorang wanita pengungsi, yang sudah bertunangan. Dalam pengungsian, wanita itu terpisah dari tunangannya. Menurut hukum waktu itu, baik di Kerajaan Majapahit maupun di Kerajaan Sunda (termasuk Kerajaan Galuh), seorang gadis yang telah bertunangan (rara hulanjar), tidak boleh menikah dengan laki‑laki lain, kecuali jika tunangannya meninggal atau membatalkan pertunangan.

Dalam hal ini, ratu Galuh Prabu Dewa Niskala telah melanggar dua buah pantangan (purbatisti‑purbajati Sunda):
1.    Prabu Dewa Niskala, telah menjodohkan puterinya., dengan Raden Baribin, keluarga keraton Majapahit.
2.    Prabu Dewa Niskala, memperisteri seorang estri larangan (rara hulanjar).

 Oleh karena itu, Prabu Dewa Niskala, telah dianggap melanggar dua macam tabu (pantangan) keraton. Dari sejak peristiwa tragedi palagan Bubat (1357 Masehi), keluarga keraton Kawali, tabu berjodoh dengan keluarga keraton Majapahit.

Prabu Susuktunggal, penguasa Kerajaan Sunda, yang juga sebagai kakak seayah Prabu Dewa Niskala, sangat marah. Dalam tindakan terhadap ulah adiknya, ia memutuskan hubungan kekerabatan dengan Kerajaan Galuh. Tentu saja, konflik kedua pemimpin negara, mengguncangkan rakyat Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda. Konflik berkembang rnenjadi permusuhan. Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh, sama-sama mengerahkan pasukannya, ditempatkan di daerah perbatasan tepi barat dan timur sungai Citarum.

Untuk menyelamatkan keadaan, para Pembesar dari kedua kerajaan yang bermusuhan, mengadakan gotrasawala (musyawarah kekeluargaan), di wilyah netral, yang diduga di Kerajaan Batulayang (Kabupaten Bandung). Hasil musyawarah disepakati oleh kedua belah pihak, dan memutuskan, bahwa:

1.    Prabu Dewa Niskala harus turun dari tahta Kerajaan Galuh;
2.    Begitu pula Prabu Susuktungggal, harus turun dari tahta Kerajaan Sunda.

Selanjutnya, tahta Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh, harus diserahkan kepada Jayadewata.

Adapun posisi Jayadewata pada saat itu, adalah:
1.    Putera sulung Prabu Dewa Niskala, dari permalsuri;
2.    Menantu Prabu Susuktunggal, atas pernikahannya dengan Puteri Kentring Manik Mayang Sunda.



B.  SRI BADUGA MAHARAJA

Menurut Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2, Jayadewata mula‑mulaa gelar Prabuguru Dewataprana. Kemudian dalam bulan Caitra tahun 1404 Saka (Maret/April 1482 M), ia menerima tahta kerajaan Sunda dari mertuanya, Prabu Susuktunggal.

Peristiwa penobatannya di Pakuan, sekaligus menjadikan Jayadewata seorang Maharaja, karena kekuasaan pemerintahannya, meliputi Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Peristiwa tersebut, sesuai dengan isi prasasti Batutulis Kota Bogor, yang memberitakan:

// mwang na pun ini sakakala, prebu ratu purane pun, diwastu diya wingaran prebu guru dewataprana diwastu diva dingaran sri baduga maharaja ratu haji di pakwan pajajaran sri sang ratu dewata pun ya nu nyusuk na pakwan diya anak rahyang dewa niskala sang sidamokta di gunatiga, incu rahyang niskala waste kancana sang sidamokta ka nusa larang ya siya nu nyian sakakala gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyan sanghyang talaga rena mahawijaya, ya siya pun // i sake panca pandawa emban bumi //

Terjemahannya:

Semoga selamat. Ini tanda peringatan untuk (peninggalan dari) prabu ratu suwargi. la dinobatkan dengan gelar Prabuguru Dewataprana. Dinobatkan (lagi) ia dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (di) Pakuan. Dia anak Rahiyang Dewa Niskala yang mendiang di Gunatiga; cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang mendiang di Nusalarang. Dialah yang membuat tanda peringatan (berupa) gunung-gunungan, membuat jalan yang diperkeras dengan batu, membuat samida, membuat Sanghiyang Talaga Rena Mahawijaya. Ya dialah (yang membuat semua itu). (Dibuat) dalam (tahun) Saka 1455 (Danasasmita, 1981: 25).

Prasasti Batutuhs Kota Bogor, dibuat oleh Prabu Sanghiyang Surawisesa, pada tahun 1533 Masehi. Pembuatan prasasti tersebut, dilakukan dalam upacara penyempurnaan sukma, untuk mengenang jasa-jasa dan kebesaran ayahnya, Sri Baduga Maharaja. Upacara semacam itu, hanya dilakukan untuk raja‑raja tertentu. Jika seorang raja wafat, kemudian setelah 12 tahun masyarakat masih menceritakan jasa-jasa dan kebesarannya, maka raja tersebut digali dari kuburnya, kemudian kerangkanya diperabukan. Maksudnya, agar sukma raja tersebut, dapat kembali kepada zat asalnya: Hiyang Batara Tunggal (Tuhan Yang Esa).

Isi prasasti Batutulis Kota Bogor, tidak bertentangan dengan naskah kuna Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2, yang terjemahan langsungnya, antara lain sebagai berikut:

Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu: membuat telaga besar yang bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan ke hutan larangan. la memperteguh pertahanan ibukota, memberikan desa (perdikan) kepada semua pendeta dan pengikutnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat kebinihajian  (kaputren), kesatrian (asrama prajurit), pagelaran  (macam‑macam formasi tempur), pamingtonan  (tempat pertunjukan kesenian), memperkuat angkatan perang, mengatur pungutan pajak dari raja‑raja bawahan dan menyusun undang‑undang kerajaan.

Memberi hadiah desa perdikan untuk tempat tinggal para Pendita, tertulis pula dalam prasasti (piagam) tembaga, yang ditemukan di Desa Kabantenan, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi. Dari prasasti yang berjumlah 5 lembar itu, isinya dapat diketahui, bahwa Sri Baduga Maharaja mengukuhkan status lemah dewasasana atau lurah kawikuan di Sunda Sembawa, Gunung Samaya dan Jayagiri. Pengukuhan itu, berupa penegasan batas‑batas wilayah dan pembebasan dari pajak, serta ancaman hukum mati, bagi siapapun yang melanggar keputusannya.

Tanah suci Lemah Dewasasana atau Lurah Kawikuan, dibebaskan dari 4 macam pajak yang disebut: dasa, calagara, kapas‑timbang (upeti) dan pare-dongdang(panggeres reuma).

Dasa, adalah pajak tenaga perseorangan, yaitu kewajiban bekerja beberapa hari dalam setahun, sebagai tanda bakti kepada raja atau keluarganya. Kata dasa, diambil dari bahasa Sanskerta, yang berarti pelayanan (service).

Calagara (di Majapahit: walagara), adalah pajak tenaga kolektif. Para petani tergabung dalam pasukan pekerja, yang dipimpin oleh wado (seorang prajurit yang ditugaskan memimpin pasukan pekerja), untuk melaksanakan bagi kepentingan raja dan negara.

Kapas‑timbang atau upeti kapas, harus diserahkan tiap tahun, sebanyak 10 pikul atau 10 carangka.

Pare‑dongdang atau panggeres reuma, adalah pare turiang, yaitu padi yang terlambat berbuah setelah musim panen. Bila petani telah berpindah ladang (huma), maka padi dipanen di reuma (bekas ladang), harus diserahkan kepada raja, karena padi semacam ini dianggap bukan bagian petani.

Upacara penyempurnaan sukma Sri Baduga Maharaja telah dilakukan. Akan tetapi masyarakat Kerajaan Sunda masih tetap mengenang dan menceritakan jasa-jasa dan kebesaran Sri Baduga Maharaja. Keharuman Sri Baduga Maharaja, sebanding dengan keharuman nama uyutnya (buyutnya), Prabu Maharaja Linggabuana (Prabu Wangi), yang gugur di Palagan Bubat. Juga sebanding dengan keharuman nama kakeknya, Sang Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana (Prabu Wangisutah), yang mengangkat Kerajaan Sunda mencapai kejayaannya. Oleh karena itulah, Juru Pantun ataupun Penulis Babad, mengenang Sri Baduga Maharaja sebagai Prabu Silihwangi. Silih artinya pengganti. Wangi artinya harum.Silih Wangi, artinya pengganti raja‑raja tertnashur sebelumnya.

Penamaan Pajajaran untuk Kerajaan Sunda, sesungguhnya berasal dari penamaan keraton Sri Bima‑Punta Narayana Madura‑Suradipati yang bentuknya sebangun dan berjajar. Oleh karena keraton tersebut berada di kota Pakuan, masyarakat sering menyebutnya Pakuan Pajajaran. Dalam perkembangan selanjutnya, terutama berdasarkan sumber cerita Pantun dan Babad, Kerajaan Sunda lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Pajajaran. Sedangkan berdasarkan sumber‑sumber Portugis, nama resmi kenegaraan, tetap menggunakan sebutan Kerajaan Sunda.

Menurut catatan yang dikumpulkan oleh jurutulis Sultan Trenggono (dalamPustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, parwa I sarga 4), pada tahun 1521 Masehi (akhir pemerintahan Sri Baduga Maharaja), penduduk kota Pakuan ada 48.271 orang. Laporan Portugis tahun 1522 Masehi, memperkirakan penduduk Pakuan sebanyak 50.000 orang. Dengan jumlah itu, Pakuan di bawah naungan Sri Baduga Maharaja, merupakan kota terbesar kedua di Nusantara setelah Demak (49.197 orang). Pasai, sebagai kota terbesar ketiga, baru berpenduduk 23.121 jiwa.

Tome Pires (k.l. 1468-1539 Masehi), seorang apoteker yang pernah berkarya pada seorang pangeran di Lisbon (Heuken, 1999: 41), dan akan menjadi duta raja Portugal di Cina (Lombard, 1996: 59), pada tahun 1513 Masehi singgah di pelabuhan‑pelabuhan Sunda. Tome Pires memberitakan, bahwa perdagangan Sunda lewat pelabuhan-pelabuhannya sangat maju. Omzet perdagangan kuda, dapat mencapai 4.000 ekor tiap tahun.

Dayo (dayeuh=ibukota) tempat tinggal raja, disebutkannya, terletak dua hari perjalanan dari pelabuhan Kalapa, berada di pedalaman. Istana raja, dikelilingi 330 pilar kayu sebesar tong anggur dan tingginya 5 pathom (depa = kira‑kira 9 meter), serta pada puncaknya berukir indah. Dalam angkatan perang kerajaan, terdapat 40 ekor gajah.

Tentang Sri Baduga Maharaja, Tome Pires mencatatnya sebagai Rev he gramde cacador (Raja Sunda adalah seorang raja perkasa dan pemburu). Tetapi yang lebih penting, Tome Pires mencatat tentang pemerintahan Sri Baduga Maharaja, antara lain: Regno De cumda Regido em Justiea (kerajaan Sunda diperintah secara adil).

Untuk kepentingan perdagangan Portugis, Tome Pires mencatat pelabuhan‑pelabuhan penting di Kerajaan Sunda, adalah sebagai berikut:

// Pimeira memte o Rey de Cumda a ssua gramde cidade de dayo a pouoacam he terms I porto De bamtam o Porto De pomdam/ o porto de chegujdee o Porto De tamgaram o Porto de calapa o Porto de chemano ysto hee cumda por q ho Rijo De chemano he estremo Dambollos Regnos//

Terjemahannya:

Pertama, raja Sunda (Cumda) dengan kota besarnya Dayo, kota dan wilayah serta pelabuhan Banten (Bantam), pelabuhan Pontang (Pomdam), bandar Cheguide, Tangerang (Tamgaram), Kalapa (Calapa), Cimanuk (Chemano). Inilah Sunda, karena sungai Cimanuk merupakan batas di antara kedua kerajaan (Heuken, 1999: 37).



C.   SIKAP TERHADAP MUSLIM

Sebelum Sri Baduga Maharaja lahir, di Kerajaan Sunda sudah ada penganut agama Islam. Tokoh tersebut adalah Bratalegawa, putera Mangkubumi Bunisora Suradipati. Bratalegawa adalah adik Giridewata alias Ki Gedeng Kasmaya, raja Cirebon Girang. Bratalegawa lahir tahun 1350 M, dua tahun lebih muda dari Sang Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana (kakeknya Sri Baduga Maharaja).

Sebagai saudagar besar yang memiliki banyak kapal layar, Bratalegawa tidak menjadi raja daerah (Ki Gedeng), ia sibuk oleh kegiatan niaga lautnya. Bratalegawa, menikah dengan wanita muslim dari Gujarat, bernama Farhana binti Muhammad. Kemudian dari Gujarat, bersama isterinya, Bratalegawa menunaikan ibadah haji ke Mekah, dan mendapat nama baru menjadi Haji Baharuddin al Jawi.

Setelah kembali ke Kerajaan Galuh, ia lebih dikenal sebagai Haji Purwa Galuh (haji pertama di Galuh). Walaupun berbeda agama, ia tetap hidup rukun dengan saudara‑saudaranya. Kelak, cucunya yang bernarna Hadijah, menjadi isteri Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama mazhab Safi'i, yang memimpin pesantren di Bukit Amparan Jati Cirebon, merupakan pesantren tertua kedua di Kerajaan Sunda.

Sedangkan pesantren tertua pertama di Kerajaan Sunda, didirikan oleh Syekh Hasanudin, seorang ulama mazhab Hanafi, di Pura Dalem Karawang, dalam tahun 1416 M. Syekh Hasanudin dikenal dengan sebutan Syekh Quro, karena pondoknya menjadi tempat orang belajar mahir mengaji Qur'an.

Puteri Subanglarang, isteri kedua Sri Baduga Maharaja, adalah alumnus pesantren Quro tersebut. Ketiga anaknya, yaitu Pangeran Walangsungsang, Larasantang, dan Raja Sangara, diijinkan memeluk agama Islam yang dianut ibunya. Dalam beberapa Naskah Pangeran Wangsakerta, menggambarkan sikap Sri Baduga Maharaja terhadap Islam, dengan kalimat: rasika dharmika ring pamekul agami rasul (bertindak adil dan bijaksana terhadap pemeluk agama Islam).

Sesungguhnya, yang dikhawatirkan oleh Sri Baduga Maharaja perihal Cirebon, bukan "Islamnya". Akan tetapi, hubungan politis yang terlalu akrab, antara Cirebon dengan Demak. Tidak kurang dari 4 orang putera-puteri Syarif Hidayat (Cirebon), dijodohkan dengan putera‑puteri Raden Patah (Demak).

Karena perkawinan Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor, maka angkatan laut Demak yang dipimpin oleh Sabrang Lor, sebagian ditempatkan di Cirebon. Situasi itulah yang mendorong Sri Baduga Maharaja mengutus Putera Mahkota (Prabu Anom) Ratu Sanghyang Surawisesa, sebagai duta resmi negara, untuk mengadakan hubungan bilateral dengan Alfonso d'Albuquerque (dalam naskah Pangeran Wangsakerta, disebut Laksamana Bungker), raja muda Portugis di Malaka tahun 1512 M.

Misi tersebut diulang tahun 1521 Masehi. Akan tetapi, pada tahun itu, Sri Baduga Maharaja sudah wafat, Kesepakatan perjanjian Kerajaan Sunda (Pajajaran) - Portugis, akhirnya ditanda‑tangani di Pakuan, pada tanggal 21 Agustus 1522 M. Duta Portugis dipimpin Hendrique de Leme (Endrik Bule). Kunjungannya ke Pakuan, sekaligus untuk menghadiri upacara penobatan Prabu Sanghyang Surawisesa, sebagai penguasa Kerajaan Sunda (Pajajaran) pengganti Sri Baduga Maharaja.

Adapun terjemahan dari sertifikat Perjanjian Kerajaan Sunda‑Portugis tersebut, antara lain sebagai berikut:

“Tanggal 21 Agustus 1522 ses. M. hadir di pelabuhan Sunda ini: Amrrique Leme, kapten perjalanan ini, utusan Jorge d'Alboquerque, Kapten Malaka, dengan tugas untuk mengadakan perjanjian dan persetujuan perdamaian serta persahabatan dengan Raja Sunda. Raja Sunda tersebut menyetujui perutusan dan perjanjian persahabatan yang diadakan dengannya oleh A. Leme. Ia (Leme) menganggap baik dan mengerti, bahwa ia diberi izin untuk mendirikan sebuah benteng di atas tanahnya untuk Raja Portugis, Tuan Kami. Untuk maksud ini, ia (Raja Sunda) mengutus pejabat tingkat atas, yang disebut Paduka Tumenggung (mamdarim Padam Tumungo) dan bersama dengannya dua pejabat terhormat (diutus pula), jelasnya yang satu bernama Sang Adipati (Samgydepaty) yang lain Bendahara (Benegar), seperti pula syahbandar dari tempat pabean. Selain itu banyak orang baik.

Pejabat-pejabat tersebut diberi kuasa penuh untuk mengambil keputusan, menentukan dan menunjuk tempat, yang dianggap cocok oleh Amrrique Lerne tersebut untuk (membangun) benteng bagi Raja Portugis. Paduka Tumenggung bersama pejabat‑pejabat lain dan orang-orang baik yang disebut di alas, bersama dengan Amrrique Leme tersebut pada tanggal itu pada tempat benteng akan dibangun, menegakkan sebatang padrao dari batu; jadi di sebelah kanan muara sungai, seberang awal pelabuhan. Kawasan ini yang disebut Kalapa. Maka, di situ batu peringatan (padrao) ditancapkan dengan lambang Raja, Tuan kami dan dengan sebuah inskripsi.

Maka, Raja Sunda tersebut menyetujui persetujuan dan kontrak yang diadakannya dengan Amrrique Leme, yakni supaya dengan bebas dan rela setiap tahun pada tanggal pembangunan benteng tersebut dimulai, menghadiahkan kepada Raja, Tuan kami, seribu karung lada sebagai tanda perdamaian dan persahabatan. Karung‑karung seperti dipakai lazim di negeri itu, sehingga setiap karung beratnya 10.600 caxas Java. Maka, beratnya seribu karung itu kurang lebih seratus enam puluh bahar.

Tentang seluruhnya itu, Amrrique Leme tersebut di atas itu menyuruh saya, Balthasar Memdes, penulis dari kapal San Sebastian, selaku perwira Raja, Tuan kami, membuat dokumen ini. Dengan demikian, saya memberi kesaksian, bahwa isinya menguralkan apa yang berlangsung dan disetujui.

Untuk buktinya, saya, penulis, mengadakan sertifikat ini dan (kemudian) menyalinnya ke dalam buku saya, yang ditandatangani dengan tandatangan saya yang biasa. Saksi‑saksi adalah Fernco de Almeida, kapten sebuah jung serta pedagang pedagang pangkat atas Raja. Tuan kami, pada perjalanan ini, dan Franscisco Annes, penulis dan Manuel Mendes dan Sebastian Diaz do Rego dan Francisco Diaz dan Joham Coutinho dan Joham Goncalvez dan Gil Barbosa dan Tome Pinto en Ruy Goncalvez dan Joham Rodriguez dan Joham Fernandez dan Joham da Costa dan Pedro Eannes dan Manuel Fernandez dan Diogo Fernandez, semuanya tentara, dan Diogo Diaz, Afonso Fernandez tentara juga dan Nicolas da Sylva, juru tinggi kapal tersebut dan George de Oliveira, juru mudi dan banyak (orang) lagi.

Dibuat pada hari, bulan dan tahun seperti tercatat pada kepala (surat) ini. (Lalu tandatangan orang‑orang) (Heuken, 1999: 54).

Hubungan internasional bilateral inilah, yang dicurigai para akhli sejarah, bahwa "Pajajaran adalah kerajaan yang memulai mengundang kaum penjajah" ke tanah air Indonesia. Padahal, pedagang Portugis pada waktu itu, masih sebagai pelaut murni. Berbeda dengan pelaut Belanda, yang selalu berambisi, menguasai wilayah perdagangan (kolonialis) yang disinggahinya.

Persaingan dagang memperebutkan jalur pelayaran Selat Malaka, di antara Kerajaan Sunda (Pajajaran) dengan Demak, sangat wajar terjadi, karena Pajajaran dengan Demak mempunyai strategi politik dagang masing‑masing. Sangat disayangkan, telaah ke arah itu baru di permukaannya saja, sehingga "sentimen agarna Islam"‑lah yang sering dimunculkan.

Sri Baduga Maharaja itu, tidak saja mengalami masa perkembangan Islam, tetapi mengalami juga masa hubungan Internasional yang sifatnya bilateral dengan bangsa Eropa, yang diwakili oleh pedagang Portugis. Sudut pandang inilah yang belum dipahami secara seksama.

Sri Baduga Maharaja adalah raja besar (Maharaja) terakhir di Kerajaan Sunda. Raja‑raja penerusnya, tidak sanggup mempertahankan kebesaran Kerajaan Sunda Pajajaran, bahkan cenderung kualitasnya semakin merosot. Kebesaran jiwanya dan toleransinya terhadap agama Islam, telah menjadikan Sri Baduga Maharaja tetap dihormati sebagal karuhun oleh masyarakat Sunda.

Cukup banyak Babad yang ditulis, dengan tujuan utama, merangkaikan secara paksa silsilah Bupati setempat dengan Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi). Banyak kerabat Bupati masa silam di Tatar Sunda, yang sesungguhnya keturunan Galuh, Cirebon, Sumedang, dan Talaga, tetapi dalam menuliskan Babad setempat, selalu diupayakan ada kaitan darah dengan tokoh Sri Baduga Maharaja.

Setelah Indonesia merdeka, hubungan darah ini diubah dengan hubungan historis yang lebih umum sifatnya. Lahirnya pemeo seuweusiwi‑Siliwangi, sebagai ungkapan kesadaran terhadap sejarah dan warisan nilai budaya. Akhirnya jadilah Siliwangi itu suatu identitas Urang (Etnis) Sunda. Terbukti, keharuman nama Prabu Siliwangi (Sri Baduga Maharaja), tidak pernah luntur sejak masa ia hidup sampai sekarang.

Sampai saat kini, umum masih beranggapan, bahwa agama Sri Baduga Maharaja itu, kalau tidak Hindu tentunya Budha. Akan tetapi, kalau ditanyakan, dimanakah bekas candi‑candinya, di manakah patung dewa-dewa yang dipujanya? Kecuali temuan peninggalan Salakanagara dan Tarumanagara, secara arkeologis, belum dapat membuktikan secara pasti, bahwa agama Kerajaan Sunda Pajajaran itu Hindu atau Budha.

Dalam cerita Pantun sekalipun, mengenai tokoh Prabu Siliwangi, Juru Pantun tidak pernah menyebut‑nyebut tokoh dewa-dewa Hindu ataupun Budha. Adapun tokoh spiritual yang sering ditampilkan dalam cerita Pantun, adalah tokoh Sunan Ambu, Para Pohaci dan Para Bujangga.

Dalam naskah Kropak 406 Carita Parahiyangan, Jayadewata atau Sri Baduga Maharaja, dijuluki Sang Mwakta ring Rancamaya, atau "Yang Moksa Di Rancamaya".

Mwakta atau Moksa, pinjaman kata dari idiom ajaran agama Budha. Dalam naskah Sunda kuna lainnya, digunakan kata lumah (pusara), sehingga menjadi sebutan Sang Lumahing, yang artinya dipusarakan. Sebutan Sang Mwakta atau Sang Lumahing, sama‑sama mempunyai arti "sukmanya telah disempurnakan".

Penyempurnaan sukma tersebut, dimaksudkan sebagui upaya agar "sukma" yang sudah meninggal itu, dapat kembali kepada Asal‑nya. Dzat Asal dalam religi Sunda, disebut Hiyang Batara Twiggal (Tuhan Yang Esa). Oleh karena itu, pada perkembangan bahasa Sunda yang selanjutnya, istilah itu berubah menjadi "nga-Hiyang".

Dalam Kropak 630 Sanghiyang Siksakandang Karesian, cita-cita urang Sunda yang saleh, tidak ingin manjing surga (masuk Surga). Melainkan rnanggihkeun hyang tanpa balik dewa (bertemu dengan Hyang, bukan dengan Dewa).

Kembali kepada Hiyang Batara Tunggal, karena Dia‑lah si tuhun lawan pretyaksa (Dialah Yang Hak dan Yang Wujud). Itulah arti sesungguhnya dari "ngahiyang". Sejalan dengan cita‑cita muslim yang saleh: kembali ke Khadirat Ilahi Rabbi.

Sebutan lain untuk Hiyang, di-Sanskerta‑kan menjadi Seda Niskala. Seda, artinya Sempurna; Niskala, artinya Gaib. Hiyang Seda Niskala, dapat diartikan sebagai Yang Maha Gaib.

Hal yang menarik lainnya dari religi Sunda, terungkap dalam Kropak 406 Carita Parahiyangan, di antaranya sebagai berikut:

Sumbelehan niat inya bresih snci wasah. Disunat ka tukangnya, jati Sunda teka.

Terjemahan:

Disunat agar terjaga dari kotoran, bersih suci bila dibasuh. Disunat kepada akhlinya, kebiasaan adat Sunda yang sesungguhnya.

Beberapa kesamaan keyakinan religi Sunda dengan religi Islam, bagi orang Sunda., sesungguhnya tidak jadi masalah. Kedatangan Islam, merupakan penyempurna religi yang telah lama dianutnya.
  



D.  PENERUS TAHTA KERAJAAN SUNDA (PAJAJARAN)

Berdasarkair sumber cerita Pantun dan Babad, kisah tentang Kerajaan Pajajaran, selalu diakhiri pada masa kekuasaan Prabu Siliwangi. Kisah tersebut, sudah merasuk ke dalam jiwa orang Sunda, dan sudah mendarah‑daging secara turun-temurun.

Provokasi cerita fiksi Kian Santang, sudah demikian lama, menenggelamkan riwayat "Pajajaran" yang sesungguhnya. Adakah masuk di akal, Kian Santang yang konon katanya, hidup di masa penyebaran Islam di Tatar Sunda (abad ke‑15 Masehi), dapat bertemu dengan Sayidina Ali (sahabat Rasulullah Muhammad), pada abad ke‑7 Masehi? Sebab, jarak masa hidup Kian Santang dengan Sayidina Ali, dipisahkan oleh waktu kurang‑lebih 800 tahun! Kemudian, jika Kian Santang berstatus sebagai anak Prabu Siliwangi, setega itukah, memaksa ayahnya untuk masuk Islam?

Ada yang menafsirkan, bahwa tokoh Kian Santang itu, adalah Pangeran Walangsungsang alias Pangeran Cakrabuana. Selain itu, Kian Santang disamakan dengan Raja Sangara (Raja Sengsara), karena ia adiknya Larasantang, juga adiknya Pangeran Cakrabuana. Ada pula yang menafsirkan, bahwa Kian Santang itu Falatehan alias Fatahillah. Bahkan Maulana Hasanuddin dari Banten pun, sempat dicurigai sebagai Kian Santang. Untuk mencari kebenaran, perlu penelusuran ilmiah, berdasarkan ilmu sejarah.

Persesuaian Kropak 406 Carita Parahiyangan dengan Pustaka Carita Parahiyangan Cirebon abad ke‑17, meriwayatkan penerus tahta di Kerajaan Sunda (Pajajaran), yang rangkumannya adalah sebagai berikut:

Setelah wafatnya Sri Baduga Maharaja (1521 Masehi), pewaris tahta Kerajaan Sunda (Pajajaran), adalah Prabu Sanghiyang Surawisesa. la putera Sri Baduga Maharaja dari Puteri Kentring Manik Mayang Sunda (puteri Sang Prabu Susuktunggal). Prabu Sanghiyang Surawisesa, pernah diutus ke Malaka untuk merintis perjanjian bilateral perdagangan Sunda - Portugis. Dalam catatan Portugis, ia disebut Raja Samiam, yang dimaksud adalah Raja Sanghiyang (Surawisesa).

Wafatnya tokoh Sri Baduga Maharaja, menimbulkan persoalan baru, membangkitkan ambisi Cirebon untuk memperluas wllayah kekuasaannya. Ketika Prabu Sanghiyang Surawisesa naik tahta, konflik dengan Pakungwati Cirebon semakin meruncing, hingga menimbulkan perang selama 15 kali.

Mengenai Raja‑Raja penerus tahta Kerajaan Sunda Pajajaran, terungkap dalam naskah Kropak 406 Carita Parahiyangan, dari lembar 20 sampai dengan lembar 25, uraiannya adalah sebagai berikut:

// disilihan ku prebu surawisesa / inya nu surup ka  padaren / kasuran / kadiran / kuwanen //  prang‑prang lima welas kali hanteu eleh / ngalakukeun bala sariwu prangrang ka kalapa deung aria burah / prangrang ka tanjung// prangmng ka ancol kiji // prangrang ka wahantengirang// prangrang ka simpang// prang‑prang ka gunung batu // prangrang ka saung agung// prangrang ka rumbut // prangrang ka gunung// prangrang ka gunung banjar// prangrang ka padang// prangrang ka panggoakan// prangrang ka muntur// prangrang ka hanum // prangrang ka pager wesi // prangrang ka medangkahiyangan // ti inya pulang ka pakwan deui // hanteu nu nahunan deui / panteg hanca buana // lawasniya ratu opatwelas tahun //

Terjemahan:

Diganti yaitu oleh Prabu Surawisesa yang dipusarakan di Padaren. Rata gagah perkasa, teguh dan pemberani.  Lima betas kali perang tak pernah kalah. Dalam melakukan peperangan menggunakan siasat Bala Sarewu (Pustaka Bala Seribu).

Perang ke Kalapa dengan Aria Burah. Perang ke Tanjung. Perang ke Ancol Kiji. Perang ke Wahanten Girang. Perang ke Simpang. Perang ke Gunung Batu. Perang ke Gunung Banjar. Perang ke Padang. Perang ke Pagoakan. Perang ke Muntur. Perang ke Hanum. Perang ke Pager Wesi. Perang ke Medang Kahiyangan. Setelah itu, kembali ke Pakuan lagi. Tidak sampai setahun, meninggal dunia. Lamanya menjadi ratu 14 tahun.

prebu ratudewata / inya nu surup ka sawah tampian dalem lumaku ngarajaresi // tape pwah susu // sumbelehan niat tinja bresih suci wasah disunat ka tukangna / jati sunda tetra / datang na bancana musuh Banal / tambuh sangkane // prangrang di buruan ageung// pejah tohaan sarendet deung tohaan rata sanghiyang// hang pandita sakti diruksak / pandita di sumedang// sang pandita di ciranjang pinejahan tanpa dose / katiban ku tapak kihir//sang pandita di jayagiri linabuhaken ningsagara// hang sang pandita sakti hanteu dosana // rounding rah.iyang ngaraniya / linalnhaken ring sagara tan keneng pati/ hurip muwaf, moksa tanpa tinggal raga tetra ring duniya// sinaguhniva. ngaraniya hiyang katingan // nya iyatnavatna .sang kawuri / hayzaa to .sire kabalik pupuasaan //samangkana to precinta // prebu ratudewata / lawasniya rata dalapan tahun / kasalapan panteg hence dine bwana //

Prabu Ratu Dewata, dialah yang dipusarakan di Sawah Tampian Dalem. Menjalankan kehidupan seperti Rajaresi. Puasa, hanya meminum susu. Disunat, supaya bersih suci dari kotoran. Disunat oleh akhlinya, itulah tradisi orang Sunda.

Datang bencana serangan musuh kasar, tidak diketahui identitasnya. Perang di Buruan Ageung (Alan‑alun). Gugur Tohaan Sarendet den Tohaan Ratu Sanghiang. Ada pendeta sakti dianiaya, pandita di Sumedang. Sang pandita di Ciranjang, dibunuh tanpa dosa, tertimpa tapak kikir. Sang Pandita di Jayagiri, ditenggelamkan ke laut. Ada pendeta sakti tak berdosa Munding Rahiyang namanya, ditenggelamkan ke laut, tidak mati, masih hidup, menghilang tanpa meninggalkan jejak di dunia. Terkenal namanya Hiyang Kalingan. Oleh sebab itu, hati‑hatilah yang hidup di kemudian hari, jangan hidup pura‑pura berpuasa. Begitulah keadaan jaman susah.

Prabu Ratu Dewata, lamanya jadi raja 8 tahun, kesembilan tahunnya meninggal dunia.

disilihan ku sang ratu sakti sang mangabatan ring
tasik / inya nu surup ka pengpelengan // lawasniya ratu dalapan
tahun / kenana ratu twahna kabancana ku estri larangan ti
kaluaran deung kana ambu tere // mati‑mati wong tanpa dosa /
ngarampas tanpa prege / tan bakti ring wong atuha / asampe
ring sang pandita //
aja tinut sang kawuri / polah sang nata //
mangkana sang prebu ratu / carita inya //

Diganti oleh Sang Ratu Sakti Sang Mangabatan di Tasik. Yaitu yang dipusarakan di Pengpelengan. Lamanya jadi ratu 8 tahun, karena tindakan ratu celaka oleh wanita larangan dari luar dan oleh ibu tiri. Sering membunuh orang tanpa dosa, merampas tanpa perasaan, tidak hormat pada yang tua, menghina pendita. Jangan diikuti oleh generasi belakangan, tindakan ratu seperti itu. Begitulah riwayat Sang Ratu.

tohaan di majaya alah prangrang/ mangka tan nitih
ring kadatwan // nu ngibuda sanghiyang panji / mahayu na ka
datwan / dibalay manelah taman mihapitkeun dora larangan //
nu migawe bale‑bobot pituwelas jajar/ tinulis pinarada war-
nana cacaritaan //

Tohaan di Majaya kalah perang, oleh sebab itu tidak diam di Kedaton. Dialah yang mencipta Sanghiang Panji, menghiasi Kedaton, di balai diatur berupa taman mihapitkeun panto larangan. Yang membangun bale bobot 17 jajar, diukir berbaris dibentuk berbagai cerita.

hanteu ta yuga dopara kasiksa tikang wong sajagat / kreta
ngaraniya // hanteu nu ngayuga sanghara / kreta //
dopara luha gumenti tang kali // sang nilakendra wwat
ika sangke lamaniya manggirang/ lumekas madumdum cereng//
manganugraha weka / hatina nanda wisayaniya / manurunaken
pretapa / putu ri patiriyan // cai ka tiningkalan nidra wisaya
ning baksa kilang//
wong huma darpa mamangan / tan igar yap tan pepela
kan // lawasniya ratu kampa kalayan pangan / ta tan agama
gyan kewaliya mamangan sadrasa nu surup ka sangkan
beunghar//
lawasniya ratu genepwelas tahun //

Dari zaman manusia sejagat tidak mengalami kejahatan disebut zaman kreta. Tidak ada yang menjadikan hancurnya jagat.

Dalam zaman Dopra, zaman perunggu, seterusnya diganti dengan zaman kali, zaman besi, Sang Nilakendra, karena terlalu lama dalam suasana senang memperturutkan hawa nafsu. Mempunyai anak, ke dalam hatinya sudah dirasuki bermacam reka perdaya, menurunkari pertapa, cucu tiri. Minuman keras dianggap seperti air bentuknya godaan nafsu.

Manusia yang berhuma rakus makannya, tidak gembira kalau tidak bercocok tanam. Lamanya ratu menuruti hawa nafu dalam makanan, tidak mengikuti adat kebiasaan, dalam menuruti nafsu kesenangan karena menganggap wajar dengan kekayaannya.

Iamanya jadi rata 16 tahun.

disilihan ku nusiya mulia // lawasniya rata sadewidasa /
tembey datang na prebeda // bwana alit sumurup ping ganal /
metu sanghara ti selam //
prang ka raja gaLuh / eleh na raja galuh / prang ka ka‑
lapa / eleh na kalapa // prang ka pakwan / prang ka galuh /
prang ka datar/ prang ka madiri / prang ka patege / prang
ka jawakapala / elehna jawakapala // prang ka galelang//
nyabrang/ prang ka salajo / pahi eleh ku selam //

Diganti oleh Nusia Mulya. Lamanya jadi ratu 12 tahun. Pertama datangnya perubahan. Dunia halus masuk ke yang kasar, timbul kerusakan dari Islam.

Perang dengan Rajagaluh, kalah Rajagaluh. Perang dengan Kalapa, kalah Kalapa. Perang dengan Pakuan, perang dengan Galuh, perang dengan Datar, perang dengan Mandiri, perang dengan Patege, perang dengan Jawakapala, kalah Jawakapala. Perang dengan Gegelang. Perang berlayar ke Salajo, semua kalah oleh orang Islam.

Berdasarkan Kropak 406 Carita Parahiyangan, Setelah Sri Baduga Maharaja wafat, ada 5 orang Raja penerus tahta Kerajaan Pajajaran, antara lain:

1.    Prabu Sanghiyang Surawisesa (1521‑1535 Masehi);
2.    Ratu Dewatabuana (1535‑1543 Masehi);
3.    Ratu Sakti (1543‑1551 Masehi);
4.    Prabu Nilakendra (1551‑1567 Masehi);
5.    Prabu Ragamulya Suryakancana atau Prabu Pucuk Umun Pulasari (1567‑1579 Masehi).

Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka. Peristiwa runtuhnya Kerajaan Sunda Pajajaran, bertepatan dengan tanggal 11 Rabiul awal 987 Hijriyah, atau tanggal 8 Mei 1579 Masehi.




http://www.zonawain.com
Taruhan Bola

No comments:

Post a Comment