KERAJAAN SUNDA DAN
KERAJAAN GALUH
Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh adalah dua kerajaan yang merupakan
pecahan dari Kerajaan Tarumanagara. Dalam catatan perjalanan Tome Pires (1513),
disebutkan bahwa dayo (dayeuh) Kerajaan Sunda terletak dua hari perjalanan dari
Pelabuhan Kalapa yang
terletak di muara Sungai Ciliwung. Keterangan mengenai
keberadaan kedua kerajaan ini juga terdapat pada beberapa prasasti. Prasasti di
Bogor banyak bercerita tentang Kerajaan Sunda sebagai pecahan Tarumanagara,
sedangkan prasasti di daerah Sukabumi bercerita tentang keadaan Kerajaan Sunda
sampai dengan masa Sri Jayabupati.
Berdirinya kerajaan Sunda dan Galuh
Pembagian Tarumanagara
Tarusbawa yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa menggantikan
mertuanya menjadi penguasa Tarumanagara yang ke-13. Karena pamor Tarumanagara
pada zamannya sudah sangat menurun, ia ingin mengembalikan keharuman jaman
Purnawarman yang berkedudukan di purasaba (ibukota) Sundapura. Dalam tahun 670
M, ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa ini
dijadikan alasan oleh Wretikandayun pendiri Kerajaan Galuh, untuk memisahkan
negaranya dari kekuasaan Tarusbawa.
Karena Putera Mahkota Galuh berjodoh dengan Parwati puteri Maharani
Shima dari Kerajaan Kalingga, Jawa Tengah, maka dengan dukungan Kalingga,
Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa supaya bekas kawasan Tarumanagara
dipecah dua. Dalam posisi lemah dan ingin menghindarkan perang saudara,
Tarusbawa menerima tuntutan Galuh. Dalam tahun 670 M Kawasan Tarumanagara
dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan
Sungai Citarum sebagai batas.
Lokasi ibukota Sunda
Maharaja Tarusbawa kemudian mendirikan ibukota kerajaan yang baru,
seperti yang sudah diungkapkan dibagian sebelumnya, di daerah pedalaman dekat
hulu Sungai Cipakancilan. Dalam Carita Parahiyangan, tokoh Tarusbawa ini hanya
disebut dengan gelarnya: Tohaan di Sunda (Raja Sunda). Ia menjadi cakal-bakal
raja-raja Sunda dan memerintah sampai tahun 723 M.
Sunda sebagai nama kerajaan tercatat dalam dua buah prasasti batu yang
ditemukan di Bogor dan Sukabumi. Kehadiran Prasasti Jayabupati di daerah
Cibadak sempat membangkitkan dugaan bahwa Ibukota Kerajaan Sunda terletak di
daerah itu. Namun dugaan itu tidak didukung oleh bukti-bukti sejarah lainnya.
Isi prasasti hanya menyebutkan larangan menangkap ikan pada bagian Sungai
Cicatih yang termasuk kawasan Kabuyutan Sanghiyang Tapak. Sama halnya dengan
kehadiran batu bertulis Purnawarman di Pasir Muara dan Pasir Koleangkak yang
tidak menunjukkan letak ibukota Tarumanagara.
Keterlibatan Kalingga
Karena putera mahkota wafat mendahului Tarusbawa, maka anak wanita dari
putera mahkota (bernama Tejakancana) diangkat sebagai anak dan ahli waris
kerajaan. Suami puteri inilah yang dalam tahun 723 menggantikan Tarusbawa
menjadi Raja Sunda II. Cicit Wretikandayun ini bernama Rakeyan Jamri. Sebagai
penguasa Kerajaan Sunda ia dikenal dengan nama Prabu Harisdarma dan kemudian
setelah menguasai Kerajaan Galuh ia lebih dikenal dengan Sanjaya.
Sebagai ahli waris Kalingga ia kemudian menjadi penguasa Kalingga Utara
yang disebut Bumi Mataram (Mataram Kuno) dalam tahun 732 M. Kekuasaan di Jawa
Barat diserahkannya kepada puteranya dari Tejakencana, Tamperan atau Rakeyan
Panaraban. Ia adalah kakak seayah Rakai Panangkaran, putera Sanjaya dari
Sudiwara puteri Dewasinga Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara.
Prasasti Jayabupati
Isi prasasti
Telah diungkapkan di awal bahwa nama Sunda sebagai kerajaan tersurat
pula dalam prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi. Prasasti ini terdiri
atas 40 baris sehingga memerlukan empat (4) buah batu untuk menuliskannya.
Keempat batu bertulis itu ditemukan pada aliran Sungai Cicatih di daerah
Cibadak. Tiga ditemukan di dekat Kampung Bantar Muncang, sebuah ditemukan di
dekat Kampung Pangcalikan. Keunikan prasasti ini adalah disusun dalam huruf dan
bahasa Jawa Kuno. Keempat prasasti itu sekarang disimpan di Museum Pusat dengan
nomor kode D 73 (dari Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi ketiga batu pertama
(menurut Pleyte):
D 73 : //O// Swasti shakawarsatita 952 karttikamasa tithi dwadashi shuklapa-ksa.
ha. ka. ra. wara tambir. iri- ka diwasha nira prahajyan sunda ma-haraja shri
jayabhupati jayamana- hen wisnumurtti samarawijaya
shaka-labhuwanamandaleswaranindita harogowardhana wikra-mottunggadewa, ma-D 96
: gaway tepek i purwa sanghyang tapak ginaway denira shri jayabhupati prahajyan
sunda. mwang tan hanani baryya baryya shila. irikang lwah tan pangalapa ikan
sesini lwah.
Makahingan sanghyang tapak wates kapujan i hulu, i sor makahingan ia
sanghyang tapak wates kapujan i wungkalagong kalih matangyan pinagawayaken
pra-sasti pagepageh. mangmang sapatha.
D 97 : sumpah denira prahajyan sunda. lwirnya nihan.
Terjemahan isi prasasti, adalah sebagai berikut:
Selamat. Dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang,
hari Hariang, Kaliwon, Ahad, Wuku Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri
Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita
Haro Gowardhana Wikramottunggadewa, membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak.
Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan
ini.
Di sungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan di sebelah sini sungai
dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak sebelah hulu. Di sebelah hilir
dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak pada dua batang pohon besar. Maka
dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan Sumpah.
Sumpah yang diucapkan oleh Raja Sunda lengkapnya tertera pada prasasti
keempat (D 98). Terdiri dari 20 baris, intinya menyeru semua kekuatan gaib di
dunia dan disurga agar ikut melindungi keputusan raja. Siapapun yang menyalahi
ketentuan tersebut diserahkan penghukumannya kepada semua kekuatan itu agar
dibinasakan dengan menghisap otaknya, menghirup darahnya, memberantakkan
ususnya dan membelah dadanya. Sumpah itu ditutup dengan kalimat seruan, "I
wruhhanta kamung hyang kabeh" (Ketahuilah olehmu parahiyang semuanya).
Tanggal prasasti
Tanggal pembuatan Prasasti Jayabupati bertepatan dengan 11 Oktober 1030.
Menurut Pustaka Nusantara, Parwa III sarga 1, Sri Jayabupati memerintah selama
12 tahun (952 - 964) saka (1030 -1042 M). Isi prasasti itu dalam segala hal
menunjukkan corak Jawa Timur. Tidak hanya huruf, bahasa dan gaya, melainkan
juga gelar raja yang mirip dengan gelar raja di lingkungan Keraton Darmawangsa.
Tokoh Sri Jayabupati dalam Carita Parahiyangan disebut dengan nama Prabu Detya
Maharaja. Ia adalah raja Sunda ke-20 setalah Maharaja Tarusbawa.
Penyebab perpecahan
Telah diungkapkan sebelumnya, bahwa Kerajaan Sunda adalah pecahan
Tarumanagara. Peristiwa itu terjadi tahun 670 M. Hal ini sejalan dengan sumber
berita Cina yang menyebutkan bahwa utusan Tarumanagara yang terakhir
mengunjungi negeri itu terjadi tahun 669 M. Tarusbawa memang mengirimkan utusan
yang memberitahukan penobatannya kepada Raja Cina dalam tahun 669 M. Ia sendiri
dinobatkan pada tanggal 9 bagian-terang bulan Jesta tahun 591 Saka, kira-kira
bertepatan dengan tanggal 18 Mei 669 M.
Sanna dan Purbasora
Tarusbawa adalah sahabat baik Bratasenawa alis Sena (709 - 716 M), Raja Galuh
ketiga. Tokoh ini juga dikenal dengan Sanna, yaitu raja dalam Prasasti Canggal
(732 M), sekaligus paman dari Sanjaya. Persahabatan ini pula yang mendorong
Tarusbawa mengambil Sanjaya menjadi menantunya. Bratasenawa alias Sanna atau
Sena digulingkan dari tahta Galuh oleh Purbasora dalam tahun 716 M. Purbasora
adalah cucu Wretikandayun dari putera sulungnya, Batara Danghyang Guru
Sempakwaja, pendiri kerajaan Galunggung. Sedangkan Sena adalah cucu
Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M).
Sebenarnya Purbasora dan Sena adalah saudara satu ibu karena hubungan
gelap antara Mandiminyak dengan istri Sempakwaja. Tokoh Sempakwaja tidak dapat
menggantikan kedudukan ayahnya menjadi Raja Galuh karena ompong. Sementara,
seorang raja tak boleh memiliki cacat jasmani. Karena itulah, adiknya yang
bungsu yang mewarisi tahta Galuh dari Wretikandayun. Tapi, putera Sempakwaja
merasa tetap berhak atas tahta Galuh. Lagipula asal-usul Raja Sena yang kurang
baik telah menambah hasrat Purbasora untuk merebut tahta Galuh dari Sena.
Dengan bantuan pasukan dari mertuanya, Raja Indraprahasta, sebuah
kerajaan di daerah Cirebon sekarang, Purbasora melancarkan perebutan tahta
Galuh. Sena akhirnya melarikan diri ke Kalingga, ke kerajaan nenek isterinya,
Maharani Shima.
Sanjaya dan Balangantrang
Sanjaya, anak Sannaha saudara perempuan Sena, berniat menuntut balas
terhadap keluarga Purbasora. Untuk itu ia meminta bantuan Tarusbawa, sahabat
Sena. Hasratnya dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yang memerintah atas
nama isterinya.
Sebelum itu ia telah menyiapkan pasukan khusus di daerah Gunung Sawal
atas bantuan Rabuyut Sawal, yang juga sahabat baik Sena. Pasukan khusus ini
langsung dipimpin Sanjaya, sedangkan pasukan Sunda dipimpin Patih Anggada.
Serangan dilakukan malam hari dengan diam-diam dan mendadak. Seluruh keluarga
Purbasora gugur. Yang berhasil meloloskan diri hanyalah menantu Purbasora, yang
menjadi Patih Galuh, bersama segelintir pasukan.
Patih itu bernama Bimaraksa yang lebih dikenal dengan Ki Balangantrang
karena ia merangkap sebagai senapati kerajaan. Balangantrang ini juga cucu
Wretikandayun dari putera kedua bernama Resi Guru Jantaka atau Rahyang Kidul,
yang tak bisa menggantikan Wretikandayun karena menderita "kemir"
atau hernia.
Balangantrang bersembunyi di kampung Gègèr Sunten dan dengan diam-diam
menghimpun kekuatan anti Sanjaya. Ia mendapat dukungan dari raja-raja di daerah
Kuningan dan juga sisa-sisa laskar Indraprahasta, setelah kerajaan itu juga
dilumatkan oleh Sanjaya sebagai pembalasan karena dulu membantu Purbasora
menjatuhkan Sena.
Sanjaya mendapat pesan dari Sena, bahwa kecuali Purbasora, anggota
keluarga Keraton Galuh lainnya harus tetap dihormati. Sanjaya sendiri tidak
berhasrat menjadi penguasa Galuh. Ia melalukan penyerangan hanya untuk
menghapus dendam ayahnya. Setelah berhasil mengalahkan Purbasora, ia segera
menghubungi uwaknya, Sempakwaja, di Galunggung dan meminta beliau agar
Demunawan, adik Purbasora, direstui menjadi penguasa Galuh. Akan tetapi
Sempakwaja menolak permohonan itu karena takut kalau-kalau hal tersebut
merupakan muslihat Sanjaya untuk melenyapkan Demunawan.
Sanjaya sendiri tidak bisa menghubungi Balangantrang karena ia tak
mengetahui keberadaannya. Akhirnya Sanjaya terpaksa mengambil hak untuk
dinobatkan sebagai Raja Galuh. Ia menyadari bahwa kehadirannya di Galuh kurang
disenangi. Selain itu sebagai Raja Sunda ia sendiri harus berkedudukan di
Pakuan. Untuk pimpinan pemerintahan di Galuh ia mengangkat Premana Dikusuma,
cucu Purbasora. Premana Dikusuma saat itu berkedudukan sebagai raja daerah.
Dalam usia 43 tahun (lahir tahun 683 M), ia telah dikenal sebagai raja resi
karena ketekunannya mendalami agama dan bertapa sejak muda. Ia dijuluki Bagawat
Sajalajaya.
Premana, Pangreyep dan Tamperan
Penunjukkan Premana oleh Sanjaya cukup beralasan karena ia cucu
Purbasora. Selain itu, isterinya, Naganingrum, adalah anak Ki Balangantrang.
Jadi suami istri itu mewakili keturunan Sempakwaja dan Jantaka, putera pertama
dan kedua Wretikandayun.
Pasangan Premana dan Naganingrum sendiri memiliki putera bernama
Surotama alias Manarah (lahir 718 M, jadi ia baru berusia 5 tahun ketika
Sanjaya menyerang Galuh). Surotama atau Manarah dikenal dalam literatur Sunda
klasik sebagai Ciung Wanara. Kelak di kemudian hari, Ki Bimaraksa alias Ki
Balangantrang, buyut dari ibunya, yang akan mengurai kisah sedih yang menimpa
keluarga leluhurnya dan sekaligus menyiapkan Manarah untuk melakukan
pembalasan.
Untuk mengikat kesetiaan Premana Dikusumah terhadap pemerintahan pusat
di Pakuan, Sanjaya menjodohkan Raja Galuh ini dengan Dewi Pangrenyep, puteri
Anggada, Patih Sunda. Selain itu Sanjaya menunjuk puteranya, Tamperan, sebagai
Patih Galuh sekaligus memimpin "garnizun" Sunda di ibukota Galuh.
Premana Dikusumah menerima kedudukan Raja Galuh karena terpaksa keadaan.
Ia tidak berani menolak karena Sanjaya memiliki sifat seperti Purnawarman, baik
hati terhadap raja bawahan yang setia kepadanya dan sekaligus tak mengenal
ampun terhadap musuh-musuhnya. Penolakan Sempakwaja dan Demunawan masih bisa
diterima oleh Sanjaya karena mereka tergolong angkatan tua yang harus
dihormatinya.
Kedudukan Premana serba sulit, ia sebagai Raja Galuh yang menjadi
bawahan Raja Sunda yang berarti harus tunduk kepada Sanjaya yang telah membunuh
kakeknya. Karena kemelut seperti itu, maka ia lebih memilih meninggalkan istana
untuk bertapa di dekat perbatasan Sunda sebelah timur Citarum dan sekaligus
juga meninggalkan istrinya, Pangrenyep. Urusan pemerintahan diserahkannya kepada
Tamperan, Patih Galuh yang sekaligus menjadi "mata dan telinga"
Sanjaya. Tamperan mewarisi watak buyutnya, Mandiminyak yang senang membuat
skandal. Ia terlibat skandal dengan Pangrenyep, istri Premana, dan membuahkan
kelahiran Kamarasa alias Banga (723 M).
Skandal itu terjadi karena beberapa alasan, pertama Pangrenyep pengantin
baru berusia 19 tahun dan kemudian ditinggal suami bertapa; kedua keduanya
berusia sebaya dan telah berkenalan sejak lama di Keraton Pakuan dan sama-sama
cicit Maharaja Tarusbawa; ketiga mereka sama-sama merasakan derita batin karena
kehadirannya sebagai orang Sunda di Galuh kurang disenangi.
Untuk menghapus jejak Tamperan mengupah seseorang membunuh Premana dan
sekaligus diikuti pasukan lainnya sehingga pembunuh Premana pun dibunuh pula.
Semua kejadian ini rupanya tercium oleh senapati tua Ki Balangantrang.
Tamperan sebagai raja
Dalam tahun 732 M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Mataram dari
orangtuanya. Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian
kekuasaan antara puteranya, Tamperan, dan Resi Guru Demunawan. Sunda dan Galuh
menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung
diperintah oleh Resi Guru Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.
Demikianlah Tamperan menjadi penguasa Sunda-Galuh melanjutkan kedudukan
ayahnya dari tahun 732 - 739 M. Sementara itu Manarah alias Ciung Wanara secara
diam-diam menyiapkan rencana perebutan tahta Galuh dengan bimbingan buyutnya,
Ki Balangantrang, di Geger Sunten. Rupanya Tamperan lalai mengawasi anak tirinya
ini yang ia perlakukan seperti anak sendiri.
Sesuai dengan rencana Balangantrang, penyerbuan ke Galuh dilakukan siang
hari bertepatan dengan pesta sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir,
termasuk Banga. Manarah bersama anggota pasukannya hadir dalam gelanggang
sebagai penyabung ayam. Balangantrang memimpin pasukan Geger Sunten menyerang
keraton.
Kudeta itu berhasil dalam waktu singkat seperti peristiwa tahun 723
ketika Manarah berhasil menguasai Galuh dalam tempo satu malam. Raja dan
permaisuri Pangrenyep termasuk Banga dapat ditawan di gelanggang sabung ayam.
Banga kemudian dibiarkan bebas. Pada malam harinya ia berhasil membebaskan
Tamperan dan Pangrenyep dari tahanan.
Akan tetapi hal itu diketahui oleh pasukan pengawal yang segera
memberitahukannya kepada Manarah. Terjadilah pertarungan antara Banga dan
Manarah yang berakhir dengan kekalahan Banga. Sementara itu pasukan yang
mengejar raja dan permaisuri melepaskan panah-panahnya di dalam kegelapan
sehingga menewaskan Tamperan dan Pangrenyep.
Manarah dan Banga
Berita kematian Tamperan didengar oleh Sanjaya yang ketika itu
memerintah di Mataram (Jawa Tengah), yang kemudian dengan pasukan besar
menyerang purasaba Galuh. Namun Manarah telah menduga itu sehingga ia telah
menyiapkan pasukan yang juga didukung oleh sisa-sisa pasukan Indraprahasta yang
ketika itu sudah berubah nama menjadi Wanagiri, dan raja-raja di daerah
Kuningan yang pernah dipecundangi Sanjaya.
Perang besar sesama keturunan Wretikandayun itu akhirnya bisa dilerai
oleh Raja Resi Demunawan (lahir 646 M, ketika itu berusia 93 tahun). Dalam
perundingan di keraton Galuh dicapai kesepakatan: Galuh diserahkan kepada
Manarah dan Sunda kepada Banga. Demikianlah lewat perjanjian Galuh tahun 739
ini, Sunda dan Galuh yang selama periode 723 - 739 berada dalam satu kekuasan
terpecah kembali. Dalam perjanjian itu ditetapkan pula bahwa Banga menjadi raja
bawahan. Meski Banga kurang senang, tetapi ia menerima kedudukan itu. Ia
sendiri merasa bahwa ia bisa tetap hidup atas kebaikan hati Manarah.
Untuk memperteguh perjanjian, Manarah dan Banga dijodohkan dengan kedua
cicit Demunawan. Manarah sebagai penguasa Galuh bergelar Prabu Jayaprakosa
Mandaleswara Salakabuana memperistri Kancanawangi. Banga sebagai Raja Sunda
bergelar Prabu Kretabuana Yasawiguna Aji Mulya dan berjodoh dengan Kancanasari,
adik Kancanawangi.
Keturunan Sunda dan Galuh selanjutnya
Naskah tua dari kabuyutan Ciburuy, Bayongbong, Garut, yang ditulis pada
abad ke-13 atau ke-14 memberitakan bahwa Rakeyan Banga pernah membangun parit
Pakuan. Hal ini dilakukannya sebagai persiapan untuk mengukuhkan diri sebagai
raja yang merdeka. Ia harus berjuang 20 tahun sebelum berhasil menjadi penguasa
yang diakui di sebelah barat Citarum dan lepas dari kedudukan sebagi raja
bawahan Galuh. Ia memerintah 27 tahun lamanya (739 - 766).
Manarah di Galuh memerintah sampai tahun 783. Ia dikaruniai umur
panjang. Dalam tahun tersebut ia melakukan manurajasuniya, mengundurkan diri
dari tahta kerajaan untuk melakukan tapa sampai akhir hayat, dan baru wafat
tahun 798 dalam usia 80 tahun.
Dalam naskah-naskah babad, posisi Manarah dan Banga ini dikacaukan.
Tidak saja dalam hal usia, di mana Banga dianggap lebih tua. Tapi, juga dalam
penempatan mereka sebagai raja. Dalam naskah-naskah tua, silsilah raja-raja
Pakuan selalu dimulai dengan tokoh Banga. Kekacauan silsilah dan penempatan
posisi itu mulai tampak dalam naskah Carita Waruga Guru yang ditulis pada
pertengahan abad 18.
Kekeliruan paling menyolok dalam babad ialah kisah Banga yang dianggap
sebagai pendiri kerajaan Majapahit. Padahal, Majapahit baru didirikan Raden
Wijaya dalam tahun 1293, 527 tahun setelah Banga wafat. Kekalutan itu dapat
dibandingkan dengan kisah pertemuan Walangsungsang dengan Sayidina Ali yang
masa hidupnya berselisih 8 1/2 abad.
Keturunan Manarah putus hanya sampai cicitnya yang bernama
Prabulinggabumi (813 - 852). Tahta Galuh diserahkan kepada suami adiknya yaitu
Rakeyan Wuwus alias Prabu Gajah Kulon (819 - 891), cicit Banga yang menjadi
Raja Sunda ke-8 (dihitung dari Tarusbawa). Sejak tahun 852 M kedua kerajaan
pecahan Tarumanagara itu diperintah oleh keturunan Banga sebagai akibat
perkawinan di antara para kerabat keraton: Sunda-Galuh-Kuningan (Saunggalah).
Hubungan Sunda-Galuh dan Sriwijaya
Sri Jayabupati yang prasastinya telah dibicarakan di muka adalah Raja
Sunda yang ke-20. Ia putra Sanghiyang Ageng (1019 - 1030 M). Ibunya seorang
puteri Sriwijaya dan masih kerabat dekat Raja Wurawuri. Adapun permaisuri Sri
Jayabupati adalah puteri dari Dharmawangsa, raja Kerajaan Medang, dan adik Dewi
Laksmi isteri Airlangga. Karena pernikahan tersebut Jayabupati mendapat
anugerah gelar dari mertuanya, Dharmawangsa. Gelar itulah yang dicantumkannya
dalam prasasti Cibadak.
Raja Sri Jayabupati pernah mengalami peristiwa tragis. Dalam
kedudukannya sebagai Putera Mahkota Sunda keturunan Sriwijaya dan menantu
Dharmawangsa, ia harus menyaksikan permusuhan yang makin menjadi-jadi antara
Sriwijaya dengan mertuanya, Dharmawangsa. Pada puncak krisis ia hanya menjadi
penonton dan terpaksa tinggal diam dalam kekecewaan karena harus
"menyaksikan" Dharmawangsa diserang dan dibinasakan oleh Raja
Wurawuri atas dukungan Sriwijaya. Ia diberi tahu akan terjadinya serbuan itu
oleh pihak Sriwijaya, akan tetapi ia dan ayahnya diancam agar bersikap netral
dalam hal ini. Serangan Wurawuri yang dalam Prasasti Calcutta (disimpan di
sana) disebut pralaya itu terjadi tahun 1019 M.
Daftar raja-raja Sunda
Di bawah ini adalah urutan raja-raja Sunda sampai Sri Jayabupati yang
berjumlah 20 orang :
1. Maharaja Tarusbawa (669 -
723 M)
2. Sanjaya Harisdarma,
cucu-menantu no. 1,(723-732 M).
3. Tamperan Barmawijaya
(732-739 M).
4. Rakeyan Banga (739-766 M).
5. Rakeyan Medang Prabu
Hulukujang (766-783 M).
6. Prabu Gilingwesi, menantu
no. 5,(783-795 M).
7. Pucukbumi Darmeswara,
menantu no. 6, (795-819 M).
8. Prabu Gajah Kulon Rakeyan
Wuwus (819-891 M).
9. Prabu Darmaraksa
(adik-ipar no. 8, 891 - 895 M).
10. Windusakti Prabu Dewageng
(895 - 913 M).
11. Rakeyan Kemuning Gading
Prabu Pucukwesi (913-916 M).
12. Rakeyan Jayagiri Prabu
Wanayasa, menantu no. 11, (916-942 M).
13. Prabu Resi Atmayadarma
Hariwangsa (942-954 M).
14. Limbur Kancana,putera no.
11,(954-964 M).
15. Prabu Munding Ganawirya
(964-973 M).
16. Prabu Jayagiri Rakeyan
Wulung Gadung (973 - 989 M).
17. Prabu Brajawisesa (989-1012
M).
18. Prabu Dewa Sanghyang
(1012-1019M).
19. Prabu Sanghyang Ageng (1019
- 1030 M).
20. Prabu Detya Maharaja Sri
Jayabupati (1030-1042 M)
Kecuali Tarusbawa (no. 1), Banga (no. 4) - Darmeswara (no. 7) yang hanya
berkuasa di kawasan sebelat barat Citarum, raja-raja yang lainnya berkuasa di
Sunda dan Galuh.
Sumber :
• Ayatrohaedi. 2005.
Sundakala: Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah "Panitia
Wangsakerta" Cirebon. Pustaka Jaya, Jakarta. ISBN 979-419-330-5
• Saleh Danasasmita. 2003.
Nyukcruk Sajarah Pakuan Pajajaran jeung Prabu Siliwangi. Kiblat Buku Utama,
Bandung. ISBN
• Yoseph Iskandar. 1997.
Sejarah Jawa Barat: Yuganing Rajakawasa. Geger Sunten, Bandung.
Taruhan Bola |
No comments:
Post a Comment