BAB 1 : PROLOG G-30-S
KONFLIK
KUBU Indonesia 1960-an termasuk negara yang tidak disukai oleh blok Barat
pimpinan Amerika Serikat (AS).
Di era Perang Dingin itu konflik utama dunia
terjadi antara Kapitalis (dipimpin AS) melawan Komunis (RRT dan Uni Soviet). AS
sedang bersiap-siap mengirim ratusan ribu pasukan untuk menghabisi komunis di
Korea Utara. Sementara di Indonesia Partai Komunis (PKI) merupakan partai
legal. Saat kebencian AS terhadap Indonesia memuncak dengan
menghentikan bantuan, Presiden Soekarno menyambutnya dengan pernyataan keras:
Go to hell with your aid. Sebagai pemimpin negara yang relatif baru lahir,
Presiden Soekarno menerapkan kebijakan berani: Berdiri pada kaki sendiri.
Dasar
sikap Soekarno itu jelas: Alam Indonesia kaya raya. Minyak di Sumatera dan
Sulawesi, hutan maha lebat di Kalimantan, emas di Irian, serta ribuan pulau
yang belum terdeteksi kandungannya. Semua itu belum mampu dieksplorasi oleh
bangsa kita. Kekayaan alam ini dilengkapi dengan lebih dari 100 juta penduduk
yang merupakan pasar potensial, sehingga ada harapan sangat besar bahwa pada
suatu saat Indonesia akan makmur tanpa bantuan Barat. Ini pula yang mengilhami
sikap konfrontatif Bung Karno: Ganyang Nekolim (neo kolonialisme &
imperialisme). Bung Karno menyatakan,Indonesia hanya butuh pemuda bersemangat
untuk menjadi bangsa yang besar.
Akibatnya,
sikap AS juga menjadi jelas: Gulingkan Presiden Soekarno. Sikap AS ini didukung oleh
komplotannya, Inggris dan Australia. Sejak AS menghentikan bantuannya,
mereka malah membangun hubungan dengan faksi-faksi militer Indonesia. Mereka
melengkapi dan melatih para perwira dan pasukan Indonesia. Melalui operasi
intelijen yang dimotori oleh CIA, mereka menggelitik militer untuk merongrong
Bung Karno. Usaha kudeta muncul pada bulan November 1956. Deputi Kepala Staf
TNI AD Kolonel Zulkifli Lubis berusaha menguasai Jakarta dan menggulingkan
pemerintah. Namun usaha ini dipatahkan. Lantas, di Sumatera Utara dan Sumatera
Tengah militer berupaya mengambil alih kekuasaan, tetapi juga
gagal. Militer dengan pasokan bantuan AS seperti mendapat angin untuk menganggu Bung
Karno.
Namun,
Bung Karno masih mampu menguasai keadaan, karena banyak perwira militer yang
sangat loyal pada Bung Karno, kendati usaha AS menjatuhkan Bung Karno terus
dirancang. Sayangnya, konstelasi politik dalam negeri Indonesia pada saat itu
juga tidak stabil. Bung Karno berupaya keras menciptakan kestabilan, namun
kondisi memang sangat rumit. Ada tiga unsur kekuatan yang mendominasi
politik Indonesia , yaitu: 1. Unsur
Kekuatan Presiden RI 2. Unsur Kekuatan TNI AD 3. Unsur Kekuatan PKI (Partai
Komunis Indonesia ).
Unsur
kekuatan Presiden RI, yakni Presiden RI sebagai Kepala Negara, Kepala
Pemerintahan, Perdana Menteri, Pemimpin Besar Revolusi dan Presiden seumur
hidup, yakni Ir. Soekarno yang akrab dipanggil Bung Karno. Anggota Kabinet
Dwikora masuk dalam unsur kekuatan ini. Unsur kekuatan TNI AD ada dua kubu:
Kubu Yani (Letjen TNI Ahmad Yani) dan Kubu Nasution (Letjen TNI Abdul Haris
Nasution). Soeharto awalnya termasuk dalam Kubu Nasution, walaupun kelak
mendirikan kubu sendiri.
Sedangkan
unsur PKI berkekuatan sekitar tiga juta anggota. Itu didukung oleh sekitar 7
juta anggota organisasi-organisasi onderbouw PKI seperti BTI, SOBSI dan
Gerwani. Dengan jumlah itu PKI merupakan partai komunis terbesar ketiga di
dunia setelah RRT dan Uni Soviet. Dalam Pemilu 1957 PKI menempati urutan ke-4.
Dan, sebagaimana umumnya partai besar, PKI juga memiliki anggotanya di kabinet.
Mereka
adalah DN Aidit, Menko/Ketua MPRS, Lukman sebagai Menko Wakil Ketua DPRGR dan
Nyoto Menteri Urusan Land-reform. Sebenarnya, sejak 17 Oktober 1952
pemerintahan Soekarno sudah mulai digoyang. Kubu Nasution membentuk Dewan
Banteng dan Dewan Gajah di Sumatera Selatan. Yang disebut dewan ini hanya
penggalangan massa oleh kubu Nasution, namun mereka terang-terangan menyebut
diri sebagai pemerintahan tandingan. Penyebab utamanya adalah karena mereka
tidak suka melihat kemesraan hubungan Soekarno- PKI. Gerakan Kubu Nasution
tidak cukup hanya menggalang massa sipil, namun juga mempengaruhi militer
agar ikut mendukung gerakannya. Sebagai petinggi militer, bagi Nasution, itu
adalah hal mudah.
Caranya,
antara lain, Perjuangan Pembebasan Irian Barat digunakan untuk membentuk
Gerakan Front Nasional yang aktif di kegiatan politik. Inilah awal usaha
melibatkan militer ke dalam kegiatan politik yang kelak dilestarikan oleh Orde
Baru. Di sisi lain, Kubu Nasution menggalang simpati rakyat dengan membentuk
BKS yang melibatkan para pemuda, partai politik, para petani, yang menyatu
dengan militer di bawah payung TNI AD. Saat itu saya langsung membuat
kesimpulan: Inilah doktrin perang tingkat regional (karena memanfaatkan
Perjuangan Pembebasan Irian Barat) hingga tingkat desa (melibatkan petani).
Maka, lengkaplah suatu gerakan menentang pemerintah yang terencana dengan rapi,
cerdik dan memiliki kekuatan cukup potensial.
Berdasarkan
laporan intelijen saya, CIA berada di belakang Nasution Presiden Soekarno
akhirnya mengetahui gerakan menentang pemerintah itu. Soekarno tahu bahwa
pemerintah sedang terancam. Ia juga tahu bahwa biang keroknya adalah Nasution.
Maka, Soekarno pun langsung menghantam ulu hati persoalan dengan cara membatasi
peranan Nasution. Jabatan Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Bersenjata
tetap dipertahankan, tetapi peranannya dibatasi. Nasution diberi tugas oleh Soekarno
dalam urusan administratif pasukan. Nasution dilarang ikut campur urusan
operasional prajurit. Itu sama artinya Nasution dimasukkan ke dalam kotak.
Gerakan
Presiden itu diimbangi dengan pengangkatan Letjen A. Yani sebagai Menpangad.
Tugasnya, secara formal, jelas memimpin pasukan TNI AD, namun di balik itu Yani
mendapat misi khusus dari Presiden agar membatasi desakan Kubu Nasution
terhadap pemerintah. Ini semacam operasi intelijen. Akibatnya, hubungan
Nasution dengan Yani memburuk. Mulanya, konflik Nasution-Yani tidak tampak di
permukaan. Hanya kalangan elite saja yang memahami situasi yang sebenarnya,
sejak Yani diangkat. Tetapi, beberapa waktu kemudian Yani mengganti beberapa
Panglima Daerah Militer (Pangdam) . Para Pangdam yang diganti kemudian
diketahui bahwa mereka adalah orang-orangnya Nasution. Karena itu, tampaklah
peta situasi yang sesungguhnya.
Itu
gerakan militernya. Sedangkan gerakan sipilnya, Presiden Soekarno bersama Wakil
Perdana Menteri I, Dr. Soebandrio (saya) memindahkan kedudukan Nasution dari
Kepala Staf Angkatan Bersenjata ke Penasihat Presiden. Itu terjadi menjelang
akhir tahun 1963. Tentu saja Nasution harus tunduk pada perintah Presiden.
Tidak ada alasan dia untuk mbalelo. Sebab, di kalangan tentara sendiri sudah
khawatir terjadi perpecahan ketika hubungan nasution dengan A. Yani memanas,
sehingga jika seandainya Nasution melakukan tindakan membangkang, pasti tidak
akan didukung oleh pasukan di tingkat bawah. Dan, kemungkinan ini pasti sudah
dihitung secara cermat oleh Nasution. Itu sebabnya ia tunduk.
Langkah
selanjutnya bagi Soekarno yaitu tinggal menggunduli sisa-sisa kekuatan Kubu
nasution. Antara lain, PARAN (Panitia Retooling Aparatur negara, sebuah komisi
penyelidik anti korupsi yang dibentuk Nasution) dibubarkan pada awal tahun
1964. Sebagai gantinya, Soekarno membentuk Komando Tertinggi Retooling Aparatur
Revolusi (KOTRAR) yang dipimpin oleh orang kepercayaan Soekarno, Dr. Soebandrio
(saya). Untuk memperkuat, Yani ditunjuk oleh Presiden menjadi Kepala Staf
KOTRAR.
Dari
perpektif Soekarno, retaknya hubungan antara Yani dan Nasution sudah merupakan
kemenangan. Apalagi, kemudian Nasution dicopot dari posisi strategis dan
dimasukkan ke dalam kotak. Dengan begitu, politik Negara dalam Negara yang
sempat diciptakan oleh Nasution berubah menjadi sangat lemah. Melihat kondisi
demikian, para pimpinan Angkatan Bersenjata justru cemas. Mereka khawatir,
konflik antara Nasution dan Yani itu akan merembet ke prajurit di lapisan
bawah. Kalau itu terjadi, tentu akibatnya bisa fatal. Kekhawatiran ini lantas
disampaikan kepada Presiden. Karena itu, Presiden Soekarno menugaskan beberapa
perwira senior, termasuk Mayjen Soeharto dan Pangdam Jawa Timur Basuki Rahmat,
untuk menemui Nasution. Tugasnya, menyarankan kepada Nasution agar menyesuaikan
diri dengan jalur yang sudah digariskan oleh Presiden Soekarno. Jangan sampai
ada pembangkangan.
Dua
kubu yag berkonflik itu pada dasarnya sama-sama anti-PKI. Meskipun Yani berada
di pihak Bung Karno, namun Yani tidak menyukai PKI akrab dengan Bung Karno.
Sementara, Soeharto yang ditugasi menjadi perantara mendamaikan Nasution dan
Yani, cenderung berpihak kepada Nasution.
Konflik
antara Nasution dan Yani itu ternyata tidak gampang didamaikan. Suatu hari di
awal tahun 1965 ada pertemuan penting yang dihadiri 12 jenderal AD di Mabes AD.
Sebenarnya Nasution dan Yani juga diundang dalam pertemuan itu, namun keduanya
sama-sama tidak datang. Mereka diwakili oleh penasihat masing-masing. Padahal,
pertemuan itu diselenggarakan dalam upaya mendamaikan Nasution dengan Yani.
Alhasil, pertemuan penting itu tidak mencapai tujuan utamanya, karena mereka
yang berkonflik tidak datang sendiri dan hanya diwakili.
Pada
pertengahan April 1965 ada pertemuan yang lebih besar lagi. Kali ini pertemuan
dihadiri oleh sekitar 200 perwira militer di Mabes AD. Dalam pertemuan itu
Nasution dan Yani juga tidak datang. Namun pertemuan itu melahirkan doktrin
baru yang diberi nama: Tri Ubaya Sakti. Pencetusnya adalah Soeharto. Intinya
berisi tiga janji jujur dari jajaran AD. Saya sudah lupa isi lengkapnya, namun
substansinya demikian: TNI berhak memberikan saran dan tugas politik tak
terbatas kepada Presiden RI .
Doktrin
itu menimbulkan kecemasan baru di kalangan elite politik dan
masyarakat intelektual, karena dengan begitu semakin jelas bahwa AD
mempertahankan politik Negara dalam Negara yang sudah dirintis oleh Nasution.
Ini juga berarti bahwa Kubu Nasution menang terhadap Kubu Yani yang didukung
oleh Presiden Soekarno.
POLITIK MUKA DUA
Soeharto,
salah satu perwira yang ditugasi menjadi perantara mendamaikan Yani dan
Nasution, berada di posisi yang tidak enak, karena Soeharto memiliki memori
buruk dengan Nasution maupun Yani. Penyebabnya adalah perilaku Soeharto sendiri
yang buruk. Itu terjadi saat Soeharto masih di Divisi Diponegoro.
Ceritanya,
saat di Divisi Diponegoro Soeharto menjalin hubungan dengan pengusaha Cina,
Liem Sioe Liong (kelak mendapat perlakuan istimewa dari Soeharto, sehingga Liem
menjadi pengusaha terbesar Indonesia ). Perkawanan antara Soeharto dan
Liem ini, antara lain, menyelundupkan berbagai barang. Soeharto pernah berdalih
bahwa penyelundupan itu untuk kepentingan Kodam Diponegoro. Berita
penyelundupan itu cepat menyebar. Semua perwira saat itu mengetahuinya. Bahkan
terungkap bahwa penyelundupan itu bukan untuk kepentingan Kodam, tetapi duitnya
masuk kantong Soeharto dan Liem.
Saat
mengetahui ulah Soeharto, kontan Yani marah. Pada suatu kesempatan Yani bahkan
sampai menempeleng Soeharto, karena penyelundupan itu dinilai memalukan korps.
AH Nasution lantas mengusulkan agar Soeharto diadili di mahkamah militer dan
segera dipecat dari AD. Namun, Mayjen Gatot Subroto mencegah, dengan alasan
bahwa perwira ini masih bisa dibina. Gatot lantas mengusulkan kepada Presiden
Soekarno agar Soeharto diampuni dan disekolahkan di Sekolah Staf Komando
Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung.
Presiden
Soekarno setuju saja. Karena itu, Soeharto masuk Seskoad dan diterima oleh Dan
Seskoad Brigjen Suwarto. Saat itu Seskoad tidak hanya mengajarkan pendidikan
kemiliteran, tapi juga bidang ekonomi dan pemerintahan. Para perwira di Seskoad
berfungsi sebagai guru teori Negara dalam Negara. Karena itulah, saat Soeharto
ditugasi menjadi perantara mendamaikan Yani dengan Nasution, ia berada di
posisi serba tidak enak. Yani pernah menempelengnya, sedangkan Nasution pernah
mengusulkan agar dia dipecat dari AD dan diadili di Mahkamah Militer. Tetapi,
toh Soeharto memilih berpihak ke Nasution, sehingga yang kelihatan adalah bahwa
Soeharto berada di dalam Kubu Nasution.
Namun
akhirnya Soeharto membangun kubu sendiri. Kubu Soeharto terbentuk ketika
kepercayaan AS terhadap Nasution mulai luntur. Ini disebabkan oleh fungsi
Nasution terhadap pemberontakan Permesta, kampanye pembebasan Irian Barat dan
slogan Ganyang Malaysia tidak efektif. Tiga hal itu membuat kepentingan AS terhadap Indonesia khususnya dan
Asia Tenggara umumnya, terganggu, sehingga AS tidak lagi akrab dengan Nasution. Keakraban AS dengan Nasution dari
perspektif AS awalnya perlu untuk mengimbangi kebijakan Bung Karno yang
cenderung lunak pada PKI. Di saat kepercayaan AS terhadap Nasution luntur dan
Soeharto sudah menjadi Pangkostrad, Soeharto membangun kubu sendiri.
Awal
Januari 1965 di kantor Kedutaan Besar RI untuk Yugoslavia di
Beograd, datang sepucuk surat yang ditujukan kepada Dubes RI untuk Yugoslavia , Yoga Soegama
(kelak dijadikan Kepala Bakin oleh Soeharto). Pengirimnya adalah Pangkostrad
Soeharto. Isinya: Yoga ditawari pulang ke Jakarta dengan jabatan
baru: Kepala Intelijen Kostrad. Tawaran itu menarik bagi Yoga.
Karena
itu, pada 5 Februari 1965 Yoga sudah tiba di Jakarta, langsung menghadap
Panglima Kostrad di rumahnya, Jalan H Agus Salim. Mereka bermusyawarah disana .
Itulah awal terbentuknya Kubu Soeharto. Pemanggilan Yoga Soegama dari Beograd
oleh Soeharto itu mengandung tiga indikasi: Pertama, Yoga kembali ke Indonesia tidak melalui
jalur normal. Seharusnya penarikan Yoga dari jabatan Duta Besar RI untuk Yugoslavia di
Beograd dilakukan oleh Menpangad Yani, sebab Yoga adalah perwira AD. Tetapi,
kenyataannya Yoga ditarik oleh surat panggilan Pangkostrad Mayjen Soeharto.
Kedua,
tujuan kepulangan Yoga ke tanah air adalah bersama-sama Soeharto menyabot
(sabotase) politik-politik Bung Karno. Ketiga, mereka bertujuan menghancurkan
PKI. Tiga indikasi ini bukan kesimpulan saya. Tetapi, ini diungkapkan oleh Ali
Moertopo (salah satu anggota trio Soeharto Yoga) dengan rasa bangga
dan tanpa tedeng aling-aling (secara blak-blakan). Ali mengungkap hal
itu dengan gaya seperti orang tidak berdosa.
Bagi
Soeharto, menarik seorang pejabat dengan cara begitu adalah hal biasa. Padahal
dia sudah melangkahi garis hubungan hierarki dan komando. Dengan cara yang
melanggar aturan itu dia membentuk kubunya. Pokok-pokok masalah yang menjadi
perhatian kubunya sama sekali tidak menyangkut hal yang berkaitan dengan Panglima
AD, tetapi menyangkut politik nasional dan internasional. Perhatian kubu itu
tertuju pada Bung Karno dan PKI.
Kubu
Soeharto disebut juga Trio Soeharto Yoga Ali. Untuk selanjutnya kita
sebut kelompok Bayangan Soeharto. Mereka bersatu dengan cara-cara tersamar.
Mereka bergerak di bawah permukaan. Awalnya teman lama dan sudah merupakan satu
tim kompak ketika sama-sama berada di Kodam Diponegoro. Kekompakan trio ini
sudah teruji saat mematahkan rencana pimpinan AD memilih Pangdam Diponegoro.
Kekompakan
mereka dilanjutkan di Jakarta . Tentang kekompakan trio Soeharto
mematahkan rencana pimpinan AD, ceritanya demikian: Saat itu pimpinan AD
mencalonkan Kolonel Bambang Supeno menjadi Pangdam Diponegoro. Rencana
pencalonan Bambang itu kemudian diketahui oleh para perwira disana. Soeharto
yang saat itu masih berpangkat Letnan Kolonel, juga mendengar. Hebatnya,
meskipun pangkat Soeharto lebih rendah dibanding Bambang Supeno, namun ia
berani merebut posisi Pangdam. Caranya, dengan menggunakan strategi yang kotor
namun terselubung.
Di
saat rencana pengangkatan Bambang Supeno menjadi Pangdam Diponegoro bocor, ada
sebuah rapat gelap di Kopeng, Jateng, yang dihadiri beberapa perwira Kodam
Diponegoro. Rapat itu dikoordinir oleh Soeharto melalui salah satu anggota
trionya, Yoga Soegama. Tetapi, Soeharto sendiri tidak hadir. Intinya, rapat
memutuskan bahwa Soeharto harus tampil sebagai Pangdam Diponegoro.
Jika
tidak, Yoga dan Soeharto akan manggalang kekuatan untuk bersama-sama menolak
pencalonan Bambang Supeno. Saat itu pencalonan Bambang menjadi Pangdam belum
ditandatangani oleh Presiden, sehingga Soeharto yang berupaya merebut jabatan
itu harus berpacu dengan waktu.
Namun,
ternyata skenario Soeharto (melalui Yoga) ini tidak didukung oleh para perwira
peserta rapat. Dari puluhan perwira yang hadir, hanya seorang perwira kesehatan
Kolonel dr. Suhardi yang menandatangani, tanda setuju atau mendukung pernyataan
sikap itu. Yang lain tidak. Yoga semula mengaku bahwa pertemuan itu tidak
diberitahukan lebih dulu kepada Soeharto. Ini bisa diartikan bahwa bukan
Soeharto pembuat skenario. Ketika dua orang utusan Kodam Diponegoro hendak ke Jakarta untuk meminta tanda
tangan Presiden tentang pengangkatan Bambang Supeno, barulah rapat gelap itu
disebarkan. Berdasarkan memori Yoga yang terungkap kemudian, rapat itu adalah
gagasan Soeharto.
Pengakuan
awal Yoga bahwa Soeharto tidak mengetahui rapat tersebut dikatakan Yoga agar tidak menimbulkan kecurigaan
dari Jakarta bahwa Soeharto
menggalang kekuatan, menolak pencalonan Bambang Supeno. Tetapi, tentang hal ini
tidak ada konfirmasi, apakah benar rapat gelap itu dikoordinir Soeharto melalui
Yoga atau atas inisiatif Yoga sendiri.
Sebagai
pembanding: salah seorang anggota trio Soeharto, Ali Moertopo, menyatakan bahwa
pada saat itu ia adalah komandan pasukan Raiders yang diminta membantu Yoga
melancarkan operasi intelijen. Tidak dirinci bentuk operasi intelijen yang
dimaksud, namun tujuannya adalah mengusahakan agar Soeharto menjadi Panglima
Diponegoro. Tetapi, Ali sama sekali tidak menjelaskan siapa yang meminta dia,
Yoga atau Soeharto. Atau mungkin kedua-duanya. terlepas dari apakah Yoga
berbohong atau tidak soal koordinator rapat gelap itu, tetapi rangkaian
pernyataan Yoga dan Ali Moertopo itu menunjukkan adanya suatu komplotan
Soeharto.
Komplotan
yang bergerak dalam operasi intelijen. Soeharto adalah dalang yang sedang
memainkan wayang-wayangnya. Tentu, dalangnya tidak perlu terjun langsung.
Akhirnya, nasib mujur bagi para wayang tersebut, karena komplotan ini berhasil.
Bambang Supeno tidak jadi Pangdam, melainkan Soeharto yang tampil menjadi
Pangdam Diponegoro.
Dari
proses komplotan itu bekerja, bisa digambarkan jika seandainya Soeharto tidak
jadi Pangdam dan skenario rapat gelap itu terbongkar sehingga diketahui
pimpinan AD, maka pasti Soeharto akan terhindar dari jerat hukum. Ia bisa
dengan mudah berkhianat sebab ia tidak ikut rapat gelap itu. Yang paling berat
risikonya tentu adalah Kolonel dr. Suhardi. Saya menyimpulkan demikian, sebab
hal itu pernah dilakukan oleh Soeharto dan komplotannya ketika ia melakukan
percobaan kudeta pada 3 Juli 1946. Namun kudeta itu gagal dan Soeharto berbalik
arah mengkhianati komplotannya sendiri. Soeharto menangkap komplotannya dan
berdalih mengamankan negara.
Soal
itu, sekilas saya ceritakan sebagai berikut: Percobaan kudeta 3 Juli 1946
dilancarkan di bawah pimpinan Tan Malaka dari Partai Murba. Tan Malaka mengajak
kalangan militer Jawa Tengah, termasuk Soeharto. Yang akan digulingkan adalah
Perdana Menteri Sjahrir. Awalnya, 20 Juni 1946 PM Sjahrir dan kawan-kawan
diculik di Surakarta . Penculiknya adalah kelompok militer di bawah komando Divisi
III dipimpin oleh Sudarsono. Soeharto selaku salah seorang komandan militer Surakarta terlibat dalam
penculikan itu.
2 Juli
1946 kelompok penculik berkumpul di markas Soeharto sebanyak dua batalyon.
Pasukan lantas dikerahkan untuk menguasai beberapa sektor strategis seperti RRI
dan Telkom. Malam itu juga mereka menyiapkan surat keputusan pembubaran
Kabinet Sjahrir dan menyusun kabinet baru yang sedianya akan ditandatangani
oleh Presiden Soekarno di Istana Negara Yogyakarta , esok harinya.
SK
dibuat dalam empat tingkat. Keputusan Presiden dimuat dalam maklumat nomor 1, 2
dan 3. Semua maklumat mengarah ke kudeta. Misalnya, maklumat nomor dua berbunyi
demikian: Atas desakan rakyat dan tentara dalam tingkatan kedua terhadap Ketua
Revolusi Indonesia yag berjuang
untuk rakyat, maka kami atas nama Kepala Negara hari ini memberhentikan seluruh
kementrian negara Sutan Sjahrir. Yogyakarta , 3 Juli 1946,
tertanda: Presiden RI Soekarno.
Tetapi
percobaan kudeta ini ternyata gagal. Para pelakunya ditangkap
dan ditahan. Persis pada saat itu Soeharto berbalik arah. Ia yang semula
berkomplot dengan penculik, berbalik menangkapi komplotan penculik. Ia
berdalih, keberadaannya sebagai anggota komplotan penculik merupakan upaya
Soeharto mengamankan penculik. Itulah karakter Soeharto dan ia bangga dengan
hal itu. Soeharto tidak merasa malu berbalik arah dari penjahat menjadi
menyelamat. Malah, dalam buku otobiografinya, Soeharto menyebut sekilas
peristiwa itu, tetapi menurut versi dia yang tentu saja faktanya dia balik
sendiri. Pada awal Indonesia merdeka itu Soeharto sudah menerapkan politik
Bermuka Dua.
EMBRIO DEWAN JENDERAL
Pada
akhir tahun 1963 saya selaku Waperdam dan Menlu berkunjung ke RRT. Ini
kunjungan kenegaraan, saya mewakili Presiden Soekarno. Disana saya disambut
hangat. Bisa jadi sambutan itu karena Indonesia punya PKI. Saya diterima
sekaligus oleh tiga pimpinan puncak, Perdana Menteri Chou En Lai, Presiden Mao Tse-Tung
(Liu Shao-Chi?) dan Menlu Chen Yi.
Kami
tahu, mereka menaruh simpati pada Presiden Soekarno. Kepemimpinan Bung Karno
dikagumi oleh banyak pemimpin negara-negara lain. Konferensi Asia-Afrika di
Indonesia yag sukses, gerakan negara- negara Non-Blok ide Bung Karno, membuat
beliau dikagumi oleh para pemimpin dunia, termasuk pemimpin RRT.
Inti
pembicaraan kami, pimpinan RRT menawarkan kepada Indonesia bantuan peralatan
militer untuk 40 batalyon tentara. Ini peralatan lengkap, mulai dari senjata
manual, otomatis, tank dan kendaraan lapis baja. Hebatnya, semua itu gratis.
Juga tanpa syarat. Mendapat tawaran itu, saya atas nama Presiden mengucapkan
terima kasih. Tetapi saya belum bisa menjawab, sebab bukan kapasitas saya untuk
menerima atau menolak. Saya harus melaporkan hal ini kepada Presiden.
Dan
begitu tiba di tanah air, tawaran itu langsung saya laporkan kepada Bung Karno.
Saya lihat, tanpa banyak pikir lagi Bung Karno menyatakan: Ya, diterima saja.
Menurut pandangan saya pribadi memang seharusnya begitu. Terlepas apa
kepentingan RRT memberikan persenjataan gratis kepada kita, asal bantuan itu
tidak mengikat, mengapa tidak diterima?
Pernyataan
Presiden Soekarno menerima bantuan RRT itu lantas saya sampaikan kepada
pimpinan RRT. Mereka gembira mendengarnya. Mereka menyatakan bahwa akan segera
menyiapkan barang tersebut. Mereka juga meminta konfirmasi kepada kami, kapan
barang bisa dikirim. Hal ini saya sampaikan kepada Bung Karno.
Namun,
masalah ini macet sampai di sini. Bung Karno tidak segera menjawab, kapan
barang itu bisa dikirim. Pihak RRT juga tidak mengirimkan barang tersebut. Baru
sekitar awal tahun 1965 Bung Karno punya ide membentuk Angkatan Kelima.
Tujuannya adalah untuk menampung bantuan senjata dari RRT. Saat itu
persenjataan untuk empat angkatan (Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan
Udara dan Angkatan Kepolisian) dianggap sudah cukup. Karena itu, agar bantuan
senjata tersebut bisa dimanfaatkan secara maksimal, Bung Karno punya ide
membentuk Angkatan Kelima. Jika persenjataan yang dikirim cukup untuk 40
batalyon, maka Angkatan Kelima berkekuatan sekitar itu. Sebab tujuannya memang
untuk memanfaatkan maksimal pemberian senjata gratis RRT.
Tetapi
ini yang sangat penting Bung Karno belum merinci bentuk Angkatan Kelima. Beliau
hanya mengatakan demikian: Angkatan Kelima tidak sama dengan angkatan yang
sudah ada. Ini adalah pasukan istimewa yang berdiri sendiri, tidak terkait
dengan angkatan lain. Hal ini perlu saya tegaskan, karena kemudian beredar isu
bahwa Angkatan Kelima adalah para buruh dan petani yang dipersenjatai. PKI
memang pernah mengatakan hal ini, tetapi Bung Karno belum pernah merinci,
bagaimana bentuk Angkatan Kelima itu.
Setelah
Bung Karno jatuh dari kekuasaannya, isu ini dijadikan bahan sejarah. Bahkan
masuk di dalam buku sejarah yang dipelajari di sekolah. Tentu Bung Karno tidak
dapat membantah isu tersebut sebab sejak beberapa waktu kemudian praktis Bung
Karno menjadi tawanan Soeharto sampai beliau meninggal dunia. Bung Karno sudah
menjadi pihak yang terkalahkan, sehingga masyarakat tidak lagi berpikir jernih
melihat Bung Karno.
Kalau
masyarakat berpikir jernih, pasti muncul analisis, hanya pimpinan bodoh yang
mempersenjatai buruh dan petani di negara yang relatif baru lahir, karena jelas
hal itu akan membuat negara dalam kondisi sangat berbahaya. Semua tahu bahwa
Bung Karno tidak bodoh. Atau, bisa jadi masyarakat saat itu ada yang berpikiran
jernih, tetapi mereka tidak berani mengungkapkan. Bukankah pada zaman Orde Baru
bicara politik apalagi membahas sejarah versi Orba bisa membuat yang
bersangkutan tidak lagi bisa pulang ke rumahnya?
Meskipun
saat ide tersebut dilontarkan oleh Bung Karno belum ada embel-embel buruh dan
petani dipersenjatai, tetapi kalangan militer tidak setuju. Menpangad Letjen A
Yani sudah menyampaikan langsung kepada Presiden bahwa ia tidak setuju dibentuk
Angkatan Kelima. Para jenderal lainnya mendukung sikap Yani. Mereka tidak
setuju ada angkatan lain. Empat angkatan dianggap sudah cukup.
Setelah
Yani menyampaikan sikapnya kepada Presiden, masalah ini kemudian menjadi
pembicaraan di kalangan elite politik. Dan pembicaraan tentang itu menjadi
berlarut-larut. Juga muncul banyak spekulasi tentang bentuk Angkatan Kelima.
Muncul pula berbagai praduga tentang penolakan Yani terhadap ide Bung Karno itu.
Sementara, Bung Karno sendiri tetap tidak menjelaskan secara rinci bentuk
Angkatan Kelima tersebut. Saya sebagai orang yang paling dekat dengan Bung
Karno saat itu pun tidak diberitahu.
Sampai akhirnya Bung Karno memanggil Yani.
Dijadwalkan, Yani akan diterima oleh Presiden di Istana Negara pada tanggal 1
Oktober 1965 pukul 08.00 WIB. Agendanya, Yani akan ditanya lagi tentang
Angkatan Kelima. Seorang sumber saya mengatakan, ketika Yani menerima surat
panggilan dari Presiden, beberapa hari sebelum 1 Oktober 1965, Yani sempat
mengatakan: Saya mungkin akan dicopot dari Menpangad, sebab saya tidak setuju
Angkatan Kelima. Ucapan Yani ini juga cepat menyebar. Bahkan beredar isu di
kalangan petinggi AD bahwa pengganti Yani adalah orang kedua di AD, yakni Gatot
Subroto. Namun Yani dibunuh beberapa jam sebelum ia menghadap Presiden
Soekarno. Jika diperkirakan Yani dibantai sekitar pukul 04.00 WIB, berarti
empat jam kemudian mestinya ia menghadap Presiden.
No comments:
Post a Comment