Sebuah
sumber saya mengatakan bahwa pada tanggal 10 Maret 1966 Soeharto mengadakan
pertemuan di rumahnya di Jalan
H Agus Salim. Pertemuan dihadiri oleh Pangdam
Jaya Mayjen Amir Machmud, Pangdam Jatim Mayjen Basuki Rahmat dan Mayjen M
Yusuf. Inti pembicaraan: Soeharto selaku Menpangad minta dukungan untuk
mendapatkan suatu mandat penuh dari Presiden RI Soekarno. Tujuannya adalah agar
dapat mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi negara, di samping untuk
menciptakan suasana aman dan politik yang stabil. Tiga jenderal yang menghadap
akhirnya sepakat dengan ide Menpangad.
Lantas
Soeharto menyampaikan pidato penting. Pidatonya berapi-api mengkritik kondisi
negara yang tidak menentu, sedangkan para menteri tidak dapat menyelesaikan
persoalan bangsa. Merka hanya bicara di sidang-sidang, tidak melakukan tindakan
kongkrit. Ia menyerukan: para mahasiswa dari Jakarta, Bandung dan Bogor untuk
boleh saja berdemo di saat Sidang Kabinet yang akan diselenggarakan esok
harinya (11 Maret 1966) di Istana Merdeka.
Akibatnya
luar biasa: Pagi-pagi sekali sebelum sidang dibuka ribuan mahasiswa datang
berbondong-bondong menuju Istana. Mereka mendesak masuk ke halaman Istana.
Pasukan Kawal Presiden Cakra Bhirawa berupaya menahan mereka di pagar Istana.
Petugas sampai terpaksa meletuskan tembakan peringatan ke udara. Keadaan
ternyata tidak mudah dikendalikan oleh Pasukan Kawal Presiden. Soeharto tidak
hanya menggerakkan mahasiswa, namun juga memberi dukungan kepada mereka dengan
mengerahkan tentara (belakangan saya ketahui tiga kompi RPKAD didukung oleh
pasukan Kostrad pimpinan Kemal Idris). Tujuan mereka antara lain menangkap
saya. Soeharto juga sudah setuju.
Tentara
mengenakan seragam loreng, bersenjata lengkap namun tanpa tanda pengenal.
Mereka bersama mahasiswa menyebar di jalanan yang akan dilewati oleh mobil
menteri peserta sidang. Begitu melihat mobil menteri mereka langsung mencegat.
Ban mobil digembosi. Istana pun dikepung sedemikian rupa. Pasukan tanpa tanda
pengenal itu herhadap-hadapan dengan Pasukan Cakra Bhirawa dalam jarak dekat.
Saya berkesimpulan bahwa Soeharto mengharapkan dengan begitu Soekarno akan
menyerah tanpa syarat. Keadaan benar-benar gawat, sebab bisa timbul korban yang
sangat besar.
Saya
menilai Soeharto adalah pembunuh berdarah dingin, dia tega membunuh siapa saja
demi terwujud ambisi politiknya. Coba bayangkan kalau Pasukan Cakra Bhirawa
saat itu bertindak keras menghalau mahasiswa, tentu bakal terjadi pertumpahan
darah yang luar biasa. Sebab mahasiswa akan bertahan mati- matian karena merasa
mendapat angin dan didukung oleh tentara. Juga bisa terjadi perang kota antara
pasukan Cakra Bhirawa melawan pasukan tanpa identitas.
Hebatnya,
dalam Sidang Kabinet itu Soeharto tidak datang dengan alasan sakit
batuk.Informasi sakitnya Soeharto ini disampaikan oleh Amir Machmud beberapa
waktu kemudian. Menurut pengakuan Amir Machmud seusai mengikuti Sidang Kabinet
-ia bersama Basuki Rachmat dan M Yusuf mendatangi rumah Soeharto. Soeharto
sakit tenggorokan sehingga tidak dapat bicara keras. Saat kami datang ke
rumahnya dia masih mengenakan piyama dengan leher dibalut, kata Amir Machmud.
Tetapi seorang intelijen saya melaporkan bahwa pada sore harinya Soeharto
memimpin rapat di Makostrad. Di sini semakin jelas bahwa Soeharto adalah
pembohong besar. Jika seandainya dalam Sidang Kabinet Soeharto ikut (sebagai
Menteri Panglima Angkatan Darat seharusnya dia ikut) maka ada 3 risiko yang
bakal dihadapi oleh Soeharto:
1.
dalam keadaan Istana dikepung oleh mahasiswa dan tentara tentu dalam sidang
Bung Karno akan bertanya kepada Soeharto: Harto, engkau yang telah kuangkat
menjadi Panglima Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, ayo bergerak. Bereskan
pengacau-pengacau itu. Maka perintah Presiden itu bakal ibarat buah simalakama
bagi Soeharto: dimakan ibu mati, tak dimakan bapak tewas.
2.
Jika Soeharto melaksanakan perintah, maka namanya bakal merosot di mata para
demonstran yang ia gerakkan sendiri. Ini berarti peluang bagus bagi Nasution
untuk tampil sebagai presiden.
3.
Jika Soeharto menolak perintah di depan Sidang Kabinet, maka bisa berakibat
fatal bagi Soeharto. Tentu Bung Karno bisa segera memerintahkan Pasukan Cakra
Bhirawa untuk menangkap Soeharto seketika itu juga.
Akhirnya
cara terbaik bagi Soeharto untuk menghindari semua kemungkinan buruk itu adalah
nyakit (pura-pura sakit).
Bukankah
ini membuktikan bahwa Soeharto licin dan pembunuh berdarah dingin? Ia tidak
peduli bahwa tindakannya mengerahkan ribuan mahasiswa dan tentara bisa
menimbulkan konflik besar yang menghasilkan banjir darah bangsanya sendiri.
Sidang Kabinet 11 maret 1966 dibuka oleh Presiden Soekarno. Di beberapa buku
juga disebutkan bahwa setelah Presiden Soekarno membuka sidang, beberapa saat
kemudian pengawal presiden, Brigjen Sabur, menyodorkan secarik kertas ke meja
presiden. Isinya singkat: Di luar banyak pasukan tak dikenal.
Beberapa
saat kemudian Presiden keluar meninggalkan ruang sidang. Pimpinan sidang
diserahkan kepada Leimena. Saya lantas menyusul keluar. Banyak ditulis saat
keluar sepatu saya copot karena terburu-buru. Memang benar. Dulu saat sidang
kabinet biasanya para menteri mencopot sepatu mungkin karena kegerahan duduk
lama bersepatu tetapi sepatu yang dicopot itu tidak kelihatan oleh peserta
sidang karena tertutup meja. Saya juga biasa melakukan hal itu.
Nah, saat kondisi genting sehingga Presiden meninggalkan ruang sidang
secara mendadak, saya keluar terburu-buru sehingga tidak sempat lagi memakai
sepatu.
Begitu keluar dari ruang sidang ini yang tidak ada di dalam buku-buku sejarah
saya sempat bingung, akan ke mana? Saya mendapat informasi, pasukan tak dikenal
itu sebenarnya mengincar keselamatan saya. Padahal begitu keluar ruangan saya
tidak melihat Bung Karno yang keluar ruangan lebih dulu. Dalam keadaan bingung
saya lihat sebuah sepeda, entah milik siapa. Maka tanpa banyak pikir lagi saya
naiki sepeda itu.
Toh
mobil saya dan mobil semua menteri sudah digembosi oleh para demonstran. Dalam
kondisi hiruk-pikuk di sekitar Istana saya keluar naik sepeda. Ternyata tidak
ada yang tahu bahwa saya adalah Soebandrio yang sedang diincar tentara. Padahal
saya naik sepeda melewati ribuan mahasiswa dan tentara yang meneriakkan yel-yel
Tritura dan segala macam kecaman terhadap Bung Karno. Memang, saat menggenjot
sepeda saya selalu menunduk, tetapi kalau ada yang teliti pasti saya ketahuan.
Sepeda saya terus meluncur ke selatan.
Tujuan
saya pulang. Sampai di Bundaran Air Mancur (perempatan Bank Indonesia) saya
melihat begitu banyak mahasiswa dan tentara. Mereka tidak hanya berada di
sekitar Istana tetapi juga menyemut di Jalan Thamrin. Sampai di sini perasaan
saya jadi tidak enak. Memang sejauh ini saya sudah lolos. Tetapi bisakah
melewati ribuan mahasiswa yang menyemut itu? Maka seketika itu juga saya
memutuskan untuk kembali, berbalik arah.
Saya
kembali ke Istana. Hebatnya, saya sampai di Istana lagi tanpa diketahui oleh
para demonstran. Di dalam buku-buku sejarah disebutkan bahwa begitu keluar dari
ruang sidang, saya langsung memburu Bung Karno naik helikopter. Yang sebenarnya
terjadi seperti saya sebutkan ini: Begitu tiba kembali di Istana, saya lihat
ada helikopter. Saya tidak ahu apakah sejak tadi heli itu sudah ada atau baru
datang. Atau mungkin karena saya panik, saya tadi tidak melihat heli yang ada
di sana sejak tadi. Namun yang melegakan adalah bahwa beberapa saat kemudian
saya melihat Bung Karno didampingi oleh para ajudan berjalan menuju heli.
Karena
itu sepeda saya geletakkan dan saya berlari menuju heli. Mungkin saat itulah ketika
berlari menuju heli tanpa sepatu saya dilihat banyak orang sehingga ditulis di
koran-koran: Dr. Soebandrio berlari menyusul Bung Karno menuju heli tanpa
sepatu. Akhirnya saya bisa masuk ke dalam heli dan terbang bersama Bung Karno
menuju Istana Bogor. Jadi sebenarnya begitu meninggalkan ruang sidang Bung
Karno tidak langsung menuju heli, tetapi ada tenggang waktu cukup lama. Saya
sudah menggenjot sepeda dari Istana ke Bundaran Air Mancur dan kembali lagi.
Mungkin setelah meninggalkan ruang sidang Bung Karno masih mengadakan pertemuan
dengan para ajudan dan penasihat militer untuk membahas situasi, sehingga hal
itu menguntungkan saya.
Seandainya
tidak bertemu Bung Karno, entah bagaimana nasib saya. Setelah peristiwa itu
saya merenung. Untungnya saat itu saya dan Leimena lolos dari target
penangkapan mereka. Seandainya saya tertangkap atau dihabisi, maka bakal
terjadi bentrokan hebat. Bung Karno dan pasukannya yang masih setia tidak akan
tinggal diam. Akibatnya bisa banjir darah. Kalau itu terjadi pasti Soeharto
akan berbalik mengkhianati teman-temannya yang semula dia tugaskan untuk
mengerahkan pasukan mengepung Istana. Percobaan kudeta 3 Juli 1946 yang gagal
menjadi dasarnya.Juga bantuan pasukan Soeharto kepada Letkol Untung untuk
membantai para jenderal menjadi buktinya.
Menjelang
petang Istana Bogor didatangi oleh tiga jenderal (Basuki Rachmat, Amir Machmud
dan M Yusuf). Ketika itu tiga Waperdam (saya, Leimena dan Chaerul Saleh) sudah
di sana. Leimena dan Chaerul menyusul kami ke Istana Bogor melalui jalan darat.
Kami bertiga sempat istirahat di paviliun. Ketika tiga jenderal datang Bung
Karno menerima mereka di gedung utama. Mereka berbicara cukup lama. Para
Waperdam hanya siaga di paviliun. Beberapa jam kemudian saya, Chaerul dan
Leimena dipanggil oleh Bung Karno masuk ke ruang pertemuan. Di sana ada tiga
jenderal itu. Namun saat kami masuk sudah ada kesepakatan antara mereka dan
Bung Karno.
Saya
masuk ruang pertemuan. Bung Karno sedang membaca surat. Basuki Rachmat, Amir
Machmud dan M Yusuf duduk di depannya. Lantas saya disodori surat yang dibaca
oleh Bung Karno, sedangkan Chaerul Saleh duduk di sebelah saya. Isi persisnya
saya sudah lupa tetapi intinya ada empat hal. Presiden Soekarno memberi mandat
kepada Soeharto untuk:
1.
mengamankan wilayah Jakarta dan sekitarnya. Untuk itu harus dijalin kerjasama
dengan unsur-unsur kekuatan lainnya.
2.
Penerima mandat wajib melaporkan kepada Presiden atas semua tindakan yang akan
dilaksanakan.
3.
Penerima mandat wajib mengamankan Presiden serta seluruh keluarganya.
4.
Penerima mandat wajib melestarikan ajaran Bung Karno.
Soal
urutannya mungkin terbalik-balik namun intinya berisi seperti itu. Bagaimana
Ban, kau setuju? Tanya Bung Karno. Beberapa saat saya diam. Saya pikir, Bung
Karno sebenarnya hanya mengharapkan saya menyatakan setuju, padahal dalam hati
saya tidak setuju. Bukankah Presiden adalah Panglima Tertinggi ABRI dan
seharusnya kendali keamanan negara berada di tangan Presiden? Saya merasa Bung
Karno sudah ditekan.
Terbukti
ada kalimat Mengamankan pribadi Presiden dan keluarganya, artinya keselamatan
Presiden terancam oleh pihak yang menekan agar surat tersebut dikeluarkan.
Tetapi kalimat unik ini tidak ada dalam sejarah versi Orde Baru. Bahkan lebih
hebat lagi, naskah Supersemar yang membuat Soeharto ditunjuk sebagai pengemban
Supersemar (menjadi presiden tanpa melalui proses pemilu dan dipilih MPR) kini
sudah tiada. Tidak jelas keberadaan surat yang begitu penting.
Bagaimana,
Ban, setuju? Tanya Bung Karno lagi. Ya, bagaimana, bisa berbuat apa saya? Bung
Karno sudah berunding tanpa kami jawab saya. Lantas dipotong oleh Bung Karno:
Tapi kau setuju? Kalau bisa, perintah lisan saja kata saya memberanikan diri.
Saya lirik, tiga jenderal itu melotot ke arah saya tetapi saya tidak takut.
Mereka pasti geram mendengar kalimat saya yang terakhir itu. Tetapi saya tahu
mereka tidak bisa berbuat banyak. Suasana saat itu terasa tegang. Lantas Amir Machmud
menyela: Bapak Presiden tanda tangan saja. Bismillah saja, pak.. Bung Karno
rupanya sudah ditekan tiga jenderal itu saat berunding tadi. Raut wajahnya
terlihat ragu-ragu, tetapi seperti mengharapkan dukungan kami agar setuju.
Akhirnya
saya setuju. Chaerul dan Leimena juga menyatakan setuju. Bung Karno lantas
teken (tanda tangan). Tiga jenderal langsung berangkat kembali ke Jakarta
menemui Soeharto yang mengutus mereka. Bahkan mereka menolak ketika ditawari
Bung Karno untuk makan malam bersama. Maaf, pak. Karena hari sudah malam, ujar
salah seorang dari mereka. Dengan wajah berseri mereka membawa surat bersejarah
yang kemudian dinamakan Supersemar. Esoknya, 12 Maret 1966, Soeharto langsung
mengumumkan pembubaran PKI. Uniknya, pembubaran PKI itu menggunakan surat
keputusan Presiden nomor 113 tahun 1966.
Saat
diumumkan juga dibacakan ditandatangani oleh Presiden Soekarno. Enam hari
kemudian 15 menteri yang masih aktif ditangkapi. Tentu saja Soeharto tidak
melapor lebih dahulu kepada Presiden. Untuk pembubaran PKI, surat malah baru
sampai ke tangan Soeharto tengah malam dan esok siangnya ia langsung mengambil
kebijakan itu. Untuk penangkapan 15 menteri, alasannya adalah agar para menteri
itu jangan sampai menjadi korban sasaran kemarahan rakyat yang tidak terkendali.
Tetapi
ia juga menyampaikan alasan yang kontradiktif yakni: para menteri hanyalah
pembantu presiden, bukan bentuk kolektif pemerintahan. Jadi bisa saja
ditangkap. Yang jelas, begitu ditangkap para menteri langsung ditahan.
Tuduhannya gampang: terlibat G30S/PKI – tuduhan yang sangat ditakuti seluruh
rakyat Indonesia sepanjang Soeharto berkuasa. Mengkritik kebijaksanaan
pemerintahan Soeharto bisa dituduh PKI.
Surat
Perintah 11 Maret 1966 sudah diselewengkan. Soeharto menafsirkannya sebagai:
Bung Karno menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto, bukan perintah memulihkan
keamanan Ibukota. Sebagai orang yang tahu persis kondisi saat itu, saya sangat
yakin tujuan Soeharto membubarkan PKI dan menangkapi 15 menteri adalah
rangkaian strategi untuk meraih puncak kekuasaan. Seperti disebut di muka,
strategi Soeharto ada empat tahap:
Habisi para jenderal saingan
Hancurkan PKI
Copoti para menteri
Jatuhkan Bung Karno
Kini
yang dicapai Soeharto sudah tiga tahap. Tinggal tahap terakhir. Bung Karno pun
bereaksi. Tidak benar jika Bung Karno diam saja. Beliau memerintahkan Leimena
menemui Soeharto menanyakan hal itu: Bagaimana ini? Surat perintah hanya untuk
mengamankan Jakarta, bukan untuk pembubaran PKI. Kok malah main tangkap, kata
Leimena kepada Soeharto. Tetapi Soeharto tidak menggubris.
Seperti
terjadi pada tanggal 3 Oktober 1965 saat Leimena protes pada Soeharto karena
Bung Karno ditawan di Istana Bogor Soeharto menyatakan: Pak Leimena jangan ikut
campur. Sekarang saya yang kuasa. Leimena kembali ke Istana Bogor melaporkan
reaksi Soeharto.
Dan
Bung Karno terdiam, tetapi dari wajahnya kelihatan jelas bahwa beliau sedang
marah. Dari laporan Leimena kami tahu bahwa saat itu situasi Jakarta sangat
tegang: tank dan kendaraan lapis baja bersiaga di setiap ujung jalan, tentara
ada di mana-mana. Mereka dikenali sebagai pasukan Kostrad dan Brigade Para 3
Yon Siliwangi. Kali ini untuk menakut- nakuti anggota PKI yang jumlahnya masih
sangat besar saat itu. Mungkin pula ditujukan untuk memberikan tekanan psikologis
terhadap Bung Karno yang sudah kehilangan kuasa agar tidak menghalang-halangi
pembubaran PKI atau mungkin juga ditujukan untuk kedua-duanya.
15
menteri yang ditangkapi adalah:
1.
Saya (Waperdam-I merangkap Menlu, merangkap Kepala BPI)
2.
Waperdam-II Chaerul Saleh
3.
Menteri Tenaga Listrik S. Reksoprojo
4.
Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Sumardjo
5.
Menteri Keuangan Oei Tjoe Tat
6.
Menteri Bank Sentral dan Gubernur BI Yusuf Muda Dalam
7.
Menteri Pertambangan Armunanto
8.
Menteri Irigasi dan Pembangunan Desa Ir. Surahman
9.
Menteri Perburuhan Sutomo Martoprojo
10.
Menteri Kehakiman Andjarwinata
11.
Menteri Penerangan Asmuadi
12.
Menteri Urusan Keamanan Letkol Imam Syafi‘i
13.
Menteri Sekretaris Front Nasional Ir. Tualaka
14.
Menteri Transmigrasi dan Koperasi Ahmadi
15.
Menteri Dalam Negeri merangkap Gubernur Jakarta Raya Sumarno Sastrowidjojo
Meskipun sudah menangkap 15 menteri yang
masih aktif menjalankan tugas, namun Soeharto tanpa rasa malu sedikit pun
menyatakan bahwa kekuasaannya diperoleh secara konstitusional. Padahal ketika
menangkap kami (para menteri) perintah Soeharto kepada tentara yang
melaksanakan berbunyi demikian: Tangkap dulu mereka, alasannya cari kemudian.
Itulah filsafat Soeharto dalam logika kekerasannya.
Persis seperti dilakukan Soeharto pada
tragedi 1 Oktober 1965. Beberapa jam setelah para jenderal dibunuh, kelompok
bayangan Soeharto langsung mengumumkan: G30S didalangi PKI. Lantas Soeharto
memerintahkan: Basmi dulu partai itu (PKI), bukti-bukti cari kemudian. Apakah
ini konstitusional seperti yang sangat sering dikatakan Soeharto ketika dia
memerintah?
No comments:
Post a Comment