Pemimpin Muda yang Enerjetik
Sudah sejak muda, sejak jaman penjajahan Belanda, Aidit
dalam umur belasan tahun telah ikut serta dalam gerakan melawan penjajahan
dalam berbagai bentuknya.
Sudah sejak muda pula ia gemar membaca dan tertarik
pada marxisme. Di masa revolusi fisik ada sebutan populer di kalangan kaum
kiri, "mabuk marxisme" dalam artian positif, giat belajar teori
dengan membaca, berdiskusi dan berdebat serta kursus-kursus politik sejak masa
pendudukan Jepang, serta menerapkannya dalam praktek perjuangan. Selanjutnya
juga menuliskan berbagai gagasannya.
Di Menteng 31 bersama banyak pemuda yang lain ia
digembleng para pemimpin nasional. Sejumlah pemuda di antara mereka itu di
kemudian hari menjadi tokoh komunis, di samping DN Aidit, di antaranya Wikana
(salah seorang tokoh pemuda yang berperan penting dalam "penculikan"
Bung Karno dan Bung Hatta pada 15 Agustus 1945), MH Lukman, Sidik Kertapati
dsb. Jadi tidak benar jika sejarawan Prof Dr Brigjen Nugroho Notosusanto
menyatakan kaum komunis tidak punya peran dalam Proklamasi 17 Agustus 1945, ini
bagian dari pemalsuan sejarah.
Pada usia 28 tahun pada 1951 Aidit menjadi pemimpin
tertinggi PKI bersama MH Lukman dan Nyoto. Pada 1952, setahun setelah
kepemimpinannya, anggota PKI terdiri dari 8.000 orang. Tetapi pada 1964 mereka
telah menghimpun jutaan anggota. Dalam pemilu demokratis pertama pada 1955 PKI
keluar sebagai partai terbesar keempat, dalam pemilu di Jawa pada 1957 PKI
meningkat sebagai partai terbesar pertama. Ini sungguh suatu prestasi luar
biasa yang dicapai para pemimpin PKI muda usia.
Oleh karenanya pihak pimpinan AD tidak menyukai pemilu
semacam itu. Sebelum tragedi 1965 PKI mengklaim memiliki 3 juta anggota dengan
20 juta pengikut dan simpatisan, di antaranya terhimpun dalam organisasi massa.
PKI menjadi partai komunis terbesar di luar kubu sosialis. Dengan demikian
Aidit menjadi tokoh komunis internasional yang suaranya tidak dapat diabaikan
oleh kawan maupun lawan. Namanya berkibar dalam iklim perang dingin antara blok
kapitalis dengan blok komunis, perang ideologi antara komunis "murni"
dan komunis "revisionis", persaingan dan perkelahian antara blok
Partai Komunis Uni Soviet (PKUS) dengan Partai Komunis Tiongkok (PKT). Dalam
perselisihan ideologi ini PKI di bawah pimpinan Aidit cs berusaha bersikap
netral secara politik.
Sebagai partai massa PKI memiliki disiplin tinggi,
keanggotaannya diatur secara berjenjang yang dimulai dengan calon anggota
sebelum seseorang diterima sebagai anggota penuh yang didampingi seorang
pembina. Hal itu di antaranya didasarkan pada ideologi seseorang serta
pengalaman perjuangan dan kontribusinya terhadap Partai. Dengan kriteria
semacam itulah seseorang dapat menduduki kepengurusan Partai maupun jabatan
dalam pemerintahan setelah kemenangan pemilu. Untuk hal-hal penting semacam di
atas, butir kredit buat pemimpin kolektif tertinggi PKI, utamanya pada tokoh
Aidit. Pemimpin muda ini sangat dinamis, berani, bergerak cepat, dengan daya
tahan fisik dan mental luar biasa, bisa jadi sejumlah kawannya terkadang
tertinggal dengan geraknya. Di samping itu ia pun tak lupa menekankan akan
pentingnya kesabaran revolusioner dalam perjuangan jangka panjang.
Teori Kudeta, Retorika Revolusi
Aidit berada dalam rombongan delegasi Indonesa keluar
negeri dalam rangka KAA di Aljazair yang gagal pada akhir Juni 1965, karena
kudeta Kolonel Boumedienne terhadap Presiden Ben Bella yang baru saja terjadi.
Delegasi melanjutkan perjalanan ke Paris,. di kota ini Aidit bertemu dengan
enam orang kameradnya pelarian dari Aljazair. Ia menganjurkan mereka kembali ke
negerinya untuk mendukung Kolonel Boumedienne. Kudeta itu disebutnya sebagai
kudeta progresif. Jika kudeta itu didukung oleh paling tidak 30% rakyat maka
hal itu dapat diubah menjadi revolusi rakyat. Demikian kata Aidit sebelum
bertolak ke Moskow. Barangkali ia pun mengambil model Revolusi Oktober 1917
yang digerakkan Lenin dan Trotsky berupa pengambilalihan kekuasaan dengan
kekuatan militer. Sekalipun demikian banyak pihak di kalangan kaum komunis yang
tidak setuju dengan teori baru ini, dikatakan sebagai bertentangan dengan teori
marxis. Konon hal ini juga menjadi perdebatan di Moskow. Perkembangan politik
di tanah air yang relatif damai ketika itu
dengan arus pokok berpihak kepada PKI.
Dalam bulan Agustus 1965, koran PKI Harian Rakjat memuat
pernyataan Aidit berupa isyarat yang mengatakan biarlah mangkok, piring, gelas
berpecahan untuk kepentingan revolusi. Pada 9 September 1965, di depan sukwati
Deppen Aidit menyatakan kaum revolusioner bagaikan bidan dari masyarakat baru
yang hendak dilahirkan, sang bayi pasti lahir dan tugas mereka untuk menjaga
keselamatannya dan agar sang bayi cepat menjadi besar. Hal ini disambut dengan
pernyataan petinggi PKI yang lain, Anwar Sanusi, tanah air sedang hamil tua. Sementara
itu serangkaian sidang Politbiro dan Politbiro yang diperluas selama bulan
Agustus dan September 1965 membicarakan tentang sakitnya Presiden Sukarno dan
rencana pukulan dari pihak Dewan Djenderal (DD) ketika BK tak lagi dapat
menjaga keseimbangan politik. Selanjutnya dilaporkan oleh Aidit adanya sejumlah
perwira maju yang hendak mendahului guna mencegah kudeta DD.
Sangat menarik pesan Aidit kepada kedua adiknya, Sobron
Aidit dan Asahan Aidit yang bertemu di Beijing dalam bulan Agustus 1965.
"...Dan juga ingat, sementara ini, mungkin bertahun-tahun ini, jangan dulu
memikirkan pulang! ...tanah air
dalam keadaan gawat dan semakin akan gawat...". "... kita ini dalam keadaan ancaman...
dari pihak tentara... Angkatan Darat." Sedang kepada Asahan setelah
mengetahui adiknya baru akan pulang setahun lagi, ia menyatakan sayang karena
ia takkan dapat ikut revolusi. "Revolusi tidak akan menunggumu." Dalam
dua catatan dari dua orang berdasarkan ingatan setelah sekian puluh tahun
berlalu itu secara implisit mengandung persamaan penting yakni disebut akan
terjadinya sesuatu yang gawat, malah yang ke dua disebut sebagai revolusi.
Sementara itu selama bulan September 1965 terjadi juga
serangkaian pertemuan sejumlah perwira militer (Letkol Inf Untung, Kolonel Inf
Latief, Mayor Udara Suyono, Mayor Inf Agus Sigit, Kapten Art Wahyudi) yang juga
dihadiri oleh Ketua Biro Chusus (BC) PKI Syam beserta pembantunya Pono. Gerakan
ini berlanjut dengan penculikan dan pembunuhan 6 orang jenderal AD dan seorang
perwira pertama pada dini hari 1 Oktober 1965 oleh gerakan militer yang
menamakan dirinya Gerakan 30 September sesuai dengan apa yang diumumkan oleh
RRI Jakarta pada pagi harinya.
Diculik atau Dijemput untuk
Memimpin Gerakan?
Dalam salah satu kesaksiannya dr Tanti Aidit, pada 30
September 1965 malam hari DN Aidit, suaminya, diculik tentara. Murad Aidit yang
juga sedang berada di rumah yang sama tidak memberikan gambaran kecuali
"dibawa dengan mobil oleh orang yang tidak kukenal" bersama ajudannya
Kusno. Memori seorang anak berumur 6 tahun, Ilham Aidit, agaknya lebih jernih,
"Ibunya membentak dua orang berseragam militer warna biru di depan rumah"
(Tempo 7 Okt.2007:76). Salah seorang yang menjemputnya ialah Mayor Udara Suyono
(dengan seragam AU warna biru) dan membawa DN Aidit ke lingkungan PAU Halim. Di
Halim ia kemudian ditemui oleh Ketua BC PKI Syam.
Apakah Aidit diculik bersama pengawalnya? Itu mokal,
tidak ada adegan kekerasan di rumahnya di Jl. Pegangsaan, ia pun kemudian
"bebas" pergi ke Yogya bersama pegnawalnya dengan pesawat pada tengah
malam 2 Oktober 1965. Apa itu sesuai dengan kehendak dan rencana dirinya? Ini
sulit dijawab karena terbukti segala rencana dilakukan oleh Ketua BC Syam, ia
toh pembantu Ketua PKI Aidit. Apakah dia tidak mengetahui rencana G30S? Mokal
jika dia tidak tahu, bisa saja pengetahuan dirinya kemudian dimanipulasi oleh
Syam.
Apalagi jika kita hubungkan dengan teori Aidit tentang
kudeta tersebut di atas, lalu retorika oleh Letkol Untung (yang mungkin sekali
sekedar wayang), di baliknya lagi-lagi Ketua BC Syam. Apa Syam pun bukan
sekedar sejumlah petinggi PKI selama bulan Agustus dan September 1965 serta
topik sejumlah sidang Politbiro serta pesannya kepada kedua adiknya di Beijing.
Apakah dia memimpin G30S? Ini tidak ada buktinya, sebab yang terbukti gerakan
ini di lapangan dipimpin wayang? Dari mana Syam menerima segala instruksi?
Lagi-lagi ini sulit dijawab. Lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Salah satu saksi kunci, DN Aidit telah dilenyapkan dengan
buru-buru atas instruksi Jenderal Suharto, tentu dengan suatu alasan kuat. Ada
kepentingan apa Jenderal Suharto menghendaki Aidit cepat-cepat dibungkam?
Adakah informasi yang dapat mencelakakan diri Suharto jika Aidit diberi
kesempatan bicara di depan pengadilan, pengadilan sandiwara sekalipun? Saksi
kunci yang lain, Jenderal Suharto, telah melenyapkan banyak hal dan
memanipulasi segala sesuatu. Apa yang bisa diharap dari kesaksiannya? Apa dia
masih punya hati nurani untuk bicara yang sebenarnya terjadi ketika belum
"pikun"? Sementara sejumlah pelaku seperti Letkol Untung, Brigjen
Suparjo, Mayor Udara Suyono dieksekusi mati dengan segera maka Syam yang
ditangkap pada 1967, dijatuhi hukuman mati pada 1968, menurut catatan resmi
baru dieksekusi pada 1986.
Dalam pengakuannya di depan Mahmillub pada 1967-1968,
Syam menyatakan seluruh perbuatannya sebagai pelaksanaan instruksi Ketua PKI
Aidit termasuk pengumuman dan dekrit yang disampaikan lewat RRI Jakarta menurut
pengakuannya disusun oleh Aidit. Segala pengakuan Syam tentang G30S boleh
dibilang tidak dapat diperiksa dan dirujuk kebenarannya. Dokumen G30S yang
diumumkan pada 1 Oktober 1965 yang terdiri dari pengumuman Letkol Untung, Dekrit
No.1, Keputusan No.1 dan Keputusan No.2, rendah mutu politiknya. Dalam
pengumuman pertama bernada emosional. Sulit dipercaya dokumen semacam itu
disusun oleh seorang Aidit, seorang pemimpin politik yang telah malang
melintang secara nasional dan internasional, pemimpin komunis kaliber dunia.
Dokumen itu bertentangan dengan politik front nasional yang mati-matian
diperjuangkan oleh pimpinan PKI. Terlebih lagi dokumen itu menafikan
persekutuannya dengan Presiden Sukarno, kekuasaan negara diambil alih oleh Dewan Revolusi, kabinet
Presiden Sukarno didemisionerkan. Apa mungkin Aidit mengubah dasar politik PKI
dalam semalam pada saat BK masih segar bugar? Pendeknya dokumen-dokumen
tersebut menyerimpung politik PKI ketika itu.
Pembelaan Sudisman dan KOK
Tidak ada pihak di lingkungan PKI [setidaknya yang pernah
saya ketahui], di dalam maupun di luar negeri yang meragukan kesahihan dokumen
Kritik Otokritik (KOK) Politbiro CC PKI, terlepas di mana dan siapa saja
penyusunnya. Sesuai dengan namanya, dokumen ini disusun oleh Politbiro CC PKI
dengan sejumlah anggota yang pada akhir 1965 masih hidup sebagai buron rezim
militer. Dewasa ini masih ada saksi hidup dalam hal proses penyusunan dokumen
ini. Selanjutnya ada dokumen lain berupa pembelaan yang dibacakan Sudisman di
depan Mahmillub pada 21 Juli 1967 yang diberi judul "Uraian
Tanggungjawab."
Dari tangan Sudisman masih ada satu dokumen lagi berupa
pernyataan politik (yang belum selesai ditulis) sebelum ia dieksekusi mati
beberapa bulan sesudah Oktober 1968. Sejauh ini juga belum ada pihak yang
meragukan kesahihan dokumen yang disusun oleh orang nomor satu PKI ini setelah
dibunuhnya DN Aidit, Nyoto dan MH Lukman [sekali lagi setidaknya yang pernah
saya dengar]. Dalam pembelaannya Sudisman dengan tegas mengakui "Saya
pribadi terlibat dalam G30S yang gagal." Adakah ini berarti Sudisman atau
Aidit terlibat langsung pada operasional gerakan militer G30S, setidaknya
memberikan arahan politik? Tidak ada bukti yang mendukungnya. Di bagian lain
Sudisman juga dengan tegas menyatakan "tokoh-tokoh PKI, [maksudnya
pemimpin teras PKI, hs].... terlibat dalam G30S, tetapi PKI sebagai Partai
tidak terlibat...." Mari kita cermati, Sudisman memisahkan antara pimpinan
teras PKI dengan partai bernama PKI, artinya memisahkan pimpinan itu dengan
jutaan anggota dan puluhan juta massa PKI.
Bukankah di sini antara lain letak keblingernya pimpinan
PKI, sejak kapan pimpinan PKI harus dipisahkan dengan Partai-nya, anggota dan
massanya, melangkah sendiri tanpa keterlibatan anggota dan massa pendukung?
Ataukah kata-kata Sudisman ini sekedar upaya terakhir untuk menyelamatkan
Partai yang dia ketahui telah berantakan? Instruksi yang dibawa para utusan
dari Jakarta atas petunjuk Aidit, "dengarkan pengumumam RRI pusat dan
sokong Dewan Revolusi [DR]." Dan itulah yang dilakukan sejumlah massa kiri
di Yogyakarta pada 2 Oktober 1965 melakukan demonstrasi yang kepancal kereta,
ketika gerakan di Jakarta telah berhenti sehari sebelumnya dan situasi sudah
berada dalam genggaman Jenderal Suharto. Instruksi untuk mendukung DR tidak
dijalankan di tempat lain.
Sudisman juga menyatakan, "Dalam mengatur gerakan
sangat dibutuhkan di samping keberanian adanya kepandaian revolusioner dalam
menentukan waktu yang tepat dan memimpin gerakan. Faktor-faktor ini tidak dipenuhi
oleh G30S sehingga menyebabkan kegagalannya. Ditambah lagi gerakan itu terpisah
sama sekali dari kebangkitan massa." Dapatkah dikatakan menurut Sudisman
secara implisit, setidaknya secara politik, G30S dipimpin oleh para petinggi
PKI yang terpisah dari massa anggota dan pendukungnya? Selanjutnya Sudisman
menghubungkan hal tersebut dengan kelemahan dan kesalahan PKI di bidang
ideologi, politik dan organisasi sebagaimana dibahas dalam KOK. Ada keterangan
menarik, ketika Aidit baru saja sampai dari Jakarta, ia mengatakan, "Wah
celaka, kita ditipu oleh Suharto." Demikian yang diceritakan oleh
seseorang yang pernah bekerja di kantor CC PKI. Sayang keterangan ini tidak
dapat dirujuk silang dengan narasumber lain yang memadai.
Ketika PKI dan seluruh organisasi massa pendukungnya
diobrak-abrik oleh pasukan militer Jenderal Suharto dengan dukungan massa
kanan, maka ada instruksi dari pimpinan PKI yang tersohor di kalangan anggota
bawah, yakni apa yang disebut "defensif aktif.' Suatu istilah yang tidak
dikenal dalam yargon mereka, instruksi kabur yang membingungkan tanpa
keterangan jelas. Umumnya mereka menafsirkan sebagai "selamatkan diri,
jangan melakukan perlawanan apa pun." Karena tidak ada lagi tempat untuk
menyelamatkan diri dan berlindung maka berbondong-bondonglah orang menyerahkan
diri kepada musuh, sebagian dengan ilusi akan mendapatkan perlindungan.
Kenyataan tiadanya perlawanan sebagai yang
digembar-gemborkan pimpinan PKI semasa damai ini cukup mengejutkan pihak pasukan
Suharto dan para aktivis kanan. Maka tidak aneh jika sejarawan Jacques Leclerc
kemudian menyebut PKI sebagai raksasa berkaki lempung. Tetapi hampir dapat
dipastikan Leclerc akan menulis yang lain jika ia lakukan sebelum tragedi,
terlebih apabila ia menghadiri parade 45 tahun PKI pada 23 Mei 1965.
Bagaimanapun PKI sebuah partai politik, tidak memiliki
barisan bersenjata. Di pihak lain pimpinan PKI mengklaim memiliki pengaruh
besar di kalangan angkatan bersenjata. Dalam kenyataannya pengaruh ini tidak
punya peran dalam memperkecil korban. Sejumlah batalion yang disebut
"merah" yang ditarik dari Kalimantan dalam rangka konfrontasi,
kemudian dilucuti dan dijebloskan ke penjara. Pembersihan di kalangan angkatan
bersenjata dilakukan bertahap dan sangat sistimatis.
Sebagian besar pendukung BK terutama di kalangan angkatan
bersenjata sampai akhir 1965 dan permulaan 1966 berharap BK akan segera
memberikan perintah untuk menindak keras para pembangkang, Jenderal Suharto cs,
sebelum mereka lebih merajalela dan menjerumuskan negeri ini. Itulah yang juga
ditunggu pimpinan PKI untuk waktu tertentu, setidaknya suatu penyelesaian
politik yang tidak kunjung tiba, sampai PKI hancur luluh. Sebagaimana diuraikan dalam
KOK, pimpinan PKI tidak bertindak independen, tetapi menggantungkan diri pada
Presiden Sukarno.
Diukur dari ajaran BK maka apa yang telah dilakukan
Jenderal Suharto sepenuhnya keblinger, kita tak dapat berharap yang lain dari
dirinya. Para pemimpin lain yang memiliki kapasitas untuk melakukan perlawanan
terhadap kegiatan berdarah Jenderal Suharto serta menghentikannya juga telah
keblinger karena praktis membiarkan Suharto bersimaharajalela.
No comments:
Post a Comment