“Tanggal 10 Maret, wakil-wakil partai politik dipanggil Presiden
Soekarno ke Istana,
dan di sana partai-partai tersebut untuk kesekian kalinya
menampilkan perilaku opportunistik mereka di depan Soekarno, lalu mengikuti
perintah Soekarno mengeluarkan pernyataan yang tidak membenarkan
tindakan-tindakan yang dilakukan para mahasiswa dan para pelajar serta pemuda”.
”Sejak saat itu, Soeharto bisa melakukan „apa‟pun yang diinginkannya. Dengan
Surat Perintah 11 Maret di tangannya, Soeharto melangkah masuk ke dalam fase
kekuasaan sepenuhnya bagi dirinya”.
Setelah
insiden berdarah yang merenggut nyawa Arief Rahman Hakim, keesokan harinya, 25
Februari, Laksamana Muda Udara Sri Mujono Herlambang justru mengumumkan
Keputusan Kogam tentang pembubaran KAMI. Selain itu, di Jakarta juga
diberlakukan jam malam, yang berlaku sejak 21.00 hingga 06.00 pagi dan larangan
berkumpul lebih dari lima orang.
Pembubaran
KAMI dengan segera ditolak oleh mahasiswa Bandung. Hanya beberapa jam setelah
pembubaran diumumkan, pada mahasiswa Bandung ini, yakni jam 24.00 tanggal 25
Februari, mahasiswa Bandung telah mengeluarkan penegasan penolakan tersebut.
Penolakan ini memberikan dampak moril bagi para mahasiswa di berbagai kota
untuk juga ikut menolak keputusan pembubaran KAMI tersebut. Adalah pula tengah
malam menjelang tanggal 25 Pebruari itu, mahasiswa-mahasiswa Bandung yang
menilai bahwa rekan-rekannya di Jakarta sedang mengalami tekanan berat dari
penguasa memutuskan mengirimkan tenaga bantuan ke Jakarta, jumlahnya ratusan
namun dikirim bergelombang dan dilakukan secara diam-diam. Mahasiswa Bandung,
telah berpengalaman ketika long march mereka ke Jakarta 17 Januari 1966
sebagai suatu gerakan terbuka dihambat oleh aparat keamanan, maupun karena
terjadinya pendudukan kampus ITB oleh Barisan Soekarno Siswono Judohusodo dan
kawan-kawan dari GMNI.
Rombongan
pertama mahasiswa Bandung yang berangkat ke Jakarta belakangan akan dikenal
sebagai Kontingen Bandung terdiri dari empat puluh orang dengan menggunakan dua
bus umum. Selama perjalanan, empat puluh mahasiswa yang seluruhnya dari
mahasiswa yang dikenal sebagai kelompok Bangbayang, dipimpin oleh Riswanto
Ramelan mahasiswa Seni Rupa ITB, berpura-pura untuk tidak saling kenal.
Rombongan kedua yang dipimpin oleh mahasiswa Elektro ITB Bernard Mangunsong,
menggunakan kereta api pukul enam pagi dan turun di Stasiun Jakarta Kota.
Sedang rombongan ketiga yang juga menggunakan kereta api pukul sepuluh pagi,
turun di Kramat Sentiong. Rombongan berkereta api ini pada umumnya anggota
Batalion I Resimen Mahawarman. Sedangkan rombongan terbesar dan terakhir, yang
terdiri dari kurang lebih 150 mahasiswa menggunakan kereta api pukul tiga sore,
dipimpin oleh Arifin Panigoro mahasiswa Elektro ITB. Mereka menempuh jarak
Bandung-Jakarta Kota dalam tempo empat setengah jam.
Selain
mahasiswa yang datang berombongan ini, terdapat pula sejumlah mahasiswa yang
datang dengan berbagai cara secara berangsur-angsur selama beberapa hari, belum
lagi yang sudah berada di Jakarta sejak beberapa hari sebelumnya, termasuk
mahasiswa-mahasiswa penggerak seperti Zaenal Arifin dan kawan-kawan dari
kelompok Bangbayang. Sehingga secara keseluruhan kontingen ini berkekuatan
400-an mahasiswa, berasal dari berbagai kampus perguruan tinggi di Bandung,
namun terbanyak dari ITB. Jumlah ini sebenarnya tidak terlalu besar di tengah
ribuan massa mahasiswa Jakarta, namun militansi dan keunikan Kontingen Bandung
ini membuatnya berperan. Pada malam kedua kehadiran mereka di kampus Fakultas
Kedokteran, datang perintah dari Kodam Jaya untuk mengosongkan kampus artinya
tak ada mahasiswa yang boleh menginap dengan alasan ada kemungkinan serangan
dari pasukan-pasukan yang pro Soekarno. Terutama setelah terjadinya serangan
bersenjata terhadap satu mobil Pasukan Tjakrabirawa.
Hanya
satu malam Kontingen Bandung meninggalkan Fakultas Kedokteran di Salemba,
karena keesokan harinya berangsur-angsur mereka kembali ke sana. Mereka
bertahan seterusnya di sana, sementara sejumlah tokoh mahasiswa Jakarta yang
tertekan karena teror dan ancaman, menginap di Kopur (Komando Tempur) Kostrad
untuk keselamatan mereka. Kontingen Mahasiswa Bandung akan terus bertahan di
Fakultas Kedokteran UI ini sampai PKI dibubarkan atau Soekarno dilumpuhkan,
ujar Muslimin Nasution, salah seorang pimpinan kontingen bersama dengan antara
lain Rudianto Ramelan dan Fred Hehuwat. Kedatangan Kontingen Bandung itu
sendiri, justru pada saat mahasiswa Jakarta sedang ditekan, mempunyai arti
tersendiri untuk menaikkan spirit rekan-rekannya mahasiswa Jakarta.
Anggota-anggota Kontingen ini juga berinisiatif melakukan gerakan-gerakan
mengejutkan ke sasaran-sasaran strategis. Meskipun bisa saja dianggap
keterlaluan, mahasiswa-mahasiswa seni rupa ITB Riswanto Ramelan, T. Soetanto
dan kawan-kawan yang ada di Kontingen itu menciptakan kreasi-kreasi seperti
patung besar Soebandrio dengan kepala yang besar bertuliskan Dorna Peking.
Patung ini ikut dibawa ketika Kontingen Bandung bersama mahasiswa KAMI Jakarta
dan pelajar KAPPI menyerbu, merusak dan mengobrak-abrik ruang kerja Soebandrio
di Departemen Luar Negeri. Patung ini lalu dicari-cari untuk disita oleh aparat
Kodam Jaya, dan akhirnya terpaksa‘ dibakar sendiri oleh para mahasiswa dan
pelajar setelah diarak, dalam suatu acara simbolik di kampus Salemba.
Pada
hari-hari berikutnya, tak henti-hentinya terjadi konflik fisik antara mahasiswa
KAMI dengan anggota-anggota Front Marhaenis Ali Surachman. Ini adalah buah dari
pengerahan yang diciptakan oleh para pemimpin partai dan para pendukung
Soekarno, terutama dengan pembentukan Barisan Soekarno yang diperhadapkan
dengan mahasiswa KAMI dan para pelajar dari KAPPI. Selain menyerbu Departemen
Luar Negeri pada tanggal 8 Maret, para mahasiswa juga melakukan penyerbuan ke Kantor
Berita RRT Hsin Hua, namun gagal. Tanggal 10 Maret, wakil-wakil partai
politik dipanggil Presiden Soekarno ke Istana, dan di sana partai-partai
tersebut untuk kesekian kalinya menampilkan perilaku opportunistik mereka di
depan Soekarno, lalu mengikuti perintah Soekarno mengeluarkan pernyataan yang
tidak membenarkan tindakan-tindakan yang dilakukan para mahasiswa dan para
pelajar serta pemuda.
Pada
11 Maret berlangsung sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakan. Sejak
pagi-pagi, mahasiswa dan pelajar turun ke jalan dan sekali lagi melakukan aksi
pengempesan ban mobil untuk memacetkan jalan. Sengaja atau tidak, peningkatan
tekanan yang terjadi akibat demonstrasi besar-besaran mahasiswa ini memperkuat bargaining
position Mayjen Soeharto terhadap Soekarno. Ditambah dengan efek kejut yang
ditimbulkan oleh kemunculan pasukan tanpa pengenal lengkap yang sebenarnya
digerakkan oleh Brigjen Kemal Idris yang diisukan sebagai pasukan tak dikenal
yang akan mengepung istana, maka Soekarno tiba pada suatu posisi psikologis dan
mencapai titik nadir dalam semangat dan keberaniannya. Soekarno dengan
tergesa-gesa meninggalkan istana menggunakan helikopter menuju Istana Bogor.
Tentang
peristiwa seputar sidang kabinet 11 Maret 1966, Dr Soebandrio mempunyai versi
sendiri. Ia menulis di beberapa buku disebutkan bahwa setelah Presiden Soekarno
membuka sidang, beberapa saat kemudian pengawal presiden, Brigjen Saboer,
menyodorkan secarik kertas ke meja presiden. Isinya singkat: Di luar banyak
pasukan tak dikenal. Beberapa saat kemudian presiden keluar meninggalkan ruang
sidang. Pimpinan sidang diserahkan kepada Leimena. Saya lantas menyusul keluar.
Banyak ditulis, saat saya keluar sepatu saya copot karena terburu-buru. Memang
benar. Dulu saat sidang kabinet biasanya para menteri mencopot sepatu, mungkin
karena kegerahan duduk lama menunggu, tetapi sepatu yang dicopot itu tidak
kelihatan oleh peserta sidang karena tertutup meja. Saya juga biasa melakukan
hal itu. Nah, saat kondisi genting sehingga presiden meninggalkan ruang sidang
secara mendadak, saya keluar terburu-buru sehingga tidak sempat lagi memakai
sepatu.
Lebih
jauh, Soebandrio menulis, bahwa begitu keluar ruang sidang, yang tidak pernah
dituliskan siapa pun, ia merasa bingung, akan ke mana? Saya mendapat informasi,
pasukan tak dikenal itu sebenarnya mengincar keselamatan saya. Padahal begitu
keluar ruangan saya tidak melihat Bung Karno yang keluar ruangan lebih dulu.
Dalam keadaan bingung saya lihat sebuah sepeda, entah milik siapa. Maka tanpa
banyak pikir lagi saya naiki sepeda itu. Toh mobil saya, dan mobil semua
menteri, sudah digembosi oleh para demonstran. Dalam kondisi hiruk pikuk di
sekitar istana saya keluar naik sepeda. Ternyata tidak ada yang tahu bahwa saya
adalah Soebandrio yang sedang diincar tentara. Padahal saya naik sepeda
melewati ribuan mahasiswa dan tentara yang meneriakkan yel-yel Tritura dan
segala macam kecaman terhadap Bung Karno.
Memang,
saat menggenjot sepeda saya selalu menunduk, tetapi kalau ada yang teliti pasti
saya ketahuan. Soebandrio mengaku sepedanya meluncur terus ke selatan sampai
bundaran Bank Indonesia. Tetapi ia melihat begitu banyak tentara dan mahasiswa
sampai jalan Thamrin. Ia ragu apakah bisa lolos. Maka ia kembali mengayuh
sepeda kembali ke istana dan hebatnya dia sampai di istana tanpa diketahui para
demonstran.
Begitu
tiba kembali di istana, saya lihat ada helikopter. Saya tidak tahu apakah sejak
tadi heli itu sudah ada atau baru datang. Atau mungkin karena saya panik, saya
tidak melihat heli yang ada di sana sejak tadi. Namun yang melegakan adalah
bahwa beberapa saat kemudian saya melihat Bung Karno didampingi para ajudan
berjalan menuju heli. Karena itu sepeda saya geletakkan dan saya berlari menuju
heli. Mungkin saat itulah, ketika berlari menuju heli tanpa sepatu, saya
dilihat banyak orang sehingga ditulis di koran-koran: Dr Soebandrio berlari
menyusul Bung Karno menuju heli tanpa sepatu. Akhirnya saya bisa masuk ke dalam
heli dan terbang bersama Bung Karno menuju Istana Bogor.
Apapun
yang terjadi dengan Soebandrio dan Soekarno pada siang hari 11 Maret itu,
malamnya lahir Surat Perintah 11 Maret, yang dibuat bersama‘ tiga jenderal yang
sebenarnya dekat dengan Soeharto, yakni Mayjen Basoeki Rachmat, Brigjen Muhamad
Jusuf dan Brigjen Amirmahmud. Dan atas dasar Surat Perintah itu, Soeharto
kemudian membubarkan PKI pada 12 Maret 1966. Beberapa hari kemudian, 18 Maret,
Soeharto melakukan tindakan untuk mengamankan‘ 15 Menteri Kabinet Dwikora yang
disempurnakan. Sejak saat itu, Soeharto bisa melakukan apa‘pun yang diinginkannya.
Dengan Surat Perintah 11 Maret di tangannya, Soeharto melangkah masuk ke dalam
fase kekuasaan sepenuhnya bagi dirinya.
No comments:
Post a Comment